Rabu, 16 Januari 2019

[Cerbung] Portal Triangulum #12-3








Sebelumnya



* * *



“Jimbo!” Kana melepaskan pelukannya.

Ditatapnya laki-laki berwajah cerah yang baru saja dipeluknya erat. Masih ada sorot tak percaya melompat keluar dari sepasang mata bening Kana. Jim tertawa lebar melihatnya.

“Kamu langsung ke sini?” Kana tampak begitu takjub. “Tak membalas pesanku?”

“Lily menyuruhku cuti dan menemuimu secara langsung,” tukas Jim, halus.

“Ah, Lily ...,” gumam Kana penuh haru.

Tatapannya sempat menerawang. Sedetik kemudian ia menyadari sesuatu. Kembali ditatapnya Jim.

“Berarti dia juga baca pesanku?” Wajah Kana tampak tersipu.

“Tentu saja!” Untuk kesekian kalinya Jim tertawa lebar. “Dia menganggap pesan itu sangat penting untuk ditindaklanjuti. Jadi ...” Jim merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. “... di sinilah aku sekarang.”

Kana kembali memeluk Jim.

“Ngomong-ngomong, sampai kapan aku disuruh berdiri saja di sini?”

Kana segera melepaskan pelukannya. Menyadari bahwa mereka masih berdiri berhadapan di ambang pintu apartemennya. Ia segera menarik tangan Jim. Begitu sampai di dalam, Kana ingat bahwa ada Mandalika di apartemennya itu. Segera dipanggilnya gadis itu.

“Ah, Doktor Jim!” Mandalika datang menghampiri dan menyalami mantan atasannya di Observatorium Coatl dulu.

Setelah berbasa-basi sejenak, Mandalika menatap Kana.

“Kamu tukar shift saja dengan Taiga,” usul gadis itu. “Dia hari ini dinas sore. Masih cukup waktu untuk membangunkannya.”

Kana menatap Mandalika. Menimbang-nimbang. Tapi Mandalika segera menyergah.

“Serahkan saja padaku.” Mandalika menepuk dadanya.

Kekasih Taiga itu pun segera berpamitan sembari mengucapkan terima kasih atas ‘pinjaman’ sarapan dari Kana. Sepeninggal Mandalika, perhatian Kana kembali tercurah pada kehadiran Jim.

* * *

“Sebenarnya ... Moses dan aku menghadapi masalah yang sama.” Kana mengembuskan napas panjang.

Ia memutuskan untuk mengajak Jim ke pantai terdekat. Hanya beberapa menit mengendarai space car dari apartemen. Memulai obrolan sambil duduk mencangkung di atas hamparan pasir putih, berteduh di bawah jajaran pohon nyiur, menikmati segarnya kelapa muda, dan menatap debur ombak serta tarian camar.

Secara singkat, Kana pun menceritakan kembali kisah Moses dan Amarilya. Kisah cinta yang sedikit terantuk pada perpindahan antar planet, bahkan antar galaksi. Nyaris persis sama dengan masalah yang kini dihadapinya.

“Kamu sendiri, lebih cenderung pilih yang mana?” Jim menoleh sekilas.

“Kecenderungan, kan? Bukan keputusan final?” Kana menegaskan.

“Ya.”

“Mm .... Aku lebih berat di pekerjaanku, sebenarnya,” jawab Kana, setengah menggumam. “Tapi aku juga tak bisa melawan keinginanku untuk membentuk sebuah keluarga yang normal dengannya. Aku ingin merasakannya, Jim.” Kana tertunduk. “Kamu sendiri tahu, kan, kehidupanku sebelum ini?”

Jim mengangguk. Seutuhnya memahami keinginan Kana.

“Dia juga berasal dari keluarga antar planet, antar galaksi, yang pecah. Aku tahu dia juga ingin membina keluarga yang utuh. Lebih dari itu ..., ini masalah rasa, Jim. Ah, kamu tahulah. Kamu jauh lebih berpengalaman daripada aku.”

“Kalau menurutku, sebaiknya kalian bahas hal ini secara pribadi,” ucap Jim. Halus. “Kamu ungkapkan keinginanmu, kamu juga harus dengarkan keinginannya. Ambil jalan tengah atau yang terbaik menurut kalian. Harus ada yang berkorban tanpa harus merasa berkorban.”

“Maksudnya?” Kana mengerutkan kening. “Maksud kalimatmu yang terakhir?”

“Soal berkorban?”

Kana mengangguk.

“Begini, Na ....” Jim mengubah arah duduknya. Kini, ia tepat menghadap ke arah Kana. “Berkorban untuk memperoleh hal yang lebih baik, secara ikhlas, tidak menghitung-hitung pengorbanan itu, itulah yang tadi kusebut sebagai berkorban tanpa harus merasa berkorban. Untuk itu harus ada pengertian juga dari pihak satunya. Harus juga ada pemahaman soal pengorbanan itu. Jadi berjalannya nanti bisa enak. Tidak akan saling menyalahkan kalau ada masalah. Sebaliknya, bisa bersama memikirkan cara agar bisa keluar dari masalah itu.”

Kana terdiam. Berusaha mencerna baik-baik uraian Jim.

“Mengerti maksudku?” usik Jim.

“Ya, mulai memahami.” Kana mengangguk. “Jadi, komunikasi soal ini harus terbuka banget?”

“Ya.” Suara Jim terdengar tegas. “Kuncinya cuma itu.”

Kini, Kana paham sepenuhnya. Pun tindakan apa yang harus ia lakukan. Dihelanya napas panjang. Lega. Sangat lega.

“Kapan-kapan, ajaklah dia ke rumah.” Tiba-tiba saja Jim mengalihkan pembicaraan.

“Ha! Harus itu!” Suara Kana terdengar begitu antusias. “Kamu tahu, Jimbo? Keluarga yang kupunya hingga detik ini di semesta hanya Moses dan kamu, beserta Lily dan anak-anak di dalamnya. Aku ingin belahan jiwaku kelak bisa meleburkan diri di dalam ikatan itu. Jadi kita berada dalam suatu keluarga besar.”

Jim manggut-manggut. Sedetik kemudian, ia seolah teringat sesuatu yang sangat penting.

“Ngomong-ngomong, siapa laki-laki beruntung itu?” celetuk Jim.

“Ng ....” Kana menjawab malu-malu, dengan nada hampir lalu oleh desau angin yang menimbulkan gemersik daun nyiur di atas mereka, “Dia ... Gematri. Volans Gematri.”

Seketika Jim ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)