Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #10
* * *
Adita
terpana.
Mama? Rafael menyebut
perempuan setengah baya yang sangat cantik itu Mama?
Sedetik
kemudian Anna merasa tangan Rafael yang menggenggam tangannya mengetat sedikit
demi sedikit. Terasa dingin tiba-tiba. Adita balas meremas tangan itu. Entah
kenapa, dia merasa perlu mengalirkan sedikit kekuatan pada Rafael.
“Kok
bengong?”
Senyum
perempuan cantik itu mengembang begitu lebar. Terlihat hangat dan tulus.
“Kok
Mama bisa ada di sini?” suara Rafael terdengar seperti orang tercekik.
“Iya,
Mama nggak diundang ya?” wajah perempuan itu berubah jadi sedih, tapi ada tawa
di matanya.
“Bukan
begitu...,” Rafael menggantung kalimatnya.
Sedetik
kemudian dia menyadari genggaman tangannya. Ditatapnya Adita sekilas, sebelum
dia kembali menatap mamanya.
“Ma,
kenalkan ini Adita, pemilik warung ini,” Rafael melepaskan genggaman tangannya,
dan mengalihkannya pada sekeliling bahu Adita.
Mendapat
rengkuhan itu, Adita tersipu seketika. Dengan malu-malu dia menyodorkan tangan.
Lea menyambut uluran tangan itu dengan hangat.
“Senang
bertemu denganmu, Adita,” ucap Lea halus.
Adita
mengangguk. “Terima kasih Tante mau hadir di sini. Maaf, saya nggak kepikiran
mengundang Tante.”
“Nggak
apa-apa... Itu tadi Steve paksa Tante ikut. Kebetulan Tante sudah kenal Anna.
Jadi Tante pikir, nggak ada salahnya juga Tante sekalian mengenalmu.”
“Duduk,
Ma...,” Rafael menggandeng tangan mamanya, menjauhi Adita. Dan ketika jaraknya sudah
cukup jauh, Rafael berbisik jengkel, “Ngapain juga Mama ikutan ke sini?”
“Lho,
tadi udah Mama bilang, diajak Steve,” tukas Lea, berbisik pula.
“Aduh,
Ma... Adita itu udah stress mikirin grand
opening ini. Masih juga ditambah harus mendadak ketemu Mama. Gimana sih?”
Lea
tercenung sejenak. Benar juga ucapan Rafael! Seketika dia ingat betapa gugupnya
dia dulu saat harus bertemu untuk pertama kalinya dengan orangtua Piet. Cukup
stress. Dan ketenangan Piet tak membantunya sedikit pun. Untung saja penerimaan
calon mertuanya itu begitu baik. Sehingga ketegangannya menguap sedikit demi
sedikit.
Perlahan
Lea duduk di kursi yang ditunjuk Rafael. Tak didengarnya Rafael mengatakan
sesuatu sebelum meninggalkannya di tengah Steve, Anna, Jemmy, dan kekasih
Jemmy.
Dari
tempatnya duduk, dia masih bisa melihat Rafael mendatangi Adita yang berdiri di
sudut. Melihat anak kesayangannya itu mengatakan sesuatu pada Adita. Gadis itu
menyambungnya dengan senyum dan gelengan kepala. Tangannya terlihat
menepuk-nepuk punggung tangan Rafael yang baru saja diraihnya. Rafael mengangguk-angguk,
menatap gadis itu dan tersenyum.
“Pilihannya
nggak salah...,” gumam Lea tanpa sadar.
Gadis
itu terlihat begitu tenang. Tepatnya, dia dan Rafael tampak saling menenangkan.
Adakah yang lebih indah daripada melihat
itu? Lea tersenyum.
“Ma...”
Lea
tersentak. Dicarinya asal suara itu. Steve tampak menatapnya dengan alis
terangkat.
“Mau
pesan apa?”
“Oh...”
Lea segera menyadari dia ada di mana, kemudian menyibukkan diri dengan memilih ini-itu.
* * *
Satu
persatu anak buah Adita pamitan. Adita berkali-kali mengangguk sambil
mengucapkan terima kasih. Velma sudah pulang sejak tadi, diantar
teman-temannya. Setelah pamitan terakhir, Adita menatap berkeliling. Menyapa
seisi ‘warung’ itu dengan matanya.
Semuanya
terasa bagai mimpi. Dua bulanan yang lalu dia masih terpekur sedih di dalam
kamar karena kehilangan pekerjaan. Dan sekarang? Dia bisa menjadi boss bagi beberapa anak buah. Yang tak
dianggapnya anak buah, tapi partner
kerja yang saling menguntungkan. Dan semua itu karena kegilaannya menulis iklan
penawaran diri menjadi pacar sewaan. Lebih gila lagi, ternyata ada juga
laki-laki bernama Rafael yang membutuhkan jasanya.
“Capek?”
Suara
itu memburaikan lamunan Adita. Dia menoleh. Rafael mengunci pintu belakang,
kemudian berbalik ke arahnya.
“Ayo,
pulang...”
Adita
melirik jam dinding. Sudah hampir pukul 1 dini hari. Dia menurut ketika Rafael
menarik tangannya dengan lembut.
Perlahan
hawa dingin dari AC mobil menyergap. Seolah membekukan waktu. Rafael tak mau
ngebut walaupun jalanan sudah mulai sepi.
“Besok
aku masih bisa bantu,” suara halus Rafael memecahkan keheningan. “Tapi Minggu
siang aku harus kembali ke Bogor. Kamu nggak apa-apa kutinggal?”
Sebuah
rasa menyeruak masuk ke relung hati Adita. Entah rasa apa. Rasa yang dia tak
pernah tahu sebelumnya. Tapi sungguh, suara halus Rafael mengguncang jiwanya.
Membuatnya perlahan meneteskan airmata. Seketika Rafael menepikan mobilnya.
“Dit,
kenapa nangis?”
Dan
kalimat tanya selembut itu membuat Adita makin terisak. Rafael tak bisa berbuat
lain kecuali menarik Adita ke dalam rengkuhannya. Memeluknya tanpa berkata
apa-apa. Dengan sabar menunggu Adita siap berkata-kata.
“Selama
ini aku selalu merasa sendirian,” ucap Adita kemudian, terbata-bata. “Tapi
entah kenapa sekarang enggak lagi. Makasih atas semuanya, Mas. Aku hanya
khawatir kita nggak profesional lagi.”
“Dit,
lupakan semua profesional nggak profesional itu,” bisik Rafael. “Aku yakin kita
ada dan bersama untuk saling membantu, apa pun bentuknya. Kalaupun kita masih
terikat masalah profesional, setidaknya kita udah jadi teman. Aku juga harus
berterima kasih atas semua yang udah kamu lakukan untukku.”
“Tidakkah
merasa berdosa, Mas? Pada mamamu? Kita membohonginya.”
Rafael
tercenung. Dosa? Sejak kapan dia luput seratus persen dari dosa? Perlahan dia
menggeleng.
“Dosa...
Ada yang lebih penting daripada dosaku sekarang ini, Dit. Steve. Setidaknya aku
bisa memberikan sesuatu yang sangat diinginkan Steve.”
“Dengan
mengorbankan kehidupanmu sendiri?” tukas Adita lirih. “Kamu laki-laki baik,
Mas, kamu berhak dapat yang terbaik.”
“Yang
terbaik bagiku sekarang adalah mengenalmu, Dit. Soal bohong ini dosa atau
enggak, itu perkara nanti. Kalau kamu ingin profesional, jangan pikir
perasaan.”
Ya, Adita
membenarkan dalam hati. Harus mengesampingkan perasaan kalau mau profesional.
Dan hubungan ini adalah profesional. Setidaknya itu yang diinginkan Rafael.
Harus
profesional.
* * *
Rafael
menguap sambil membuka piring makannya. Lea menyendokkan nasi ke piring Rafael.
Laki-laki itu mengucapkan terima kasih ringan sambil menguap sekali lagi.
“Kalau
masih ngantuk, tidurlah lagi setelah ini,” tegur Lea. “Memangnya semalam jam
berapa kamu pulang?”
“Jam
dua,” jawab Rafael.
Lea
memindahkan setumpuk lauk ke piring Rafael. Steve muncul dengan wajah secerah
matahari. Diberinya Lea sebuah ciuman ringan.
“Kalau
kamu kembali ke Bogor, Adita bagaimana kalau tiap hari harus pulang jam
segitu?” tanya Lea.
“Nanti-nanti
enggaklah, Ma,” jawab Rafael. “Kan nanti bisa diatur, biar lebih banyak diurus
anak buahnya.”
“Atau
kamu cuti aja dulu, bilang sama Hartono, banyak urusan di sini,” ucap Lea lagi.
“Aduh,
Ma... Kayak apa aja. Adita nggak apa-apa. Dia mandiri kok. Nggak ada yang perlu
dikhawatirkan.”
“Dia
ada mobil?” Steve nimbrung.
“Maksudmu?”
Rafael menoleh sekilas.
“Rawan,
Raf, perempuan pulang malam-malam sendirian,” jawab Steve. “Kalau ada mobil kan
dia lebih aman, daripada pakai motor atau taksi.”
Rafael
menguap lagi. Terlihat acuh tak acuh, walau dalam hati membenarkan ucapan
Steve.
“Pinjemin
aja mobil Mama,” celetuk Lea.
“Nggak
usah,” sergah Rafael seketika. “Nanti coba aku cariin mobil buat dia. Ini masih
urusanku sama dia, Ma. Udah, ah! Aku mau tidur lagi.”
Dan
ketika Rafael melangkah pergi, Lea dan Steve bertukar tatapan. Penuh arti.
“Buruan
selesaikan sarapanmu,” bisik Lea. “Nanti incaran kita keburu ditawar orang.”
Steve
mengangguk mengerti.
* * *
Ini dulu pernah kubaca, tapi kok ya tetap terasa gimanaaaaaaaaa gitu.... mbak. Thanks for the story....
BalasHapusDi episode-episode berikutnya banyak pemaparan baru lho, Mbak... Selamat menikmati! Makasih mampirnya...
Hapusgood post mbak
BalasHapusMaaf baru sempat balas komennya, Pak Subur... Makasih banyak atas atensinya...
HapusTanteeeeee, ikannya udah aku kasih makaaaaaaaannn *komen nggak nyambung* :D
BalasHapusWakakak... Makasiiih... Makasih juga kunjungannya...
HapusWaw, seperti apakah perkembangan hubungan Adita dan Rafael? Apakah Anna nggak cemburu lihat kedekatan Rafael dan Adita? Penasaran deh.
BalasHapusHehehe... Silakan ikuti terus, Bu... Makasih atensinya ya...
Hapus