Sabtu, 30 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #12





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #11



* * *



Sayup-sayup Rafael mendengar nada dering ponselnya menggema. Tak diacuhkannya bunyi itu. Dan bunyi itu pun berhenti setelah beberapa saat. Tapi ketika dering itu terdengar lagi untuk seri kedua, Rafael terpaksa membuka mata. Dengan malas diraihnya ponsel yang tergeletak di sebelah bantalnya.

Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, dia mengucap malas, “Halo...”

“Halo... Mas...,” suara Adita mengalun dari seberang sana.

Mata Rafael langsung terbuka lebar. Diliriknya jam dinding. Menjelang pukul sebelas. Masih pagi, gumamnya dalam hati.

“Ya, Dit?”

“Mas, kenapa kirim mobil segala?”

“Hah?” Rafael serentak mengangkat tubuhnya dari kasur. “Maksudmu?”

“Aku ditelepon anak-anak di warung. Katanya Mas Rafa nitip mobil buatku. Ditaruh di sana. Kuncinya ada sama anak-anak.”

Rafael ternganga. Rasanya sebagian isi otaknya masih tercerai-berai di alam mimpi, hingga dia perlu waktu beberapa detik untuk memahami kalimat Adita.

“Sebentar... Aku kirim mobil untukmu?” Rafael menegaskan.

“Yup!”

“Kutaruh di warung dan kuncinya kutitipkan pada anak-anak?”

“Iya...”

“Dan aku dari tadi pagi tidur di sini, di rumah, di kamarku,” lanjut Rafael, setengah bergumam.

Ingatannya langsung berputar kembali pada percakapan sekilasnya dengan mamanya dan Steve di meja makan tadi. Rafael langsung menghembuskan napas panjang.

“Mas...,” suara Adita terdengar lagi. “Aku nggak bisa menerima lebih lagi dari Mas. Semuanya udah lebih dari cukup buatku.”

Rafael menghela napas panjang lagi. “Iya, aku mengerti, Dit. Yang kirim mobil juga bukan aku.”

“Maksudnya?”

“Siapa coba yang bisa berkeliaran ke mana-mana sementara aku tidur di rumah? Yang wajahnya mirip aku?”

Beberapa detik kemudian terdengar suara Adita bagaikan tercekik, “Mas Steve? Oh, my God...

“Kurasa Mama ikut andil juga, Dit. Ya udah, kamu pakai dulu mobil itu besok-besok, selebihnya aku yang urus. Kamu bisa nyetir kan?”

“Tapi, Mas...”

“Pakai dulu, nggak apa-apa,” tegas Rafael. “Nanti aku jemput kamu jam 1 ya?”

“Tapi...”

“Udah, nggak apa-apa...”

Dan setelah percakapan itu berakhir, Rafael segera keluar dari kamarnya. Sepi. Hanya ada Tunik dan Watini di dapur.

“Mama mana, Yu?” tanya Rafael.

“Pergi sama Mas Steve, Mas,” jawab Watini. “Dari tadi pagi, abis sarapan.”

Jelas sudah!

Rafael menuangkan air dingin yang diambilnya dari kulkas. Sambil meneguknya Rafael berjalan ke teras belakang. Kucing-kucing mamanya tampak berkumpul rukun di pojok teras. Dan Rafael mengenali salah satunya.

“Gilbert...,” panggilnya.

Seekor kucing Persia berbulu warna abu-abu muda mendekat ke arahnya. Rafael mengelus kepala kucing itu. Dan kucing itu bergelut manja di kaki Rafael.

Anna...

Seketika pikiran Rafael melayang pada sosok pemilik nama itu. Ada yang terasa sedikit sakit di dalam hatinya. Dia bukannya tak paham arti tatapan Anna. Ketika sekilas tertangkap basah sedang memandanginya di kejauhan. Ketika dia ada di dekat Adita. Ketika dia sengaja bersikap semesra mungkin pada Adita. Rafael menghela napas panjang.

Maafkan aku, Anna, sesalnya dalam hati. Ada yang lebih penting daripada menjalin hubungan indah denganmu. Suatu saat mungkin kamu akan tahu...

“Raf...”

Rafael tersentak. Mamanya sudah berdiri di depannya dengan mengulas senyum lebar.

“Udah nggak ngantuk lagi?” sambung Lea.

Dengan serius Rafael menatap mamanya. Dan perempuan itu seketika memahaminya.

“Kenapa Mama lakukan itu?” ucap Rafael, tanpa senyum.

“Hm... Ya...,” Lea mencoba menjawabnya dengan hati-hati. “Soal mobil?”

“Ya,” jawab Rafael pendek.

“Maafin Mama, Raf... Mama cuma berpikir kasihan banget Dita kalau harus pulang sendirian malam-malam tanpa mobil. Mama...”

“Dan Mama nggak sedikit pun minta pendapatku?” sergah Rafael tajam. “Ma, aku hargai betul apa yang udah Mama lakukan buat Dita, tapi bukan begini caranya. Ini yang membuatku mengulur waktu untuk sekedar mengenalkan Dita pada Mama.”

Steve muncul dengan membawa sepiring melon.

“Tapi rupanya ada yang lancang mengurusi urusanku dengan Dita,” Rafael melirik Steve sekilas. “Sekarang terserah kalianlah mau berbuat apa. Aku capek.”

Rafael langsung meninggalkan teras itu. Steve menatapnya setengah bengong. Sedetik kemudian ditatapnya mamanya, bertanya. Lea menggeleng pelan.

“Kita salah lagi,” bisik Lea.

 Steve menepuk keningnya.

* * *

Adita bukannya tak menyadari sikap Rafael siang ini. Laki-laki pendiam itu terasa makin pendiam sejak dia datang. Adita tak tahu cara untuk menghadapinya. Maka dia pun memilih untuk menahan diri membuka mulut. Tentunya sambil berpikir harus bicara apa. Sampai akhirnya dia tak tahan lagi.

“Mas... Marah padaku ya?” celetuknya pelan.

Rafel sekilas menoleh. Lalu tatapannya kembali terarah pada jalan ramai di depannya.

“Enggak...,” jawab Rafael halus. “Aku cuma nggak enak aja sama kamu.”

“Nggak apa-apa,” senyum Adita. “Aku tahu maksud mamamu baik. Beliau pasti hampir yakin aku nggak mau terima mobil itu, makanya langsung dikirim ke warung.”

“Iya sih... Aku tadi sempat marah juga. Sama Mama, sama Steve.”

“Aduh, Mas...,” sesal Adita.

“Nggak apa-apa,” senyum Rafael, menenangkan. “Nanti biar kubayar mobil itu. Jadi udahlah, anggap aja itu mobil dariku.”

“Mas,” suara Adita berubah tegas. “Aku nggak bisa menerimanya. Ini di luar perjanjian. Aku nggak rugi apa-apa, tapi Mas Rafael bisa habis-habisan walaupun mobil itu statusnya cuma pinjaman buatku.”

Rafael pelan menepikan mobilnya. Setelah menarik rem tangan, ditatapnya Adita baik-baik.

“Dit, jangan pernah merasa seperti itu,” ucap Rafael lembut. “Kamu sendiri tahu kamu nggak memintanya. Aku tahu kamu bukan perempuan matre. Mama pun tahu, setidaknya bisa merasakan itu. Ada dua sisi mata uang dalam hubungan kita. Profesional dan teman. Setidaknya pakai saja mobil itu dalam kerangka kita berteman.”

Adita balas menatap Rafael. Dia tak tahu harus menanggapi dengan berkata apa. Dia cuma bisa menatap dengan begitu banyak arti dalam diamnya. Rafael tersenyum. Ditepuknya lembut punggung tangan Adita.

“Kasus ditutup,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. “Dan bayaran yang kuberikan padamu mencakup senyum manis yang sewaktu-waktu kuminta darimu. Jadi... tersenyumlah, Dit.”

Mau tak mau senyum Adita terbit begitu Rafael mengulaskan senyum di wajah tampannya. Lalu berubah menjadi gelak tertahan. Membuat Rafael melebarkan senyumnya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #13


Pengumunan!

Cerbung yang saat ini tayang adalah versi yang sudah direvisi. Ada penambahan cerita yang dimulai pada episode #13 yang akan tayang hari Senin yang akan datang. Untuk itu jadwal penayangan RRU akan kembali berubah seperti biasa, yaitu setiap Senin dan Kamis.


Terima kasih atas perhatian pembaca...

6 komentar:

  1. duduk manis aja deh nunggu lanjutan,.... hehehehehe....

    BalasHapus
  2. Yang penting rutin tayang, menemani sarapan pagi roti pao plus madu, nice post, salam dari Atambua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam juga dari pinggiran planet Bekasi, Paj Subur... Sarapannya yummy banget! Makasih atensinya...

      Hapus
  3. tetap semangat menunggu lanjutannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf bales komennya telat banget, Bu... Makasih singgahnya ya...

      Hapus