Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #7
* * *
Steve
mengerutkan keningnya sedetik ketika mobilnya berpapasan dengan mobil Rafael di
depan pintu gerbang rumah. Rafael hanya membunyikan klakson dengan ringan,
tanpa menurunkan kaca jendelanya. Steve memundurkan sedikit mobilnya sambil
balas membunyikan klakson. Rafael pun berlalu begitu saja.
Seperti
biasa, Steve menemukan mamanya sedang asyik dengan laptopnya di teras belakang.
Steve mencium sekilas pipi mamanya.
“Rafa
pulang?” tanya Steve tanpa basa-basi.
“Yup!”
Lea mengangkat wajahnya. “Kangen sama ceweknya.”
Steve
mengangkat alisnya. “Cewek mana?”
“Belum
tahulah Mama, Steve. Dia nggak bicara banyak.”
“Anna?”
mimik Steve terlihat khawatir.
Lea
tergelak. “Bukan... Namanya Adita.”
“Oh...”
Lea
seutuhnya menangkap ada nada lega yang luar biasa dalam suara singkat Steve.
Dan dia tahu kenapa. Ditatapnya Steve baik-baik.
“Dengar,
Steve,” ucap Lea tegas. “Sekali lagi Mama bilang, Anna gadis baik-baik. Jangan
pernah kamu permainkan dia.”
“Iya,
Ma, aku paham,” Steve merangkum kedua telapak tangan Lea, kemudian mencium
punggung tangan itu dengan penuh cinta. “Dia pelabuhanku yang terakhir. Aku
janji.”
“Ya,
Mama dengar janjimu,” Lea mengangguk. “Jadi kalau sampai kamu bikin rusuh, kamu
tahu berhadapan dengan siapa.”
Steve
tersenyum. “Iya, Ma, aku tahu.”
Lea
mengelus kepala Steve dengan sayang. Steve berdiri sesudahnya.
“Ma,
nggak ada yang perlu dibeli di pet shop-kah?”
tanyanya polos.
Lea
tergelak seketika. Steve meringis lucu.
“Kalau
mau pergi, pergi sajalah, nggak usah banyak alasan,” ucap Lea di sela tawanya.
“Titip salam aja buat Anna ya?”
Steve
mengangguk. Sebentar kemudian dia sudah menghilang ke kamarnya. Sambil
bersiul-siul. Banyak bayangan indah berkelebat di benaknya. Membuat senyumnya
makin lebar.
* * *
Adita
masih membeku di sebelah Rafael. Setelah jalinan rumit itu sekilas muncul di
benaknya, seketika itu juga dia merasa blank.
Tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Sebuah genggaman hangat mendarat di
tangannya. Memberinya sedikit ketenangan.
“Dit...,”
lirih suara Rafael. “Kita pacaran ya? Ingat, kita pacaran.”
Adita
mengangguk.
“Profesional...
Profesional...,” bisiknya, berusaha menenangkan hatinya sendiri.
“Jadi
biarkan mulai sekarang aku berlaku sebagai pacarmu,” ucap Rafael dengan suara
tenang.
“Maksudmu?”
“Di
fiksi-fiksi, seorang gentleman
membukakan pintu buat kekasihnya kan?”
Adita
mengangguk.
“Nah,
biarkan aku melakukan itu, dan bersikap mesralah padaku.”
Adita
menatap Rafael. Seketika urat gelinya tergelitik melihat betapa serius dan
tegangnya wajah Rafael. Dia melepas tawanya.
“Hahaha...
Aku belum pernah pacaran. Mesra itu seperti apa? Hahaha...”
Rafael
ikut terseret dalam tawa itu. “Seperti fiksi-fiksi.”
Seketika
kebekuan mencair. Dan mereka saling menatap. Saling memahami secara natural
harus berlaku seperti apa. Adita tersenyum. Rafael tersenyum, kemudian beranjak
membukakan pintu mobil dari luar untuk Adita.
* * *
Setelah
selesai melayani seorang pembeli, Anna menyempatkan diri untuk melongok
sebentar keluar jendela pet shop-nya.
Langit sudah gelap. Lampu jalan pun sudah menyala semua. Iseng dia keluar
sambil meregangkan pinggangnya. Hm...
Langit cerah, gumamnya dalam hati.
Dan
entah magnet apa yang menyentuh perhatiannya hingga dia menatap ke seberang. Pintu
ruko di seberang terbuka. Dengan sebuah mobil terparkir di depannya. Lampu
dalam menyala. Neon box masih mati.
Anna
teringat undangan yang diterimanya sendiri tadi pagi. Dan sedetik kemudian dia
sudah melangkahkan kakinya menyeberangi jalan yang sedang agak sepi. Terdengar
derai tawa ketika dia sampai di depan ruko itu. Seseorang keluar dan menyapanya
ramah.
“Nyari
Mbak Dita ya, Mbak? Ada di dalam, sama cowoknya. Masuk aja, Mbak...”
Anna
mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dia melangkah agak ragu-ragu. Ada
berbagai kesibukan di dalam ‘warung’ itu. Hm...
Pasti persiapan, batin Anna. Belum lagi dia menemukan si pemilik warung,
sebuah suara menyapanya.
“Halo,
Mbak Anna!”
Anna
menoleh dan tertegun. Sosok tinggi tegap berkaca mata itu mendatanginya dengan
mengusung seulas senyum di bibirnya. Tampan. Anna enggan berkedip. Tak yakin
dengan pemandangan yang ditangkap matanya.
“Warungnya
belum buka, Mbak, baru besok.”
Anna
tersentak. Sosok tampan itu sudah berdiri di depannya. Mengulurkan tangan
kanan. Mengajaknya berjabat.
“Apa
kabar?”
“Baik,”
jawab Anna dengan suara setengah tercekat.
“Halo,
Mbak,” Adita muncul dari belakang. “Aduh... malu saya, Mbak, masih berantakan
begini.”
Anna
memaksakan sebuah senyum.
“Saya
baru tahu ini tadi kalau pet shop Mbak
Anna langganan mama Mas Rafa,” Adita melebarkan senyumnya.
“Oh....”
Anna menoleh ke arah Rafael.
Laki-laki
itu tersenyum lebar. “Ya, Rafael.”
Adita
mengangkat alisnya. Rafael menatapnya sambil masih tersenyum.
“Mbak
Anna belum bisa bedain aku sama Steve,” jelas Rafael.
“Oh...,”
Adita tertawa ringan
Anna
tak tahu harus terus menerus tersenyum ataukah meringis. Terlalu banyak yang
menghantam kesadarannya akhir-akhir ini.
Jauh
di dalam hatinya, ada satu tatapan bening yang tak pernah ingin dia lupakan.
Tatapan Rafael. Ketika pertama kali mereka berjumpa di pet shop beberapa minggu yang lalu. Kalau setelah itu ada lagi
sosok lain bernama Steve, dia tak begitu peduli.
Wajahnya
memang nyaris sama. Tapi tatapan itu, alangkah berbeda! Entah kenapa ada
sesuatu yang menyejukkan jiwa ketika dia mendapat tatapan bening itu. Bukan
tatapan sedikit nakal milik seorang Steve. Sebuah tatapan umum yang tak ada
istimewanya.
“Mbak,
maaf ya, kami belum siap menerima tamu.”
Suara
Adita menyentakkan Anna dari selimut pikirannya sendiri. Ditatapnya Adita,
tulus.
“Maaf,
Mbak Dita, saya mengganggu. Saya tadi cuma ingin say hello. Tapi kelihatannya mengganggu banget ya?” sesal Anna.
“Enggak,
Mbak,” jawab Adita cepat, “justru kami yang harus minta maaf karena belum bisa
menyambut Mbak dengan layak. Tapi di sudut situ udah bisa dipakai duduk kok.
Ayo, kita ke sana!”
Adita
sudah menarik tangan Anna. Mau tak mau Anna menurut. Rafael yang sempat
menghilang muncul lagi dengan sekantong plastik penuh berisi minuman kaleng.
Ditaruhnya tiga kaleng minuman ringan di atas meja sebelum beranjak.
“Aku
kasih anak-anak minuman dulu ya, Dit. Mbak Anna, silahkan ya...,” Rafael
kemudian meninggalkan mereka.
“Mbak,
makasih ya, udah dikunjungi,” Adita menatap Anna.
Anna
tersenyum. “Makasih juga saya udah diundang.”
“Udah
lama mama Mas Rafa jadi langganan Mbak?”
“Lumayan
sih! What a great woman!”
“Oh
ya? Saya malah belum pernah ketemu,” Adita mengerjapkan matanya.
“Kok
bisa?” Anna mengerutkan kening.
Adita
meringis. “Belum waktunya. Mas Rafa sama saya juga masih baru kok.”
“Oh...
Ketemu di mana sama Mas Rafael?”
“Di
pesawat, waktu balik dari Surabaya.”
“Oh...”
Ketika
seorang anak buah Adita dengan sopan minta waktu untuk bicara, Anna seperti
mendapat durian runtuh. Dia punya kesempatan untuk mengedarkan pandangannya
mengelilingi tempat itu. Bukan! Bukan untuk mengagumi atau menyelidik. Dia
hanya ingin menemukan sosok itu.
Sosok
yang sedang berdiri di sudut. Yang sesekali minum dari kaleng yang dipegangnya
sambil mengobrol dan tertawa dengan beberapa anak buah Adita. Yang tak sekali
pun menatap ke arahnya.
Membuat
ada segores tipis yang menyebabkan nyeri dalam hati Anna. Entah nyeri untuk
apa.
* * *
Bersambung ke episode selanjutnya : Rinai Renjana Ungu #9
“Di fiksi-fiksi, seorang gentleman membukakan pintu buat kekasihnya kan?”
BalasHapus--------
Itu cuma di fiksi......di dunia nyata apalagi dah jadi Bini buka pintu ndiriiiiii.......huaaaaa*nangis nobita
Wakakak... Ho'oh, Mbak Boss!
HapusNuwus mampire yo...
Nice post mbak
BalasHapusMakasih atensinya, Pak Subur...
HapusLike it. :)
BalasHapusMakasih banyak, Mas Pical...
HapusSo romantic, seperti latar blog ini, sangat menyejukan hati.
BalasHapusIya ganti template, Bu... Sesuai warna favorit.
HapusMakasih singgahnya ya...