Sabtu, 23 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #9





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #8


* * *


Denting bel menggema ringan ketika Steve mendorong pintu pet shop itu. Wajahnya dipenuhi seri dan binar. Ekspresi yang sama seperti wajah anak kecil yang mendapat mainan baru.

Sejenak Steve mengedarkan pandangannya ke seantero ruangan. Hingga dua kali. Tapi yang dicarinya tidak ada. Perlahan dia menghembuskan napas panjang.

“Sore, Pak...”

Sapaan ramah seorang laki-laki itu membuat Steve menoleh.

“Ada yang bisa dibantu?” tanya laki-laki muda itu.

Mata Steve mengerjap. Dia mengangguk ringan.

“Mbak Anna ada?” tanyanya dengan nada rendah.

“Oh, Mbak Anna sedang keluar. Kayaknya ke depan situ, Pak,” laki-laki itu menunjuk ke arah luar pintu pet shop.

Steve mengikuti arah telunjuk laki-laki itu, tapi dia tetap gagal paham.

“Ke situ mana?”

“Itu, ke seberang. Ada kafe yang belum buka. Kayaknya itu punya teman Mbak Anna, Pak.”

“Oh... Ya udah, saya susul ke sana aja. Makasih ya?”

Sekejap kemudian dengan langkah lebar Steve keluar dari pet shop dan menyeberangi jalan. Dia tampak mengenali sesuatu. Mobil Rafael. Dia mengerutkan kening.

Ketika dia akan melangkah lagi, seorang gadis muda yang baru keluar dari ruko itu dengan membawa setumpuk kardus tampak menatapnya dengan bingung. Gadis itu menolehkan kepalanya ke dalam ruko, kemudian menatap Steve sekali lagi. Steve mencoba untuk tersenyum.

“Mbak Anna-nya ada di dalam, Mbak?” Steve sopan.

“Mbak Anna tamunya Mbak Dita?” gadis itu mengangkat alisnya. “Ada di dalam. Masuk saja, Mas.”

“Oke, makasih.”

Gadis itu berlalu. Steve melongokkan kepalanya melalui pintu yang terbuka. Dan dia pun mulai paham.

Mbak Dita. Begitu ucapan gadis muda tadi. Adita. Begitu ucapan mamanya di rumah. Dan mobil Rafael pun ada di sini. Steve mengangguk-angguk tanpa sadar. Kemudian dia memutuskan untuk masuk.

“Halo...,” ucapnya ringan.

Dua orang perempuan di kursi sudut sama-sama menolehkan kepalanya mendengar suara itu. Yang satu menatapnya tanpa ekspresi, yang satunya lagi menatapnya dengan takjub.

“Anna,” Steve balik menatap perempuan yang menatapnya tanpa ekspresi itu. “Tadi aku cari kamu di pet shop. Pegawaimu bilang kamu di sini. Dan Mbak Dita,” Steve ganti menatap perempuan yang satunya sambil mengulurkan tangan, tersenyum, “saya Steve.”

“Oh...,” Adita tersadar dan menyambut uluran tangan Steve. “Saya Adita...”

“...pacarku.”

Entah dari mana datangnya Rafael. Tahu-tahu laki-laki itu sudah ada di sebelah Adita. Menatap Steve dengan senyumnya yang kalem. Steve mengangguk mengerti.

“Ada apa cari aku?” tanya Anna tiba-tiba.

“Oh?” Steve melepaskan tawanya. “Kangen.”

Seketika wajah Anna bersemu merah. Digenitin di depan umum seperti ini? pikir Anna jengah, enggak banget! Adita menatap keduanya dengan senyum lebar. Kemudian dia menatap Steve.

“Mas Steve, berhubung Mas sudah di sini, sekalian saya undang untuk datang ke sini lagi besok sore. Bersediakah?”

“Wow! With my pleasure! Makasih, Dita, saya pasti datang. Dengan Anna,” Steve menatap Anna. Dalam.

Anna tampak benar-benar rikuh dengan perlakuan Steve. Sebentar kemudian Anna memutuskan untuk berpamitan pada Adita dan Rafael, lalu menyeret Steve keluar. Steve pun menurut dengan senang hati. Apalagi tangan Anna memegang erat lengannya. Tanpa Anna sadari.

“Kenapa sok akrab sekali?” desis Anna.

“Lho, salahku di mana?” tatapan Steve tampak begitu tanpa dosa.

Anna melepaskan lengan Steve begitu mereka sampai di depan pet shop. Ditatapnya Steve dengan garang.

“Bilang kangen segala!”

“Lho! Aku memang kangen padamu,” ucap Steve polos.

Anna mendengus kesal. Dia berbalik dan melangkah cepat ke arah samping pet shop. Teras rumahnya. Steve mengikutinya dengan langkah yakin.

“Kamu maunya apa sih?” Anna menghempaskan tubuhnya ke sofa teras.

Steve duduk di seberang Anna. Berusaha menahan diri untuk tidak duduk terlalu dekat. Kelihatannya ‘tegangan’ Anna terlalu tinggi. Dengan manis dia pun duduk diam.

Tak mendapat jawaban apa pun dari Steve membuat Anna terpaksa menatap laki-laki itu. Yang ditatap balik menatap dengan senyum innocent menghiasi wajahnya. Nakal. Jahil. Membuat Anna menggelengkan kepalanya. Setengah putus asa.

“Oke, apa maumu sekarang?” Anna menurunkan nada suaranya.

“Ngobrol. Berdua. Denganmu,” jawab Steve dengan tekanan pada tiap kata yang diucapkannya.

Mau tak mau ada juga perasaan geli menusup masuk ke dalam hati Anna. Dia tersenyum sedikit. Sinar kelegaan memancar dari wajah Steve.

By the way,” Steve mengubah ekspresi wajahnya menjadi sedikit memelas, “aku lapar. Bisa kita cari tempat buat makan sambil ngobrol?”

Anna menatap Steve. Tak berdaya. Mau tak mau dia pun mengangguk.

Ketika Anna memunggunginya dan berjalan ke pet shop untuk pamitan pada pegawainya, Steve langsung mengepalkan kedua tangannya dan melakukan seremoni ‘yesss!!’ tanpa suara. Yang Steve tidak tahu, semua itu memantul pada kaca samping pet shop yang dihadapi Anna sebelum dia berbelok ke depan pet shop. Setengah mati Anna menahan tawa.

Laki-laki yang satu ini memang sedikit sarap, pikirnya dengan senyum dikulum.

* * *

Steve menyeruput teh hangatnya sambil menyelonjorkan kakinya. Dari teras depan tempat dia duduk, tampak kerlip bintang menggodanya di sela dedaunan aneka tanaman hias di taman. Diliriknya sekilas Tag Hauer yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir jam 12 malam. Rafael belum pulang.

Pelan Steve menghembuskan napas panjangnya.

Rafael. Adita.

Sepertinya ada sesuatu yang salah. Entah apakah dia memang salah meraba dalam gelap. Entah apakah dia terlalu berandai-andai. Tapi perasaannya mengatakan begitu. Steve mulai mengepulkan asap rokoknya.

Adita.

Sebuah kecantikan klasik yang terlihat begitu santun dan sederhana. Manis. Elegan. Membuatnya merasa harus bersikap hormat pada perempuan itu. Entah kenapa.

Tapi itu bukan selera Rafael. Sama sekali bukan. Dan di sinilah kelihatan sisi salahnya! Steve kembali mengepulkan asap rokoknya. Ada apa sebenarnya?

Sepanjang yang dikenalnya, Rafael bukanlah type orang yang gampang mejatuhkan pilihan. Dan memilih seorang kekasih bukanlah seperti membalik telapak tangan bagi Rafael. Lalu tiba-tiba dia memilikinya? Begitu saja?

Pelan Steve menggelengkan kepalanya. Ataukah dia sudah sedemikian jauh dari hidup Rafael sehingga tak lagi mengenalnya? Steve menghela napas panjang.

Seonggok sesal memenuhi salah satu sudut hatinya. Kenapa juga harus childish seperti yang sudah-sudah? Dan mengingat itu Steve langsung dijalari rasa malu luar biasa di sekujur tubuhnya. Membuatnya seketika menghujamkan rokoknya yang masih tersisa separuh pada asbak di atas meja.

Dan ketika Steve memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan teras, sebuah mobil berhenti di depan gerbang. Steve mengubah arah langkahnya. Dengan sukarela dia membuka lebar pintu gerbang yang gemboknya sudah dibuka Rafael dari luar.

“Belum tidur?” ucap Rafael sekilas sambil kembali ke mobilnya.

Steve menggeleng. Tak menyadari Rafael tak bisa melihat gerakan kepalanya. Mesin mobil Rafael menderum halus. Kemudian mobil itu meluncur masuk ke depan garasi yang sudah tertutup rapat. Tak ada tempat lagi di dalamnya. Seperti biasa kalau dia pulang ke Jakarta, mobilnya harus puas parkir di carport depan garasi.

“Aku udah bilang Mama bawa kunci,” gumam Rafael sambil menekan tombol alarm mobilnya.

“Mama nggak nyuruh aku nunggu kok,” jawab Steve. “Tapi aku memang mau nunggu kamu pulang.”

Rafael menatap Steve. “Ada apa?”

Steve mengangkat bahu. “Pengen ngobrol aja.”

“Soal?”

“Apa aja.”

Rafael memijat tengkuknya. “Aku capek banget. Besok aja ya?”

Steve menutupi rasa kecewanya dengan mengangguk. Terpaksa. Entah Rafael memang lelah, ataukah sengaja menghindar, Steve benar-benar tidak tahu.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #10

4 komentar: