Kamis, 03 Januari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #9-1









Sebelumnya



* * *



Sembilan


Seharusnya ia merasa lega bahwa hubungan manisnya dengan Maxi sudah kembali normal. Bahkan jauh lebih manis daripada sebelum ia mencoba untuk menghindari pemuda itu.

Seharusnya! SE-HA-RUS-NYA! Tapi kenapa ...?

Pingkan menggeleng samar. Masih ada yang membuat salah satu sudut ruang hatinya merasa sesak.

Ini bukan soal kemarahannya terhadap Donner. Ya, ia sempat merasa marah kepada Donner karena sudah melangkahi kewenangannya mengungkapkan masa lalu. Tapi ketika diingatnya bahwa justru hal itu sudah mencegahnya untuk mengungkit lagi luka yang sesekali masih berdarah di hatinya, ia justru merasa berterima kasih.

Ini karena ....

“Mulai sekarang, biarkan aku yang jaga kamu. Tugas Donner sudah selesai. Ya? Oke?”

Kalimat Maxi yang diucapkan dengan sangat lembut dan penuh kesabaran itu seolah menghantam lagi telinganya.

Ini bukan tentang Donner.

Pingkan menggeleng resah.

Ia tak pernah mengkhawatirkan Donner. Bahkan ia yakin Donner akan dengan senang hati melepaskannya untuk dijaga pemuda lain. Apalagi bila pemuda itu adalah sahabatnya sendiri seperti Maxi. Tapi penjaganya secara fisik saat ini bukan cuma Donner walaupun memang Donner yang paling aktif. Ada juga ayahnya dan kedua abangnya.

Papa ....

Mungkin sudah tiba saatnya untuk melepaskan diri dari sang ayah. Bahwa selamanya ia akan tetap menjadi ‘gadis kecil kesayangan Papa’, itu bukan berarti bahwa selamanya ia akan mengandalkan penjagaan dari ayahnya.

Sudah waktunya bagi Papa untuk berhenti mengkhawatirkan aku. Sedangkan Nicholas ....

Abang sulungnya itu sudah punya keluarga sendiri yang harus dicintai, dirawat, dan dijaga. Walaupun ia dan Nicholas saling menyayangi, sudah sepantasnya membiarkan Nicholas menjemput mimpinya sendiri bersama keluarga kecilnya, tanpa menaruh kekhawatiran lagi akan kehidupan si adik bungsu.

Andries ....

Pingkan mendegut ludah.

Dibandingkan dengan Nicholas, Andries memang jauh lebih dekat hubungan batinnya dengan ia. Mungkin karena Andries adalah abangnya langsung.

Ketika lembaran hitam itu tertoreh dalam hidupnya, selain Donner, Andries adalah orang yang paling terpengaruh. Ketika ia berada dalam tahap ketakutan didekati siapa pun yang berjenis kelamin laki-laki, Andries-lah yang paling menderita. Ketika detail peristiwa itu terungkap secara cukup gamblang, Andries-lah yang paling marah. Kemarahan yang tak pernah tersalurkan karena pelakunya sudah terbujur kaku di dalam tanah makam.

Andries-lah yang paling menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa menjemput Pingkan sore itu. Tapi tak sedikit pun Pingkan pernah menyalahkan Andries. Andries baru saja dua hari sebelumnya keluar dari rumah sakit karena kena DB. Masih harus istirahat di rumah. Dan, itulah awal dari perjuangan panjang Andries.

Kalau aku sudah punya Maxi sebagai penjagaku, apakah Andries ....

Mengingat itu, air mata Pingkan mendadak saja meleleh tanpa bisa ditahan. Ia sayang Andries, tapi ia juga sayang Maxi. Rasa sayang yang membuatnya tak berani membayangkan akan kehilangan salah satu di antara keduanya.

Setidaknya jangan dalam waktu dekat ini, ya, Dries. Jangan!

Memikirkan hal itu, Pingkan jadi teringat sesuatu. Ini hari Jumat. Andries tak pernah ke mana-mana seusai jam kerja. Biasanya langsung pulang ke apartemen.

Dihapusnya air mata yang sempat membasahi mata dan pipinya. Dilihatnya sekilas jam dinding. Masih pukul dua siang. Ia buru-buru keluar dari kamar setelah berdandan ala kadarnya dan sedikit berkemas.

Di ruang tengah ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja pulang dari beraktivitas. Perempuan cantik itu mengerutkan kening.

“Mau pergi, Ke?” tanyanya.

“Ma, aku boleh pinjam mobil Mama?” Pingkan tersenyum manis.

“Mau ke mana memangnya?” Sonia menyodorkan juga kunci mobil yang masih berada dalam genggamannya.

“Aku mau ke tempat Andries. Boleh?”

“Sendirian?”

Pingkan mengangguk.

“Minta antar Donner,” ucap Sonia, tegas.

“Yah, Ma .... Donner, kan, udah dari kapan hari pulang ke Bogor,” Pingkan mengerucutkan bibirnya. “Belum balik sampai gini hari.”

“Minta antar Maxi,” Sonia bersikukuh.

“Ini lagi .... Maxi, kan, masih kerja, Ma.”

Sonia tampak kehabisan akal. Ditatapnya gadis bungsunya itu sejenak.

“Kamu hati-hati di jalan.” Akhirnya ia menyerah. “Menginap saja. Jangan langsung pulang. Nanti kamu malah kemalaman di jalan.”

Pingkan pun mengangguk dengan wajah cerah. Sebuah ciuman hangat mendarat di pipi Sonia, diikuti ucapan terima kasih.

“Jangan ngebut!” seru Sonia, tepat sebelum Pingkan menghilang di balik pintu penghubung ruang tengah dengan garasi.

“Siaaap!” Pingkan balas berseru.

* * *

Maxi menatap kertas yang ada di depannya itu dengan sorot mata setengah menerawang. Hanya tinggal menorehkan tanda centang pada salah satu di antara empat pilihan, maka semuanya akan beres.

Halah .... Harus kasih alasan pula!

Maxi menggeleng samar.

Hari ini tadi, masa pelatihannya sudah berakhir. Semua trainee diberi selembar kertas sebelum pulang. Isinya adalah pilihan penempatan di pabrik yang mereka inginkan. Mereka diberi kesempatan sepanjang akhir minggu untuk memikirkannya. Pada hari Senin yang akan datang, kertas pilihan itu harus dikumpulkan. Dari awal memang sudah dijelaskan bahwa hasilnya nanti tidak mutlak akan sama dengan keinginan mereka, tapi setidaknya pilihan itu bisa jadi gambaran bagi manajemen untuk mengambil kebijakan.

Maxi mengembuskan napas keras-keras. Sebetulnya, ditempatkan di mana saja, ia merasa sanggup. Selama satu minggu ini, ia sudah melihat dan memahami bagaimana sistem kerja dan kondisi pabrik Royal Interinusa yang ada di Tangerang Selatan. Tak jauh berbeda dengan yang dijumpainya di Cikarang dan Karawang. Hanya skalanya memang lebih besar.

Masalahnya ....

Ia kembali menggeleng samar.

Detik ini, statusnya sudah resmi jadi kekasih Pingkan. Jadi kekasih salah seorang ahli waris Royal Interinusa. Entah ke depannya akan berjalan seperti apa, ia masih berusaha meraba-raba dan berharap akan memperoleh yang terbaik bersama Pingkan.

Apakah yang terbaik itu salah satunya adalah tetap bertahan di Royal Interinusa?

Sejujurnya, kalau menengok ke dalam hatinya sendiri, ia merasa akan betah berada di sana. Bidang yang akan dimasukinya sesuai betul dengan apa yang disukai dan dipelajarinya selama ini. Melihat mesin-mesin besar milik Royal Interinusa sudah membuatnya merasa seperti di rumah. Tapi statusnya sebagai kekasih Pingkan sudah membuatnya ragu.

Benarkah SAMA SEKALI tidak akan berpengaruh terhadap karierku kelak?

Maxi mengembuskan napas keras-keras dari mulutnya. Saat itu, ayahnya yang kebetulan melintasi pintu ke teras belakang berhenti sejenak untuk sekadar menengok.

“Nggak takut kesambet?”

Suara berat itu membuat Maxi tersentak kaget. Ia menoleh dan mendapati Prima tengah menatapnya sambil tersenyum.

“Melamun malam-malam begini, nggak takut kesambet?” ulang Prima, menghampiri anak laki-lakinya.

Maxi meringis.

“Ada apa?” Prima duduk di sebelah Maxi.

“Ini...,” Maxi menyodorkan kertas yang sedari tadi dipegangnya, “... pilihan penempatan, Pa.”

“Hmm ....” Prima menerima kertas yang tersodor ke arahnya itu. Dibacanya sejenak.

“Lha, kamu mau pilih yang mana?” gumam Prima.

“Itu dia, aku masih bingung,” Maxi mengusap wajahnya dengan tangan kanan.

“Kamu merasa paling nyaman di mana?”

“Jujur ..., di Cikarang.”

“Alasannya?”

“Lokasinya nggak sejauh Karawang, dan pabriknya nggak sebesar yang di Karawang, apalagi yang di Tangsel. Rasanya lebih nyaman untuk mulai di pabrik yang paling kecil.”

“Hmm ....” Prima manggut-manggut. “Ya, sudah, tinggal centang saja, sih. Mikir apa lagi?”

“Huuufff....” Maxi mengembuskan napas keras-keras dengan menggembungkan pipi. “Mikir untuk mundur dari sana.”

“Jangan sekaranglah,” tukas Prima, halus. “Nggak bagus buat konduite dan rekam jejakmu. Maksud Papa, kamu pikir lagi soal kariermu di Royal Interinusa, itu nanti kalau sudah dekat-dekat kontrakmu habis dan ada tanda-tanda kamu dipertahankan. Jangan sekali-sekali menyalahi kontrak.”

Bener juga! Bener banget!

Kesadaran Maxi seolah ditohok sedemikian rupa. Ia segera mengambil alih kertas itu dari tangan ayahnya dan bersiap untuk memberikan tanda centang. Semangatnya timbul kembali.

“Ngomong-ngomong,” ujar Prima. “Sebenarnya kalau kamu pilih di Tangsel, nggak perlu indekos. Kita ada rumah di sana. Di Serpong. Lagi dikontrak orang. Pas pertengahan tahun ini nanti kontraknya habis.”

Maxi menoleh cepat. Rumah di Serpong? Hal itu benar-benar baru untuknya.

“Kita punya rumah di Serpong?” tanya Maxi, dengan nada sedikit bodoh.

“Tabungan Papa, Max. Baru lima tahunan ini.”

“Wah....”

“Tapi kalau di Cikarang juga nggak apa-apa, sih. Kamu bisa numpang gratis di rumah indekos punya mamamu. Minta saja kamar yang paling gede.” Prima menyambungnya dengan tawa lebar.

“Mama punya rumah indekos?” Mata Maxi membulat.

“Ada tiga, Max.” Arlena tiba-tiba saja muncul dari ruang dalam. Sepertinya sedari tadi ia sudah menguping pembicaraan itu. “Satu di Cibitung, dua di Cikarang. Ya, itulah hasilnya dagang berlian selama ini, hehehe ....”

Maxi benar-benar ternganga kini.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)