Minggu, 17 Mei 2015

[Cerpen Stripping] When Will You Marry Me? #4








* * *

“Rid, apa nggak sebaiknya sudut di sana itu ditambahi balon?”

Erid turun dari tangga portable sambil mengikuti arah telunjuk Nino. Ia berpikir sejenak sebelum mengangguk.

“Hm... Iya, Yah. Sebentar saya pompa dulu balon-balonnya.”

“Cukup nggak ya, kira-kira?”

“Cukup kayaknya. Kemarin saya beli 12 lusin. Kalau sisa bisa dipakai buat besok hari Minggu.”

“Ayah saja yang pompa, Rid. Kamu pasang dulu kertas krepnya.”

Kedua laki-laki itu kembali sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ruang tamu dan ruang tengah itu nampak mulai siap untuk dipakai berpesta. Apalagi setelah Erid melipat dan menyingkirkan partisi rotan ke gudang. Gabungan kedua ruangan itu terlihat lebih lega.

Setelah semuanya selesai, Nino dan Erid duduk berselonjor di atas karpet, melepas lelah. Nino menatap arlojinya.

“Sebentar lagi anak-anak pulang,” gumamnya.

“Untung kita sudah selesai,” senyum Erid, terlihat puas.

Benar saja, setengah jam kemudian Ilyan sekeluarga plus Hanny datang. Mereka baru saja selesai merayakan ulang tahun Florian di sekolah. Ilyan tampak kerepotan membawa sebuah dos besar penuh berisi kado dari teman-teman TK Florian.

Relasi antara Nino dan Hanny tak luput dari pengamatan Erid. Terlihat cukup akrab, tapi tetap menjaga jarak. Ada komunikasi, tapi tidak banyak. Hanya seperti dua orang yang saling mengenal. Bukan dua orang yang pernah hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan seutuhnya, ia makin memahami ketakutan-ketakutan yang pernah dimiliki oleh Gracia. Ketakutan yang hingga sekarang pun kadang-kadang masih ada.

Erid menghela napas panjang.

“Capek, Mas?” Vita tersenyum menatapnya.

“Hehehe...,” Erid terkekeh. “Umur nggak bisa bohong,” elaknya.

“Halah... ngomongin umur,” Vita tertawa.

“Selamat siaaang!”

Seisi ruangan mendadak menghening. Semuanya menatap ke satu arah. Pintu depan yang terbuka lebar. Dengan Gracia berdiri tepat di tengah-tengahnya.

“Tante!” seruan riang Florian memecahkan keheningan itu.

Gracia tertawa sambil memeluk Florian dan Oryza yang berebutan mendatanginya.

“Katanya Tante enggak datang?” ucap Florian polos. “Katanya ada rapat?”

“Rapatnya Tante batalin,” Gracia memencet hidung bangir Florian sambil mengangkat Oryza ke dalam gendongannya. “Kan Tante boss.”

Oryza tertawa kegelian karena Gracia bertubi-tubi menciumi pipi bulatnya. Erid menatapnya, menyimpan senyum dalam matanya. Ia kemudian mencium ringan kening Gracia ketika Gracia menghampirinya.

Hanny diam-diam menyisih ke belakang ketika melihat kedatangan Gracia. Ia tak ingin merusak kegembiraan Gracia, Florian, dan Oryza. Ia kemudian menyibukkan diri di dapur bersama Vita. Menyiapkan makan siang.

“Bu,” ucap Vita halus. “Ibu ke depan saja, biar di sini saya yang siapkan.”

Hanny menatap ke arah ruang tengah sejenak sebelum menggeleng dan kembali menyibukkan diri. Vita mengangguk diam-diam. Mengerti.

* * *

“Akhirnya kamu datang juga,” bisik Erid sambil membantu Gracia membawa piring kotor ke dapur.

“Aku nggak mau melewatkan ulang tahun Flo walaupun masih ada pesta lagi hari Minggu besok. Lagian...,” Gracia menatap Erid, “kalau Mas saja bisa meluangkan waktu sampai harus mengambil cuti, kenapa aku yang tantenya sendiri tidak?”

“Sudah mulai bisa berdamai dengan Ibu?” usik Erid.

“Aku datang buat Flo, bukan buat yang lain,” ucap Gracia tegas, membuat Erid seketika menutup mulutnya.

* * *

Terkadang Gracia menyesali keputusannya untuk menerima lamaran Erid. Mendadak saja ia diserang rasa gamang.

Kalau persiapannya saja sudah begini melelahkan, apalagi nanti kalau sudah menjalaninya?

Erid sudah mengusulkan untuk memakai jasa WO, tapi dengan tegas Gracia menolaknya. Ia hanya menginginkan upacara pernikahan yang sederhana dan kudus. Bukan pesta meriah yang berlebihan. Dan Berlian, sahabat baiknya, bersama Rilo, suaminya, dan juga Vita dan Ilyan adalah seksi repot terdepan yang sangat bisa diandalkan.

Bahkan Berlian dan Rilo memberinya kejutan dengan menyodorkan sebuah sketsa gaun pengantin sangat apik rancangan Ervina untuk dikenakan Gracia kemudian. Gracia hanya sanggup menatap sketsa itu dengan mulut ternganga. Ia masih ingat betul bagaimana dulu ia ngiler berat melihat Berlian mengenakan gaun rancangan Ervina walaupun sempat ada tragedi kecil di baliknya (Gaun Pengantin Berlian – Lizz).

Kemudian ada rangkaian acara lamaran oleh kakak Erid dan keluarganya, sekaligus acara pertunangan resmi. Lalu penentuan tanggal dan upacara pemberkatan pernikahan. Dan mencari jadwal khusus persiapan perkawinan yang tepat. Dan pemesanan  undangan. Dan catering. Dan gedung. Dan jadwal penyelidikan kanonik (wawancara dengan pastor sebelum disetujui dilakukan pemberkatan nikah). Dan jadwal facial di salon. Dan jadwal fitting baju. Dan lain-lain.

Semuanya membuat Gracia pusing. Yang membuatnya makin jengkel adalah Erid kelihatan tenang-tenang saja menghadapi semua itu.

“It’s unfair!” protesnya pada Erid.

“No pain, no gain,” ucap Erid, kalem. Membuat Gracia mati kutu.

Erid membawa Gracia ke dalam pelukannya.

“Semua kelelahan ini,” bisik Erid, “kelak akan jadi salah satu pengingat buat kita untuk tetap menghargai dan mempertahankan pernikahan kita, Grace... Juga semua waktu dan hambatan yang sudah berhasil kita lalui.”

Gracia tergugu. Mendadak saja ia merasa semuanya ini impas dengan pengorbanan Erid selama bertahun-tahun menunggunya mengatakan ‘ya’ untuk sebuah pernikahan.

* * *

Hanny duduk diam di samping Nino selama misa pemberkatan pernikahan itu dilangsungkan. Seandainya bukan Nino yang meminta, maka Gracia tak akan pernah membiarkan kursi di sebelah Nino itu terisi olehnya.

“Walaupun cuma simbol, kamu perlu ada di sana agar pernikahan Gracia sama dengan pernikahan Ilyan,” ucapan Nino beberapa minggu yang lalu itu terdengar datar di telinga Hanny.

Dan ia mengangguk dalam diamnya. Berusaha untuk mengerti. Ia dulu juga menghadiri misa pemberkatan pernikahan Ilyan dan Vita. Dengan hati setengah-setengah. Kini, ia menerima pembalasannya dengan penerimaan Gracia yang masih setengah-setengah terhadapnya.

Cukup adil...

Ia berusaha menghibur diri.

Gracia adalah pengantin perempuan paling cantik yang pernah dilihatnya. Semua yang ada dalam diri Gracia adalah sesuatu yang sempurna. Segala sesuatu yang sudah dipersiapkan nyaris terlalu matang.

Dan ketika semuanya itu usai, ia kembali menyisihkan diri. Kembali pada kehidupannya yang berawal lagi di rumah Ilyan. Menemani Vita menjalankan patchwork online shop-nya. Membantu Ilyan dan Vita mengasuh Florian dan Oryza. Memelihara cinta dan rindunya pada Nino.

* * *

Debar itu tak pernah berhenti meliar dalam dada Gracia. Kelihatannya saja ia tenang, padahal berbagai pikiran tak henti menggeliat dalam otaknya.

Benarkah keputusanku menikahinya?

Benarkah semuanya akan baik-baik saja?

Benarkah segala janji yang akan terucap tak akan diingkari Mas Erid?

Benarkah aku akan menepati semua janji pernikahan yang kuucapkan sendiri nanti?

Benarkah...? Benarkah...? Benarkah...?

Ketika tiba saatnya Erid mengucapkan janji suci itu dengan suara yang terdengar begitu mantap, Gracia tak lagi menemukan alasan untuk mundur. Pun ketika berikutnya tiba gilirannya untuk mengucap, dengan suara bergetar, dengan kalimat-kalimat hafalan yang diucapkan sepenuhnya dari hati, Gracia menemukan bahwa kontrak seumur hidupnya bersama Erid telah ditandatangani. Tak ada yang bisa mundur. Tak ada yang bisa diubah lagi. Selamanya.

Lalu keduanya bertatapan. Pada detik saat ia menatap begitu dalam, menelusuri tiap lorong dalam mata Erid, ditemukannya hanya kesungguhan, harapan, kebahagiaan dan cinta. Entah kenapa semuanya itu membuatnya tenang. Pun ketika ciuman Erid terasa hangat di keningnya, tiba-tiba saja semua ketakutannya punah. Dan ia merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.

Dan keyakinan itu menguat ketika Nino memeluknya dengan mata mengaca. Membisikkan perasaannya dengan suara bergetar.

“Tugas Ayah sudah selesai. Berbahagialah, Nak. Ia akan menjagamu dengan baik selamanya. Percaya sama Ayah.”

* * *

Sebenarnya Erid sudah menyiapkan rumah yang selama ini ditempatinya sendirian untuk kelak ditempati bersama pengantinnya. Tapi melihat keraguan Gracia, ia memutuskan untuk bersabar lagi.

Ia paham seutuhnya keberatan Gracia untuk meninggalkan ayahnya sendirian hanya bersama dengan Utik. Kesehatan Nino masih cukup prima di usianya yang baru saja genap 66 tahun seminggu lalu. Masih sangat bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi tetap saja Gracia tidak akan tenang bila tidak berada di dekat Nino. Dan semuanya itu dimaklumi Erid tanpa syarat.

“Sudahlah, Rid,” ujar Lyra, kakaknya. “Tidak apa-apa kalau kamu pindah ke rumah mertuamu. Percayalah, sewaktu-waktu akan tiba saatnya semua hasil jerih-payahmu ini akan kalian manfaatkan dengan baik.”

Dan Erid pun mengangguk dengan ringan. Toh ia harus tinggal di Pondok Mertua Indah bukan karena belum mampu menyediakan papan yang layak buat Gracia.

Gracia sendiri menyambut keputusan Erid itu dengan sangat gembira. Nino sendiri antara iya dan tidak ketika Gracia mengatakan padanya berita itu. Iya, karena sesungguhnya ia senang sekali rumah itu akan bertambah ramai dengan kehadiran Erid, menantu idamannya. Tidak, karena sesungguhnya ia merasa bahwa sudah seharusnya Gracia menikmati kehidupannya sendiri bersama Erid, tanpa terbebani olehnya.

“Aku tak pernah menganggap Ayah sebagai bebanku,” sanggah Gracia dengan mata mengaca. “Aku tak pernah menganggap merawat Ayah sebagai suatu kewajiban. Aku melakukannya karena aku ingin melakukannya. Bukan karena aku harus.”

Nino tak bisa berbuat dan mengatakan apa-apa lagi kecuali memeluk Gracia dengan kehangatannya yang tak pernah lekang.

* * *

Diam-diam Gracia merasa ada untung dan ruginya juga pacaran dengan Erid begitu lama. Untungnya, mereka jadi lebih saling mengenal luar-dalam. Apa adanya. Hingga nyaris tak pernah ada friksi yang berarti ketika mereka harus hidup bersama. Ruginya, kenapa aku begitu bodohnya tidak dari dulu-dulu mau menikah dengannya? Ia berpikir jahil.

Ketika semua itu diungkapkannya pada Erid, laki-laki itu terbahak keras. Dihujaninya Gracia dengan tatapan menggoda.

“Yang ada justru aku menyesal menikahimu begitu terlambat. Kalau aku tahu aku bisa membuatmu jadi menggelembung dengan begitu sexy-nya seperti ini, sudah kupaksa kamu menikahiku sejak bertahun-tahun yang lalu.”

Gracia menatap pantulan dirinya di cermin. Hm... Kembar... Dielusnya perutnya yang sudah terlihat begitu membuncit pada usia kehamilan 6 bulannya. Ditatapnya Erid.

“Gara-gara obat penyubur itu,” gerutunya, tapi dengan mata berbinar.

Erid kembali tertawa.

“Ke mana perginya tubuh indahkuuu?” Gracia melanjutkan gerutuannya.

Erid tak tahan lagi. Ia melompat dari atas ranjang dan memeluk Gracia dengan gemas.

“Kamu harus tahu...,” bisiknya sambil mengulum telinga Gracia. “Tubuhmu sekarang jauuuh lebih indah karena ada keindahan lain yang sedang terbentuk di dalamnya.”

Really?

“Hm...”

Tangan Erid meraba dinding. Menjangkau saklar lampu. Sekejap kemudian ruangan itu jadi temaram karena hanya ada sorot samar cahaya lampu dari luar.

* * *

Nino mengalihkan tatapannya dari layar televisi. Gracia tampak keluar dari kamar mandi. Untuk kesekian kalinya dari pagi.

“Kenapa, Grace?”

“Nggak tahu, Yah,” Grace melangkah mendekati Nino, kemudian duduk di sebelahnya. “Kayaknya aku salah makan. Diare.”

“Sini, Ayah pijitin kakimu.”

Gracia dan Nino sama-sama bergeser, saling menjauh. Beberapa saat kemudian Gracia sudah berbaring nyaman di atas sofa dengan kaki ada di pangkuan ayahnya. Nino mulai memijat kaki Gracia dengan lembut.

“Kamu sudah mantap resign, Grace?”

“Sudah... Mengurus bayi kembar butuh waktu dan tenaga lebih, Yah,” senyum Gracia.

“Hm... Ayah jadi ingat waktu kalian masih bayi,” suara Nino melirih. “Terpaksa mendayagunakan eyang putrimu untuk ikut mengurusi, karena bundamu tetap berkarir.”

Gracia menatap ayahnya. Tersenyum. “Dari awal aku memang sudah berniat resign kalau sekiranya punya bayi. Nggak kembar sekalipun. Aku ingin menikmati semuanya, Yah. Melihat setiap detik anakku tumbuh besar. Apalagi sekarang umurku sudah sekian ketika harus mulai punya bayi.”

“Apa saja pilihanmu, asal hatimu mantap,” Nino menepuk lembut kaki Gracia. “Kamu dan Erid juga menjalaninya dengan senang hati. Oh ya, Erid jadi pulang hari ini?”

“Jadi,” Gracia mengangguk. “Sejam lalu sudah mau naik ke pesawat.”

“Ayah lihat kemarin-kemarin sempat ragu-ragu mau berangkat.”

“Nggak tega ninggalin aku,” Gracia nyengir. “Perut sudah gede begini.”

“Kan suami siaga,” Nino tertawa.

“Masih kurang enam minggu ini...,” Gracia menarik kakinya dari pangkuan Nino.

Dielusnya perut sambil bangkit dan berjalan ke kamar mandi.

“Kok terus-terusan, Grace?” Nino menatap punggung Gracia dengan khawatir.

Gracia hanya mengangkat bahu sambil menutup pintu kamar mandi.

Sebetulnya ia sudah curiga ada yang tidak beres dengan rasa mulas yang sudah beberapa kali tadi menghampirinya. Ia memang sempat diare tapi sudah berhenti. Kali ini pun ia yakin tidak ada yang akan keluar lagi dari perutnya.

Jangan-jangan...

Gracia menggigit bibir.

Aduuuh... Jangan dulu... Belum cukup bulan...

Ingin ia menghubungi Erid, tapi ponsel Erid pasti sudah disetel ke mode pesawat sebelum terbang tadi.

Memberitahu Ayah?

Pasti ayahnya akan panik duluan kalau tahu masalahnya. Gracia kemudian memutuskan untuk diam saja. Begitu keluar dari kamar mandi ia melangkah ke kamar.

“Yah, aku rebahan dulu ya?”

“Bener kamu nggak apa-apa?” Nino masih mengirimkan sinyal kekhawatiran yang sama.

Gracia hanya mengacungkan jempolnya, kemudian menghilang ke dalam kamarnya.

* * *

Setelah melihat pintu kamar Gracia tertutup, Nino meraih ponselnya. Agak ragu-ragu ia memilih sebuah nama. Tapi rasa khawatir mengalahkan keraguannya. Sambil menempelkan ponsel itu ke telinga, Nino beranjak ke teras belakang.

“Halo... Ya, Mas?”

Terdengar sapaan dari seberang sana setelah beberapa kali nada tunggu. Nino menghela napas panjang sebelum menjawab.

“Siang, Han. Mm... Aku kok agak khawatir sama kondisi Grace ya? Dia sakit perut dari pagi. Ngakunya diare. Aku takutnya...”

“Erid masih seminar di Palembang?”

“Dalam perjalanan pulang. Sudah di pesawat.”

“Oh... Mm... Anak-anak dulu lahirnya juga jauh sebelum due date.”

Nino kembali menghela napas panjang mendengar gumaman Hanny.

“Makanya...,” desah Nino.

“Aku ingin ke situ. Ingin sekali. Tapi...”

“Ke sinilah, Han. Mungkin dia membutuhkanmu.”

“Tapi...”

“Seandainya dia tidak mau bertemu denganmu, setidaknya temani aku melewati rasa khawatir ini. Sampai Erid datang.”

“Hm... Baiklah.”

* * *

Gracia berbaring diam di dalam kamarnya. Rasa sakit itu datang dan pergi silih berganti. Dengan interval yang cukup teratur. Bahkan ketika ia ke kamar mandi yang terakhir tadi, ia mendapati adanya flek.

Ada rasa berdebar dalam hatinya.

Akan seperti apa rasanya nanti?

Buku dan artikel-artikel tentang kehamilan dan kelahiran yang sudah dibacanya rasanya tidak cukup untuk menuntaskan segala rasa berdebarnya menghadapi proses akhir ini. Apalagi saat ini. Masih enam minggu jauhnya dari tanggal kelahiran yang sudah diperkirakan.

Seandainya ada seseorang yang bisa ditanyai dan diajak membicarakan ini dari hati ke hati...

Gracia menggigit bibir dengan airmata mulai mengembang di pelupuk matanya.

Seseorang yang memiliki pengalaman sama. Mengandung sepasang bayi kembar dampit...

Sebutir airmata menggelinding keluar dari sudut matanya.

Bun, seandainya Bunda...

Ia terisak kini. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa nelangsa. Dan ia diam saja ketika pintu diketuk beberapa kali dari luar, dengan suara ayahnya lembut memanggilnya. Dan dalam diamnya itu ia terseret sejenak ke dalam lelap.

* * *

“Grace...”

Samar-samar ia mendengar suara itu menyapa telinganya. Ia kenal suara itu.

“Grace...”

Suara bundanya. Dan bila membuka mata bisa membuatnya kehilangan suara bundanya itu, ia tak ingin melakukannya. Tapi rasa sakit itu benar-benar mengganggunya. Tanpa sadar ia mengerang.

“Grace... Grace... Bangun, Nak. Grace...”

Tepukan-tepukan itu terasa lembut menerpa pipinya. Ketika rasa sakit itu makin menusuk, Grace pun mengerjapkan mata.

Pada awalnya bayangan itu terlihat setengah kabur. Tapi setelah mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya mulai terfokus.

Apakah aku masih bermimpi?

“Grace...,” Hanny menatapnya dengan khawatir.

Gracia hanya mampu menatap Hanny. Terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Pelan ia mengangkat badannya dari ranjang. Rasa mulas menyerangnya lagi. Tapi seiring gerakan itu, ada sesuatu yang merembes keluar. Terasa basah. Gracia menghentikan gerakannya. Tatapannya pada Hanny berubah jadi panik.

“Bun...,” bisiknya tanpa sadar. “Kok basah?”

Hanny mengelus bahu Gracia. Memaksanya berbaring lagi.

“Grace, dengar Bunda,” ucap Hanny, berusaha tenang. “Sepertinya kamu akan segera lahiran. Tenang ya... Yang basah itu kemungkinan air ketubanmu. Kamu berbaring dulu. Tenang ya? Tenang...”

Entah kenapa Gracia ingin menuruti ucapan Hanny tanpa syarat. Ia kembali berbaring. Diam. Berusaha mengatur napas untuk mengendalikan rasa mulas itu. Tapi ia gagal. Dan ia terpaksa meringkuk karenanya.

“Tunggu Erid ya?” Hanny membelai kepala Gracia. “Erid sudah di taksi. Lagi jalan ke sini.”

Gracia mengangguk. Entah kenapa ketenangan itu pelan-pelan memasuki hatinya.

* * *

“Harus SC, Rid,” Irawan menepuk bahu Erid. “Air ketuban sudah hampir kering dan detak jantung si kembar agak melemah.”

Erid hanya bisa mengangguk dengan wajah pasrah. Ketika beberapa menit kemudian ia bisa menemui Gracia, dan menyampaikan kondisi itu, wajah Gracia pun terlihat sama pasrahnya.

Atas ijin Irawan, Erid mendampingi Gracia hingga ke meja operasi. Mereka hanya bisa bertatapan dalam diam. Tapi ada kekuatan yang terus-menerus disalurkan tatapan mata Erid. Membuat Gracia merasa bisa menghadapi apapun.

Tepat pukul 14.35 proses kelahiran itu selesai. Sepasang Erid dan Gracia junior itu pun terlahir ke dunia berselang 5 menit. Begitu mungil dan rapuh. Dengan tangis yang terdengar begitu lirih. Gracia hanya bisa menangis dalam pelukan Erid ketika kedua bayi itu harus langsung masuk ke inkubator di NICU.

Hanny terduduk letih di kursi di luar ruang operasi. Kejadian 36 tahun yang lalu seolah terulang lagi. Ketika Ilyan dan Gracia terlahir lebih awal 7 minggu dari tanggal perkiraan lahirnya. Tapi keduanya adalah bayi-bayi yang kuat. Terbukti masih bisa tegak berdiri hingga kini walau dihantam berbagai badai.

Ia menoleh ketika Nino duduk di sisinya. Terlihat sama letihnya dengan dirinya sendiri. Nino menyandarkan punggungnya.

“Cucu-cucu kita akan bertahan,” bisik Hanny, seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Cucumu, anak Grace, akan bertahan. Harus bertahan...”

Dan tiba-tiba saja ia sudah terisak tanpa terkendali.

Jangan ada kehilangan lagi... Jangan...

Pelan Nino mengulurkan tangan. Menarik Hanny ke dalam pelukannya.

* * *

Kedua bayi itu terlelap berdampingan di atas box. Miracle, terbungkus selimut flanel berwarna biru, dan Joya, terbungkus selimut flanel berwarna pink. Tak bosan-bosan Gracia menatapnya.

Akhirnya keduanya pulang juga siang tadi. Dengan sehat. Dengan pipi bulat merona merah. Dengan motorik yang cukup aktif. Semua kelelahan berminggu-minggu saat harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menunggui dan menyusui kedua buah hatinya itu, terbayar sudah. Lunas.

Ketika ia mengalihkan tatapan ke ranjang, airmatanya hampir menitik. Wajah Erid yang tengah terlelap itu masih menyisakan letih dan kelihatan lebih tirus dari biasanya. Pelan ia mendekatinya. Menatapnya.

Akan jadi apa ia tanpa Erid, ia tak ingin tahu. Ia kuat karena Erid. Walaupun Erid dilanda keletihan yang sama, tapi Erid selalu menghibur dan menguatkannya.

Beberapa saat kemudian Gracia beringsut keluar dari kamarnya, menuju ke dapur, bermaksud mengambil minum. Yang ditemukannya kemudian adalah Nino yang tengah menghadapi tabletnya dengan tatapan kosong. Secangkir kopi ada di depannya. Sudah mendingin.

“Yah...,” Gracia menyentuh lembut bahu Nino, membuat laki-laki itu tersentak kaget.

“Belum tidur, Grace?”

Gracia menggeleng, kemudian duduk di sebelah ayahnya.

“Ayah mikir apa? Malam-malam begini melamun.”

Nino menggeleng. Dihelanya napas panjang.

“Ayah hanya seperti mengalami deja vu,” gumamnya kemudian. “Melihatmu dan Erid selama beberapa minggu terakhir ini, seolah Ayah kembali melihat Ayah dan bundamu bertahun-tahun lalu ketika kamu dan Ilyan mengalami hal yang serupa dengan Reikel dan Joya. Kamu dan Ilyan benar-benar pejuang yang tangguh, Grace. Dan anak-anakmu mewarisi darah pejuang itu.”

“Kami mendapatkannya dari Ayah,” ucap Gracia dengan suara serak.

“Dulu, aku selalu menaruh harapan tinggi untuk mengalami masa tua dengan damai dan tenang bersama bundamu. Bermain bersama cucu-cucu. Melihat mereka sesekali berlarian di dalam rumah ini. Tapi rupanya tidak semua harapan harus jadi nyata.”

Gracia menggenggam tangan Nino. Sejenak kehilangan kata.

“Sampai detik ini Bunda masih istri Ayah kan?” bisik Gracia beberapa saat kemudian. “Aku pernah begitu sakit hatinya pada Bunda. Karena sudah meninggalkan kita untuk sesuatu yang tidak jelas. Sesuatu yang seharusnya tidak ada kalau saja Bunda mau mengelak. Sampai suatu saat aku mendapati semua perasaanku sudah tawar. Dingin. Hampa. Tapi aku tak pernah bisa meretas sisa-sisa rindu itu, Yah. Rindu pada Bunda. Semarah apapun aku. Sesakit apapun rasa yang pernah menyiksaku.”

“Ayah tidak tahu masih bisa menerimanya kembali ataukah tidak,” desah Nino. “Seringkali Ayah menengok hati Ayah sendiri. Berusaha mencari sisa cinta Ayah buat bundamu. Tapi Ayah tidak mendapati apa-apa. Seperti yang kamu katakan. Tawar, dingin, hampa. Juga sudah tidak ada lagi sakit hati. Toh orang yang selama bertahun-tahun Ayah cemburui sudah mati. Ayah sudah lama memaafkan bundamu. Apalagi Ayah juga punya andil dalam perpisahan ini. Seandainya dulu Ayah berusaha lebih keras untuk mempertahankan bundamu, mungkin ceritanya akan lain.”

“Ayah...,” Gracia mencium kedua punggung tangan ayahnya. “Kalau memang Ayah mau hidup bersama lagi dengan Bunda, lakukan. Dulu Tuhan sudah mempersatukan Ayah dengan Bunda, atas keputusan Ayah dan Bunda sendiri. Semua rasa sakit karena perbuatan Bunda sudah tertebus. Ilyan sudah bahagia dengan hidupnya bersama Vita, Flo, dan Oryza. Aku sendiri sudah merasa sempurna bersama Mas Erid, Reikel, dan Joya. Dan kuharap Ayah bisa menyatukan semua kebahagiaan itu seutuhnya dalam hati Ayah.”

Nino tersenyum dengan mata mengaca. “Terkadang Ayah merasa membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita dan kebahagiaan tentang kalian pada seseorang. Seseorang yang bisa merasakan hal yang sama dengan yang Ayah rasakan. Bundamu selama ini memang relatif lebih diam. Kesalahannya di masa lalu memang fatal, tapi Ayah yakin bundamu sudah menyesalinya. Sudah terlalu tua pula untuk bermain api.”

“Apapun keputusan Ayah,” senyum Gracia. “Dan kalau memang Ayah sudah menemukan kembali teman hidup itu, aku bisa segera menempati sarang hangat yang sudah disediakan Mas Erid untukku, tanpa melupakan bahwa sarang lamaku ada di sini. Sama seperti yang Ilyan selama ini lakukan. Aku berjanji akan tetap ada anak-anak yang sewaktu-waktu berlarian dalam rumah ini. Flo, Oryza, dan kelak Reikel dan Joya akan bergabung.”

Nino mengembangkan senyumnya. Diraihnya kepala Gracia. Dikecupnya dengan hangat dan lembut.

* * *

Nino : Apakah salah bila aku belum menemukan lagi rasa cinta itu?

Hanny membaca sekali lagi pesan melalui aplikasi Whatsapp itu sebelum membalasnya.

Hanny : Sama sekali tidak. Karena kesalahanku bukanlah hal yang kecil. Bahkan bila masih ada rasa  sakit hati dan kemarahan itu, aku merasa wajib menerima dan menanggungnya.

Nino : Aku masih ingat pernah mengatakan bahwa kamu tetap istriku. Bahwa aku tak akan pernah menceraikanmu. Apakah hal itu masih berarti bagimu?

Hanny terdiam sejenak. Berusaha untuk merenungkan semuanya.

Hanny : Aku sudah pernah melanggar janji pernikahan itu. Dosaku besar di mata Tuhan. Aku tidak tahu apakah masih berhak atas suatu tempat yang mulia itu. Suatu tempat di sisimu. Walaupun aku masih punya banyak keinginan. Keinginan untuk menghabiskan masa tua bersamamu. Menemanimu. Merawatmu. Walaupun tak ada lagi rasa cintamu untukku. Tapi aku tak berani berharap. Aku takut melukaimu lagi. Melukai Ilyan. Melukai Grace.

Nino : Mengapa tidak mengusahakan agar tidak ada lagi yang terluka?

Hanny : Apakah aku masih pantas? Walaupun aku akan berusaha keras mengusahakannya.

Hanny hampir saja meletakkan ponselnya ketika hingga hampir 10 menit tak ada balasan dari Nino. Ketika ia hendak merebahkan diri di atas ranjang, ponselnya kembali berbunyi. Hanny menatap layar ponselnya tanpa berkedip.

Nino : Will you marry me once again, Hanny?

Seketika ponsel itu terlepas dari tangan Hanny. Sempat terpental sekali di atas ranjang sebelum tergolek diam di sebelah guling. Hanny hanya bisa menatap ponsel itu dengan kedua tangan menutupi mulutnya yang ternganga.

* * *

Tidak ada kegembiraan yang berlebihan menghadapi pembaharuan janji nikah Nino dan Hanny. Hanya saja Grace dan Ilyan berusaha untuk mempersiapkannya dengan baik. Keduanya sepakat untuk menutup lembaran-lembaran yang sempat tertoreh tinta kelam.

Memaafkan Hanny seutuhnya adalah hal yang bisa mereka lakukan. Kalau itu membuat sang ayah berbahagia, mengapa tidak?

Pelan-pelan Gracia melepaskan diri dari kehidupan baru Nino dan Hanny. Seiring dengan proses persiapan pembaharuan janji nikah itu, Gracia dan Erid mulai memindahkan kehidupan mereka ke rumah yang sudah disediakan Erid.

Sambil menata ulang kamar bayi untuk Reikel dan Joya, Gracia mengingat lagi setiap detik kebahagiaannya dan Erid menyambut kehadiran Reikel dan Joya. Semuanya terasa manis. Membuat hidupnya kian terasa sempurna.

Menyaksikan Nino dan Hanny saling menggenggam tangan ketika mengulangi lagi janji pernikahan yang pernah mereka ucapkan adalah hal yang membahagiakan Grace dan Ilyan. Serasa ada beban yang terangkat.

Ketika mereka berkumpul untuk makan siang sederhana seusai misa, atmosfer yang terasa menyelimuti adalah kedamaian sebuah keluarga besar yang bersatu dalam kebersamaan. Dan sesudah itu, perlu waktu bagi Nino untuk membiasakan diri dengan kehadiran lagi Hanny di sampingnya.

Jujur, Nino sempat merasa kehilangan Gracia. Tapi pelan-pelan semua itu digantikan oleh Hanny dengan sangat sempurna.


* * *

Pada suatu detik, ketika Nino melihat Florian dan Oryza berkejaran sambil tertawa-tawa dalam rumahnya, dan si kembar Reikel - Joya tampak gembira bergerak ke sana-kemari di dalam baby walker masing-masing, saat itu juga ia merasa bahwa seluruh harapannya lengkap terkabul. Bersama Hanny di sisinya, ia menikmati semua itu dengan mata mengaca. Mengucapkan semua syukur yang bisa ia ucapkan.

Pelan, lembut, hangat, digenggamnya jemari Hanny. Semua rasa sakit itu sudah tertebus. Lunas. Membuatnya mampu tersenyum kembali tanpa ada beban.

Diam-diam Gracia menatap tangan yang saling menggenggam itu dengan keharuan yang terasa menyakitkan tenggorokannya. Pada saat yang sama, mata Erid menangkap juga kejadian itu. Segera diraihnya Gracia ke dalam pelukannya. Dan dibisikkannya kalimat cinta.

“Aku selalu mencintaimu. Kemarin, kini, nanti...”

* * *


Epilog


Hari pertama.

Nino menatap untuk terakhir kalinya wajah Hanny, yang terlihat begitu damai dan cantik dalam tidur abadinya, sebelum peti jenazahnya ditutup. Tak sedetik pun salah satu dari keempat anak dan menantunya melepaskan diri dari sisinya. Menggenggam tangannya. Menanyakan apakah ia baik-baik saja. Atau hanya terdiam sambil merengkuh bahunya.

Ada kesedihan yang terasa membelit hati. Dan juga perasaan kosong. Tapi ia harus melepaskan Hanny. Untuk selamanya.

* * *

Hari kedua.

Nino terjaga di pagi hari dengan perasaan dingin menyelimuti hati dan tubuhnya. Ketika ia menengok ke sebelah kirinya, separuh pembaringan itu kosong.

Hanny-nya tak akan pernah kembali.

* * *

Hari ketiga.

“Kamu meninggalkan aku lagi, Han...,” desah Nino.

“Kelak kita akan bersatu lagi. Seperti sepuluh tahun yang lalu,” senyum Hanny.

“Benarkah?”

Hanny mengangguk. Masih dengan senyumnya.

* * *

Hari keempat.

Nino menghabiskan waktu seharian bersama Florian, Oryza, Reikel, dan Joya. Masih ada sisa kesedihan. Tapi mereka bergandengan tangan untuk meretasnya.

Dan ketika malam tiba, Nino mendadak merasa gamang. Ia kembali sendirian.

* * *

Hari kelima.

“Masih lamakah, Han?” Nino menatap penuh kerinduan.

Hanny menggeleng. Mengelus pipinya.

* * *

Hari keenam.

“Ini hari keenam kamu meninggalkanku,” Nino menaburkan kelopak-kelopak mawar di makam Hanny. “Mungkin aku terlambat mengucapkannya, tapi aku mencintaimu, Han...”

Ada hembusan hangat terasa di tengkuk Nino. Nino tersenyum. Ia tidak sendirian.

* * *

Hari ketujuh.

Peringatan tujuh hari meninggalnya Hanny baru saja usai dilaksanakan. Nino menyelinap masuk ke dalam kamarnya dengan letih. Pelan-pelan ia menghela napas dan memejamkan mata.

“Mas, when will you marry me? Once again?”

Nino mengerjapkan mata. Hanny mengulurkan tangan dan ia menyambutnya serta-merta.

Ketika ia mengerjapkan matanya kembali, sebuah gerbang keemasan tampak berada di depannya. Ia menoleh ke arah Hanny.

“Now?”

Hanny mengangguk.

Lalu keduanya melangkah dengan ringan ke arah gerbang itu. Tetap bergandengan tangan.

Selamanya...

* * * * *


S.E.L E.S.A.I

Gambar : www.dbagus.com

(Thanks to Sam Noid)




12 komentar:

  1. Balasan
    1. Kikikik... isuk-isuk wis mewek...
      Nuwus mampire, Mbak...

      Hapus
  2. Nama babynya yang diatas miracle, dibawah jd reikel..nama panggilannya gitu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh, Mbak... Miracle kan bacanya mi - re (e pake 'taling', bunyi yang paling mendekati = ei) - kel (e pake 'pepet')

      Hapus
  3. Oh gitu mbak....dadi ngiling-iling pelajaran bahasa jawa..qiqiqi

    BalasHapus
  4. Terharu mbak, ternyata cinta itu indah ya??? Udah segedhe gajah Gini, Diriku belum pernah ngerasain apa itu cinta.... Huuaaaa.......
    Dadi pengen jatuh cinta.... Suwun ceritane, TOPBGT pake super, tambah suwe tambah alus ceritane.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hadeeeh... sampe speechless aku... hehehe...
      Makasih mampirnya ya, LeeAnn...

      Hapus
  5. Mungkin ini yang di bilang Pdt. Julianto Simanjuntak dalam bukunya......mencintai hingga terluka. Nggak moco bukune sih tapi mencoba nerjemahin maknanya aja. Bahwa sebenarnya sedalam apapun luka menggores kalbu*jiahh*tidak Serra merta dengan mudah menghapus sebuah cinta*jiaahh lagi*

    Apik wis......pokoke top markotop.....sengojo komene ngenteni entek

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... Dibahaaasss...
      Nuwus mampire, Mbak Boss...

      Hapus