Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #2
* * *
Anna
membereskan alat-alat yang baru saja selesai dipakai Jemmy. Jemmy meneguk kopi
panasnya dengan nikmat.
“Lusa aku libur ah, An,” ucap Jemmy.
“Lho, yang udah terlanjur bikin janji
gimana dong, Bang?” Anna menoleh sekilas.
“Aku udah hubungin Shana. Dia mau
gantiin aku.”
“Ooo...”
“Ikut yuk, An!”
“Ke mana?”
“Taman Safari.”
“Ogah. Nanti aku jadi obat nyamuk.”
“Hahaha....,” Jemmy terbahak. “Makanya
cari pacarlah, An, biar kita bisa double
date.”
“Dih... Double date... Mending ngabur sendirian...,” Anna meleletkan
lidahnya.
Tok! Tok! Tok!
Jemmy menolehkan kepalanya ke arah pintu
yang sedikit terbuka. Kepala Tina menyembul.
“Maaf, Mas Jemmy, ada yang mau vaksinasi
kucing.”
“Udah terjadwal?” Jemmy meletakkan
cangkir kopinya.
“Udah, Mas. Bu Lea,” Tina mengangguk.
“Ya udah, suruh masuk aja.”
Tak lama kemudian seorang perempuan
setengah baya, dengan dandanan sederhana tapi berkelas, masuk sambil
menggendong seekor kucing Angora. Anna menyapanya dengan ramah. Setelah
berbasa-basi sejenak, Anna pun keluar karena Tina menggantikannya jadi asisten
Jemmy.
Dan sosok itu ada di sana, duduk diam di
sudut ruang tunggu. Laki-laki itu mengangkat wajahnya sejenak. Lalu tatapan
mereka bertemu. Dia membalas senyuman Anna.
“Halo, apa kabar?” Anna menyapa ramah.
Laki-laki itu mengangguk sedikit.
“Baik.”
Anna duduk di tempat Tina atau Nunung
biasanya berada. Berpura-pura sibuk dengan layar komputer di depannya. Ditunggunya
sebuah dialog meriah seperti dua minggu lalu, antara dia dan Steve, putra Bu
Lea itu. Tapi nihil. Diam-diam Anna mengutuki hatinya.
“Berapa, Mbak?”
Anna nyaris terjengkang karena kaget.
Steve, yang sedang memenuhi pikirannya itu sudah ada di depannya, berbatas meja,
dengan dompet berada di tangannya.
“Eh, maaf, saya mengagetkan Anda,” wajah
itu tampak menyesal. Tulus.
“Oh, nggak apa-apa,” Anna meringis,
menutupi debar jantungnya. “Tapi belum tahu habis berapa, Mas. Silakan ditunggu
sebentar.”
Laki-laki itu mengangguk. Dia pun duduk
di kursi di depan meja Anna.
“Anda di sini juga? Bukan cuma di pet shop?”
Anna menatap sejenak laki-laki di
depannya itu. Seseorang yang sama, sekaligus berbeda. Dia tak mampu menjabarkan
rasa berbeda itu. Hanya ‘beda’. Begitu saja.
“Iya, kalau bosen di pet shop ngungsi ke sini,” Anna
tersenyum lebar. “Kalau nggak salah Anda tinggal di Bogor ya?” Anna mencoba
untuk memecahkan kekakuan itu.
“Betul, Mbak Anna,” laki-laki itu tersenyum
dan mengangguk.
Anna menikmati senyum di wajah laki-laki
itu. Matanya mengerjap indah.
“Mama saya ternyata langganan di sini
ya?”
Anna mengangguk.
“Saya nggak terlalu perhatikan hobi
Mama,” laki-laki itu menghela napas panjang.
“Sampai nama kucing saja nggak tahu ya?”
goda Anna.
“Kecuali Gilbert,” tawa laki-laki itu
pecah.
“Dan Nyungnying,” sambung Anna.
“Wah, yang mana lagi si Nyungnying?”
laki-laki itu melebarkan matanya.
“Yang Anda bawa ke sini dua minggu
lalu...”
Laki-laki itu mengerutkan keningnya. Dua minggu lalu? Dia ada di Surabaya.
Selama seminggu.
“Jadi saya pernah bawa Nyungnying ke
sini?” laki-laki itu tampak serius menatap Anna.
Diam-diam Anna menelan ludah. Jangan-jangan laki-laki ini pikun, atau
amnesia, atau apalah namanya... Hah,
cakep-cakep kok abnormal?
“Ehm... Anda mudah lupa ya?” tanya Anna
akhirnya, dengan nada bersahabat, berusaha maklum.
Laki-laki itu masih mengerutkan kening ketika
pintu ruang praktek terbuka. Bu Lea menggendong kucingnya. Tina mengikuti di
belakang dengan secarik kertas di tangannya. Rincian pembayaran.
“Aku yang bayar, Ma,” laki-laki itu
menoleh ke arah Bu Lea.
Perempuan ayu itu tersenyum manis, penuh
rasa terima kasih.
Secepatnya pembayaran diselesaikan.
Ketika laki-laki itu berbalik setelah urusan selesai, sebuah kalimat menerpa
telinganya, “Terima kasih, Mas Steve, sampai ketemu lagi...”
Seketika laki-laki itu berbalik. Menatap
Anna dengan senyum di matanya.
“Saya mengerti sekarang,” ucapnya dengan
senyum melebar. “Saya Rafael, bukan Steve. Dia kembaran saya.”
Anna ternganga.
* * *
“Kamu tahu sekarang...”
Rafael menoleh sekilas. Ada nada
menyesal dalam suara mamanya. Dihelanya napas panjang.
“Anna itu gadis baik-baik. Kalau sampai
digaet Steve, mau ditaruh mana muka Mama?” Bu Lea melanjutkan keluhannya.
“Memangnya Steve bilang apa, Ma?”
“Ya seperti biasa, suka, jatuh cinta,
bla bla bla... Baru juga dua bulan lalu dia kenalkan Mandira pada Mama, sekarang
sudah berubah lagi haluannya, mau membidik Anna.”
“Ya biarlah, Ma. Siapa tahu sama Anna
ini Steve bisa berubah?”
“Ah, kamu ini... Santai betul...”
Rafael tertawa mendengar gerutuan
mamanya.
“Kamu pacarilah Anna, Raf, selamatkan
anak itu.”
“Ma, pacaran juga nggak segampang
itu...”
“Ya paling tidak kamu majulah dekati
Anna. Mama juga tahu seleramu nggak jauh-jauh dari selera Steve.”
“Jadi ini tujuan Mama menyuruhku pulang
dan memaksaku mengantar Mama ke klinik hewan?”
Bu Lea tertawa. “Iyaaa...”
Rafael ikut tertawa. “Ya nantilah, Ma,”
ucapnya kemudian.
“Jangan lama-lama mikirnya,” ucap Bu Lea
lugas.
Rafael kembali tertawa.
Tapi tawa itu lenyap ketika dia
membelokkan mobil masuk ke carport.
Dia tahu sebabnya.
Dan benar saja...
“Sudah kubilang aku saja yang antar Mama
ke klinik hewan,” ucap Steve getas.
Rafael menoleh sekilas sambil berlalu
dan menyeletuk santai, “Mama yang nyuruh aku anterin kok! Sewot aja sama Mama
sana, kalau berani.”
Steve hanya bisa mendengus kesal.
“Ada apa?” Bu Lea menatap Steve.
Steve menghindari tatapan itu. Dia
menggeleng. Kemudian berlalu.
* * *
Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #4
Nggak sabar nunggun lanjutannya
BalasHapusHehehe... Udah tayang, Buuu...
HapusMakasih atensinya ya...
aku jugaaaaaaaaaaaa ngga sabar.....
BalasHapusPadahal sabar itu subur lho... #eh?! kabur sebelum Pak Subur datang!#
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak MM...
Weeeeewwwwww rivalitas sodara kembar! Seru! Oya lupa aq kalo skrng terbitnya seminggu 3x mba. Ta'balik lg ke chapter terbaru wes ........
BalasHapusNiiit! Hoooiii!!! Mulih... muliiih! Ojo kesuwen liburaneee! Hihihi...
Hapus