Pesta ulang tahun itu sudah usai. Semua
kekacauan kecil yang ditimbulkan oleh pesta itu sudah tak ada lagi bekasnya.
Sisa kue tart sudah aman di dalam kulkas. Seisi rumah sudah rapi kembali. Dan
Gracia pun menyeruput se-mug coklat
hangatnya dengan nikmat.
“Belum tidur, Mbak?”
Kaget, Gracia menengok ke arah pintu dapur. Vita
menghadiahinya seulas senyum. Gracia membalasnya dengan tulus.
“Maaf tadi nggak ikut beberes,” ucap Vita.
“Nggak apa-apa. Udah diberesin Ilyan sama Mas
Erid. Lagian kan kamu harus ngelonin anak-anak. Eh, mau, Vit?” Gracia
menggoyangkan mug-nya.
Vita menggeleng. Tangannya sudah menjangkau
pegangan kulkas untuk mengambil sebotol air putih dingin.
“Masih banyak kue tart-nya,” gumam Vita.
“Mas Erid saja yang ngaco. Pesan kue tart besarnya nggak kira-kira,” Gracia
tertawa.
Vita ikut tergelak karenanya. Ia pun duduk di
depan Gracia. Di seberang meja.
“Ayah kelihatannya bahagia banget,” senyum Vita.
“Yup!” Gracia mengangguk. “Walaupun mungkin
kebahagiaannya belum sempurna.”
Vita menghela napas panjang. Kemudian
ditatapnya Gracia, ragu-ragu.
“Mbak...”
“Ya?”
“Mas Ilyan sudah cerita kalau Ibu sekarang
tinggal di rumah?”
Gracia langsung paham siapa Ibu yang dimaksud Vita. Ia kemudian mengangguk
dengan wajah datar. Vita meneguk air putihnya sebelum kembali berucap. Tapi
sebelum ia membuka mulut, suara Gracia sudah membuatnya terdiam kembali.
“Dia baik padamu?”
Hening sejenak.
“Hm... Ya...,” jawab Vita kemudian, dengan
nada mengambang.
Gracia menatap iparnya itu. “Jujur sajalah, Vit...”
Tapi Vita menutupi keraguannya dengan seulas
senyum. “Aku nggak apa-apa, Mbak. Wajar kalau masih ada penolakan Ibu
terhadapku.”
“Huh,” Gracia mendengus. “Seharusnya dia
bersyukur kalian masih mau menerimanya di rumah kalian.”
“Mbak...,” Vita tersenyum sabar. “Aku nggak
apa-apa kok. Sungguh! Mas Ilyan juga selalu bela aku.”
“Awas saja kalau Ilyan sampai buta hati,”
geram Gracia.
Vita tertawa kecil. Ia kemudian berdiri dan
menghampiri bak cuci piring. Mencuci gelasnya.
“Tidur, Mbak,” Vita mengeringkan tangannya
dengan sehelai serbet. “Sudah hampir jam 11. Besok kan kita harus bangun
pagi-pagi.”
“Yup!”
Tak lama setelah Vita kembali ke kamar,
Gracia pun mematikan lampu dapur dan beranjak ke kamarnya sendiri.
* * *
Hari masih gelap ketika mereka bertujuh
meninggalkan rumah itu untuk berwisata ke Taman Safari. Jam digital di dashboard masih menunjukkan angka 04:45.
“Sudah nggak ada yang ketinggalan kan, Vit?”
Gracia menengok ke arah Vita yang duduk di jok tengah bersama Ilyan.
“Beres semua, Mbak.”
“Mau kue tart-nya
dong,” celetuk Erid. “Dibawa nggak tadi?”
“Ada...,” jawab Vita sambil sibuk mengaduk
keranjang bekalnya.
Beberapa detik kemudian sebuah kotak plastik
sudah tersodor ke arah depan. Gracia menerimanya sambil mengucapkan terima
kasih. Sepotong kue tart kemudian
sudah disuapkannya pada Erid.
“Aku bisa pegang sendiri,” protes Erid.
“Halah! Nyetir ya nyetir saja,” balas Gracia
galak. “Masih untung aku mau nyuapin.”
Erid terkekeh.
“Mau aku gantiin nyetir dulu, Mas?” tanya
Ilyan.
“Hehehe... Nggak usah, Yan. Baru juga jalan
berapa meter.”
“Baru juga jalan berapa meter, tangki bensin
sudah minta diisi,” ledek Gracia sambil mencubit lembut pinggang Erid.
Mobil itu terus meluncur membelah jalanan
yang kian terang kian ramai. Sudah tak terdengar lagi celoteh Florian dan Oryza
di belakang. Ketika Gracia menengok, dari sela jok tengah kanan dan kiri yang
diduduki Ilyan dan Vita, tampak ayahnya tengah tertidur dengan anak-anak pun
terlelap menyandar di sebelah kanan dan kirinya. Sebuah keharuan mendadak saja
muncul dalam hati Gracia.
* * *
Gracia bukannya tidak tahu harapan yang masih
disimpan ayahnya hingga detik ini. Harapan yang sama dengan yang diucapkan ayahnya
dalam hati saat meniup lilin ulang tahun selama 5 tahun terakhir ini.
Tahun-tahun yang berlalu sejak Ilyan menikahi Vita. Tahun-tahun yang dipenuhi harapan
Ayah untuk melihatnya memasuki gerbang pernikahan pula, hingga perayaan ulang
tahunnya yang ke-65 kemarin.
Setelah menikah, Ilyan tinggal di rumahnya
sendiri bersama pengantinnya. Meninggalkan Ayah hanya berdua saja dengan Gracia.
Rumah yang ditinggali Ilyan itu adalah rumah yang dibangun dari hasil kerja
kerasnya selama bertahun-tahun bersama Vita. Keduanya sudah berpacaran sejak
Ilyan masih kuliah dan Vita masih duduk di bangku SMA.
Sejak awal Gracia sudah merasa bahwa Vita
adalah perempuan yang cocok untuk mendampingi Ilyan. Perempuan yang kelihatan
begitu lembut itu bisa setegar gunung batu bila menghadapi hidup. Mereka sudah
saling mengenal sejak kecil. Apalagi memang Vita seumur hidupnya tinggal di
panti asuhan sebelah rumah.
Yatim piatu.
Status Vita itulah yang sempat membuat Bunda berang
ketika Ilyan memberitahu bahwa ia akan menikahi Vita. Hanya memberi tahu, bukan
minta restu. Karena sejak si kembar Ilyan dan Gracia kelas 9, mereka sudah tak
lagi tinggal serumah dengan Bunda.
Ketika si kembar itu naik ke kelas 7, Ayah
dan Bunda memutuskan untuk berpisah karena Bunda ditugaskan di Jogja. Otomatis
si kembar mengikuti Bunda. Tapi seiring waktu berlalu, keduanya kemudian paham.
Apa
yang lebih menyakitkan daripada melihat dengan mata kepala sendiri bundamu
ternyata meninggalkan ayahmu karena selingkuh dengan laki-laki lain? Gracia
hanya bisa mengerang dalam hati.
Dua tahun kemudian Ilyan dan Gracia
memutuskan untuk kembali tinggal bersama Ayah. Tak lagi mau tinggal bersama
Bunda. Apalagi ketika keduanya makin dewasa dan bisa melihat bahwa Ayah tetap
setia memegang teguh janji pernikahan yang pernah diucapkannya sendiri. Tak ada
perempuan lain dalam kehidupan Ayah kemudian. Tak pernah ada hingga detik ini. Kenyataan
itulah yang membuat Gracia menguatkan Ilyan untuk tetap menikahi Vita.
“Yang
penting Ayah sudah merestuimu dan Vita,” begitu ucapnya kala itu. “Bunda setuju atau tidak, itu bukan masalah
besar.”
Gracia menghela napas panjang.
“Kenapa? Ngantuk?”
Suara berat itu menggoyahkan lamunan Gracia.
Ia menoleh dan mendapati Erid masih setia dengan kemudinya.
“Tidur saja dulu,” ucap Erid lagi.
Gracia menggeleng.
Dan Erid... Apa yang membuatnya bisa bertahan begitu lama dalam hubungan yang
seolah tanpa status jelas ini?
Gracia membuang tatapannya ke luar kaca
jendela. Sekaligus berusaha membuang beban yang dirasanya mendera hati.
* * *
“Bulan
depan ulang tahun Florian.”
Gracia tetap memusatkan tatapan matanya pada
layar laptop. Sementara itu telinganya tetap waspada pada suara yang masuk dari
seberang melalui perangkat handsfree-nya.
“Kalau
aku rayakan di rumah, aku tahu Ayah dan kamu nggak akan mau hadir karena Bunda.
Mungkin Ayah masih mau. Tapi kamu?”
“Kamu sudah tahu jawabannya, Yan,” ucap
Gracia pendek.
“Ya...
Kalau kita rayakan di tempatmu, aku nggak bisa mengakomodasi keinginan Flo buat
merayakan ulang tahun bersama teman-temannya.”
“Sebenarnya rencanamu bagaimana?”
“Vita
ingin pagi harinya ulang tahun Flo dirayakan di sekolah. Sore hari dirayakan di
rumah, mengundang anak-anak tetangga.”
“Nggak terlalu repot?”
“Nggak,
Grace. Semua kue pesan dari tetangga sebelah. Bagi-bagi rejekilah...”
“Hm...”
Hening sejenak ketika Gracia berpikir sambil
menerawang ke luar jendela kantornya.
“Kalau misalnya hari Minggu berikutnya kita
rayakan di rumah gimana, Yan?”
“Anggarannya
nggak ada, Grace. Aku harus mikir juga buat ulang tahun Oryza empat bulan lagi.
Nggak akan sebesar pengeluaran buat Florian, tapi kan aku nggak bisa mengganggu
tabunganku hanya untuk pesta ulang tahun anak-anak.”
“Aku yang menanggung,” ucap Gracia cepat.
“Dengan syarat nggak ada Bunda dan ulang tahunnya dirayakan di panti asuhan
sebelah.”
Hening lagi. Dengan jelas Gracia mendengar
helaan napas panjang dari seberang sana.
“Yan, kamu ngomong dulu sama Vita. Semua
keputusan ada di tangan kalian. Aku cuma menyodorkan alternatif. Aku sendiri
juga ingin merayakan ulang tahun Flo. Bersama Ayah dan kalian. Tanpa Bunda.”
“Oke...
nanti aku diskusi dulu sama Vita. Ya sudah, Grace. Sudah waktunya maksi. Aku
cabut dulu ya?”
“Sip!”
Begitu sambungan itu terputus, Gracia
menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Ditatapnya layar laptop dengan
mata menerawang jauh.
Sejak kehadiran Florian hampir empat tahun
yang lalu, dan Oryza dua tahun kemudian, Gracia selalu menyambut perayaan ulang
tahun kedua keponakannya itu dengan hati berbunga. Apalagi kehadiran keduanya
dilihatnya sangat membahagiakan ayahnya.
Ayah adalah seorang kakek paling hangat yang
pernah dikenalnya. Tak heran Florian dan Oryza lengket sekali pada Ayah. Sama
lengketnya pada Erid.
Erid!
Mendadak Gracia tersentak.
Erid!
Gracia menatap arlojinya. Seharusnya ia sudah
keluar dari kantornya sekian belas menit yang lalu. Tanpa banyak pikir lagi
Gracia melangkah tergesa, hampir berlari, menuju ke kantin langganannya bersama
Erid di sebelah gedung kantornya. Ketika ia sampai di tempat tujuan, dilihatnya
Erid sudah duduk manis menghadapi dua porsi gado-gado dan dua gelas es teh
manis.
“Sorry,
telat,” gumam Gracia sambil menghenyakkan tubuhnya di bangku seberang Erid.
“Nggak apa-apa,” senyum Erid. “Makanannya
juga baru saja diantar.”
“Makasih,” ucap Gracia manis.
Seperti biasa, Erid menikmati makan siangnya
tanpa banyak kata. Gracia menatapnya.
“Tadi Ilyan telepon,” ucap Gracia. “Soal
ulang tahun Flo.”
“Ya? Terus?” Erid menanggapi ketika Gracia
menghentikan ucapannya hingga sekian detik.
“Aku meminta hari Minggu berikutnya dirayakan
di rumah. Tepatnya, di panti asuhan sebelah.”
“Hm... Karena?” Erid menatap Gracia, lekat.
Gracia menghindari hujaman tatapan Erid. Ia
menunduk menekuni piringnya.
“Kasihan anak-anak kalau kamu nggak datang,”
ucap Erid, setengah menggumam.
“Makanya aku minta dirayakan lagi di rumah,”
jawab Gracia cepat sambil mengangkat wajahnya sekilas.
“Sampai kapan, Grace?” suara Erid terdengar
begitu lembut.
Gracia tergugu. Sesungguhnya, ia tak tahu
jawabannya.
Mungkin luka hati itu hampir menutup. Tapi
sudah terlanjur menimbulkan sisa parut yang masih juga terasa nyeri ketika
tersentuh. Parut yang menimbulkan trauma tersendiri ketika telinga dan hatinya
menangkap gema kata pernikahan.
Hingga detik ini.
Gracia mengangkat wajah. Tatapannya terlihat
putus asa. Erid menepuk-nepuk lembut punggung tangannya.
“Sudah jangan pikirkan lagi omonganku,” ucap
Erid, halus.
Gracia tak lagi bisa mengucapkan apa-apa.
* * *
Hari sudah gelap ketika Gracia membelokkan
mobilnya ke carport. Tapi terlihat
Utik sudah menghadangnya. Gadis itu berdiri tepat di tengah carport, menatap Gracia dengan cemas.
Gracia menurunkan kaca mobil.
“Ada apa, Tik? Gracia mengerutkan keningnya.
“Bapak sakit, Mbak. Saya tadi bolak-balik
telepon Mbak Grace tapi nggak nyambung.”
“Hah?!” wajah Gracia langsung terlihat panik.
“Sekarang Bapak sudah dibawa ke rumah sakit
sama Mas Ilyan.”
“Rumah sakit mana?”
“Tempatnya Pak Erid. Belum lama kok, Mbak...”
Tanpa membuang waktu, Gracia segera
memundurkan mobil dan melajukannya ke rumah sakit tempat Erid berdinas. Kalau sampai Ilyan memutuskan membawa Ayah
ke rumah sakit, sepertinya sakit Ayah..., Gracia tak mampu lagi meneruskan
pikirannya.
Gracia dengan jelas mendengar ban mobilnya
berdecit begitu ia berhenti di tempat parkir dekat IRD. Dan Ilyan
menyongsongnya begitu ia menginjakkan kaki di area IRD.
“Ayah kenapa, Yan?”
“Utik bilang Ayah sakit perut dari siang,”
Ilyan mendudukkan Gracia di bangku ruang tunggu. “Kamu nggak bisa dihubungi.
Aku juga. Baru menjelang sore ini tadi Utik bisa hubungi aku. Aku sempat
telepon Mas Erid tapi Mas Erid masih ada pasien, nggak bisa ditinggal. Dari
gejalanya, Mas Erid bilang kemungkinan Ayah kena radang usus buntu. Makanya dia
suruh aku bawa Ayah secepatnya ke sini. Sekarang Ayah lagi diperiksa.”
Gracia terduduk lemas di samping Ilyan.
Menyesali meeting berkepanjangan tadi
siang. Menyesali ponselnya yang lowbatt.
Menyesali kabel charger dan power bank-nya yang hari ini tertinggal
di rumah. Tak terasa, ia terisak. Ilyan segera membawanya dalam pelukan.
“Ayah baik-baik saja, Grace,” bisik Ilyan,
terdengar seperti sedang berusaha menguatkan hatinya sendiri.
“Aku bodoh... Nggak bisa mengurus Ayah dengan
baik...”
“Sst... Jangan ngomong begitu. Sakitnya Ayah
bukan karena Ayah nggak terurus. Ayolah, Grace... Kita semua tahu kamu Ayah sitter yang paling jempolan di
dunia ini.”
Mau tak mau Gracia tersenyum sedikit
mendengar ucapan Ilyan. Dengan lembut Ilyan mengusap sisa airmata di pipi
Gracia.
“Grace, Yan...”
Gracia mendongak. Erid sudah berdiri di dekat
mereka.
“Ayah masih di dalam?”
Gracia dan Ilyan mengangguk bersamaan.
“Aku lihat dulu sebentar ya?”
Gracia menatap punggung Erid yang bergerak
menjauh sebelum menghilang ke balik pintu ruang IRD. Di mata Gracia, Erid
selalu tampak gagah dan tampan. Apalagi sore ini Erid mengenakan celana hitam
dan kemeja ungu gelap kesayangannya dengan lengan baju sudah tergulung sampai
di bawah siku.
Lima belas menit kemudian Erid keluar. Gracia
menatapnya tanpa berkedip.
“Ayah harus operasi malam ini juga. Takutnya
usus buntunya keburu pecah. Nanti aku urus kamar perawatannya. Mau ketemu Ayah
dulu?” Erid menatap Ilyan dan Gracia.
“Kamu saja, Grace. Aku sekarang pulang dulu
ambil baju ganti Ayah, sekalian kasih tahu Vita.”
Gracia mengangguk.
* * *
Erid menatap wajah Gracia yang tampak damai
tapi menyimpan keletihan. Dinikmatinya sejenak keindahan itu walaupun ia tak
menemukan binar mata Gracia yang tersembunyi di balik kelopak mata yang
terpejam.
“Rid...”
Erid menoleh mendengar panggilan lirih itu.
Ia beranjak dan mendekati bed tempat
Nino terbaring.
“Ya, Yah...,” jawabnya sambil pelan-pelan
menurunkan side-rail.
“Grace mana?”
“Masih tidur, Yah. Grace begadang semalaman.
Ayah perlu apa?”
Nino menggeleng. Erid kemudian duduk di
sebelah bed.
“Ilyan?”
“Ke kantor. Mau mengurus cuti dulu.”
“Terima kasih ya, Rid.”
“Sudah jadi tugas saya, Yah,” senyum Erid.
“Bukan itu,” Nino menggeleng pelan. “Terima
kasih karena kamu sudah begitu sabar menemani Grace.”
Erid terdiam. Berusaha mengingat semua batas
keletihan yang sudah dilampauinya bersama Gracia.
* * *
Delapan tahun adalah waktu yang sudah dilalui
Erid bersama Gracia. Sama sekali bukan waktu yang pendek. Dan Erid selalu
mengingat detik-detik kebersamaannya dengan Gracia sejak awal pertemuan mereka.
Ia pertama kali mengenal gadis itu ketika ia
bersama beberapa temannya melakukan bakti sosial di sebuah panti asuhan. Seorang
gadis cantik yang begitu telaten memotong kuku beberapa anak kecil penghuni
panti yang tampak mengantri dengan sabar hingga giliran mereka tiba.
Lalu mereka berkenalan. Lalu mereka saling mengenal
lebih dekat. Lalu mereka jadi lebih dekat dan sering menghabiskan waktu luang
bersama. Lalu ia menyadari bahwa ia makin hari makin jatuh cinta pada gadis
itu.
Gracia. Gadis yang tinggal bersama saudara
kembar dan ayahnya di rumah di sebelah panti. Gadis yang bersedia meluangkan
setiap libur akhir minggunya untuk mendongengi anak-anak, memotong kuku
anak-anak, bermain bersama mereka, dan masih banyak lagi hal indah yang
dilakukannya.
Ketika waktu terus berjalan dan ia merasa
makin mantap untuk membawa gadis itu pada sebuah kehidupan baru, sebuah jawaban
mengejutkan keluar dari bibir Gracia.
“Mas, aku tak pernah berani membayangkan diriku
terseret masuk ke dalam sebuah pernikahan,” ucap Gracia nyaris tak terdengar.
Dan ia terbelah antara sepenuhnya memahami
dan sepenuhnya ingin menyangkal pernyataan itu. Sejak awal tak ada yang
ditutupi oleh Gracia. Semua cerita kehidupan Gracia telah diungkapkan secara
gamblang padanya. Tanpa satupun disembunyikan Gracia.
Sepenuhnya ia bisa memahami trauma yang dialami
Gracia tentang sebuah pernikahan. Tapi di sisi lain ia ingin membawa Gracia
meretas semua itu. Sudah lebih dari cukup kepedihan yang selama ini diusung
Gracia. Ia hanya ingin turut menanggungnya dan mengurangi kepedihan itu.
Tapi Gracia tetap kukuh mengelak setiap kali
ia berusaha untuk melamar. Dan ia sendiri tak pernah mengerti mengapa tetap
bisa bertahan di samping Gracia walaupun hubungan itu kelihatannya sama sekali
tidak berprospek cerah.
Satu hal yang ia tahu. Ia mencintai Gracia.
Dan cinta itu pula yang meletup dari dalam mata Gracia setiap kali mereka
bertatapan. Untuk sementara semua itu harus dirasanya cukup. Dan ia tak pernah
mengijinkan rasa lelah itu menghinggapinya walau sedetik pun. Seandainya ia tak
pernah bisa memiliki Gracia seutuhnya dalam suatu ikatan pernikahan, setidaknya
ia tak ingin kehilangan Gracia sebagai sahabat yang menyenangkan.
Ia juga berusaha untuk abai terhadap waktu
yang berlari menggulung usianya yang terus merambat, nyaris sampai ke bilangan
40. Masih ada sisa kerlip di mata Gracia. Sementara ini, semuanya itu sudah
cukup buatnya. Sudah cukup untuk jadi sumber tenaga setiap kali ia
membutuhkannya untuk membuang keletihannya jauh-jauh.
* * *
Suara pintu yang terbuka pelan-pelan membuat
Erid tersadar dari lamunannya. Ia menoleh dan mendapati Vita tampak berdiri
ragu-ragu di depan pintu. Erid berdiri dari duduknya.
“Mbak...,” sapa Erid.
“Ayah sudah bangun, Mas?” Vita berjalan
mendekat.
“Tadi sudah,” Erid mengangguk, kemudian
menatap Nino sejenak. “Tapi sekarang tidur lagi.”
“Oh...”
Ketika sudah ada di dekat bed Nino, tatapan Vita berlabuh pada
sosok Gracia yang masih terlelap di atas sofa-bed.
Sebuah keharuan mendesak begitu saja, membuat tenggorokannya mendadak terasa
sakit dan matanya terasa hangat.
Ia bukan baru setahun – dua tahun mengenal
Gracia. Di balik semua sikap tegas dan tegar yang selalu ditunjukkan Gracia, ia
tahu ada banyak kebaikan dan kelembutan hati yang luar biasa dalam diri Gracia.
Dalam kehidupan Gracia, hal nomor satu adalah Nino. Hal nomor dua masih Nino.
Hal nomor tiga masih Nino juga. Barulah urutan-urutan berikutnya adalah Ilyan
dan ia, Florian dan Oryza, Erid, dan terakhir barulah diri Gracia sendiri.
“Mbak...”
Vita menoleh mendengar panggilan lirih itu.
Ditatapnya Erid.
“Aku nitip Ayah sama Grace ya? Grace jangan
dibangunkan dulu. Aku harus kerja.”
Vita menatap Erid. Ragu-ragu.
“Ada apa, Mbak?”
“Ada Bunda di luar. Mau menengok Ayah. Tapi Mbak Grace...”
Erid paham seketika. Tapi setelah melihat
betapa lelapnya Gracia, Erid pun memutuskan.
“Kukira nggak apa-apa kalau Ibu mau menengok
Ayah. Asal diusahakan nggak mengganggu istirahat Ayah. Dan...,” Erid menatap
Gracia sekilas, “jangan sampai Grace tahu.”
Vita mengangguk mengerti.
“Eh, anak-anak sama siapa?”
“Flo sekolah. Oryza aku titipkan ke tetangga.
Sebentar lagi Mas Yan pulang. Ke kantor cuma urus cuti saja. Nanti ke sini lagi
sama anak-anak.”
“Oh... Oke, aku permisi dulu ya, Mbak?”
Vita kembali mengangguk.
* * *
Hanny terduduk diam menatap sosok Nino.
Bagaimanapun sisa rasa cinta itu masih ada. Bahkan sebuah kerinduan terasa
menguat belakangan ini. Dan menemukan Nino dalam kondisi terbaring lemah
seperti ini benar-benar membuat hatinya dilanda goncangan-goncangan yang tak
lagi bisa dikendalikannya.
Diulurkannya tangan, hendak menyentuh pipi
Nino. Sentuhan halus itu tak mengusik Nino. Pelan, Hanny mengusap tetesan
airmata yang menggelincir di kedua belah pipinya.
Semuanya sudah terlalu jauh. Jarak yang
terbentang di antara ia dan Nino sepertinya sudah terlalu susah untuk diseberangi.
Kendati masih ada tali pernikahan yang tak bisa dilepaskan ikatannya kecuali
oleh maut, serasa hati Nino sudah tak terjangkau lagi olehnya.
Gusti...
Apa yang sudah kulakukan?
Masih terbayang dengan jelas tatapan penuh
luka Nino bertahun-tahun lalu ketika laki-laki itu mendapatinya terpeleset. Tapi kehidupannya bersama
Nino sudah mulai membosankan. Nino adalah seorang suami dan ayah yang hangat
dan penuh cinta. Tapi kadang-kadang semua itu tak cukup buat Hanny.
Pada banyak simpul titik-titik waktu ia masih
mengharapkan letupan-letupan romantisme. Dan semua gairah baru itu
didapatkannya dari Sandy, bukan Nino. Ia sepenuhnya menyeret usianya yang
memasuki angka 40 dan datangnya puber kedua sebagai alasan untuk larut dalam
romantisme bersama Sandy.
Hatinya sudah buta terhadap semua yang sudah
ada dalam genggamannya. Pun janji pernikahan yang pernah diucapkannya sendiri.
“Sampai kapan pun kamu tetap istriku,” ucap
Nino lirih ketika itu. “Aku tak akan pernah menceraikanmu. Tidak bisa, Hanny.
Aku sudah berdosa tidak bisa menyelamatkan pernikahan ini. Aku tidak mau
menambah dosa lagi dengan menceraikanmu secara sipil. Kalau kamu mau pergi,
pergilah.”
“Anak-anak ikut denganku,” ucap Hanny tanpa
belas kasihan. “Kalau kamu mau bertemu mereka, rumahku selalu terbuka.”
Dan Nino hanya menatapnya dalam hening.
Dengan luka terlihat kian melebar dalam mata kelamnya.
Lalu ia pergi bersama Ilyan dan Gracia.
Menikmati madu kehidupan yang diciptakannya bersama Sandy di atas hancurnya
Nino dan airmata anak-istri Sandy.
Ia dan Sandy tak pernah menikah. Bahkan
tinggal dalam rumah yang berbeda setelah Sandy menyusulnya ke Jogja. Tapi
lama-lama Ilyan dan Gracia mengetahui lembaran hitam itu. Ia tak bisa berbuat
apa-apa ketika Ilyan dan Gracia bersikeras kembali pada Nino.
Dan ketika Sandy berpulang dalam pelukannya
lima tahun yang lalu, hampir bersamaan dengan datangnya masa pensiunnya, Hanny
tak lagi melihat ada yang bisa membuatnya bertahan di Jogja.
Seutuhnya ia merindukan Nino. Juga Ilyan dan
Gracia. Tapi kesalahan itu tampaknya terlalu besar untuk bisa ditebusnya dengan
cara apapun. Dan diam-diam dipeliharanya tangis itu dalam hati.
Hanny masih menatap dan membelai Nino. Tapi
ditariknya kembali tangannya ketika Nino bergerak sedikit. Mata itu masih
terpejam. Dan Hanny kembali menatap wajah letih Nino.
“Grace...”
Hanny tersentak mendengar erangan itu.
“Grace...”
Tanpa kedip ditatapnya Nino. Dan tiba-tiba
saja mata itu sudah membuka. Kemudian mulai fokus menatapnya. Tanpa ia bisa
menghindar. Ada lompatan rasa tak percaya yang keluar dari tatapan Nino.
Lalu keduanya hanya bisa terdiam membeku.
* * *
Bersambung ke : When Will You Marry Me? #2
Gambar : www.lightinthebox.com
Waduh, bu Lis keren banget, bisa buat cerpen setiap hari. Two tumb up for you.
BalasHapusHehehe... Nggak tiap hari, Bu... Ini mulai kerjainnya sudah lama, tinggal menjadwal tayangnya saja.
HapusMakasih singgahnya ya...
okeeeehhh besok to tant rebo ki? ditunggu :D
BalasHapusWis bablas tekan Sabtu, Mbak Septi...
HapusMakasih mampirnya ya...
good post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur...
Hapusidenya dapet dari mana aja siihhhh taaaaaannnnnnn *geleng2* :D
BalasHapusDami mana yaaa??? *mikir*
HapusMakasih mampirnya, Mbak Put...
OMG! Aq meh ae kliwatan moco iki mba! Huhuhuhuhu critone mengharukan ..........
BalasHapusNek wis puas liburane ndang mulih, Nyah! Wis kliwatan pirang episode iku... hehehe...
HapusSuwun mampire yo...
hanny mau balik sama nino ???
BalasHapusNO WAY!!
GAK BOLEH!!
enak aja... kemaren2 ke mane, nyah ???
hare gene ngajak balikan ???
Wuidiiih... esmosi jiwaaa... hahaha...
HapusNuwus mampire, Jeng...