Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #9
* * *
Jemmy
menatap Anna dengan kening berkerut. Wajah Anna sama sekali tak sedap
dipandang. Terlihat kuyu, pucat, dan lelah.
“Kamu
sakit?” tanya Jemmy sambil menyeruput tehnya.
Anna
menggeleng. “Kemarin kebanyakan ngopi. Semalem nggak bisa tidur.”
“Bukannya
karena mikirin cowok barumu itu?” ada nada jahil dalam suara Jemmy.
Bibir
Anna mengerucut. “Enak aja cowokku...,” gerutunya.
“Lha,
sejak kapan ada laki-laki berhasil mengajakmu pergi sampai hampir jam 11
malam?”
Anna
menjatuhkan badannya di kursi. Ditariknya com
berisi nasi goreng. “Yang masak kamu apa Simbok?”
“Aku.”
Anna
memindahkan sebagian nasi goreng itu dengan agak bersemangat. Jemmy selalu
memasak nasi goreng jauh lebih enak daripada Simbok.
“Kamu
belum jawab pertanyaanku,” usik Jemmy.
Anna
mendesah sambil menjauhkan com itu
dari piringnya. Ditatapnya Jemmy.
“Dia
bukan cowokku. Jelas?” ucap Anna penuh tekanan pada tiap katanya.
Jemmy
meringis. “Bukan sama belum itu beda tipis...”
“Terserahlah!”
Jemmy
tersenyum penuh kemenangan. Dia kemudian meninggalkan Anna sarapan sendirian.
Anna
sarapan sambil melamun. Semalam dia memang sudah tidur. Di benaknya cuma ada
bayangan Rafael dan Adita, Rafael dan Adita, Rafael dan Adita. Bahkan saat
diajak makan malam oleh Steve pun pikirannya masih saja berkisar pada Rafael
dan Adita. Entah Steve sadar atau tidak. Dia cuma bilang ‘capek’ ketika Steve
bertanya ada apa dengannya.
Seharusnya
bukan masalah dia makan malam dengan siapa. Steve teman bicara yang cukup
menyenangkan. Buktinya beberapa kali dia memang harus terseret oleh tawa Steve.
Sejenak melupakan Rafael dan Adita. Tapi setiap kali dia menemukan Steve tengah
menatapnya, seketika benaknya kembali dipenuhi oleh bayangan sosok Rafael. Anna
berkali-kali mengeluh dalam hati. Bagaimana bisa menerima Steve sebagai Steve
di depannya kalau wajah dan sosoknya saja sama persis dengan Rafael?
Ini
masalah rasa. Cuma masalah rasa. Dan bagaimana mengenyahkan rasa itu, Anna sama
sekali tidak tahu. Jangankan mengenyahkan, menguranginya sedikit saja Anna
rasanya tak sanggup.
Anna
menghela napas panjang. Seumur hidup dia belum pernah merasa terkepung dalam
situasi yang seperti ini. Seperti apa sebetulnya rasa yang dia miliki? Pada
Rafael? Pada Steve? Anna menggelengkan kepalanya. Tak ada jawabannya. Tapi
sejenak kemudian dia terpaksa meralatnya.
Bukan
tak ada, dia hanya belum menemukannya.
* * *
Sekuat
tenaga Steve berusaha untuk konsentrasi pada pekerjaannya. Tapi makin keras
berusaha, makin lekat pula pertanyaan itu melenggang menari di kepalanya.
Seperti apa sebetulnya hubungan Rafael dengan Adita?
Kemarin
sekilas dia melihat sebuah hubungan yang sempurna. Tatapan Rafael pada Adita.
Bahasa tubuhnya. Semua sempurna. Terlalu
sempurna, Steve menelan ludah.
Lalu
apa hubungannya dengan dirinya? Steve terpaksa menggelengkan kepala.Adita bukan
siapa-siapa. Jangankan pernah mengenalnya, mendengar namanya pun belum pernah
sebelumnya.
Dan
entah impuls apa yang mendorongnya,
pada jam makan siang itu dia sudah melajukan mobilnya begitu saja di jalanan.
Menuju ke tempat usaha Adita. Rafael pasti ada di sana. Tanpa menduga dia akan
datang. Apakah bahasa tubuhnya masih akan sesempurna itu?
Debar-debar
aneh memenuhi rongga dada Steve. Rasanya seperti mengendap-endap hendak
menangkap basah maling jemuran. Steve menghela napas panjang.
Ini sudah berlebihan, Steve...,
bisik
secuil hatinya. Enggak, nggak berlebihan,
pasti ada sesuatu, bisik secuil hatinya yang lain.
Sebelum
hatinya sendiri saling menyerang dan bergumul, Steve sudah menghentikan
mobilnya di depan tempat usaha Adita. Tepat di sebelah mobil Rafael.
Tak
banyak kesibukan di dalam. Diam-diam Steve melongok. Semua orang sedang sibuk
menikmati nasi kotaknya. Termasuk Rafael dan Adita yang duduk di sudut. Ketika
Steve memutuskan untuk melangkah masuk, apa yang dilihatnya kemudian langsung
menyurutkan langkahnya.
Tangan
Rafael terulur. Mengusap sesuatu di sudut bibir Adita. Perempuan itu menutup
mulutnya dengan wajah tersipu. Kemudian keduanya tertawa.
Cukup sudah!
Steve
segera kembali ke mobilnya dan pergi dari situ. Sepanjang jalan dia merutuki
sisi hatinnya yang menaruh curiga pada hubungan Rafael dan Adita. Sisi hati
yang salah. Salah besar! Hampir saja dia blunder karena mengikuti kata hatinya
yang menyesatkan itu.
Yang
dia tidak tahu, Rafael sudah mengetahui kedatangannya. Dan langkah kakinya yang
sudah di ambang pintu. Bertepatan dengan dilihatnya ada remah kremes ayam di
sudut bibir Adita. Dan dengan lancang dia mencoba untuk membersihkannya.
Kemudian Adita tersipu. Kemudian mereka tertawa.
* * *
Adita menatap dengan puas keriuhan di dalam
warungnya. Hampir semua yang diundangnya datang. Teman-temannya, teman-teman
Velma, beberapa teman sekolah Rafael. Diterimanya banyak pujian dengan dengan
senyum mengembang. Topping ketannya
mantap. Makaroni schotelnya top. Coffee
float-nya sip. Suasananya oke.
“Halo!”
Adita menoleh. Seorang laki-laki tinggi besar
mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Adita menyambutnya dengan ramah.
“Halo juga!” balas Adita dengan senyumnya.
“Makasih ya, udah datang.”
“Makasih juga kami diundang. Saya Jemmy, abang
Anna. Klinik saya di depan itu. Ini Pradnya, kekasih saya.”
“Oh... Abangnya Mbak Anna?” Adita menatap
dengan penuh binar. “Mari saya carikan tempat duduk.”
“Ah, gampang itu... Nanti aja sekalian,
nunggu Anna.”
Rafael menghampiri mereka. Seketika Jemmy
mengerutkan kening. Sebelum Rafael menyapa, Jemmy sudah menyeletuk, “Lho, kamu
kok udah ada di sini? Mana Anna? Tadi dia nunggu kamu.”
Rafael terdiam beberapa detik. Ditatapnya
Jemmy. “Saya Rafael, Mas, yang janjian sama Anna itu Steve. Dia saudara kembar
saya.”
Jemmy ternganga sejenak. “Oh... Kalian
kembar?”
Rafael tersenyum sambil mengangguk. Jemmy
tertawa setengah tersipu. Adita tak tega melihat ekspresi wajah Jemmy. Dia
kemudian menggiring Jemmy dan Pradnya ke sebuah meja besar yang masih kosong.
Meja ukuran keluarga.
Selesai mengobrol sebentar dengan Jemmy dan
Pradnya, Adita kembali ke sisi Rafael yang sedang asyik membenahi tumpukan buku
menu di dekat meja kasir.
“Kalau tiap hari semeriah ini, aku pasti
cepet kaya,” bisik Adita.
Rafael tertawa mendengarnya.
“Ya, aku tahu, harus jaga kualitas dan
lain-lain. Kira-kira bisa nggak ya, Mas?”
“Bisa!” jawab Rafael tegas. “Kamu perempuan
cerdas dan kreatif. Kamu pasti bisa.”
Adita menghembuskan napasnya. Ditatapnya
Rafael. Ada kekuatan yang didapatnya dari tatapan itu. Tatapan yakin yang
memberinya curahan semangat. Dia tersenyum.
“Makasih, Mas.”
“Buat apa?” senyum Rafael.
“Semuanya.”
“Makasih juga atas iklanmu.”
Adita tergelak. Rafael melebarkan senyumnya.
“Sejauh ini semuanya beres,” Rafael
mengedipkan sebelah matanya sambil menepuk punggung tangan Adita.
“Raf...”
Rafael masih mengulum senyum ketika menoleh.
Dan seketika senyumnya lenyap.
“Mama?” desisnya.
Perempuan setengah baya yang tadi
memanggilnya kini melangkah ke arahnya. Tersenyum lebar. Meninggalkan Anna dan
Steve yang masih berdiri di dekat pintu.
Rafael menelan ludah.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #11
good post mbak, nggak bosan membacanya
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur... Maaf komentarnya baru dibalas hari ini...
Hapuseng... ing... engggg...
BalasHapushuayoooo... emaknya datang tuuuuu...
kira2 masih bisa boong enggak yaaaa...
Wakakak...
HapusNuwus mampire, Jeng...
Lanjutkan he he he
BalasHapusSiaaap, Buuu... Makasih atensinya...
Hapusmaaf baru sempat simak mbak...
BalasHapusMaaf juga baru sempat balesin komen Mbak Bekti. Makasih singgahnya ya, Mbak...
Hapus