Sebelumnya : When Will You Marry Me? #3
* * *
“Rid, apa nggak sebaiknya sudut di sana itu
ditambahi balon?”
Erid turun dari tangga portable sambil mengikuti arah telunjuk Nino. Ia berpikir sejenak
sebelum mengangguk.
“Hm... Iya, Yah. Sebentar saya pompa dulu balon-balonnya.”
“Cukup nggak ya, kira-kira?”
“Cukup kayaknya. Kemarin saya beli 12 lusin.
Kalau sisa bisa dipakai buat besok hari Minggu.”
“Ayah saja yang pompa, Rid. Kamu pasang dulu
kertas krepnya.”
Kedua laki-laki itu kembali sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing. Ruang tamu dan ruang tengah itu nampak mulai siap
untuk dipakai berpesta. Apalagi setelah Erid melipat dan menyingkirkan partisi
rotan ke gudang. Gabungan kedua ruangan itu terlihat lebih lega.
Setelah semuanya selesai, Nino dan Erid duduk
berselonjor di atas karpet, melepas lelah. Nino menatap arlojinya.
“Sebentar lagi anak-anak pulang,” gumamnya.
“Untung kita sudah selesai,” senyum Erid,
terlihat puas.
Benar saja, setengah jam kemudian Ilyan
sekeluarga plus Hanny datang. Mereka baru saja selesai merayakan ulang tahun
Florian di sekolah. Ilyan tampak kerepotan membawa sebuah dos besar penuh
berisi kado dari teman-teman TK Florian.
Relasi antara Nino dan Hanny tak luput dari
pengamatan Erid. Terlihat cukup akrab, tapi tetap menjaga jarak. Ada
komunikasi, tapi tidak banyak. Hanya seperti dua orang yang saling mengenal.
Bukan dua orang yang pernah hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan. Dan
seutuhnya, ia makin memahami ketakutan-ketakutan yang pernah dimiliki oleh
Gracia. Ketakutan yang hingga sekarang pun kadang-kadang masih ada.
Erid menghela napas panjang.
“Capek, Mas?” Vita tersenyum menatapnya.
“Hehehe...,” Erid terkekeh. “Umur nggak bisa
bohong,” elaknya.
“Halah... ngomongin umur,” Vita tertawa.
“Selamat siaaang!”
Seisi ruangan mendadak menghening. Semuanya
menatap ke satu arah. Pintu depan yang terbuka lebar. Dengan Gracia berdiri
tepat di tengah-tengahnya.
“Tante!” seruan riang Florian memecahkan
keheningan itu.
Gracia tertawa sambil memeluk Florian dan
Oryza yang berebutan mendatanginya.
“Katanya Tante enggak datang?” ucap Florian
polos. “Katanya ada rapat?”
“Rapatnya Tante batalin,” Gracia memencet
hidung bangir Florian sambil mengangkat Oryza ke dalam gendongannya. “Kan Tante
boss.”
Oryza tertawa kegelian karena Gracia
bertubi-tubi menciumi pipi bulatnya. Erid menatapnya, menyimpan senyum dalam
matanya. Ia kemudian mencium ringan kening Gracia ketika Gracia menghampirinya.
Hanny diam-diam menyisih ke belakang ketika
melihat kedatangan Gracia. Ia tak ingin merusak kegembiraan Gracia, Florian,
dan Oryza. Ia kemudian menyibukkan diri di dapur bersama Vita. Menyiapkan makan
siang.
“Bu,” ucap Vita halus. “Ibu ke depan saja,
biar di sini saya yang siapkan.”
Hanny menatap ke arah ruang tengah sejenak
sebelum menggeleng dan kembali menyibukkan diri. Vita mengangguk diam-diam.
Mengerti.
* * *
“Akhirnya kamu datang juga,” bisik Erid
sambil membantu Gracia membawa piring kotor ke dapur.
“Aku nggak mau melewatkan ulang tahun Flo
walaupun masih ada pesta lagi hari Minggu besok. Lagian...,” Gracia menatap
Erid, “kalau Mas saja bisa meluangkan waktu sampai harus mengambil cuti, kenapa
aku yang tantenya sendiri tidak?”
“Sudah mulai bisa berdamai dengan Ibu?” usik
Erid.
“Aku datang buat Flo, bukan buat yang lain,”
ucap Gracia tegas, membuat Erid seketika menutup mulutnya.
* * *
Terkadang Gracia menyesali keputusannya untuk
menerima lamaran Erid. Mendadak saja ia diserang rasa gamang.
Kalau
persiapannya saja sudah begini melelahkan, apalagi nanti kalau sudah
menjalaninya?
Erid sudah mengusulkan untuk memakai jasa WO,
tapi dengan tegas Gracia menolaknya. Ia hanya menginginkan upacara pernikahan
yang sederhana dan kudus. Bukan pesta meriah yang berlebihan. Dan Berlian,
sahabat baiknya, bersama Rilo, suaminya, dan juga Vita dan Ilyan adalah seksi
repot terdepan yang sangat bisa diandalkan.
Bahkan Berlian dan Rilo memberinya kejutan
dengan menyodorkan sebuah sketsa gaun pengantin sangat apik rancangan Ervina untuk
dikenakan Gracia kemudian. Gracia hanya sanggup menatap sketsa itu dengan mulut
ternganga. Ia masih ingat betul bagaimana dulu ia ngiler berat melihat Berlian
mengenakan gaun rancangan Ervina walaupun sempat ada tragedi kecil di baliknya (Gaun Pengantin Berlian – Lizz).
Kemudian ada rangkaian acara lamaran oleh
kakak Erid dan keluarganya, sekaligus acara pertunangan resmi. Lalu penentuan
tanggal dan upacara pemberkatan pernikahan. Dan mencari jadwal khusus persiapan
perkawinan yang tepat. Dan pemesanan
undangan. Dan catering. Dan gedung. Dan jadwal penyelidikan kanonik (wawancara
dengan pastor sebelum disetujui dilakukan pemberkatan nikah). Dan jadwal facial di salon. Dan jadwal fitting baju. Dan lain-lain.
Semuanya membuat Gracia pusing. Yang
membuatnya makin jengkel adalah Erid kelihatan tenang-tenang saja menghadapi
semua itu.
“It’s
unfair!” protesnya pada Erid.
“No
pain, no gain,” ucap Erid, kalem. Membuat Gracia mati kutu.
Erid membawa Gracia ke dalam pelukannya.
“Semua kelelahan ini,” bisik Erid, “kelak
akan jadi salah satu pengingat buat kita untuk tetap menghargai dan
mempertahankan pernikahan kita, Grace... Juga semua waktu dan hambatan yang
sudah berhasil kita lalui.”
Gracia tergugu. Mendadak saja ia merasa
semuanya ini impas dengan pengorbanan Erid selama bertahun-tahun menunggunya
mengatakan ‘ya’ untuk sebuah pernikahan.
* * *
Hanny duduk diam di samping Nino selama misa pemberkatan
pernikahan itu dilangsungkan. Seandainya bukan Nino yang meminta, maka Gracia
tak akan pernah membiarkan kursi di sebelah Nino itu terisi olehnya.
“Walaupun cuma simbol, kamu perlu ada di sana
agar pernikahan Gracia sama dengan pernikahan Ilyan,” ucapan Nino beberapa
minggu yang lalu itu terdengar datar di telinga Hanny.
Dan ia mengangguk dalam diamnya. Berusaha
untuk mengerti. Ia dulu juga menghadiri misa pemberkatan pernikahan Ilyan dan
Vita. Dengan hati setengah-setengah. Kini, ia menerima pembalasannya dengan
penerimaan Gracia yang masih setengah-setengah terhadapnya.
Cukup
adil...
Ia berusaha menghibur diri.
Gracia adalah pengantin perempuan paling
cantik yang pernah dilihatnya. Semua yang ada dalam diri Gracia adalah sesuatu
yang sempurna. Segala sesuatu yang sudah dipersiapkan nyaris terlalu matang.
Dan ketika semuanya itu usai, ia kembali
menyisihkan diri. Kembali pada kehidupannya yang berawal lagi di rumah Ilyan.
Menemani Vita menjalankan patchwork online shop-nya. Membantu Ilyan dan Vita
mengasuh Florian dan Oryza. Memelihara cinta dan rindunya pada Nino.
* * *
Debar itu tak pernah berhenti meliar dalam
dada Gracia. Kelihatannya saja ia tenang, padahal berbagai pikiran tak henti
menggeliat dalam otaknya.
Benarkah
keputusanku menikahinya?
Benarkah
semuanya akan baik-baik saja?
Benarkah
segala janji yang akan terucap tak akan diingkari Mas Erid?
Benarkah
aku akan menepati semua janji pernikahan yang kuucapkan sendiri nanti?
Benarkah...?
Benarkah...? Benarkah...?
Ketika tiba saatnya Erid mengucapkan janji
suci itu dengan suara yang terdengar begitu mantap, Gracia tak lagi menemukan
alasan untuk mundur. Pun ketika berikutnya tiba gilirannya untuk mengucap, dengan
suara bergetar, dengan kalimat-kalimat hafalan yang diucapkan sepenuhnya dari
hati, Gracia menemukan bahwa kontrak seumur hidupnya bersama Erid telah ditandatangani.
Tak ada yang bisa mundur. Tak ada yang bisa diubah lagi. Selamanya.
Lalu keduanya bertatapan. Pada detik saat ia menatap
begitu dalam, menelusuri tiap lorong dalam mata Erid, ditemukannya hanya kesungguhan,
harapan, kebahagiaan dan cinta. Entah kenapa semuanya itu membuatnya tenang. Pun
ketika ciuman Erid terasa hangat di keningnya, tiba-tiba saja semua ketakutannya
punah. Dan ia merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.
Dan keyakinan itu menguat ketika Nino memeluknya
dengan mata mengaca. Membisikkan perasaannya dengan suara bergetar.
“Tugas Ayah sudah selesai. Berbahagialah, Nak.
Ia akan menjagamu dengan baik selamanya. Percaya sama Ayah.”
* * *
Sebenarnya Erid sudah menyiapkan rumah yang
selama ini ditempatinya sendirian untuk kelak ditempati bersama pengantinnya.
Tapi melihat keraguan Gracia, ia memutuskan untuk bersabar lagi.
Ia paham seutuhnya keberatan Gracia untuk
meninggalkan ayahnya sendirian hanya bersama dengan Utik. Kesehatan Nino masih
cukup prima di usianya yang baru saja genap 66 tahun seminggu lalu. Masih sangat
bisa mengurus dirinya sendiri. Tapi tetap saja Gracia tidak akan tenang bila
tidak berada di dekat Nino. Dan semuanya itu dimaklumi Erid tanpa syarat.
“Sudahlah, Rid,” ujar Lyra, kakaknya. “Tidak
apa-apa kalau kamu pindah ke rumah mertuamu. Percayalah, sewaktu-waktu akan
tiba saatnya semua hasil jerih-payahmu ini akan kalian manfaatkan dengan baik.”
Dan Erid pun mengangguk dengan ringan. Toh ia
harus tinggal di Pondok Mertua Indah bukan karena belum mampu menyediakan papan
yang layak buat Gracia.
Gracia sendiri menyambut keputusan Erid itu
dengan sangat gembira. Nino sendiri antara iya dan tidak ketika Gracia
mengatakan padanya berita itu. Iya, karena sesungguhnya ia senang sekali rumah
itu akan bertambah ramai dengan kehadiran Erid, menantu idamannya. Tidak,
karena sesungguhnya ia merasa bahwa sudah seharusnya Gracia menikmati
kehidupannya sendiri bersama Erid, tanpa terbebani olehnya.
“Aku tak pernah menganggap Ayah sebagai
bebanku,” sanggah Gracia dengan mata mengaca. “Aku tak pernah menganggap merawat
Ayah sebagai suatu kewajiban. Aku melakukannya karena aku ingin melakukannya. Bukan karena aku harus.”
Nino tak bisa berbuat dan mengatakan apa-apa
lagi kecuali memeluk Gracia dengan kehangatannya yang tak pernah lekang.
* * *
Diam-diam Gracia merasa ada untung dan
ruginya juga pacaran dengan Erid begitu lama. Untungnya, mereka jadi lebih
saling mengenal luar-dalam. Apa adanya. Hingga nyaris tak pernah ada friksi
yang berarti ketika mereka harus hidup bersama. Ruginya, kenapa aku begitu bodohnya tidak dari dulu-dulu mau menikah dengannya?
Ia berpikir jahil.
Ketika semua itu diungkapkannya pada Erid,
laki-laki itu terbahak keras. Dihujaninya Gracia dengan tatapan menggoda.
“Yang ada justru aku menyesal menikahimu
begitu terlambat. Kalau aku tahu aku bisa membuatmu jadi menggelembung dengan
begitu sexy-nya seperti ini, sudah
kupaksa kamu menikahiku sejak bertahun-tahun yang lalu.”
Gracia menatap pantulan dirinya di cermin. Hm... Kembar... Dielusnya perutnya yang
sudah terlihat begitu membuncit pada usia kehamilan 6 bulannya. Ditatapnya
Erid.
“Gara-gara obat penyubur itu,” gerutunya,
tapi dengan mata berbinar.
Erid kembali tertawa.
“Ke mana perginya tubuh indahkuuu?” Gracia
melanjutkan gerutuannya.
Erid tak tahan lagi. Ia melompat dari atas
ranjang dan memeluk Gracia dengan gemas.
“Kamu harus tahu...,” bisiknya sambil
mengulum telinga Gracia. “Tubuhmu sekarang jauuuh lebih indah karena ada
keindahan lain yang sedang terbentuk di dalamnya.”
“Really?”
“Hm...”
Tangan Erid meraba dinding. Menjangkau saklar
lampu. Sekejap kemudian ruangan itu jadi temaram karena hanya ada sorot samar
cahaya lampu dari luar.
* * *
Nino mengalihkan tatapannya dari layar
televisi. Gracia tampak keluar dari kamar mandi. Untuk kesekian kalinya dari
pagi.
“Kenapa, Grace?”
“Nggak tahu, Yah,” Grace melangkah mendekati
Nino, kemudian duduk di sebelahnya. “Kayaknya aku salah makan. Diare.”
“Sini, Ayah pijitin kakimu.”
Gracia dan Nino sama-sama bergeser, saling
menjauh. Beberapa saat kemudian Gracia sudah berbaring nyaman di atas sofa
dengan kaki ada di pangkuan ayahnya. Nino mulai memijat kaki Gracia dengan
lembut.
“Kamu sudah mantap resign, Grace?”
“Sudah... Mengurus bayi kembar butuh waktu
dan tenaga lebih, Yah,” senyum Gracia.
“Hm... Ayah jadi ingat waktu kalian masih
bayi,” suara Nino melirih. “Terpaksa mendayagunakan eyang putrimu untuk ikut
mengurusi, karena bundamu tetap berkarir.”
Gracia menatap ayahnya. Tersenyum. “Dari awal
aku memang sudah berniat resign kalau
sekiranya punya bayi. Nggak kembar sekalipun. Aku ingin menikmati semuanya,
Yah. Melihat setiap detik anakku tumbuh besar. Apalagi sekarang umurku sudah
sekian ketika harus mulai punya bayi.”
“Apa saja pilihanmu, asal hatimu mantap,”
Nino menepuk lembut kaki Gracia. “Kamu dan Erid juga menjalaninya dengan senang
hati. Oh ya, Erid jadi pulang hari ini?”
“Jadi,” Gracia mengangguk. “Sejam lalu sudah
mau naik ke pesawat.”
“Ayah lihat kemarin-kemarin sempat ragu-ragu
mau berangkat.”
“Nggak tega ninggalin aku,” Gracia nyengir.
“Perut sudah gede begini.”
“Kan suami siaga,” Nino tertawa.
“Masih kurang enam minggu ini...,” Gracia
menarik kakinya dari pangkuan Nino.
Dielusnya perut sambil bangkit dan berjalan
ke kamar mandi.
“Kok terus-terusan, Grace?” Nino menatap
punggung Gracia dengan khawatir.
Gracia hanya mengangkat bahu sambil menutup
pintu kamar mandi.
Sebetulnya ia sudah curiga ada yang tidak
beres dengan rasa mulas yang sudah beberapa kali tadi menghampirinya. Ia memang
sempat diare tapi sudah berhenti. Kali ini pun ia yakin tidak ada yang akan keluar
lagi dari perutnya.
Jangan-jangan...
Gracia menggigit bibir.
Aduuuh...
Jangan dulu... Belum cukup bulan...
Ingin ia menghubungi Erid, tapi ponsel Erid
pasti sudah disetel ke mode pesawat sebelum terbang tadi.
Memberitahu
Ayah?
Pasti ayahnya akan panik duluan kalau tahu
masalahnya. Gracia kemudian memutuskan untuk diam saja. Begitu keluar dari
kamar mandi ia melangkah ke kamar.
“Yah, aku rebahan dulu ya?”
“Bener kamu nggak apa-apa?” Nino masih
mengirimkan sinyal kekhawatiran yang sama.
Gracia hanya mengacungkan jempolnya, kemudian
menghilang ke dalam kamarnya.
* * *
Setelah melihat pintu kamar Gracia tertutup,
Nino meraih ponselnya. Agak ragu-ragu ia memilih sebuah nama. Tapi rasa
khawatir mengalahkan keraguannya. Sambil menempelkan ponsel itu ke telinga,
Nino beranjak ke teras belakang.
“Halo...
Ya, Mas?”
Terdengar sapaan dari seberang sana setelah
beberapa kali nada tunggu. Nino menghela napas panjang sebelum menjawab.
“Siang, Han. Mm... Aku kok agak khawatir sama
kondisi Grace ya? Dia sakit perut dari pagi. Ngakunya diare. Aku takutnya...”
“Erid
masih seminar di Palembang?”
“Dalam perjalanan pulang. Sudah di pesawat.”
“Oh...
Mm... Anak-anak dulu lahirnya juga jauh sebelum due date.”
Nino kembali menghela napas panjang mendengar
gumaman Hanny.
“Makanya...,” desah Nino.
“Aku
ingin ke situ. Ingin sekali. Tapi...”
“Ke sinilah, Han. Mungkin dia membutuhkanmu.”
“Tapi...”
“Seandainya dia tidak mau bertemu denganmu,
setidaknya temani aku melewati rasa khawatir ini. Sampai Erid datang.”
“Hm...
Baiklah.”
* * *
Gracia berbaring diam di dalam kamarnya. Rasa
sakit itu datang dan pergi silih berganti. Dengan interval yang cukup teratur.
Bahkan ketika ia ke kamar mandi yang terakhir tadi, ia mendapati adanya flek.
Ada rasa berdebar dalam hatinya.
Akan
seperti apa rasanya nanti?
Buku dan artikel-artikel tentang kehamilan
dan kelahiran yang sudah dibacanya rasanya tidak cukup untuk menuntaskan segala
rasa berdebarnya menghadapi proses akhir ini. Apalagi saat ini. Masih enam
minggu jauhnya dari tanggal kelahiran yang sudah diperkirakan.
Seandainya
ada seseorang yang bisa ditanyai dan diajak membicarakan ini dari hati ke
hati...
Gracia menggigit bibir dengan airmata mulai
mengembang di pelupuk matanya.
Seseorang yang
memiliki pengalaman sama. Mengandung sepasang bayi kembar dampit...
Sebutir airmata menggelinding keluar dari
sudut matanya.
Bun,
seandainya Bunda...
Ia terisak kini. Entah kenapa tiba-tiba saja
ia merasa nelangsa. Dan ia diam saja ketika pintu diketuk beberapa kali dari
luar, dengan suara ayahnya lembut memanggilnya. Dan dalam diamnya itu ia
terseret sejenak ke dalam lelap.
* * *
“Grace...”
Samar-samar ia mendengar suara itu menyapa
telinganya. Ia kenal suara itu.
“Grace...”
Suara bundanya. Dan bila membuka mata bisa
membuatnya kehilangan suara bundanya itu, ia tak ingin melakukannya. Tapi rasa
sakit itu benar-benar mengganggunya. Tanpa sadar ia mengerang.
“Grace...
Grace... Bangun, Nak. Grace...”
Tepukan-tepukan itu terasa lembut menerpa
pipinya. Ketika rasa sakit itu makin menusuk, Grace pun mengerjapkan mata.
Pada awalnya bayangan itu terlihat setengah
kabur. Tapi setelah mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya mulai terfokus.
Apakah
aku masih bermimpi?
“Grace...,” Hanny menatapnya dengan khawatir.
Gracia hanya mampu menatap Hanny. Terdiam.
Tak tahu harus mengatakan apa. Pelan ia mengangkat badannya dari ranjang. Rasa
mulas menyerangnya lagi. Tapi seiring gerakan itu, ada sesuatu yang merembes
keluar. Terasa basah. Gracia menghentikan gerakannya. Tatapannya pada Hanny berubah
jadi panik.
“Bun...,” bisiknya tanpa sadar. “Kok basah?”
Hanny mengelus bahu Gracia. Memaksanya
berbaring lagi.
“Grace, dengar Bunda,” ucap Hanny, berusaha
tenang. “Sepertinya kamu akan segera lahiran. Tenang ya... Yang basah itu
kemungkinan air ketubanmu. Kamu berbaring dulu. Tenang ya? Tenang...”
Entah kenapa Gracia ingin menuruti ucapan
Hanny tanpa syarat. Ia kembali berbaring. Diam. Berusaha mengatur napas untuk
mengendalikan rasa mulas itu. Tapi ia gagal. Dan ia terpaksa meringkuk
karenanya.
“Tunggu Erid ya?” Hanny membelai kepala
Gracia. “Erid sudah di taksi. Lagi jalan ke sini.”
Gracia mengangguk. Entah kenapa ketenangan
itu pelan-pelan memasuki hatinya.
* * *
“Harus SC,
Rid,” Irawan menepuk bahu Erid. “Air ketuban sudah hampir kering dan detak
jantung si kembar agak melemah.”
Erid hanya bisa mengangguk dengan wajah
pasrah. Ketika beberapa menit kemudian ia bisa menemui Gracia, dan menyampaikan
kondisi itu, wajah Gracia pun terlihat sama pasrahnya.
Atas ijin Irawan, Erid mendampingi Gracia hingga
ke meja operasi. Mereka hanya bisa bertatapan dalam diam. Tapi ada kekuatan
yang terus-menerus disalurkan tatapan mata Erid. Membuat Gracia merasa bisa
menghadapi apapun.
Tepat pukul 14.35 proses kelahiran itu
selesai. Sepasang Erid dan Gracia junior itu pun terlahir ke dunia berselang 5 menit. Begitu mungil dan rapuh. Dengan tangis yang terdengar begitu lirih.
Gracia hanya bisa menangis dalam pelukan Erid ketika kedua bayi itu harus
langsung masuk ke inkubator di NICU.
Hanny terduduk letih di kursi di luar ruang
operasi. Kejadian 36 tahun yang lalu seolah terulang lagi. Ketika Ilyan dan
Gracia terlahir lebih awal 7 minggu dari tanggal perkiraan lahirnya. Tapi
keduanya adalah bayi-bayi yang kuat. Terbukti masih bisa tegak berdiri hingga
kini walau dihantam berbagai badai.
Ia menoleh ketika Nino duduk di sisinya.
Terlihat sama letihnya dengan dirinya sendiri. Nino menyandarkan punggungnya.
“Cucu-cucu kita akan bertahan,” bisik Hanny,
seolah meyakinkan dirinya sendiri. “Cucumu, anak Grace, akan bertahan. Harus
bertahan...”
Dan tiba-tiba saja ia sudah terisak tanpa
terkendali.
Jangan
ada kehilangan lagi... Jangan...
Pelan Nino mengulurkan tangan. Menarik Hanny
ke dalam pelukannya.
* * *
Kedua bayi itu terlelap berdampingan di atas box. Miracle, terbungkus selimut flanel
berwarna biru, dan Joya, terbungkus selimut flanel berwarna pink. Tak
bosan-bosan Gracia menatapnya.
Akhirnya keduanya pulang juga siang tadi.
Dengan sehat. Dengan pipi bulat merona merah. Dengan motorik yang cukup aktif.
Semua kelelahan berminggu-minggu saat harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menunggui
dan menyusui kedua buah hatinya itu, terbayar sudah. Lunas.
Ketika ia mengalihkan tatapan ke ranjang,
airmatanya hampir menitik. Wajah Erid yang tengah terlelap itu masih menyisakan
letih dan kelihatan lebih tirus dari biasanya. Pelan ia mendekatinya.
Menatapnya.
Akan jadi apa ia tanpa Erid, ia tak ingin
tahu. Ia kuat karena Erid. Walaupun Erid dilanda keletihan yang sama, tapi Erid
selalu menghibur dan menguatkannya.
Beberapa saat kemudian Gracia beringsut
keluar dari kamarnya, menuju ke dapur, bermaksud mengambil minum. Yang
ditemukannya kemudian adalah Nino yang tengah menghadapi tabletnya dengan
tatapan kosong. Secangkir kopi ada di depannya. Sudah mendingin.
“Yah...,” Gracia menyentuh lembut bahu Nino,
membuat laki-laki itu tersentak kaget.
“Belum tidur, Grace?”
Gracia menggeleng, kemudian duduk di sebelah
ayahnya.
“Ayah mikir apa? Malam-malam begini melamun.”
Nino menggeleng. Dihelanya napas panjang.
“Ayah hanya seperti mengalami deja vu,” gumamnya kemudian. “Melihatmu
dan Erid selama beberapa minggu terakhir ini, seolah Ayah kembali melihat Ayah
dan bundamu bertahun-tahun lalu ketika kamu dan Ilyan mengalami hal yang serupa
dengan Reikel dan Joya. Kamu dan Ilyan benar-benar pejuang yang tangguh, Grace.
Dan anak-anakmu mewarisi darah pejuang itu.”
“Kami mendapatkannya dari Ayah,” ucap Gracia
dengan suara serak.
“Dulu, aku selalu menaruh harapan tinggi
untuk mengalami masa tua dengan damai dan tenang bersama bundamu. Bermain
bersama cucu-cucu. Melihat mereka sesekali berlarian di dalam rumah ini. Tapi
rupanya tidak semua harapan harus jadi nyata.”
Gracia menggenggam tangan Nino. Sejenak
kehilangan kata.
“Sampai detik ini Bunda masih istri Ayah
kan?” bisik Gracia beberapa saat kemudian. “Aku pernah begitu sakit hatinya
pada Bunda. Karena sudah meninggalkan kita untuk sesuatu yang tidak jelas.
Sesuatu yang seharusnya tidak ada kalau saja Bunda mau mengelak. Sampai suatu
saat aku mendapati semua perasaanku sudah tawar. Dingin. Hampa. Tapi aku tak
pernah bisa meretas sisa-sisa rindu itu, Yah. Rindu pada Bunda. Semarah apapun
aku. Sesakit apapun rasa yang pernah menyiksaku.”
“Ayah tidak tahu masih bisa menerimanya
kembali ataukah tidak,” desah Nino. “Seringkali Ayah menengok hati Ayah
sendiri. Berusaha mencari sisa cinta Ayah buat bundamu. Tapi Ayah tidak
mendapati apa-apa. Seperti yang kamu katakan. Tawar, dingin, hampa. Juga sudah
tidak ada lagi sakit hati. Toh orang yang selama bertahun-tahun Ayah cemburui
sudah mati. Ayah sudah lama memaafkan bundamu. Apalagi Ayah juga punya andil
dalam perpisahan ini. Seandainya dulu Ayah berusaha lebih keras untuk
mempertahankan bundamu, mungkin ceritanya akan lain.”
“Ayah...,” Gracia mencium kedua punggung
tangan ayahnya. “Kalau memang Ayah mau hidup bersama lagi dengan Bunda,
lakukan. Dulu Tuhan sudah mempersatukan Ayah dengan Bunda, atas keputusan Ayah
dan Bunda sendiri. Semua rasa sakit karena perbuatan Bunda sudah tertebus.
Ilyan sudah bahagia dengan hidupnya bersama Vita, Flo, dan Oryza. Aku sendiri
sudah merasa sempurna bersama Mas Erid, Reikel, dan Joya. Dan kuharap Ayah bisa
menyatukan semua kebahagiaan itu seutuhnya dalam hati Ayah.”
Nino tersenyum dengan mata mengaca.
“Terkadang Ayah merasa membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita dan
kebahagiaan tentang kalian pada seseorang. Seseorang yang bisa merasakan hal
yang sama dengan yang Ayah rasakan. Bundamu selama ini memang relatif lebih
diam. Kesalahannya di masa lalu memang fatal, tapi Ayah yakin bundamu sudah menyesalinya.
Sudah terlalu tua pula untuk bermain api.”
“Apapun keputusan Ayah,” senyum Gracia. “Dan
kalau memang Ayah sudah menemukan kembali teman hidup itu, aku bisa segera
menempati sarang hangat yang sudah disediakan Mas Erid untukku, tanpa melupakan
bahwa sarang lamaku ada di sini. Sama seperti yang Ilyan selama ini lakukan.
Aku berjanji akan tetap ada anak-anak yang sewaktu-waktu berlarian dalam rumah
ini. Flo, Oryza, dan kelak Reikel dan Joya akan bergabung.”
Nino mengembangkan senyumnya. Diraihnya
kepala Gracia. Dikecupnya dengan hangat dan lembut.
* * *
Nino
: Apakah salah bila aku belum menemukan lagi rasa cinta itu?
Hanny membaca sekali lagi pesan melalui
aplikasi Whatsapp itu sebelum membalasnya.
Hanny
: Sama sekali tidak. Karena kesalahanku bukanlah hal yang kecil. Bahkan bila
masih ada rasa sakit hati dan kemarahan
itu, aku merasa wajib menerima dan menanggungnya.
Nino
: Aku masih ingat pernah mengatakan bahwa kamu tetap istriku. Bahwa aku tak
akan pernah menceraikanmu. Apakah hal itu masih berarti bagimu?
Hanny terdiam sejenak. Berusaha untuk
merenungkan semuanya.
Hanny
: Aku sudah pernah melanggar janji pernikahan itu. Dosaku besar di mata Tuhan.
Aku tidak tahu apakah masih berhak atas suatu tempat yang mulia itu. Suatu
tempat di sisimu. Walaupun aku masih punya banyak keinginan. Keinginan untuk
menghabiskan masa tua bersamamu. Menemanimu. Merawatmu. Walaupun tak ada lagi
rasa cintamu untukku. Tapi aku tak berani berharap. Aku takut melukaimu lagi.
Melukai Ilyan. Melukai Grace.
Nino
: Mengapa tidak mengusahakan agar tidak ada lagi yang terluka?
Hanny
: Apakah aku masih pantas? Walaupun aku akan berusaha keras mengusahakannya.
Hanny hampir saja meletakkan ponselnya ketika
hingga hampir 10 menit tak ada balasan dari Nino. Ketika ia hendak merebahkan
diri di atas ranjang, ponselnya kembali berbunyi. Hanny menatap layar ponselnya
tanpa berkedip.
Nino
: Will you marry me once again, Hanny?
Seketika ponsel itu terlepas dari tangan
Hanny. Sempat terpental sekali di atas ranjang sebelum tergolek diam di sebelah
guling. Hanny hanya bisa menatap ponsel itu dengan kedua tangan menutupi
mulutnya yang ternganga.
* * *
Tidak ada kegembiraan yang berlebihan
menghadapi pembaharuan janji nikah Nino dan Hanny. Hanya saja Grace dan Ilyan
berusaha untuk mempersiapkannya dengan baik. Keduanya sepakat untuk menutup
lembaran-lembaran yang sempat tertoreh tinta kelam.
Memaafkan Hanny seutuhnya adalah hal yang
bisa mereka lakukan. Kalau itu membuat sang ayah berbahagia, mengapa tidak?
Pelan-pelan Gracia melepaskan diri dari
kehidupan baru Nino dan Hanny. Seiring dengan proses persiapan pembaharuan
janji nikah itu, Gracia dan Erid mulai memindahkan kehidupan mereka ke rumah
yang sudah disediakan Erid.
Sambil menata ulang kamar bayi untuk Reikel
dan Joya, Gracia mengingat lagi setiap detik kebahagiaannya dan Erid menyambut
kehadiran Reikel dan Joya. Semuanya terasa manis. Membuat hidupnya kian terasa
sempurna.
Menyaksikan Nino dan Hanny saling menggenggam
tangan ketika mengulangi lagi janji pernikahan yang pernah mereka ucapkan
adalah hal yang membahagiakan Grace dan Ilyan. Serasa ada beban yang terangkat.
Ketika mereka berkumpul untuk makan siang
sederhana seusai misa, atmosfer yang terasa menyelimuti adalah kedamaian sebuah
keluarga besar yang bersatu dalam kebersamaan. Dan sesudah itu, perlu waktu bagi
Nino untuk membiasakan diri dengan kehadiran lagi Hanny di sampingnya.
Jujur, Nino sempat merasa kehilangan Gracia. Tapi
pelan-pelan semua itu digantikan oleh Hanny dengan sangat sempurna.
* * *
Pada suatu detik, ketika Nino melihat Florian
dan Oryza berkejaran sambil tertawa-tawa dalam rumahnya, dan si kembar Reikel - Joya tampak gembira
bergerak ke sana-kemari di dalam baby walker
masing-masing, saat itu juga ia merasa bahwa seluruh harapannya lengkap terkabul.
Bersama Hanny di sisinya, ia menikmati semua itu dengan mata mengaca. Mengucapkan
semua syukur yang bisa ia ucapkan.
Pelan, lembut, hangat, digenggamnya jemari Hanny.
Semua rasa sakit itu sudah tertebus. Lunas. Membuatnya mampu tersenyum kembali tanpa
ada beban.
Diam-diam Gracia menatap tangan yang saling menggenggam
itu dengan keharuan yang terasa menyakitkan tenggorokannya. Pada saat yang sama,
mata Erid menangkap juga kejadian itu. Segera diraihnya Gracia ke dalam pelukannya.
Dan dibisikkannya kalimat cinta.
“Aku selalu mencintaimu. Kemarin, kini, nanti...”
* * *
Epilog
Hari
pertama.
Nino
menatap untuk terakhir kalinya wajah Hanny, yang terlihat begitu damai dan
cantik dalam tidur abadinya, sebelum peti jenazahnya ditutup. Tak sedetik pun
salah satu dari keempat anak dan menantunya melepaskan diri dari sisinya.
Menggenggam tangannya. Menanyakan apakah ia baik-baik saja. Atau hanya terdiam
sambil merengkuh bahunya.
Ada
kesedihan yang terasa membelit hati. Dan juga perasaan kosong. Tapi ia harus
melepaskan Hanny. Untuk selamanya.
* *
*
Hari
kedua.
Nino
terjaga di pagi hari dengan perasaan dingin menyelimuti hati dan tubuhnya.
Ketika ia menengok ke sebelah kirinya, separuh pembaringan itu kosong.
Hanny-nya
tak akan pernah kembali.
* *
*
Hari
ketiga.
“Kamu
meninggalkan aku lagi, Han...,” desah Nino.
“Kelak
kita akan bersatu lagi. Seperti sepuluh tahun yang lalu,” senyum Hanny.
“Benarkah?”
Hanny
mengangguk. Masih dengan senyumnya.
* *
*
Hari
keempat.
Nino
menghabiskan waktu seharian bersama Florian, Oryza, Reikel, dan Joya. Masih ada
sisa kesedihan. Tapi mereka bergandengan tangan untuk meretasnya.
Dan
ketika malam tiba, Nino mendadak merasa gamang. Ia kembali sendirian.
* *
*
Hari
kelima.
“Masih
lamakah, Han?” Nino menatap penuh kerinduan.
Hanny
menggeleng. Mengelus pipinya.
* *
*
Hari
keenam.
“Ini
hari keenam kamu meninggalkanku,” Nino menaburkan kelopak-kelopak mawar di
makam Hanny. “Mungkin aku terlambat mengucapkannya, tapi aku mencintaimu,
Han...”
Ada
hembusan hangat terasa di tengkuk Nino. Nino tersenyum. Ia tidak sendirian.
* *
*
Hari
ketujuh.
Peringatan
tujuh hari meninggalnya Hanny baru saja usai dilaksanakan. Nino menyelinap
masuk ke dalam kamarnya dengan letih. Pelan-pelan ia menghela napas dan
memejamkan mata.
“Mas,
when will you marry me? Once again?”
Nino
mengerjapkan mata. Hanny mengulurkan tangan dan ia menyambutnya serta-merta.
Ketika
ia mengerjapkan matanya kembali, sebuah gerbang keemasan tampak berada di
depannya. Ia menoleh ke arah Hanny.
“Now?”
Hanny
mengangguk.
Lalu
keduanya melangkah dengan ringan ke arah gerbang itu. Tetap bergandengan
tangan.
Selamanya...
* *
* * *
S.E.L
E.S.A.I
Gambar : www.dbagus.com
(Thanks to Sam Noid)
(Thanks to Sam Noid)
Good and nice post mbak
BalasHapusMakasih banyak atensinya, Pak Subur...
HapusHuhuhu....mewek mbaaak.......
BalasHapusKikikik... isuk-isuk wis mewek...
HapusNuwus mampire, Mbak...
Nama babynya yang diatas miracle, dibawah jd reikel..nama panggilannya gitu?
BalasHapusHo'oh, Mbak... Miracle kan bacanya mi - re (e pake 'taling', bunyi yang paling mendekati = ei) - kel (e pake 'pepet')
HapusOh gitu mbak....dadi ngiling-iling pelajaran bahasa jawa..qiqiqi
BalasHapusHihihi... ayo sinau neh...
HapusTerharu mbak, ternyata cinta itu indah ya??? Udah segedhe gajah Gini, Diriku belum pernah ngerasain apa itu cinta.... Huuaaaa.......
BalasHapusDadi pengen jatuh cinta.... Suwun ceritane, TOPBGT pake super, tambah suwe tambah alus ceritane.
Hadeeeh... sampe speechless aku... hehehe...
HapusMakasih mampirnya ya, LeeAnn...
Mungkin ini yang di bilang Pdt. Julianto Simanjuntak dalam bukunya......mencintai hingga terluka. Nggak moco bukune sih tapi mencoba nerjemahin maknanya aja. Bahwa sebenarnya sedalam apapun luka menggores kalbu*jiahh*tidak Serra merta dengan mudah menghapus sebuah cinta*jiaahh lagi*
BalasHapusApik wis......pokoke top markotop.....sengojo komene ngenteni entek
Jiaaah... Dibahaaasss...
HapusNuwus mampire, Mbak Boss...