Kamis, 28 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #11





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #10


* * *


Adita terpana.

Mama? Rafael menyebut perempuan setengah baya yang sangat cantik itu Mama?

Sedetik kemudian Anna merasa tangan Rafael yang menggenggam tangannya mengetat sedikit demi sedikit. Terasa dingin tiba-tiba. Adita balas meremas tangan itu. Entah kenapa, dia merasa perlu mengalirkan sedikit kekuatan pada Rafael.

“Kok bengong?”

Senyum perempuan cantik itu mengembang begitu lebar. Terlihat hangat dan tulus.

“Kok Mama bisa ada di sini?” suara Rafael terdengar seperti orang tercekik.

“Iya, Mama nggak diundang ya?” wajah perempuan itu berubah jadi sedih, tapi ada tawa di matanya.

“Bukan begitu...,” Rafael menggantung kalimatnya.

Sedetik kemudian dia menyadari genggaman tangannya. Ditatapnya Adita sekilas, sebelum dia kembali menatap mamanya.

“Ma, kenalkan ini Adita, pemilik warung ini,” Rafael melepaskan genggaman tangannya, dan mengalihkannya pada sekeliling bahu Adita.

Mendapat rengkuhan itu, Adita tersipu seketika. Dengan malu-malu dia menyodorkan tangan. Lea menyambut uluran tangan itu dengan hangat.

“Senang bertemu denganmu, Adita,” ucap Lea halus.

Adita mengangguk. “Terima kasih Tante mau hadir di sini. Maaf, saya nggak kepikiran mengundang Tante.”

“Nggak apa-apa... Itu tadi Steve paksa Tante ikut. Kebetulan Tante sudah kenal Anna. Jadi Tante pikir, nggak ada salahnya juga Tante sekalian mengenalmu.”

“Duduk, Ma...,” Rafael menggandeng tangan mamanya, menjauhi Adita. Dan ketika jaraknya sudah cukup jauh, Rafael berbisik jengkel, “Ngapain juga Mama ikutan ke sini?”

“Lho, tadi udah Mama bilang, diajak Steve,” tukas Lea, berbisik pula.

“Aduh, Ma... Adita itu udah stress mikirin grand opening ini. Masih juga ditambah harus mendadak ketemu Mama. Gimana sih?”

Lea tercenung sejenak. Benar juga ucapan Rafael! Seketika dia ingat betapa gugupnya dia dulu saat harus bertemu untuk pertama kalinya dengan orangtua Piet. Cukup stress. Dan ketenangan Piet tak membantunya sedikit pun. Untung saja penerimaan calon mertuanya itu begitu baik. Sehingga ketegangannya menguap sedikit demi sedikit.

Perlahan Lea duduk di kursi yang ditunjuk Rafael. Tak didengarnya Rafael mengatakan sesuatu sebelum meninggalkannya di tengah Steve, Anna, Jemmy, dan kekasih Jemmy.

Dari tempatnya duduk, dia masih bisa melihat Rafael mendatangi Adita yang berdiri di sudut. Melihat anak kesayangannya itu mengatakan sesuatu pada Adita. Gadis itu menyambungnya dengan senyum dan gelengan kepala. Tangannya terlihat menepuk-nepuk punggung tangan Rafael yang baru saja diraihnya. Rafael mengangguk-angguk, menatap gadis itu dan tersenyum.

“Pilihannya nggak salah...,” gumam Lea tanpa sadar.

Gadis itu terlihat begitu tenang. Tepatnya, dia dan Rafael tampak saling menenangkan. Adakah yang lebih indah daripada melihat itu? Lea tersenyum.

“Ma...”

Lea tersentak. Dicarinya asal suara itu. Steve tampak menatapnya dengan alis terangkat.

“Mau pesan apa?”

“Oh...” Lea segera menyadari dia ada di mana, kemudian menyibukkan  diri dengan memilih ini-itu.

* * *

Satu persatu anak buah Adita pamitan. Adita berkali-kali mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Velma sudah pulang sejak tadi, diantar teman-temannya. Setelah pamitan terakhir, Adita menatap berkeliling. Menyapa seisi ‘warung’ itu dengan matanya.

Semuanya terasa bagai mimpi. Dua bulanan yang lalu dia masih terpekur sedih di dalam kamar karena kehilangan pekerjaan. Dan sekarang? Dia bisa menjadi boss bagi beberapa anak buah. Yang tak dianggapnya anak buah, tapi partner kerja yang saling menguntungkan. Dan semua itu karena kegilaannya menulis iklan penawaran diri menjadi pacar sewaan. Lebih gila lagi, ternyata ada juga laki-laki bernama Rafael yang membutuhkan jasanya.

“Capek?”

Suara itu memburaikan lamunan Adita. Dia menoleh. Rafael mengunci pintu belakang, kemudian berbalik ke arahnya.

“Ayo, pulang...”

Adita melirik jam dinding. Sudah hampir pukul 1 dini hari. Dia menurut ketika Rafael menarik tangannya dengan lembut.

Perlahan hawa dingin dari AC mobil menyergap. Seolah membekukan waktu. Rafael tak mau ngebut walaupun jalanan sudah mulai sepi.

“Besok aku masih bisa bantu,” suara halus Rafael memecahkan keheningan. “Tapi Minggu siang aku harus kembali ke Bogor. Kamu nggak apa-apa kutinggal?”

Sebuah rasa menyeruak masuk ke relung hati Adita. Entah rasa apa. Rasa yang dia tak pernah tahu sebelumnya. Tapi sungguh, suara halus Rafael mengguncang jiwanya. Membuatnya perlahan meneteskan airmata. Seketika Rafael menepikan mobilnya.

“Dit, kenapa nangis?”

Dan kalimat tanya selembut itu membuat Adita makin terisak. Rafael tak bisa berbuat lain kecuali menarik Adita ke dalam rengkuhannya. Memeluknya tanpa berkata apa-apa. Dengan sabar menunggu Adita siap berkata-kata.

“Selama ini aku selalu merasa sendirian,” ucap Adita kemudian, terbata-bata. “Tapi entah kenapa sekarang enggak lagi. Makasih atas semuanya, Mas. Aku hanya khawatir kita nggak profesional lagi.”

“Dit, lupakan semua profesional nggak profesional itu,” bisik Rafael. “Aku yakin kita ada dan bersama untuk saling membantu, apa pun bentuknya. Kalaupun kita masih terikat masalah profesional, setidaknya kita udah jadi teman. Aku juga harus berterima kasih atas semua yang udah kamu lakukan untukku.”

“Tidakkah merasa berdosa, Mas? Pada mamamu? Kita membohonginya.”

Rafael tercenung. Dosa? Sejak kapan dia luput seratus persen dari dosa? Perlahan dia menggeleng.

“Dosa... Ada yang lebih penting daripada dosaku sekarang ini, Dit. Steve. Setidaknya aku bisa memberikan sesuatu yang sangat diinginkan Steve.”

“Dengan mengorbankan kehidupanmu sendiri?” tukas Adita lirih. “Kamu laki-laki baik, Mas, kamu berhak dapat yang terbaik.”

“Yang terbaik bagiku sekarang adalah mengenalmu, Dit. Soal bohong ini dosa atau enggak, itu perkara nanti. Kalau kamu ingin profesional, jangan pikir perasaan.”

Ya, Adita membenarkan dalam hati. Harus mengesampingkan perasaan kalau mau profesional. Dan hubungan ini adalah profesional. Setidaknya itu yang diinginkan Rafael.

Harus profesional.

* * *

Rafael menguap sambil membuka piring makannya. Lea menyendokkan nasi ke piring Rafael. Laki-laki itu mengucapkan terima kasih ringan sambil menguap sekali lagi.

“Kalau masih ngantuk, tidurlah lagi setelah ini,” tegur Lea. “Memangnya semalam jam berapa kamu pulang?”

“Jam dua,” jawab Rafael.

Lea memindahkan setumpuk lauk ke piring Rafael. Steve muncul dengan wajah secerah matahari. Diberinya Lea sebuah ciuman ringan.

“Kalau kamu kembali ke Bogor, Adita bagaimana kalau tiap hari harus pulang jam segitu?” tanya Lea.

“Nanti-nanti enggaklah, Ma,” jawab Rafael. “Kan nanti bisa diatur, biar lebih banyak diurus anak buahnya.”

“Atau kamu cuti aja dulu, bilang sama Hartono, banyak urusan di sini,” ucap Lea lagi.

“Aduh, Ma... Kayak apa aja. Adita nggak apa-apa. Dia mandiri kok. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Dia ada mobil?” Steve nimbrung.

“Maksudmu?” Rafael menoleh sekilas.

“Rawan, Raf, perempuan pulang malam-malam sendirian,” jawab Steve. “Kalau ada mobil kan dia lebih aman, daripada pakai motor atau taksi.”

Rafael menguap lagi. Terlihat acuh tak acuh, walau dalam hati membenarkan ucapan Steve.

“Pinjemin aja mobil Mama,” celetuk Lea.

“Nggak usah,” sergah Rafael seketika. “Nanti coba aku cariin mobil buat dia. Ini masih urusanku sama dia, Ma. Udah, ah! Aku mau tidur lagi.”

Dan ketika Rafael melangkah pergi, Lea dan Steve bertukar tatapan. Penuh arti.

“Buruan selesaikan sarapanmu,” bisik Lea. “Nanti incaran kita keburu ditawar orang.”

Steve mengangguk mengerti.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #12

8 komentar:

  1. Ini dulu pernah kubaca, tapi kok ya tetap terasa gimanaaaaaaaaa gitu.... mbak. Thanks for the story....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di episode-episode berikutnya banyak pemaparan baru lho, Mbak... Selamat menikmati! Makasih mampirnya...

      Hapus
  2. Balasan
    1. Maaf baru sempat balas komennya, Pak Subur... Makasih banyak atas atensinya...

      Hapus
  3. Tanteeeeee, ikannya udah aku kasih makaaaaaaaannn *komen nggak nyambung* :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Makasiiih... Makasih juga kunjungannya...

      Hapus
  4. Waw, seperti apakah perkembangan hubungan Adita dan Rafael? Apakah Anna nggak cemburu lihat kedekatan Rafael dan Adita? Penasaran deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Silakan ikuti terus, Bu... Makasih atensinya ya...

      Hapus