Minggu, 20 Januari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #11-3









Sebelumnya


* * *


“Bagaimana kalau kamu ubah sudut pandang itu?”

Sepulangnya ia dari makan malam bersama Pingkan, Maxi ‘melaporkan’ prestasinya kepada ayahnya melalui telepon. Tak hanya itu. Ia juga berterus terang tentang keresahannya kepada sang ayah. Dan kini ia berusaha untuk mendengarkan baik-baik semua ucapan ayahnya dari seberang sana.

“Maksud Papa, cobalah untuk memandang dirimu sendiri sebagai subjek. Bukan objek yang terjebak dalam suatu – katakanlah istilah kerennya – konspirasi. Jadi kamu tidak lagi jadi penderita, melainkan sebagai pelaku yang memang benar-benar menyukai kariermu. Kamu benar-benar suka bekerja di sana, kan?”

“Iya, Pa.”

“Terlepas dari hubungan erat antara tempat kerja dengan keluarga kekasihmu, kamu yakin nggak, kalau kamu bisa diangkat jadi karyawan tetap itu benar-benar murni karena prestasimu?”

“Yakin, sih, Pa.”

“Nah, apa lagi? Max, dengarkan Papa. Kamu itu benar-benar beruntung mendapatkan tempat kerja yang sesuai betul dengan jurusan yang kamu ambil dan minatmu. Plus, tempat kerja yang benar-benar bersuasana kondusif. Plus lagi, kamu diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikanmu atas tanggungan perusahaan. Kurang apa lagi, coba? Oh, ya, masih ada plus satu lagi. Kamu punya kesempatan besar untuk menduduki posisi puncak. Papa sama sekali nggak bermaksud untuk mengajarimu memanfaatkan keadaan. Tapi mengarahkanmu untuk mensyukuri apa yang sudah tergenggam di tanganmu. Nggak banyak orang yang bisa memperoleh kesempatan emas seperti itu. Rawat kesempatan itu, Max. Ke depannya nggak akan makin mudah. Tapi Papa yakin kamu mampu mengatasi setiap hambatan. Kuncinya cuma dua. Bersyukur, dan mengubah sudut pandang. Itu saja.”

Hening sesaat. Maxi berusaha untuk mencerna setiap ucapan ayahnya yang menggema lembut di telinganya.

“Max, kamu masih hidup? Kok, nggak ada suaranya?”

Seketika Maxi tertawa kecil mendengar ucapan ayahnya. Di seberang sana, Prima juga tergelak ringan.

“Ya, deh, Pa. Dah malam ini. Papa harus istirahat juga, kan? Besok sore aku pulang. Sudah kangen masakan Bibik.”

“Besok Papa ke pabrik Cikarang, Max. Kamu pulangnya bareng Papa saja. Papa jemput, ya?”

“Boleh, deh!”

“Ya, sudah. Sana, bobok.”

“Salam buat Mama, Pa. Nitip jitak buat Mela.”

Prima tertawa sebelum menutup sambungan telepon itu. Maxi pun tersenyum tipis sembari memasang kabel charger di ponselnya. Ia kemudian mematikan televisi dan pindah ke ranjang. Dicarinya posisi nyaman sebelum mulai memejamkan mata.

Hujan merintik sejak ia pulang dari makan malam bersama Pingkan tadi. Mendengar irama tetes air hujan, ingatannya melayang pada Pingkan.

Hujan dan Keke ....

Dihelanya napas panjang dengan mata terpejam.

Sudah setahun ia menjalin hubungan manis dengan Pingkan, tapi hingga musim hujan datang lagi, Pingkan masih belum seutuhnya bisa kembali mencintai hujan. Masih ada awan kelabu yang menggantung di wajah gadis itu saat cuaca muram dan hujan turun.

Ia merasa bahwa sudah melakukan semuanya untuk kebahagiaan Pingkan. Tapi rupanya belum cukup.

Lalu harus bagaimana lagi?

Kembali dihelanya napas panjang. Kali ini dengan mata kembali terbuka.

Ia mencintai Pingkan. Sangat. Makin mengenal Pingkan, makin ia tak bisa mengalihkan hati dan dunianya dari gadis itu. Pingkan tidak sempurna, ia tahu. Pingkan gadis biasa yang terkadang bisa menjadi sosok yang sedikit menyebalkan. Tapi pesona Pingkan di matanya masih terlalu bersinar dan melibas habis semua kekurangan itu.

Pingkan sendiri tak pernah menjadikan masa lalu kelamnya sebagai senjata untuk memancing belas kasihan Maxi. Sama sekali tak pernah. Sebaliknya, bersama Maxi, ia perlahan-lahan menjadi sosok yang lebih mandiri. Nyaris kembali seperti dulu. Rasa percaya dirinya mulai tumbuh dan merimbun. Hingga ia bisa berdiri dan melangkah ke depan dengan lebih tegak.

“Walau belum seutuhnya sama persis seperti semula, kamu sudah mengembalikan Keke, Max. Terima kasih banyak.”

Begitu ayah Pingkan pernah berucap pada suatu waktu, saat ia menjemput Pingkan untuk membawanya pergi keluar menghabiskan malam Minggu. Barangkali ucapan itu benar. Barangkali juga tidak. Maxi tahu, seberapa besar usaha Pingkan untuk melepaskan diri dari kubangan pasir isap masa lalu. Kalau Pingkan sendiri sama sekali tak punya kemauan, seribu Maxi pun tak akan ada pengaruhnya, bukan?

Dihelanya napas panjang. Tanpa bisa ditahan lagi, Maxi menguap. Malam sudah semakin larut. Besok ia masih harus bekerja. Hari terakhirnya sebagai karyawan kontrak, karena mulai hari Senin depan, ia sudah resmi menjadi karyawan tetap Royal Interinusa.

Matanya pun mengatup. Tak lama kemudian, napasnya sudah mulai teratur. Tapi kali ini alam mimpi tak berhasil membungai lelapnya. Hingga ia terjaga dengan tubuh segar beberapa jam kemudian, saat pagi masih gelap.

* * *

Selanjutnya



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)