Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #3
* * *
Hujan
deras selalu membuat hati Lea was-was. Apalagi langit sudah gelap, dan Steve
belum juga pulang. Lea menghela napas panjang.
Curahan
hujan dari langit selalu menyentuh tepian trauma yang diam-diam disimpannya.
Tentang sebuah kabar kelam. Ketika Piet dikabarkan mengalami kecelakaan mobil
di tengah derasnya hujan. Dalam perjalanan pulang dari kantor Bogor. Dan
nyawanya tak bisa diselamatkan.
Sudah
hampir lima belas tahun. Tapi seolah semuanya baru terjadi kemarin. Ketika Piet
dimakamkan diiringi tangisannya dan derai airmata kedua putra kembarnya.
Membuatnya menyandang status janda sekaligus ahli waris perusahaan yang telah
lama dirintis Piet.
Semuanya
begitu tiba-tiba. Membuatnya banyak meraba dalam gelap untuk mempertahankan
seluruh peninggalan Piet. Perusahaan beserta seluruh karyawan dan keluarganya.
Agar semuanya tetap hidup. Terutama Rafael dan Steve.
Dan
semua usahanya tak sia-sia. Kalau dia boleh bernapas lega, sekaranglah
waktunya. Ketika Rafael memilih untuk memegang cabang di Bogor. Memaksa Steve
tetap berada di Jakarta, dekat dengan sang mama.
Lea
kembali menghela napas panjang. Dan napas panjang itu segera jadi hembusan
kelegaan ketika dia mendengar bunyi klakson yang dikenalnya. Steve pulang.
Bergegas Lea meninggalkan teras belakang dan melangkah ke arah garasi. Steve
mematikan mesin mobil tepat ketika Lea muncul melalui pintu ke arah dapur.
“Malam
sekali kamu pulangnya?” tegur Lea.
“Banjir,
Ma, hujan deras begini.”
Seutuhnya
Steve dapat mendengar ada kelegaan dalam suara mamanya. Diciumnya sekilas kedua
pipi mamanya.
“Ponselmu
low batt?”
Steve
mengangguk. “Power bank-ku
ketinggalan di laci meja.”
“Buruan
mandi, terus makan.”
“Mama
udah makan?”
Lea
menggeleng. “Mama tunggu kamu.”
* * *
Steve
menyentuh bahu mamanya. Lea yang sedang asyik membaca majalah setelah makan
tersentak kaget. Dia menoleh.
“Mama
belum tidur?”
Lea
menggeleng. Ditatapnya Steve. “Mau ngomong sesuatu?”
Steve
mengangguk, kemudian mengambil tempat tepat di sebelah mamanya. Direngkuhnya
bahu mamanya dengan lengannya yang kekar.
“Ma...”
“Hm...”
“Aku
rasa.... aku... aku suka sama Anna...”
Seketika
Lea melepas kacamata bacanya dan menoleh cepat ke arah Steve.
“Kamu
jangan main-main sama anak itu!” tegur Lea lugas. “Mama kenal dia. Dia gadis
baik-baik. Mama nggak mau kamu permainkan dia!”
“Aku
nggak akan mempermainkan dia, Ma. Dia...,” Steve menentang tatapan mamanya,
“... lain...”
“Apanya
yang lain?” kejar Lea.
Steve
menghela napas panjang. “Ya lain... Lain sama gadis-gadis yang pernah kupacari.
Entahlah, Ma. Perasaanku juga lain. Belum pernah aku merasa seperti ini.”
Apa
yang dikhawatirkannya terjadi sudah! Lea menghela napas panjang. Steve masih
menatapnya.
“Dengar
ya, Steve,” Lea menatap baik-baik putranya. “Mama nggak peduli kamu mau pacaran
dengan siapa pun. Gadis mana pun. Karena Mama tahu semua gadis yang pernah kamu
pacari itu nggak ada yang bermutu, kecuali kecantikannya. Dan tertarik sama
kamu cuma karena kamu tampan dan kaya. Tapi jangan Anna, Mama mohon...”
“Karena
Anna lebih pantas buat Rafael?”
Lea
melengak mendapati ada nada tajam dalam ucapan Steve.
Sejujurnya? Ya.
Lea
terpekur.
Steve
dan Rafael memang kembar. Identik. Dengan wajah dan postur tubuh nyaris serupa.
Tapi entah kenapa sifat keduanya begitu bertolak belakang. Sejak kecil Rafael
memang anteng dan nyaris seperti malaikat karena kebaikannya. Sedangkan Steve
lebih mirip setan kecil. Dengan kebengalan yang membuat semua orang pusing. Tapi
keduanya saling menyayangi, saling menjaga, saling melindungi.
Hingga
suatu saat keduanya terjebak dalam rivalitas yang nyaris tak berujung.
Berawal
dari seorang gadis bernama Mega. Yang disukai Rafael dan Steve. Tapi gadis
manis itu lebih memilih Rafael. Kesalahan tak terampunkan di mata Steve.
Membuatnya melampiaskan seluruh rasa sakit hatinya dengan memacari puluhan
gadis, kemudian mencampakkannya begitu saja, tanpa sedikit pun rasa.
Rafael
dan Mega yang merasa telah menyebabkan ‘mengamuknya’ Steve pada akhirnya tak
mampu mempertahankan hubungan itu. Hubungan yang seharusnya terjalin rapi tanpa
dihantui rasa bersalah. Mereka pun memutuskan untuk berpisah. Menimbulkan
kesalahan baru di mata Steve. Tanpa Rafael tahu bagaimana cara memperbaikinya.
Dan
rivalitas itu berlanjut ketika sang Mama memutuskan untuk menyerahkan tampuk
kepemimpinan perusahaan pada si kembar setelah keduanya lulus kuliah. Sudah
lama sang Mama menyiapkan Rafael untuk memegang kantor pusat di Jakarta. Sebuah
posisi yang Rafael tahu sangat diinginkan Steve. Karena Steve malas tinggal di
Bogor yang menurutnya terlalu sepi.
Dan
dengan segala daya upayanya Rafael menggagalkan rencana mamanya itu. Membuatnya
terlibat pembicaraan yang begitu dalam dengan mamanya.
“Ma,
selama ini aku jarang menuntut sesuatu kan, dari Mama?”
Lea
menatap Rafael dengan jantung berdebar. Entah kenapa sepertinya permintaan
Rafael kali ini seolah menyangkut hidup dan mati.
“Sekarang
aku ingin minta sesuatu dari Mama. Tolong, Ma, taruh aku di Bogor...”
Lea
menangkap ada permohonan yang sarat dalam mata Rafael. Dan dia tak tahu harus
menjawab apa.
“Kenapa?”
hanya itu yang bisa diucapkannya.
“Karena
aku ingin di Bogor, Ma. Dan Steve lebih mampu pegang kantor Jakarta.”
“Bukan
karena acara ‘penebusan dosa’?”
Rafael
tertawa. Menutupi kata ‘iya’, jawaban jujurnya.
“Enggaklah,
Ma. Gimana? Oke, Ma?”
“Ya
nanti Mama pikirkan lagi.”
Dan
selanjutnya dia harus mempercayai kepemimpinan Steve di kantor pusat. Membawa
perusahaan itu makin besar. Membuatnya merasa lega karena mau meluluskan
permintaan Rafael. Lagi-lagi Rafael. Tidak adilkah dia selama ini pada si
kembar?
“Jadi
benar? Karena Anna lebih pantas buat Rafael?”
Lea
tersentak. Kalimat Steve membuatnya terlempar kembali ke masa sekarang. Dia
mengangkat wajah. Ditatapnya Steve. “Kalau Mama bilang tidak, apakah kamu akan
percaya?”
Steve
kehilangan kata. Tak menyangka jawaban mamanya akan seperti itu.
“Steve,
ini bukan tentang kamu atau Rafael,” ucap Lea tegas. “Ini tentang Anna. Dia
bukan seperti gadis-gadismu yang lain. Dia lebih, segalanya. Kalau hanya untuk
kamu campakkan nantinya, Mama nggak akan pernah memaafkan kamu.”
“Aku
nggak akan mencampakkan dia, Ma,” Steve berlutut di depan mamanya. “Aku benar
kan? Dia lain. Dia akan jadi pelabuhan terakhirku. Aku janji, Ma...”
“Tapi
seandainya dia memilih Rafa, apakah kamu akan kembali meliar lagi, Steve?”
Steve
tertunduk. Kalah untuk kedua kalinya? Sudah siapkah dia?
“Cinta
nggak bisa dipaksakan, Steve,” Lea menepuk lembut punggung tangan Steve. “Cinta
juga seharusnya nggak menanggung beban yang bukan kesalahannya. Kamu sudah
dewasa. Mama harap kamu menyadari itu.”
Steve
tercenung. Cinta juga yang membuatnya jadi jauh dengan Rafael. Cinta yang
begitu buta. Ada setumpuk rasa kehilangan yang terkadang tak diakuinya.
Membuatnya terbelit penyesalan yang membuatnya merasa jadi demikian kecil bila
membandingkan diri dengan Rafael.
“Jadi,
biarkan Anna memilih,” ucap Lea. “Dan hormatilah pilihan itu. Jangan seperti
anak kecil.”
Ada
sesuatu yang menohok perasaan Steve.
Rasanya,
dia sudah kalah sebelum bertanding...
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #5
Aduh, repot ya kalau mencintai gadis yang sama. Maklum, kembar suka kompak sih ya, lanjut bu...
BalasHapusMaaf baru balesin komennya, Bu... Makasih atensinya ya...
HapusLhoh! Kok wes chapter 4 seh? Sek aq ta'ngeroll sek yo mba
BalasHapusAh aq speechless ....... duduk manis aja wes tunggu chapter brktny
HapusHehehe... suwuuun...
Hapusnice post mbak
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur...
Hapus