Senin, 25 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #10





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #9



* * *



Jemmy menatap Anna dengan kening berkerut. Wajah Anna sama sekali tak sedap dipandang. Terlihat kuyu, pucat, dan lelah.

“Kamu sakit?” tanya Jemmy sambil menyeruput tehnya.

Anna menggeleng. “Kemarin kebanyakan ngopi. Semalem nggak bisa tidur.”

“Bukannya karena mikirin cowok barumu itu?” ada nada jahil dalam suara Jemmy.

Bibir Anna mengerucut. “Enak aja cowokku...,” gerutunya.

“Lha, sejak kapan ada laki-laki berhasil mengajakmu pergi sampai hampir jam 11 malam?”

Anna menjatuhkan badannya di kursi. Ditariknya com berisi nasi goreng. “Yang masak kamu apa Simbok?”

“Aku.”

Anna memindahkan sebagian nasi goreng itu dengan agak bersemangat. Jemmy selalu memasak nasi goreng jauh lebih enak daripada Simbok.

“Kamu belum jawab pertanyaanku,” usik Jemmy.

Anna mendesah sambil menjauhkan com itu dari piringnya. Ditatapnya Jemmy.

“Dia bukan cowokku. Jelas?” ucap Anna penuh tekanan pada tiap katanya.

Jemmy meringis. “Bukan sama belum itu beda tipis...”

“Terserahlah!”

Jemmy tersenyum penuh kemenangan. Dia kemudian meninggalkan Anna sarapan sendirian.

Anna sarapan sambil melamun. Semalam dia memang sudah tidur. Di benaknya cuma ada bayangan Rafael dan Adita, Rafael dan Adita, Rafael dan Adita. Bahkan saat diajak makan malam oleh Steve pun pikirannya masih saja berkisar pada Rafael dan Adita. Entah Steve sadar atau tidak. Dia cuma bilang ‘capek’ ketika Steve bertanya ada apa dengannya.

Seharusnya bukan masalah dia makan malam dengan siapa. Steve teman bicara yang cukup menyenangkan. Buktinya beberapa kali dia memang harus terseret oleh tawa Steve. Sejenak melupakan Rafael dan Adita. Tapi setiap kali dia menemukan Steve tengah menatapnya, seketika benaknya kembali dipenuhi oleh bayangan sosok Rafael. Anna berkali-kali mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa menerima Steve sebagai Steve di depannya kalau wajah dan sosoknya saja sama persis dengan Rafael?

Ini masalah rasa. Cuma masalah rasa. Dan bagaimana mengenyahkan rasa itu, Anna sama sekali tidak tahu. Jangankan mengenyahkan, menguranginya sedikit saja Anna rasanya tak sanggup.

Anna menghela napas panjang. Seumur hidup dia belum pernah merasa terkepung dalam situasi yang seperti ini. Seperti apa sebetulnya rasa yang dia miliki? Pada Rafael? Pada Steve? Anna menggelengkan kepalanya. Tak ada jawabannya. Tapi sejenak kemudian dia terpaksa meralatnya.

Bukan tak ada, dia hanya belum menemukannya.

* * *

Sekuat tenaga Steve berusaha untuk konsentrasi pada pekerjaannya. Tapi makin keras berusaha, makin lekat pula pertanyaan itu melenggang menari di kepalanya. Seperti apa sebetulnya hubungan Rafael dengan Adita?

Kemarin sekilas dia melihat sebuah hubungan yang sempurna. Tatapan Rafael pada Adita. Bahasa tubuhnya. Semua sempurna. Terlalu sempurna, Steve menelan ludah.

Lalu apa hubungannya dengan dirinya? Steve terpaksa menggelengkan kepala.Adita bukan siapa-siapa. Jangankan pernah mengenalnya, mendengar namanya pun belum pernah sebelumnya.

Dan entah impuls apa yang mendorongnya, pada jam makan siang itu dia sudah melajukan mobilnya begitu saja di jalanan. Menuju ke tempat usaha Adita. Rafael pasti ada di sana. Tanpa menduga dia akan datang. Apakah bahasa tubuhnya masih akan sesempurna itu?

Debar-debar aneh memenuhi rongga dada Steve. Rasanya seperti mengendap-endap hendak menangkap basah maling jemuran. Steve menghela napas panjang.

Ini sudah berlebihan, Steve..., bisik secuil hatinya. Enggak, nggak berlebihan, pasti ada sesuatu, bisik secuil hatinya yang lain.

Sebelum hatinya sendiri saling menyerang dan bergumul, Steve sudah menghentikan mobilnya di depan tempat usaha Adita. Tepat di sebelah mobil Rafael.

Tak banyak kesibukan di dalam. Diam-diam Steve melongok. Semua orang sedang sibuk menikmati nasi kotaknya. Termasuk Rafael dan Adita yang duduk di sudut. Ketika Steve memutuskan untuk melangkah masuk, apa yang dilihatnya kemudian langsung menyurutkan langkahnya.

Tangan Rafael terulur. Mengusap sesuatu di sudut bibir Adita. Perempuan itu menutup mulutnya dengan wajah tersipu. Kemudian keduanya tertawa.

Cukup sudah!

Steve segera kembali ke mobilnya dan pergi dari situ. Sepanjang jalan dia merutuki sisi hatinnya yang menaruh curiga pada hubungan Rafael dan Adita. Sisi hati yang salah. Salah besar! Hampir saja dia blunder karena mengikuti kata hatinya yang menyesatkan itu.

Yang dia tidak tahu, Rafael sudah mengetahui kedatangannya. Dan langkah kakinya yang sudah di ambang pintu. Bertepatan dengan dilihatnya ada remah kremes ayam di sudut bibir Adita. Dan dengan lancang dia mencoba untuk membersihkannya. Kemudian Adita tersipu. Kemudian mereka tertawa.

* * *

Adita menatap dengan puas keriuhan di dalam warungnya. Hampir semua yang diundangnya datang. Teman-temannya, teman-teman Velma, beberapa teman sekolah Rafael. Diterimanya banyak pujian dengan dengan senyum mengembang. Topping ketannya mantap. Makaroni schotelnya top. Coffee float-nya sip. Suasananya oke.

“Halo!”

Adita menoleh. Seorang laki-laki tinggi besar mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Adita menyambutnya dengan ramah.

“Halo juga!” balas Adita dengan senyumnya. “Makasih ya, udah datang.”

“Makasih juga kami diundang. Saya Jemmy, abang Anna. Klinik saya di depan itu. Ini Pradnya, kekasih saya.”

“Oh... Abangnya Mbak Anna?” Adita menatap dengan penuh binar. “Mari saya carikan tempat duduk.”

“Ah, gampang itu... Nanti aja sekalian, nunggu Anna.”

Rafael menghampiri mereka. Seketika Jemmy mengerutkan kening. Sebelum Rafael menyapa, Jemmy sudah menyeletuk, “Lho, kamu kok udah ada di sini? Mana Anna? Tadi dia nunggu kamu.”

Rafael terdiam beberapa detik. Ditatapnya Jemmy. “Saya Rafael, Mas, yang janjian sama Anna itu Steve. Dia saudara kembar saya.”

Jemmy ternganga sejenak. “Oh... Kalian kembar?”

Rafael tersenyum sambil mengangguk. Jemmy tertawa setengah tersipu. Adita tak tega melihat ekspresi wajah Jemmy. Dia kemudian menggiring Jemmy dan Pradnya ke sebuah meja besar yang masih kosong. Meja ukuran keluarga.

Selesai mengobrol sebentar dengan Jemmy dan Pradnya, Adita kembali ke sisi Rafael yang sedang asyik membenahi tumpukan buku menu di dekat meja kasir.

“Kalau tiap hari semeriah ini, aku pasti cepet kaya,” bisik Adita.

Rafael tertawa mendengarnya.

“Ya, aku tahu, harus jaga kualitas dan lain-lain. Kira-kira bisa nggak ya, Mas?”

“Bisa!” jawab Rafael tegas. “Kamu perempuan cerdas dan kreatif. Kamu pasti bisa.”

Adita menghembuskan napasnya. Ditatapnya Rafael. Ada kekuatan yang didapatnya dari tatapan itu. Tatapan yakin yang memberinya curahan semangat. Dia tersenyum.

“Makasih, Mas.”

“Buat apa?” senyum Rafael.


“Semuanya.”

“Makasih juga atas iklanmu.”

Adita tergelak. Rafael melebarkan senyumnya.

“Sejauh ini semuanya beres,” Rafael mengedipkan sebelah matanya sambil menepuk punggung tangan Adita.

“Raf...”

Rafael masih mengulum senyum ketika menoleh. Dan seketika senyumnya lenyap.

“Mama?” desisnya.

Perempuan setengah baya yang tadi memanggilnya kini melangkah ke arahnya. Tersenyum lebar. Meninggalkan Anna dan Steve yang masih berdiri di dekat pintu.

Rafael menelan ludah.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #11

8 komentar:

  1. good post mbak, nggak bosan membacanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atensinya, Pak Subur... Maaf komentarnya baru dibalas hari ini...

      Hapus
  2. eng... ing... engggg...
    huayoooo... emaknya datang tuuuuu...
    kira2 masih bisa boong enggak yaaaa...

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Maaf juga baru sempat balesin komen Mbak Bekti. Makasih singgahnya ya, Mbak...

      Hapus