Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #4
* * *
“Kamu
jadi pulang?”
“Ya,
Ma, langsung dari kantor.”
“Jangan
terlalu malam ya?”
“Enggak,
aku mau cabut jam 3.”
“Eh, Raf...”
“Ya,
Ma?”
“Tolong
kamu mampir ke pet shop langganan
Mama itu ya? Beli cat food.”
“Kenapa
nggak suruh Pak Mun aja sih, Ma?”
“Lho,
Pak Mun kan antar Steve ke bandara.”
“Oh...
Ya sudah, nanti aku mampir ke sana.”
“Oke!
Jangan ngebut ya...”
“Iya,
Ma.”
Rafael
menutup teleponnya sambil menggaruk kening.
Mampir ke pet shop itu lagi?
Bertemu dengan gadis itu lagi? Bisa jadi akan mengulang sejarah yang sama itu
lagi?
Diam-diam
Rafael mengutuki hatinya. Kenapa juga
harus ada getar-getar tersembunyi terhadap gadis itu? Getar yang tak pernah
muncul lagi sejak perpisahannya dengan Mega.
Dulu Mega. Sekarang Anna.
Apakah harus mengulangi lagi sejarah hitam itu?
Rafael
menghembuskan napasnya keras-keras. Dia menatap ke luar jendela. Pada gumpalan
awan yang berarak di langit di luar sana. Sekejap kemudian dia meraih koran
hari ini yang tergeletak di sudut meja kerjanya.
Tanpa
minat dibukanya koran itu. Lembar demi lembar. Berita politik, lewat. Kabar dunia,
lewat. Gosip artis, lewat. Laporan dugaan korupsi, lewat. Iklan, le....
Mendadak
mata Rafael bulat menatap iklan kecil di sudut kanan atas lembaran koran.
Dengan takjub ditekuninya membaca iklan itu.
ANDA LAKI-LAKI BAIK-BAIK?
MEMBUTUHKAN TEMAN KENCAN BOHONGAN?
NO SEX, NO DRINK, NO CHECK IN
JABODETABEK
TARIF NEGO
HUBUNGI 099912345678
TANPA PERANTARA
Rafael
ternganga. Sesuatu mendadak berkelebat di benaknya. Sesuatu seperti kembang api
yang meledak tanpa bisa dicegah. Membuatnya buta sesaat.
Diliriknya
arloji. 11.32. Mengikuti impuls, disentuhnya dengan hati-hati angka pada
ponselnya. 0-9-9-9-1-2-3-4-5-6-7-8. Kemudian ditempelkannya ponsel itu ke
telinga.
* * *
Anna
mengangkat wajahnya begitu bel berdenting. Seorang laki-laki tinggi tegap
melangkah masuk.
Deja vu!
Laki-laki
itu tersenyum ke arahnya. Mengangguk ringan.
“Halo!”
sapa Anna ramah. “Apa kabar?”
“Baik,”
jawab Rafael. “Belum tutup ya?”
“Belumlah...
Kami buka sampai jam sembilan malam tiap harinya. Butuh sesuatu?”
Rafael
mengangguk. “Cat food, titipan Mama.”
“Oh...
Tunggu sebentar ya?”
Anna
dengan cekatan mengambil beberapa bungkus cat
food dengan merk yang biasa dibeli Bu Lea.
“Apa
lagi?” tanya Anna dari kejauhan.
“Sudah,
itu saja,” jawab Rafael sambil beranjak ke meja kasir.
Sebelum
Anna menanyakan jenis pembayaran, Rafael sudah menyodorkan sejumlah uang tunai.
Sejenak kemudian urusan pembayaran itu selesai. Anna memberikan kembalian
sambil menyorongkan tas kertas berisi belanjaan Rafael.
“Daripada
saya penasaran,” ucap Anna malu-malu, “ Anda Rafael atau Steve ya?”
Rafael
tertawa ringan. Dicobanya untuk menggoda Anna. “Kalau Rafael kenapa? Kalau
Steve kenapa?”
Anna
tersenyum malu. “Ya enggak apa-apa. Cuma nggak enak aja kalau nggak tahu lagi
berhadapan dengan siapa.”
“Rafael.”
“Oh...
Oke, Mas Rafael, makasih sudah belanja di sini...,” ucap Anna manis.
“Sama-sama.”
“Mm...
Nggak ngobrol dulu?”
Rafael
melihat arlojinya. “Saya dari Bogor langsung mampir ke sini, Mbak Anna, belum
pulang. Lagian saya ada janji dengan seseorang. Mungkin lain kali kita punya
kesempatan untuk ngobrol ya?”
Anna
mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya senyum itu dipamerkannya untuk menutupi
rasa kecewa. Rasa kecewa? Atau rasa
ditolak? Anna menghela napas panjang setelah pintu tertutup dan sosok
Rafael menghilang di baliknya.
* * *
Pelan-pelan
Rafael menyesap secangkir Ying-Yang
Americano-nya dengan nikmat. Diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru
cafe. Hm... Bagus juga selera perempuan
itu. Setelah meletakkan cangkir, dia mulai memotong ujung Plum Pie-nya. Baru seperempat potong Plum Pie berpindah ke perutnya, sebuah
suara lembut menyapa.
“Selamat
malam...”
Rafael
menoleh.
“Bapak
Rafael?”
Rafael
berdiri dan menyalami penyapanya. “Malam, Mbak Adita?”
Perempuan
itu mengangguk.
“Apa
kabar, Mbak?”
“Baik,
Pak.”
“Silahkan
duduk.”
Perempuan
itu mengambil tempat di seberang Rafael. Sekilas Rafael mengamatinya. Tidak
terlalu cantik. Tapi sangat manis. Berpenampilan rapi. Keseluruhannya terlihat
cukup elegan.
“Mau
pesan apa?”
“Oh...
Sudah tadi, tinggal diantar ke sini.”
“Oke...”
Rafael mulai kehilangan kata-kata. “So...”
Adita
menatap Rafael sambil tersenyum. “Jadi kapan Bapak mau mulai?”
“Jangan
panggil Bapak,” sergah Rafael. “Panggil saja Rafael, Rafa...”
“Oke,”
angguk Adita, terlihat agak ragu-ragu.
“Jadi
Anda sedang free?”
Adita
kembali mengangguk. “Saya nggak akan mengambil dua job sekaligus. Itu sudah aturan tak tertulis dari saya sendiri.”
“Kalau
boleh tahu, kenapa Anda butuh job
ini?”
Adita
menatap Rafael. Sepertinya laki-laki ini
memang laki-laki baik-baik, pikirnya. Setelah menimbang sejenak, dia pun
menjawab, “Adik saya butuh uang untuk pengobatannya. Saya dulunya karyawan
kontrak dan baru diberhentikan minggu lalu. Kontrak saya habis. Saya nggak mau
jadi pelacur. Dan terpikir untuk membuat iklan itu. Siapa tahu ada yang
membutuhkan jasa saya. Dan Anda menelepon.”
“Jadi
saya customer pertama Anda?”
Adita
mengangguk.
Rafael
menatap Adita. Ada kejujuran berlayar yakin dalam mata perempuan itu.
“Oke,”
putus Rafael. “Saya bersedia membayar sesuai permintaan Anda. Besok kita tanda
tangani surat perjanjian. Gimana?”
“Deal.”
Dan
malam itu hampir habis dengan berbagai perbincangan yang cukup mencengangkan
Rafael. Perempuan ini cerdas, nilai
Rafael.
“Mm...
Coba tulis surat lamaran. Ada posisi kosong di kantor. Di Bogor,” ucap Rafael.
Tapi
Adita menggeleng. “Makasih, tapi saya tetap harus profesional. Saya akan cari
kerjaan di tempat lain. Kalau seandainya saya sudah dapat kerjaan walau kontrak
kita belum selesai, saya akan tetap membantu Anda.”
Rafael
mengangkat alisnya. Adita mengedipkan matanya sambil tertawa.
“Saya
serius,” ucap Adita di tengah tawanya.
Rafael
mengangguk sambil tersenyum, “Ya, saya percaya.”
* * *
Seperti membaca cerita baru saja, nicr post mbak
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur...
HapusPerasaan dulu namanya Vedita? Kapan selametane ganti jeneng?
BalasHapusWis malem Jumat minggu wingi, huehehe...
HapusNuwus, Mbak Boss...