Sabtu, 16 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #6





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #5


* * *


Adita menatap setumpuk uang di hadapannya. Setumpuk uang yang bahkan hingga detik terkini kehidupannya belum pernah dilihatnya. Tiga puluh juta rupiah. Cash. Karena dia tak mau cek.

Ada aliran semangat yang menderas dalam setiap pembuluh darah Adita. Semangat untuk memulai awal yang baru. Semangat untuk membawa Velma pada sebuah kehidupan yang lebih baik.

 
Seketika airmata Adita merebak. Velma. Sosok yang membuat semangat hidupnya terpompa kembali setiap kali dia merasa terpuruk. Sosok yang bukan merupakan tanggung jawabnya, tapi dia merasa senasib hingga membawanya ke dalam kehidupannya.

Dan sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya secepat kilat menghapus airmatanya. Adita memasukkan setumpuk uang itu ke dalam sebuah amplop coklat besar dan menjejalkannya ke dalam laci mejanya.

“Kak, udah tidur? Kakak belum makan lho...”

“Belum, Vel,” Adita membuka pintu. “Kamu udah makan kan?”

Velma mengangguk, kemudian berjalan ke ruang makan. “Ayo makan dulu, Kak, aku temani.”

Adita mengambil tempat di seberang Velma. Sambil menikmati makan malamnya, Adita menuturkan sesuatu. Membuat Velma terbelalak. Membuat gadis kelas 2 SMA itu menatap Adita dengan takjub.

“Kamu harus bantu Kakak, Vel,” ucap Adita. “Belajarlah dengan rajin, selesaikan SMA-mu, lalu kamu bisa kuliah sambil bantu Kakak.”

“Kak, apapun untukmu,” Velma mengucap tulus. “Tuhan pasti mendengar semua permintaan kita. Buktinya Dia mengirimkan segalanya pada saat yang tepat.”

Adita mengangguk.

Dan segala rencana indah segera membayangi mimpinya malam itu. Membuatnya tersenyum manis dalam tidurnya.

* * *

Denting bel membuat Anna mengangkat wajahnya. Seorang perempuan sebaya dirinya melangkah masuk dengan ragu. Bukan langganan, batinnya.

“Halo, selamat pagi,” sapa Anna ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”

Perempuan itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut jabat tangan Anna.

“Maaf, Mbak, saya mengganggu,” perempuan itu terlihat malu-malu. “Saya Adita, saya penyewa ruko di seberang pet shop ini. Saya ingin mengundang Mbak besok sore untuk menghadiri grand opening warung saya.”

“Oh ya?” mata Anna terlihat berbinar. “Warung apa tuh, Mbak?”

“Cuma warung kecil-kecilan, Mbak, cuma jual ketan, roti bakar, schotel, minuman hangat. Gitu-gitu aja...”

“Wah... Kebetulan, Mbak, saya suka laper malem-malem,” Anna terkikik sendiri. “Jam bukanya mulai jam berapa, Mbak?”

“Jam dua siang sudah buka, rencananya sih sampai agak malam, jam sebelasan gitu. Ya... sambil jalanlah, Mbak,” senyum Adita.

“Jangan khawatir deh, saya pasti datang,” janji Anna sambil mengedipkan sebelah mata. “Besok saya ajak abang saya dan pacarnya.”

“Oke deh, saya tunggu besok ya, Mbak... Makasih, saya pamitan dulu.”

“Iya, Mbak, sama-sama... Makasih juga saya udah diundang.”

Dan ketika Adita sudah beranjak pergi, Anna menyempatkan diri mengintip dari balik jendela kaca pet shop-nya. Di seberang jalan sudah terpampang sebuah neon box besar. Warung Ketan AV, Free Wifi.

Anna mengangguk-angguk. Hm... Boleh juga... Dia tersenyum membayangkan betapa abangnya dan pacarnya itu akan punya tempat mojok yang baru di sela-sela kesibukan mereka.

* * *

Tepat tengah hari, Rafael menghentikan rapat yang dipimpinnya. Ponsel di saku kemejanya terasa bergetar ketika dia melangkah menuju ke ruangannya. Sambil berjalan dia membuka SMS yang baru saja masuk.

Mas, maaf mengganggu. Aku ingin mengundang Mas Rafael untuk grand opening warungku besok sore. Bisakah? Mohon maaf bila permintaan ini berlebihan. Hanya saja aku rasa Mas perlu tahu, uang dari Mas itu aku pakai untuk membuka usaha ini. Agar kehidupanku bisa berlanjut. Aku tunggu jawabannya. Terima kasih. Salam, Adita.

Bibir Rafael membundar tanpa suara. Sebuah pikiran membersit masuk ke dalam kepalanya. Sambil duduk dia kemudian menjangkau telepon di atas mejanya.

“Mbak Tia,” ucapnya begitu mendengar sapaan dari seberang sana, “bisa minta tolong check lagi jadwal saya sampai sore ini?”

“Sebentar ya, Pak...”

Rafael menunggu dengan sabar hingga beberapa puluh detik kemudian dia mendengar lagi suara Tia, sekretarisnya.

“Sebetulnya nanti jam dua Bapak ada janji dengan Pak Yuwono, Pak. Tapi kemarin sudah ada konfirmasi, Pak Yuwono minta pertemuan itu dijadwal ulang Rabu depan.”

“Oh ya, ya..,” gumam Rafael.

“Jadwal lain tidak ada lagi, Pak.”

“Besok kayaknya juga kosong ya?”

“Kosong, Pak.”

“Hm... Oke! Mbak Tia, saya pulang ke Jakarta sekarang. Ada yang penting banget. Besok saya nggak masuk. Kalau ada apa-apa bilang saja sama Pak Hartono. Nanti biar saya hubungi dia per telepon.”

“Bapak kembali kapan?”

“Senin saya udah masuk lagi. Cuma mangkir besok doang.”

“Baik, Pak.”

“Makasih, ya...”

Dan betapa kagetnya wajah Adita tiga jam kemudian. Rafael muncul begitu saja di depan pintu rumahnya. Bahkan tanpa membalas SMS yang tadi dia kirimkan.

“Ya, Tuhan... Mas Rafael?” Adita mendekapkan kedua tangannya menutupi mulut.

“Nggak boleh masuk ya?” Rafael berlagak ngambek dengan mata berbinar penuh senyum. “Ya sudah, aku balik lagi ke Bogor.”

Adita mengatupkan mulutnya. Matanya masih bulat menatap wajah Rafael yang penuh senyum.

“Apa kabar, Dit?”

“Baik, Mas! Ayo, masuk!”

Rafael menurut ketika tangan Adita otomatis menarik lengannya, masuk ke dalam rumah mungil itu.

“Tadi Mas nggak balas SMS-ku. Aku sudah hopeless,” cetus Adita.

“Kebetulan aku sudah nggak ada kerjaan. Jadi begitu jam makan siang aku kabur saja. Nggak mungkin ada yang berani menegurku,” Rafael mengedipkan sebelah matanya.

Adita tertawa. Membuat Rafael seutuhnya menikmati tawa manis itu.

“Tapi acaranya baru besok, bukan sore ini,” kata Adita.

“Iya, aku tahu. Besok juga aku nggak masuk kerja kok.”

“Lho, bolos?” mata Adita membulat, seperti seorang guru yang telah menemukan seorang murid yang berbuat nakal.

“Biarin deh! Apa sih yang enggak buat pacar sendiri?” Rafael tertawa.

Tapi tawa itu seketika berhenti ketika Adita tetap menatap Rafael. Sambil mengatupkan mulutnya. Dan ketika tawa Rafael terhenti, seketika itu juga Adita tersadar.

“Kita harus secepatnya membiasakan diri kan?” senyum Adita, sumbang.

Rafael mengangguk. Dengan sebersit rasa bersalah merayap begitu saja di dalam hatinya. Tapi dia memaksakan diri untuk tersenyum. Menenangkan Adita.


* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #7


4 komentar: