Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #11
* * *
Sayup-sayup
Rafael mendengar nada dering ponselnya menggema. Tak diacuhkannya bunyi itu. Dan
bunyi itu pun berhenti setelah beberapa saat. Tapi ketika dering itu terdengar
lagi untuk seri kedua, Rafael terpaksa membuka mata. Dengan malas diraihnya
ponsel yang tergeletak di sebelah bantalnya.
Tanpa
memeriksa siapa yang menelepon, dia mengucap malas, “Halo...”
“Halo...
Mas...,” suara Adita mengalun dari seberang sana.
Mata
Rafael langsung terbuka lebar. Diliriknya jam dinding. Menjelang pukul sebelas.
Masih pagi, gumamnya dalam hati.
“Ya,
Dit?”
“Mas,
kenapa kirim mobil segala?”
“Hah?”
Rafael serentak mengangkat tubuhnya dari kasur. “Maksudmu?”
“Aku
ditelepon anak-anak di warung. Katanya Mas Rafa nitip mobil buatku. Ditaruh di
sana. Kuncinya ada sama anak-anak.”
Rafael
ternganga. Rasanya sebagian isi otaknya masih tercerai-berai di alam mimpi,
hingga dia perlu waktu beberapa detik untuk memahami kalimat Adita.
“Sebentar...
Aku kirim mobil untukmu?” Rafael menegaskan.
“Yup!”
“Kutaruh
di warung dan kuncinya kutitipkan pada anak-anak?”
“Iya...”
“Dan
aku dari tadi pagi tidur di sini, di rumah, di kamarku,” lanjut Rafael,
setengah bergumam.
Ingatannya
langsung berputar kembali pada percakapan sekilasnya dengan mamanya dan Steve
di meja makan tadi. Rafael langsung menghembuskan napas panjang.
“Mas...,”
suara Adita terdengar lagi. “Aku nggak bisa menerima lebih lagi dari Mas.
Semuanya udah lebih dari cukup buatku.”
Rafael
menghela napas panjang lagi. “Iya, aku mengerti, Dit. Yang kirim mobil juga
bukan aku.”
“Maksudnya?”
“Siapa
coba yang bisa berkeliaran ke mana-mana sementara aku tidur di rumah? Yang
wajahnya mirip aku?”
Beberapa
detik kemudian terdengar suara Adita bagaikan tercekik, “Mas Steve? Oh, my God...”
“Kurasa
Mama ikut andil juga, Dit. Ya udah, kamu pakai dulu mobil itu besok-besok,
selebihnya aku yang urus. Kamu bisa nyetir kan?”
“Tapi, Mas...”
“Pakai
dulu, nggak apa-apa,” tegas Rafael. “Nanti aku jemput kamu jam 1 ya?”
“Tapi...”
“Udah,
nggak apa-apa...”
Dan
setelah percakapan itu berakhir, Rafael segera keluar dari kamarnya. Sepi.
Hanya ada Tunik dan Watini di dapur.
“Mama
mana, Yu?” tanya Rafael.
“Pergi
sama Mas Steve, Mas,” jawab Watini. “Dari tadi pagi, abis sarapan.”
Jelas sudah!
Rafael
menuangkan air dingin yang diambilnya dari kulkas. Sambil meneguknya Rafael
berjalan ke teras belakang. Kucing-kucing mamanya tampak berkumpul rukun di
pojok teras. Dan Rafael mengenali salah satunya.
“Gilbert...,”
panggilnya.
Seekor
kucing Persia berbulu warna abu-abu muda mendekat ke arahnya. Rafael mengelus
kepala kucing itu. Dan kucing itu bergelut manja di kaki Rafael.
Anna...
Seketika
pikiran Rafael melayang pada sosok pemilik nama itu. Ada yang terasa sedikit
sakit di dalam hatinya. Dia bukannya tak paham arti tatapan Anna. Ketika
sekilas tertangkap basah sedang memandanginya di kejauhan. Ketika dia ada di
dekat Adita. Ketika dia sengaja bersikap semesra mungkin pada Adita. Rafael
menghela napas panjang.
Maafkan aku, Anna,
sesalnya dalam hati. Ada yang lebih
penting daripada menjalin hubungan indah denganmu. Suatu saat mungkin kamu akan
tahu...
“Raf...”
Rafael
tersentak. Mamanya sudah berdiri di depannya dengan mengulas senyum lebar.
“Udah
nggak ngantuk lagi?” sambung Lea.
Dengan
serius Rafael menatap mamanya. Dan perempuan itu seketika memahaminya.
“Kenapa
Mama lakukan itu?” ucap Rafael, tanpa senyum.
“Hm...
Ya...,” Lea mencoba menjawabnya dengan hati-hati. “Soal mobil?”
“Ya,”
jawab Rafael pendek.
“Maafin
Mama, Raf... Mama cuma berpikir kasihan banget Dita kalau harus pulang
sendirian malam-malam tanpa mobil. Mama...”
“Dan
Mama nggak sedikit pun minta pendapatku?” sergah Rafael tajam. “Ma, aku hargai
betul apa yang udah Mama lakukan buat Dita, tapi bukan begini caranya. Ini yang
membuatku mengulur waktu untuk sekedar mengenalkan Dita pada Mama.”
Steve
muncul dengan membawa sepiring melon.
“Tapi
rupanya ada yang lancang mengurusi urusanku dengan Dita,” Rafael melirik Steve
sekilas. “Sekarang terserah kalianlah mau berbuat apa. Aku capek.”
Rafael
langsung meninggalkan teras itu. Steve menatapnya setengah bengong. Sedetik
kemudian ditatapnya mamanya, bertanya. Lea menggeleng pelan.
“Kita
salah lagi,” bisik Lea.
Steve menepuk keningnya.
* * *
Adita
bukannya tak menyadari sikap Rafael siang ini. Laki-laki pendiam itu terasa
makin pendiam sejak dia datang. Adita tak tahu cara untuk menghadapinya. Maka
dia pun memilih untuk menahan diri membuka mulut. Tentunya sambil berpikir
harus bicara apa. Sampai akhirnya dia tak tahan lagi.
“Mas...
Marah padaku ya?” celetuknya pelan.
Rafel
sekilas menoleh. Lalu tatapannya kembali terarah pada jalan ramai di depannya.
“Enggak...,”
jawab Rafael halus. “Aku cuma nggak enak aja sama kamu.”
“Nggak
apa-apa,” senyum Adita. “Aku tahu maksud mamamu baik. Beliau pasti hampir yakin
aku nggak mau terima mobil itu, makanya langsung dikirim ke warung.”
“Iya
sih... Aku tadi sempat marah juga. Sama Mama, sama Steve.”
“Aduh,
Mas...,” sesal Adita.
“Nggak
apa-apa,” senyum Rafael, menenangkan. “Nanti biar kubayar mobil itu. Jadi
udahlah, anggap aja itu mobil dariku.”
“Mas,”
suara Adita berubah tegas. “Aku nggak bisa menerimanya. Ini di luar perjanjian.
Aku nggak rugi apa-apa, tapi Mas Rafael bisa habis-habisan walaupun mobil itu
statusnya cuma pinjaman buatku.”
Rafael
pelan menepikan mobilnya. Setelah menarik rem tangan, ditatapnya Adita baik-baik.
“Dit,
jangan pernah merasa seperti itu,” ucap Rafael lembut. “Kamu sendiri tahu kamu
nggak memintanya. Aku tahu kamu bukan perempuan matre. Mama pun tahu,
setidaknya bisa merasakan itu. Ada dua sisi mata uang dalam hubungan kita.
Profesional dan teman. Setidaknya pakai saja mobil itu dalam kerangka kita
berteman.”
Adita
balas menatap Rafael. Dia tak tahu harus menanggapi dengan berkata apa. Dia
cuma bisa menatap dengan begitu banyak arti dalam diamnya. Rafael tersenyum.
Ditepuknya lembut punggung tangan Adita.
“Kasus
ditutup,” ucapnya sambil mengedipkan sebelah mata. “Dan bayaran yang kuberikan
padamu mencakup senyum manis yang sewaktu-waktu kuminta darimu. Jadi...
tersenyumlah, Dit.”
Mau
tak mau senyum Adita terbit begitu Rafael mengulaskan senyum di wajah
tampannya. Lalu berubah menjadi gelak tertahan. Membuat Rafael melebarkan
senyumnya.
* * *
Bersambung ke episode
berikutnya : Rinai Renjana Ungu #13
Pengumunan!
Cerbung
yang saat ini tayang adalah versi yang sudah direvisi. Ada penambahan cerita
yang dimulai pada episode #13 yang akan tayang hari Senin yang akan datang.
Untuk itu jadwal penayangan RRU akan kembali berubah seperti biasa, yaitu
setiap Senin dan Kamis.
Terima
kasih atas perhatian pembaca...
duduk manis aja deh nunggu lanjutan,.... hehehehehe....
BalasHapusHehehe... Makasih atensinya, Mbak MM...
HapusYang penting rutin tayang, menemani sarapan pagi roti pao plus madu, nice post, salam dari Atambua
BalasHapusSalam juga dari pinggiran planet Bekasi, Paj Subur... Sarapannya yummy banget! Makasih atensinya...
Hapustetap semangat menunggu lanjutannya
BalasHapusMaaf bales komennya telat banget, Bu... Makasih singgahnya ya...
Hapus