Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #6
* * *
“Kelihatannya
Mas Rafa pulang, Bu,” Muntadi menghentikan mobil yang dikemudikannya di
belakang mobil Rafael di garasi.
Lea
melongok dari belakang sandaran jok Muntadi. “Wah, iya...,” gumamnya.
Bergegas
Lea turun dan mencari anak kesayangannya itu. Di tangga dia berpapasan dengan
Tunik.
“Rafael
pulang?” tanyanya.
“Iya,
Bu, baru aja. Lagi mandi kayaknya.”
“Tumben...”
“Kangen
sama Ibu, ‘kali...,” Tunik mengedipkan sebelah mata.
Lea
tertawa.
Tak
berapa lama sosok yang ditunggunya muncul di teras belakang dengan wajah segar.
Memberinya cium sekilas di pipi kanan. Lea menoleh.
“Tumben
baru dua minggu pulang udah pulang lagi?”
“Lho...
Jadi nggak boleh ya, aku numpang tidur di sini?” Rafael mengangkat alisnya.
Lea
tertawa. “Nggak boleh, kalau tanpa alasan.”
“Kalau
alasannya aku kangen sama Mama?”
“Bukan
alasan,” Lea tertawa lagi.
“Kalau
alasannya aku kangen cewekku?”
Tawa
Lea seketika terhenti. Rafael duduk di depan Lea, berseberangan meja. Lea
menatap Rafael lekat.
“Ada
apa ini, Raf?”
“Ma,
cewekku grand opening usaha barunya
besok sore. Sebagai kekasih yang baik kan aku musti hadir. Nggak ada yang
penting banget di kantor Bogor. Jadi siang tadi aku jalan ke sini. Besok pagi
aku bantu-bantu dia. Tadi aku udah hubungi Pak Hartono. Dia bisa handle semuanya.”
“Sejak
kapan?” tatapan Lea terlihat begitu menyelidik.
“Apanya,
Ma?” Rafael mengambil sepotong nastar.
“Kalian
pacaran.”
Alarm
di kepala Rafael langsung berbunyi. Dia batal melahap nastar yang sudah ada di
tangan.
Ternyata
banyak hal yang harus dikarangnya bersama Adita. Sesuatu yang belum mereka
matangkan. Yang harus diselesaikan secepatnya. Rafael menutupinya dengan senyum.
“Ma,
aku belum bisa cerita apa-apa. Maaf, bukan maksudku mengesampingkan Mama. Tapi
ada banyak hal yang aku rasa harus aku siapkan dulu sebelum aku bawa dia untuk
kenalan sama Mama.”
“Bukan
Anna?”
Rafael
menggeleng. “Bukan, Ma.”
“Karena itu kamu nggak bisa memutuskan ketika Mama suruh kamu mendekati Anna?”
Rafael
menghembuskan napas lega. Maafkan aku
sudah membohongimu, Ma, batin Rafael setengah nelangsa. Tapi ditatapnya
juga mamanya dengan mata bening, “Ya, Ma, karena aku udah punya Adita.”
“Hm...
Jadi namanya Adita... Oke, Mama mengerti,” senyum Lea.
Rafael
menghembuskan napas leganya lagi. Dia pindah duduk ke sebelah Lea.
“Nah,
Ma, berhubung aku udah janji sama Dita untuk bantu dia, aku pergi dulu ya? Aku
udah minta kunci cadangan sama Yu Tunik. Biar nggak repot kalau aku pulang
kemaleman.”
Lea
mengangguk.
* * *
Sambil
mengemudi Rafael merangkai tiap detil yang harus dihafalnya dengan Adita. Detil
yang harus senatural mungkin. Membuatnya cukup pusing karena harus merangkai
jarak Bogor-Jakarta sekaligus.
Pada
saat seperti ini, ada sebersit penyesalan yang muncul dalam benaknya. Mengapa
harus berbohong? Mengapa harus memakai jasa pacar sewaan? Tapi semuanya sudah
terjadi. Semuanya sudah terlanjur. Tak ada alasan untuk mundur. Dan rasanya
memang harus menempuh cara ‘itu’ untuk mempersilahkan Steve mendekati Anna.
Adita
sudah siap ketika Rafael menghentikan mobil di depan rumah mungil itu. Yang
Rafael tahu, Adita dan Velma, adiknya, hanya tinggal berdua. Yatim piatu sejak
empat tahun yang lalu. Dan melihat keadaan Adita, mau tak mau Rafael harus
menindas habis rasa bersalahnya akibat terbelit sandiwara yang diciptakannya
sendiri.
“Mau langsung ke warungku apa mau ke mana dulu?” senyum Adita.
“Langsung
aja ya? Sambil kita ngobrol dikit di jalan.”
Adita
mengangguk dan duduk nyaman di samping Rafael. Rafael pun mulai melajukan
mobilnya.
“Tadi
aku sudah bilang Mama kalau kita pacaran,” celetuk Rafael.
“Secepat
itu?” Adita terperanjat.
“Aku
nggak punya alasan lagi untuk menutupi kepulanganku di hari Kamis kayak gini.”
Bibir
Adita membundar tanpa suara.
“Tapi
udah aku menghindar dikit dengan bilang bahwa aku belum bisa cerita apa-apa,”
sambung Rafael. “Kita belum mengarang cerita tentang bagaimana kita bertemu.”
“Mas
pernah pergi ke luar kota akhir-akhir ini?” tanya Adita.
“Mm...
Beberapa minggu lalu, ke Surabaya.”
“Ya
udah, kita ketemu di pesawat,” ujar Adita ringan. “Kebetulan aku juga pernah ke
Surabaya minggu-minggu terakhir sebelum aku kena PHK.”
Sesederhana itu?
Rafael
melirik Adita sekilas. “Detilnya?”
“Ya...
Macam fiksi-fiksi itulah... Duduk sebelahan, ngobrol, nyambung, tukar kontak, chatting, sesekali ketemuan,
gitu-gitulah...”
Rafael
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Brilyan....”
Adita
ikut tertawa. “Terlalu fiksi ya?”
Rafael
terbahak lagi. “Enggak... Bagus kok! Ya udah, bisa dipakai.”
Adita
meringis lucu. “By the way, memangnya
Mas Rafa udah tahu lokasi warungku?”
“Belum,”
jawab Rafael bodoh.
“Terus
kita mau ke mana ini?” Adita melebarkan senyumnya
“Ya
ke warungmu, tinggal sebut alamat aja kan?” Rafael menahan senyumnya.
“Arahnya
berlawanan.”
Mereka
terbahak lagi.
Entah
kenapa, Rafael merasa hari-harinya terasa lebih ceria sekarang. Bertahun mencoba
menghindar dari sosok berjenis kelamin perempuan selain mamanya, tapi ternyata
ada warna lain yang disematkan sosok berjenis kelamin perempuan itu pada
sebagian harinya. Warna yang lebih cerah. Membuat hari dan hatinya terasa lebih
ringan.
“Belok
kanan di depan itu, Mas,” suara lembut Adita menyentakkan kesadaran Rafael.
Dan
Rafael hampir tersedak ketika Adita menyuruhnya menghentikan mobil di depan
sebuah ruko. Dia menoleh ke seberang. Seketika tangannya mencekal lengan kanan Adita
yang sudah hampir keluar dari mobil.
“Dit...”
Adita
sedikit terhempas kembali ke tempat duduknya. Ditolehnya Rafael dengan heran.
Rafael menatapnya. Sulit diartikan.
“Ya?”
tanya Adita.
“Aku
pernah menceritakan padamu tentang gadis itu kan?”
Adita
mengangguk.
“Namanya
Anna,” ucap Rafael dengan suara berat. “Dia pemilik pet shop di seberang itu.”
Adita
terhenyak. Mendadak sebuah jalinan rumit muncul di benaknya. Membuatnya terdiam
membeku di sebelah Rafael. Entah kenapa.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #8
Manis.
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak MM...
Hapuswah seru, jangan2 raf malah naksir adita
BalasHapusEnaknya gimana yaaa... Hehehe...
HapusMakasih singgahnya ya, Bu Fabina...
Eh.....Tunik kok ikut Lea? Nggak kerasan jadi ARTnya Swandini? Hihi....
BalasHapusHo'oh. Habis ikut Lea, ikut Swandini, balik lagi ikut Lea... Ruwet, hihihi...
HapusNuwus mampire yo, Mbak Boss...