Sebelumnya : When Will You Marry Me? #2
* * *
Gracia terduduk mendengar nada putus dari
seberang sana. Ditatapnya ponsel dengan sinar mata kosong. Erid tak menjawab
pertanyaannya. Bahkan hubungan telepon itu putus begitu saja.
Apakah
Mas Erid terlalu kaget sampai dia pingsan?
Gracia menelan ludah.
Tapi
aku nggak dengar bunyi ‘gedebuk’ atau apa pun...
Diangkatnya wajah dan ditatapnya cermin.
Lama. Terpantul di sana bayangan dirinya. Terlihat sudah makin menua. Bukan
lagi gadis usia 20-an yang masih segar dan patut diperjuangkan. Sementara Erid
terlihat makin menarik dan matang di usianya yang menjelang 40 tahun. Membuat
gadis dan perempuan matang normal manapun akan meliriknya bila berpapasan atau
bertatap muka.
Mungkin
dia tak menemukan kata yang tepat untuk menolakku...
Gracia menghela napas panjang.
Ya,
Tuhan... Apa yang sudah kulakukan? Terjatuh sebelum melompat ke kapal yang
baru?
Tiba-tiba saja matanya terasa menghangat.
Perlahan sebuah perasaan sesal memenuhi hatinya.
Mungkin
memang seharusnya aku tak perlu memikirkan sebuah pernikahan. Ini gila!
Betul-betul gila!
Gracia mengusap airmatanya.
Ah,
sudahlah... Cukup sekali aku berbuat bodoh seperti ini. Tak akan ada
pernikahan. Tak akan pernah ada!
Ia beranjak dan membaringkan tubuhnya di atas
ranjang. Udara yang dingin menusuk di tengah derai hujan membuatnya menarik
selimut hingga menutupi dagunya.
* * *
Entah berapa lama ia terseret ke alam mimpi
hingga bunyi nyaring ponsel membuatnya terjaga. Setengah gelagapan ia meraih
benda yang tergeletak di sisi bantalnya itu. Matanya segera menyipit melihat
siapa yang meneleponnya lewat tengah malam begini.
“Ya, Mas?” ucapnya dengan suara serak.
“Grace, bukain pintu pagar dong...”
“Hah?” Gracia langsung terduduk dengan kepala
pening.
Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan
nyawanya yang sebagian masih tersangkut di alam mimpi. Ketika ia sudah
benar-benar tersadar, buru-buru disingkapnya tirai jendela kamar. Samar-samar
ia melihat mobil Erid ada di depan pagar di bawah sana.
Astagaaa... Gracia
menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Sedetik kemudian ia sudah berlari, bahkan
nyaris terbang, dari lantai atas ke lantai bawah. Dalam kegelapan ruang tengah
dicarinya kunci pintu dan gembok pagar di laci bufet. Ketemu. Rencengan kunci
itu sempat terjatuh karena kegugupannya. Tak lupa ia menyambar sebuah payung
besar dari tempat payung di sisi bufet.
Erid sudah menunggu di bawah payungnya di
depan pintu pagar ketika Gracia membuka pintu dan berlari keluar. Senyum lega
terlihat terkembang di bibirnya.
“Mas, apa-apaan hujan-hujan lewat tengah
malam begini?” seru Gracia, dengan tangan gemetar berusaha membuka gembok
pagar.
“Ada yang menyanyaiku, kapan aku mau menikah
dengannya,” seru Erid pula, mengalahkan deru hujan. “Kalau bisa sekarang,
kulakukan sekarang, Grace!”
Gracia hanya bisa menatap bening di mata Erid
tanpa sanggup mengatakan apa-apa.
“Kamu akan membiarkan kita semalaman
kedinginan di tengah hujan begini?” Erid menyambungnya dengan tawa.
Gracia segera menarik tangan Erid dan
menyeretnya masuk ke dalam rumah. Ia mendudukkan Erid di sebuah kursi di depan
meja dapur dan mulai membuat dua mug
coklat hangat. Ketika ia berbalik, didapatinya Erid tengah berlutut dengan
sebuah kotak cincin yang terbuka di tangannya. Sebuah cincin berlian besar tampak
berkilauan di dalam kotak mungil itu.
“Grace,
will you marry me?” Erid mengucapkan kalimat itu dengan kerlip bintang
memenuhi matanya.
Gracia buru-buru meletakkan mug yang dipegangnya sebelum benda itu
terjatuh tanpa terkendali. Ia menatap Erid, menangis dan tertawa sekaligus. Dan
di bawah tatapan memohon yang dikirimkan mata Erid, Gracia pun mengangguk.
Erid berdiri sambil menarik cincin itu dari
kotaknya. Diraihnya tangan kiri Gracia. Disematkannya cincin itu ke jari manis
Gracia. Diraihnya tangan kanan Gracia dan disatukannya dengan tangan kiri dalam
genggamannya. Dikecupnya jemari kedua tangan Gracia. Terakhir, ditatapnya
Gracia dengan penuh cinta.
“Aku mencintaimu,” bisik Erid. “Selalu
mencintaimu. Kemarin, kini, nanti...”
Dan Gracia pun tenggelam dalam pelukan Erid.
* * *
Nino menikmati kopi Sabtu paginya sambil
membaca berita-berita terkini dari tabletnya. Ia mengangkat wajah mendengar
pertanyaan Utik.
“Bapak mau nasi goreng atau sandwich, Pak?”
“Terserah kamulah, Tik...,” jawab Nino sambil
menatap tabletnya kembali.
Beberapa saat kemudian aroma lezat tumisan
bumbu nasi goreng mengelus syaraf penciuman Nino. Ketika sudut matanya
menangkap kelebatan kehadiran Utik, ia mengangkat wajah kembali. Utik
menghidangkan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan irisan mentimun
itu dengan senyum yang terlihat sangat cerah. Nino kemudian mengambil sesendok
nasi goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. Sedetik kemudian ditatapnya Utik.
“Kok lain rasanya nasi gorengmu pagi ini?”
“Kenapa, Pak?” Utik menatap Nino dengan wajah
berubah jadi khawatir. “Nggak enak ya? Keasinan? Atau malah kurang garam?”
“Enggaaak... Enak kok! Malah jauh lebih enak
daripada biasanya.”
“Hm...,” Utik tersenyum jahil. “Itu karena
saya masaknya dengan hati berbunga-bunga, Pak. Dan pasti nasi goreng saya jadi
lebih enak lagi kalau Bapak makannya sambil lihat ini...”
Nino menatap Utik yang sibuk mengeluarkan
ponsel dari dalam saku kulotnya. Utik mengutak-atik ponsel itu sejenak sebelum
menyodorkannya pada Nino. Nino pun menerimanya dengan heran.
Yang terpampang di depan matanya kemudian
adalah foto-foto yang terlihat cukup jelas dan jernih. Tampaknya ponsel buatan
China milik Utik ini mutunya cukup bagus. Nino ternganga ketika foto-foto itu
bergiliran tampil dalam mode slide show.
Erid duduk di kursi dapur dengan posisi
Gracia tengah membelakanginya. Erid mengeluarkan sesuatu dari saku celana
pendeknya. Erid berlutut sambil bersiap menyodorkan benda yang diambilnya dari
saku celana. Erid masih berlutut ketika Gracia berbalik. Entah apa yang
diucapkannya hingga Gracia meletakkan mug-mug
yang dipegangnya di atas meja. Gracia menutup mulut dengan kedua telapak
tangannya. Gracia tampak menunduk sedikit. Erid berdiri. Erid memegang tangan
kiri Gracia. Erid menyematkan sebentuk cincin ke jari manis kiri Gracia. Erid
meraih tangan kanan Gracia. Erid membawa kedua tangan Gracia itu ke bibirnya.
Erid dan Gracia saling menatap. Keduanya berpelukan.
Nino masih menatap layar ponsel Utik yang
kemudian menggelap. Ia tersentak ketika sentuhan Utik mampir di bahunya.
“Pak...,” bisik Utik. “Bapak nggak apa-apa?”
Nino menatap Utik. “Ini apa, Tik? Kapan?”
“Pak Erid melamar Mbak Grace,” jawab Utik
dengan mata berbinar. “Semalam. Dan Mbak Grace menerimanya.”
“Hah?” Nino terjingkat kaget. “Yang bener?”
“Bener, Pak!” Utik mengangguk menegaskan.
“Lihat saja, Mbak Grace masih pakai daster batik yang dipakai dari kemarin sore.
Pak Erid cuma pakai kaos oblong dan celana pendek.”
“Malam jam berapa?”
“Sudah lewat jam 12 malam, Pak...,” Utik
menerima kembali ponselnya yang disodorkan Nino. “Saya terbangun karena dengar
suara kunci serenceng itu jatuh. Saya kira maling. Nggak tahunya Mbak Grace.
Mau bukain pintu buat Pak Erid. Pas hujan deras itu, Pak. Terus... ya itu...,”
Utik nyengir. “Saya fotoin saja. Bisa buat kenang-kenangan Mbak Grace sama Pak
Erid.”
“Kirim ke tab-ku foto-fotonya itu, Tik!” Nino
tertawa mendengar nada jahil dalam suara Utik.
Utik mengacungkan jempolnya. “Siap, Pak! Saya
nyuci dulu sambil kirim fotonya ya? Bapak sarapan saja dulu.”
Nino kembali menikmati nasi gorengnya. Betul,
nasi goreng enak itu terasa lebih enak lagi sekarang. Masih ada sisa rasa tak
percaya dalam hati Nino. Grace menerima
lamaran Erid? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Yang bisa dilakukannya
sekarang hanya menghabiskan sarapannya dan menunggu Gracia bangun.
* * *
Suara klakson khas tukang donat keliling itu
membuat Gracia membuka mata. Sambil menguap dilihatnya sekilas jam dinding.
Pukul 7.30. Gracia menguap sekali lagi.
Ketika hendak menyingkap selimut, sesuatu yang
mengganjal di sela-sela jemari tangan kirinya membuat gerakannya itu terhenti.
Gracia menatapnya. Cincin bermata berlian itu masih tersemat di jari manisnya.
Jadi
semuanya bukan cuma mimpi?
Gracia mengangkat tangan kirinya. Menikmati
kilau mata cincin itu. Pelan bibirnya mengukir senyum. Sejenak kemudian ia
sudah melompat masuk ke kamar mandi.
Kurang lebih 15 menit kemudian ia sudah wangi
dan kelihatan segar dengan T-shirt krem dan celana selutut coklat tuanya.
Rambut sepunggungnya diikatnya tinggi-tinggi. Ketika ia turun, didapatinya sang
ayah baru saja selesai sarapan.
“Tiiik!” Gracia berseru sambil duduk di
sebelah ayahnya.
“Utik lagi nyuci,” gumam Nino sambil asyik
menatap tabletnya. “Kalau mau sarapan, bikin saja sendiri. Anak perawan kok
bangunnya siang amat?”
“Hehehe...,” Gracia nyengir. “Hari libur ini
sih, Yah... Kopinya masih ada nggak?” Gracia menunjuk cangkir kopi Nino.
Nino meraih cangkir kopinya. Alih-alih
memberikannya pada Gracia, ia malah meneguknya sampai habis. Ia kemudian memiringkan
sedikit cangkir itu, berlagak seolah mengintip isinya.
“Yaaah... Habis...,” ucapnya jahil.
“Pelit banget!” gerutu Gracia sambil beranjak
ke dapur, diiringi derai tawa Nino.
Sejenak kemudian Gracia kembali lagi membawa
secangkir kopi dan sebuah piring kecil berisi setangkup roti tawar isi
sarikaya. Ia kembali duduk di sebelah Nino yang masih asyik dengan tabletnya.
“Ada berita menarik apa, Yah?” Gracia
menyeruput kopinya.
“Ini lho...,” jawab Nino, terkesan sambil
lalu. “Ada yang baru dilamar. Kelihatannya sih darurat, tapi cincinnya bagus
banget.”
Gracia mengerutkan kening. Ia menyipitkan
mata, menatap Nino dengan curiga.
“Maksudnya?”
Nino mengangkat wajahnya. Menatap polos.
“Apanya yang maksudnya?”
“Eh, enggak...,” Gracia menghindar dari
tatapan Nino, berusaha sibuk dengan rotinya.
“Lucu ‘kali ya,” gumam Nino. “Lamaran, yang
perempuan pakai daster batik, yang laki-laki pakai celana pendek dan T-shirt.
Nggak ribet.”
Gracia menghentikan acara mengunyahnya.
Ditatapnya Nino. Yang ditatap kelihatan masih sibuk dengan tabletnya.
“Mana kejadiannya pas hujan deras,” lanjut
Nino. “Sudah lewat tengah malam lagi! Romantis...”
Gracia menutupi mulutnya sekarang. Menutupi
senyum malunya yang tiba-tiba saja terkembang. Wajahnya tampak merona merah, dipenuhi
ekspresi tersipu.
“Nggak usah nyindir-nyindir juga, ‘kali...,”
cetusnya.
“Maksudnya?” Nino kembali menatap Gracia,
berusaha mempertahankan wajah polosnya. “Nyindir siapa?”
“Mbuh ah!”
Gracia mengelak.
“Wong
Ayah lagi lihat foto-foto ini lho...,” Nino mengulurkan tabletnya pada Gracia.
Gracia kemudian terbelalak menatap layar
tablet ayahnya. Pelan-pelan tangan kirinya menutupi mulutnya yang ternganga.
Kilatan mata berlian itu pun tertangkap oleh mata Nino.
“Cincinmu bagus. Kapan belinya?”
“Astagaaa...,” Gracia menghenyakkan
punggungnya ke sandaran kursi. “Ini candid
banget sih!”
Tawa Nino pecah karenanya. Begitu pula
Gracia.
“Ini kerjaan siapa sih?” Gracia menutupi rasa
malunya dengan menggerutu seperti itu. “Utik pasti!”
“Nggak penting,” Nino meraih bahu Gracia.
“Selamat ya?” bisiknya kemudian. “Kamu masih punya waktu untuk menyiapkan diri
dan memantapkan hati.”
Gracia memeluk Nino. “Aku mantap. Hanya saja
masih takut. Takut gagal.”
“Tidak akan gagal,” bisik Nino. “Kalau kamu
dan Erid sepakat untuk menyingkirkan semua benih kegagalan itu, maka semuanya
akan baik-baik saja. Percaya sama Ayah.”
“Makasih, Yah...”
Nino mencium sepenuh hati rambut wangi putri
kesayangannya.
* * *
Erid menatap arlojinya, pukul 15.30. Semua
tugasnya sudah selesai. Dia tidak praktek sore ini. Diraihnya ponsel. Iseng
dibukanya file foto hasil jepretan Utik yang dikirimkan Gracia dua hari yang
lalu. Ketika mengamati lagi foto-foto itu, bibirnya segera mengulas senyum
dikulum.
Grace...
Calon pengantinku... Setidaknya hubungan ini sudah melangkah satu tapak lagi ke
depan.
Dihelanya napas panjang. Ia sudah lama
mengenal calon ayah mertuanya. Tapi calon ibu mertuanya?
Erid menyandarkan punggungnya. Mungkin Gracia
tak akan pernah menyetujui maksudnya ingin mengenal calon ibu mertuanya lebih
jauh. Masih ada dinding yang begitu tinggi dipertahankan Gracia. Antara Gracia
dan ibunya sendiri.
Tapi Erid tak bisa begitu saja mengabaikan
perempuan itu. Bagaimana pun Gracia adalah putri perempuan itu. Seperti apa pun
kelamnya sejarah yang pernah tertoreh.
Maka ia pun membulatkan tekadnya untuk
menemui perempuan itu sejam kemudian. Dengan menenteng kantong plastik besar
berisi beberapa batang coklat, aneka snack,
dan dua kotak besar es krim, ia muncul di rumah Ilyan.
“Eh, Mas Erid!” Vita menyambutnya dengan
wajah cerah.
“Anak-anak mana?”
“Ada... lagi main di belakang.”
Erid mengulurkan kantong plastik itu pada
Vita. Vita menerimanya dengan wajah terlihat sungkan.
“Pasti kalau ke sini repot-repot begini,”
ujar Vita.
“Halah...,” Erid terkekeh. “Kayak sama orang
lain saja, Mbak...”
Vita melebarkan senyumnya. “Ayo masuk, Mas.
Oh iya, selamat ya, buat yang kemarin itu .”
“Oh... Hehehe...,” Erid terlihat sedikit
tersipu. “Makasih, Mbak Vit. Mm... Ibu ada?”
Vita menatap Erid. “Ibu?”
Erid mengangguk. “Ibu masih di sini kan?”
“Masih...,” Vita buru-buru mengangguk. “Mas
Erid mau ketemu Ibu?”
Erid mengangguk lagi. Ia kemudian duduk di
ruang tamu rumah mungil itu sementara nyonya rumahnya menghilang ke dalam. Tak
lama, perempuan itu muncul. Perempuan yang ingin ditemui Erid. Menatap Erid
ragu-ragu. Erid bangkit dari duduknya.
“Selamat sore, Bu,” Erid menyapa sopan,
menyalami Hanny.
“Sore... Mas Erid ya?”
“Betul, Bu. Apa kabar?”
“Baik,” Hanny mengangguk, tersenyum. “Silakan
duduk.”
“Terima kasih. Begini, Bu. Maksud kedatangan
saya ke sini, saya ingin ngobrol dengan Ibu. Soal Grace. Ibu ada waktu?”
Hanny menatap Erid sejenak, sebelum mengangguk.
* * *
Hanny menatap laki-laki yang sibuk memesan
menu di depannya itu. Raut wajah laki-laki tampan itu terlihat begitu tenang
dan menyiratkan kesabaran. Setelah urusannya selesai, laki-laki itu mengucapkan
terima kasih pada waiter, dan
mengalihkan tatapannya pada Hanny.
“Terima kasih karena Ibu bersedia meluangkan
waktu untuk mengobrol sore ini,” ucap Erid, masih terkesan formal.
“Sama-sama,” Hanny mengangguk sambil
tersenyum.
“Mm... Saya kekasih Gracia, putri Ibu.
Sekarang status saya sudah meningkat jadi calon suami karena Grace sudah
menerima lamaran saya empat hari yang lalu. Lamaran resmi memang belum kami
lakukan karena masih menunggu satu-satunya kakak saya bisa pulang ke sini untuk
melamar Grace pada Ayah. Kakak saya tinggal di Belanda, ikut suaminya tugas di
kedubes kita di sana. Orangtua kami sudah tidak ada, jadi Kakak yang akan
mewakili almarhum orangtua untuk melamar Grace secara resmi. Dan di sini...”
Ucapan Erid terhenti sejenak ketika waiter membawakan pesanan minuman
mereka. Setelah waiter itu pergi,
Erid pun melanjutkan ucapannya.
“Saya sudah sangat mengenal Ayah, Bu. Delapan
tahun saya pacaran dengan Grace. Ayah selalu menerima kehadiran saya dengan
tangan terbuka. Sama seperti Ayah menerima kehadiran Mbak Vita dalam kehidupan
Ilyan. Saya membutuhkan restu Ibu, walaupun mungkin Grace sendiri memandang
semua itu tak penting. Tapi bagaimanapun, buat saya, Ibu tetap ibu Grace yang
harus saya hormati juga. Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dari Ibu,
hingga saat ini saya belum berhasil mengubah sikap dan pandangannya terhadap
Ibu.”
Hanny tercenung lama. Hingga waiter datang lagi mengantarkan makanan
yang sudah dipesan Erid. Ditunggunya hingga waiter
itu pergi.
“Mas Erid,” ucap Hanny kemudian, lirih. “Saya
mengucapkan terima kasih karena Mas Erid masih bersedia menganggap saya ada.
Seandainya tidak pun, saya akan terima dengan lapang dada. Saya menyadari
posisi saya di mata Ilyan dan Grace, terutama Grace. Ilyan, meskipun laki-laki,
sejak kecil memang sudah lebih lunak dan permisif daripada Grace. Ilyan mirip
ayahnya, dan Grace sendiri mirip saya. Saya memahami itu. Saya hanya bisa
berdoa dan berharap, Grace dan Ilyan seteguh ayahnya, tidak tertular
ketidaksetiaan yang pernah saya lakukan. Tapi perasaan saya bilang, Ilyan dan
Grace memang anak-anak dari ayahnya yang seteguh itu memegang kesetiaan.”
“Saya tidak pernah mencemaskan itu, Bu,”
senyum Erid. “Selama delapan tahun ini saya sudah menikmati kesetiaan Grace.
Sekaligus ketakutannya untuk melangkah menuju ke masa depan bersama saya. Tapi
sejak awal saya percaya Grace memang diciptakan Tuhan untuk saya. Karena itu
saya siap menunggunya sampai kapan pun hingga dia bersedia untuk saling
mengikatkan diri bersama saya dalam sebuah pernikahan. Dan saat ini, Tuhan
sudah mengabulkan doa saya.”
“Saya menambah kesalahan itu dengan pernah
tidak menyetujui pilihan Ilyan,” Hanny menunduk menatap piringnya. “Tapi saya
sudah menyadari bahwa sikap saya itu salah. Vita sangat baik. Dan dia adalah
perempuan yang tepat buat Ilyan. Dan Anda, Mas Erid...,” Hanny mengangkat
wajahnya, menatap Erid, dalam, “berjanjilah pada saya untuk menjaga Grace
baik-baik. Tolong jangan sakiti hatinya seperti saya sudah menyakiti hati
seluruh keluarga saya.”
“Saya berjanji, Bu,” ucap Erid mantap.
Hanny tersenyum dengan telaga bening mulai
mengembang di matanya.
* * *
Bersambung ke : When Will You Marry Me? #4
Gambar : www.orori.com
Good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur...
HapusWaw.... Nice Post Mak Lis
BalasHapus#Beneran jadi mupeng pengen balik ke blog pribadi. hahahaha :)))
Ayo, Mbak Imas... Tak'tunggu tulisan baru di blognya...
HapusMakasih mampirnnya ya...