Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #5
* * *
Adita
menatap setumpuk uang di hadapannya. Setumpuk uang yang bahkan hingga detik
terkini kehidupannya belum pernah dilihatnya. Tiga puluh juta rupiah. Cash. Karena dia tak mau cek.
Ada
aliran semangat yang menderas dalam setiap pembuluh darah Adita. Semangat untuk
memulai awal yang baru. Semangat untuk membawa Velma pada sebuah kehidupan yang
lebih baik.
Seketika
airmata Adita merebak. Velma. Sosok yang membuat semangat hidupnya terpompa
kembali setiap kali dia merasa terpuruk. Sosok yang bukan merupakan tanggung
jawabnya, tapi dia merasa senasib hingga membawanya ke dalam kehidupannya.
Dan
sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya secepat kilat menghapus airmatanya. Adita
memasukkan setumpuk uang itu ke dalam sebuah amplop coklat besar dan
menjejalkannya ke dalam laci mejanya.
“Kak,
udah tidur? Kakak belum makan lho...”
“Belum,
Vel,” Adita membuka pintu. “Kamu udah makan kan?”
Velma
mengangguk, kemudian berjalan ke ruang makan. “Ayo makan dulu, Kak, aku
temani.”
Adita
mengambil tempat di seberang Velma. Sambil menikmati makan malamnya, Adita menuturkan
sesuatu. Membuat Velma terbelalak. Membuat gadis kelas 2 SMA itu menatap Adita
dengan takjub.
“Kamu
harus bantu Kakak, Vel,” ucap Adita. “Belajarlah dengan rajin, selesaikan
SMA-mu, lalu kamu bisa kuliah sambil bantu Kakak.”
“Kak,
apapun untukmu,” Velma mengucap tulus. “Tuhan pasti mendengar semua permintaan
kita. Buktinya Dia mengirimkan segalanya pada saat yang tepat.”
Adita
mengangguk.
Dan
segala rencana indah segera membayangi mimpinya malam itu. Membuatnya tersenyum
manis dalam tidurnya.
* * *
Denting
bel membuat Anna mengangkat wajahnya. Seorang perempuan sebaya dirinya
melangkah masuk dengan ragu. Bukan
langganan, batinnya.
“Halo,
selamat pagi,” sapa Anna ramah. “Ada yang bisa saya bantu?”
Perempuan
itu mengulurkan tangannya yang langsung disambut jabat tangan Anna.
“Maaf,
Mbak, saya mengganggu,” perempuan itu terlihat malu-malu. “Saya Adita, saya
penyewa ruko di seberang pet shop
ini. Saya ingin mengundang Mbak besok sore untuk menghadiri grand opening warung saya.”
“Oh
ya?” mata Anna terlihat berbinar. “Warung apa tuh, Mbak?”
“Cuma
warung kecil-kecilan, Mbak, cuma jual ketan, roti bakar, schotel, minuman hangat. Gitu-gitu aja...”
“Wah...
Kebetulan, Mbak, saya suka laper malem-malem,” Anna terkikik sendiri. “Jam
bukanya mulai jam berapa, Mbak?”
“Jam
dua siang sudah buka, rencananya sih sampai agak malam, jam sebelasan gitu.
Ya... sambil jalanlah, Mbak,” senyum Adita.
“Jangan
khawatir deh, saya pasti datang,” janji Anna sambil mengedipkan sebelah mata. “Besok
saya ajak abang saya dan pacarnya.”
“Oke
deh, saya tunggu besok ya, Mbak... Makasih, saya pamitan dulu.”
“Iya,
Mbak, sama-sama... Makasih juga saya udah diundang.”
Dan
ketika Adita sudah beranjak pergi, Anna menyempatkan diri mengintip dari balik
jendela kaca pet shop-nya. Di
seberang jalan sudah terpampang sebuah neon
box besar. Warung Ketan AV, Free
Wifi.
Anna
mengangguk-angguk. Hm... Boleh juga...
Dia tersenyum membayangkan betapa abangnya dan pacarnya itu akan punya tempat
mojok yang baru di sela-sela kesibukan mereka.
* * *
Tepat
tengah hari, Rafael menghentikan rapat yang dipimpinnya. Ponsel di saku
kemejanya terasa bergetar ketika dia melangkah menuju ke ruangannya. Sambil
berjalan dia membuka SMS yang baru saja masuk.
Mas, maaf mengganggu. Aku ingin
mengundang Mas Rafael untuk grand opening warungku besok sore. Bisakah? Mohon
maaf bila permintaan ini berlebihan. Hanya saja aku rasa Mas perlu tahu, uang
dari Mas itu aku pakai untuk membuka usaha ini. Agar kehidupanku bisa
berlanjut. Aku tunggu jawabannya. Terima kasih. Salam, Adita.
Bibir
Rafael membundar tanpa suara. Sebuah pikiran membersit masuk ke dalam
kepalanya. Sambil duduk dia kemudian menjangkau telepon di atas mejanya.
“Mbak
Tia,” ucapnya begitu mendengar sapaan dari seberang sana, “bisa minta tolong check lagi jadwal saya sampai sore ini?”
“Sebentar
ya, Pak...”
Rafael
menunggu dengan sabar hingga beberapa puluh detik kemudian dia mendengar lagi
suara Tia, sekretarisnya.
“Sebetulnya
nanti jam dua Bapak ada janji dengan Pak Yuwono, Pak. Tapi kemarin sudah ada
konfirmasi, Pak Yuwono minta pertemuan itu dijadwal ulang Rabu depan.”
“Oh
ya, ya..,” gumam Rafael.
“Jadwal
lain tidak ada lagi, Pak.”
“Besok
kayaknya juga kosong ya?”
“Kosong,
Pak.”
“Hm...
Oke! Mbak Tia, saya pulang ke Jakarta sekarang. Ada yang penting banget. Besok
saya nggak masuk. Kalau ada apa-apa bilang saja sama Pak Hartono. Nanti biar
saya hubungi dia per telepon.”
“Bapak
kembali kapan?”
“Senin
saya udah masuk lagi. Cuma mangkir besok doang.”
“Baik,
Pak.”
“Makasih,
ya...”
Dan
betapa kagetnya wajah Adita tiga jam kemudian. Rafael muncul begitu saja di
depan pintu rumahnya. Bahkan tanpa membalas SMS yang tadi dia kirimkan.
“Ya,
Tuhan... Mas Rafael?” Adita mendekapkan kedua tangannya menutupi mulut.
“Nggak
boleh masuk ya?” Rafael berlagak ngambek dengan mata berbinar penuh senyum. “Ya
sudah, aku balik lagi ke Bogor.”
Adita
mengatupkan mulutnya. Matanya masih bulat menatap wajah Rafael yang penuh
senyum.
“Apa
kabar, Dit?”
“Baik,
Mas! Ayo, masuk!”
Rafael
menurut ketika tangan Adita otomatis menarik lengannya, masuk ke dalam rumah
mungil itu.
“Tadi
Mas nggak balas SMS-ku. Aku sudah hopeless,”
cetus Adita.
“Kebetulan
aku sudah nggak ada kerjaan. Jadi begitu jam makan siang aku kabur saja. Nggak
mungkin ada yang berani menegurku,” Rafael mengedipkan sebelah matanya.
Adita
tertawa. Membuat Rafael seutuhnya menikmati tawa manis itu.
“Tapi
acaranya baru besok, bukan sore ini,” kata Adita.
“Iya,
aku tahu. Besok juga aku nggak masuk kerja kok.”
“Lho,
bolos?” mata Adita membulat, seperti seorang guru yang telah menemukan seorang
murid yang berbuat nakal.
“Biarin
deh! Apa sih yang enggak buat pacar sendiri?” Rafael tertawa.
Tapi
tawa itu seketika berhenti ketika Adita tetap menatap Rafael. Sambil
mengatupkan mulutnya. Dan ketika tawa Rafael terhenti, seketika itu juga Adita
tersadar.
“Kita
harus secepatnya membiasakan diri kan?” senyum Adita, sumbang.
Rafael
mengangguk. Dengan sebersit rasa bersalah merayap begitu saja di dalam hatinya.
Tapi dia memaksakan diri untuk tersenyum. Menenangkan Adita.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #7
pacar sewaan?
BalasHapusboleh juga tuh...
Hehehe...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Manstaf :)
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Edy...
Hapus