id.aliexpress.com |
Satu
Pesta pernikahan besar-besaran itu sudah
dirasa sebagai tragedi tersendiri bagi Berlian. Pupus sudah angan untuk
mengawali episode baru kehidupannya bersama Rilo dalam sebuah acara pernikahan
yang sederhana, hening, dan kudus. Sebuah acara pernikahan yang hangat karena
hanya dihadiri keluarga dan teman-teman dekat.
“Tidak apa-apa, Bri,” ucap Rilo sabar. “Demi
Mama. Setelah jadi istriku, kamu boleh melakukan apa saja yang kamu mau.”
Tapi apa yang terjadi di balik ucapan ‘tidak
apa-apa’ Rilo itu seutuhnya Berlian tahu. Walau hanya menanggung 80% dari
seluruh pengeluaran tapi tabungan mereka
telah tergali hampir sampai ke dasar. Sesuatu yang tidak akan terjadi bila
mereka hanya menggelar acara sederhana saja. Rumah mungil mereka terpaksa
terhenti renovasinya. Bulan madu ke Bali dan Lombok hanya tinggal jadi
kenangan.
Semua itu terjadi hanya karena keinginan
Mama.
Dengan statusnya sebagai bungsu dari tiga
bersaudara, pernikahannya akan jadi hajatan pamungkas keluarga mereka. Pesta
pernikahan yang terakhir. Yang tentunya harus jadi sesuatu yang spektakuler
agar keluarga tidak ‘menanggung malu’. Di
jaman semaju ini? Masih berpikir
tentang apa kata orang lain? Berlian
hanya mampu menggeleng tak mengerti.
Kini ia menatap bayangan di cermin dengan
sorot mata putus asa. Bahkan Mama memaksanya memakai jasa perancang gaun
pengantin yang di matanya kunonya bukan main hanya karena perancang itu adalah
teman Mama. Ia sudah malas untuk ribut. Sesungguhnya sudah mulai lelah.
Dan lihatlah! Pantulan cermin itu sudah
mengatakan segala sesuatu tentang dirinya. Pengantin yang terlihat bulat,
kedodoran, kumuh, dan menderita. Semuanya karena gaun pengantin yang
‘mengembang’, ‘indah’, ‘bagus’ di mata Mama, tapi sama sekali tak cocok dengan
dirinya.
Sekuat tenaga ditepisnya segala perasaan
putus asa itu. Masih cukup waktu untuk sedikit menggapai sebuah mimpinya yang
tercecer tentang sebuah acara pernikahan. Setidaknya ia merasa masih punya
harapan. Entah apakah harapan itu bisa jadi kenyataan atau cuma tinggal jadi
kenangan, setidaknya ia akan berusaha untuk mencobanya.
* * *
Di tengah senja yang cerah itu, Rilo tampak
menghirup latte-nya dengan nikmat.
Terlihat sangat ‘indah’ di mata Berlian, sehingga jantungnya berdebar liar.
Diam-diam ia mengutuki dirinya sendiri. Sedemikan jatuh cintanyakah ia pada
Rilo? Tapi ia memutuskan untuk bertanya juga tentang suatu hal pada Rilo.
“Tentang gaun pengantinku, jadi bagaimana
menurutmu?” Berlian buka suara.
Rilo meletakkan cangkir kopinya. Ditatapnya
Berlian dalam. Hm.. Jadi tentang gaun pengantin ‘antik’ itu? Sejenak ia
terhenyak ketika mendapati ada lingkaran beban tergambar begitu nyata dalam
mata Berlian. Ia tersadar ketika mata Berlian mengerjap.
“Bagus,” jawab Rilo singkat. Terdengar begitu
jujur dan apa adanya, tapi Berlian tetap terlihat tak puas.
“Menurutku malah sebaliknya,” gerutu Berlian.
“Aku terlihat makin gendut ketika memakai gaun itu.”
Rilo menatap Berlian, tak mengerti. Memangnya
sejak kapan Berlian terlihat langsing? Tapi Rilo segera menepis pikiran ‘kurang
ajar’-nya itu.
“Sejak kapan aku mempermasalahkan itu?” tanya
Rilo sehalus mungkin. “Dilihat dari sisi manapun, dalam kondisi apapun, di
mataku kamu selalu cantik, Bri.”
Dan seperti biasanya maka Berlian akan
tersipu. Pipinya merona merah, nyaris membuat Rilo gemas melihatnya.
“Bri,” lanjut Rilo, “Rencana pernikahan kita
yang sudah meleset jauh ini janganlah jadi beban lagi. Semuanya sudah hampir
beres. Sekarang tinggal bagaimana kita berusaha menikmatinya. Sekali seumur
hidup kita, Bri.”
“Walau kita hampir bangkrut?” Berlian
tertunduk sedih.
“Uang bisa dicari lagi, Bri,” Rilo menepuk
lembut punggung tangan Berlian. “Jangan sampai hal ini mengganggu kebahagiaan
kita. Apa salahnya juga kita membahagiakan orangtua dan keluarga?”
Berlian terpaksa mengangguk walau masih
merasa tak puas. Seharusnya pernikahan itu adalah pernikahannya, bukan pernikahan Mama ataupun
keluarga. Seharusnya pernikahannya itu bisa jadi saat terindah yang akan
dikenangnya seumur hidup, bukan sesuatu yang megah tapi dipaksakan.
Tapi kelihatannya Rilo santai saja
menghadapinya. Atau ia yang terlalu berlebihan? Ketika ia melihat Rilo
menghirup lagi latte-nya, ia pun
memaksa diri untuk berdamai dengan situasi yang mau tak mau harus dihadapinya.
Tapi untuk hal yang satu itu, kelihatannya tidak.
Gaun pengantinnya... Dan ia sudah memikirkan
sesuatu.
* * *
Dua
Gracia nyaris tersedak mendengar untaian
kalimat yang meluncur lancar dari sela bibir Berlian. Serta-merta ia meletakkan
sendok es cendolnya.
“Ervina?” Gracia membelalakkan matanya.
Berlian mengangguk dengan wajah polos.
“Ervina katamu?!” ulang Gracia, masih tak
percaya.
Berlian mengangguk lagi.
“Kamu tahu kan siapa Ervina?”
Untuk kesekian kalinya Berlian mengangguk.
Gracia menghembuskan napas keras-keras sambil menghempaskan punggungnya ke
sandaran kursi. Masih diatatapnya Berlian dengan mata bulat.
“Kalau aku, Bri, nggak akan ambil resiko
dengan ambil Ervina sebagai perancang gaun pengantinmu,” Gracia
menggoyang-goyangkan jari telunjuknya. “Masalahnya...”
“Iya, aku tahu,” potong Berlian. “Tapi cuma
Ervina yang bisa bikin gaun pengantin indah buat orang dengan body shape kayak aku.”
“Mahal, Bri...,” desah Gracia setengah putus
asa.
“Aku masih punya tabungan,” Berlian berkeras
hati.
“Bukan mahal secara duit!” tukas Gracia.
“Tapi mahal buat hubunganmu sama Rilo!”
“Karena Ervina mantannya Rilo?” Berlian
memincingkan sebelah mata.
“Nah, itu kamu tahu...”
“Mereka udah selesai, Grace,” Berlian
mengaduk jus mangganya. “Rilo udah pilih aku sejak lama. Dan aku percaya sama
Rilo.”
“Iya, Rilo memang bisa dipercaya, tapi
Ervina?!” nada suara Gracia naik lagi. “Gimana kalau dia bikin gaun berantakan
buatmu secara kamu calon istri mantannya?”
“Dia nggak akan mempertaruhkan reputasinya,
Grace,” Berlian menjawab mantap. “Aku yakin.”
Gracia menghembuskan lagi napasnya
keras-keras. Berlian tersenyum menatapnya.
“Kalau dia bikin gaun yang jelek, aku tinggal
pakai saja gaun Cinderella nyasar itu,” Berlian menyambung ucapannya dengan
gelak tawa ringan.
Gracia menatap Berlian, putus asa. Tak tahu
lagi harus berkomentar apa lagi.
* * *
Berlian menerima sehelai kertas yang
disodorkan Ervina. Ditatapnya kertas itu sejenak sebelum ia memejamkan mata.
Dicobanya untuk mengumpulkan segala bayangan dirinya yang sudah terlanjur
dirasa meretak, dan dicobanya untuk membungkus bayangan itu dengan rancangan
gaun yang dibuat Ervina.
Dan Berlian terhenyak. Ervina menatapnya
dengan khawatir.
“Aku masih bisa bikin rancangan yang lain
kalau kamu nggak suka, Bri,” ucap Ervina cepat.
Tapi Berlian menggeleng, tersenyum. “Aku
menyukainya, Vin.”
Ervina menghela napas lega.
“Kamu tahu aku nggak langsing,” lanjut
Berlian. “Coba bayangkan aku dalam balutan gaun pengantin yang penuh renda
bertumpuk dan mengembang seperti gaun Cinderela.”
Ervina tertawa. “Dan kau merasa sebagai
pengantin paling malang sedunia,” celetuknya.
Berlian ikut tergelak. Tapi seketika tawa itu
terhenti ketika matanya menatap lagi rancangan gaun di tangannya.
“Berapa harganya yang seperti ini, Vin?”
ucapnya lirih. “Jangan terlalu mahal. Uangku sudah mepet.”
Ia sepenuhnya menyadari bahwa Ervina bukanlah
perancang gaun pengantin kacangan. Ervina selalu menghasilkan gaun pengantin
yang sangat bisa direkomendasikan baik dari segi desain, kualitas bahan, maupun
pengerjaannya. Harganya tentulah sebanding dengan semua kesempurnaan itu. Dan
rancangan yang tergambar pada helaian kertas di tangannya itu bukanlah
rancangan sembarangan.
“Harganya...” Ervina tampak berpikir sejenak.
Beberapa detik kemudian ditatapnya Berlian. “Kalau orang lain biasanya aku
patok paling murah sepuluh juta. Tapi kalau untuk kualitas seperti yang di
sketsa itu sih bisa sampai tiga puluh.”
Seketika Berlian menyesali kenekadannya
mendatangi Ervina. Tiga puluh juta
rupiah? Hanya untuk sehelai gaun pengantin idaman? Berlian menelan ludah.
“Budget-ku
cuma limabelas, Vin,” ucapnya kemudian, lirih, kalah.
Ervina menggigit bibir bawahnya. Ditatapnya
Berlian. Tanpa ampun.
“Nggak apa-apa sih sepuluh aja. Asal aku
boleh sekali saja makan malam dengan Rilo sebelum pernikahan kalian. Deal?”
Berlian ternganga. Ternyata harganya lebih
mahal lagi! Tapi sudah terlanjur. Dan ia tak tahu harus menjawab bagaimana.
* * *
Tiga
“Sepuluh juta plus dinner?!”
Berlian
menatap Gracia dengan ngeri. Bola mata Gracia seolah sudah siap meloncat keluar
ketika mengucapkan kalimat itu. Gracia sendiri sudah sekuat tenaga menahan
suaranya agar tidak terdengar menggelegar di tengah riuhnya kafe tempat mereka
hendak menikmati makan siang. Beberapa detik kemudian Berlian mengalihkan
tatapannya ke arah lain.
“Aku nggak tahu harus bilang gimana sama
Rilo,” desah Berlian.
“Kamu cari mati!” geram Gracia.
Berlian memejamkan mata. Gaun rancangan
Ervina memang terkenal mahal dan elegan. Tapi tak disangkanya harus semahal
ini.
“Sudahlah, Bri,” Gracia menurunkan suaranya.
“Bayar saja penuh tiga puluh juta, dan jangan berurusan lagi sama dia.”
“Yang lima belas dapat dari mana?” Berlian
mengerjapkan matanya.
“Akan kutransfer ke rekeningmu nanti sore.
Hutang tapi ya? Kamu boleh bayar kapan saja kamu punya uang.”
Berlian menatap Gracia tak percaya. “Kamu mau
menghutangiku, Grace?”
Gracia menghembuskan napasnya keras-keras.
“Daripada acara pernikahanmu dengan Rilo berantakan hanya gara-gara
kengototanmu dan kegilaan Ervina.”
Berlian terdiam di tempat duduknya. Tak tahu
harus berbuat apa. Semuanya bercampur aduk jadi satu. Menyesal, malu, terharu,
harapan, bahagia. Dan Gracia adalah
salah satu teman terbaik yang ia punya.
“Tapi ingat, Bri,” ucap Gracia kemudian. “Aku
minta kamu terus teranglah sama Rilo. Kupikir dia harus tahu kejadian ini.”
Berlian mengangguk. “Iya, Grace, nanti aku
bilang sama Rilo. Makasih banyak. Makasih banget. Makasih berat.”
Gracia hanya menanggapinya dengan senyum.
*
* *
Sejujurnya Berlian tak tahu harus bagaimana
memulai pembicaraan tentang gaun pengantin itu dengan Rilo. Tapi ia tahu ia
harus melakukannya. Dan sore yang cerah itu tampaknya tepat. Ketika mereka
duduk berdua menikmati senja di taman dekat rumah Berlian.
Berlian melihat bibir Rilo mengukir senyum
ketika melihat tingkah lucu anak-anak yang bermain di dekat mereka. Dan jantung
Berlian selalu berdebar ketika melihat senyum itu. Apakah Rilo merasakan hal
yang sama?
Diam-diam ia meragukan itu. Bila ia melihat
Ervina, betapa mereka begitu berbeda. Dari jarak sekian juta kilometer juga
sudah kelihatan kalau sosok Ervina adalah serupa dewi kecantikan. Apa yang ada
di pikiran Rilo ketika ia ‘membuang’ dewi itu kemudian beralih padanya?
Tidak, tidak! Berlian bukan orang ketiga yang
membuat hubungan Rilo dan Ervina hancur. Ia ada dalam kehidupan Rilo ketika
status laki-laki itu sudah jauh hari jomblo. Ketika hubungan mereka sudah
berjalan dengan lebih serius, Rilo bercerita tentang Ervina.
Hanya sekedar bercerita. Sia-sia Berlian
mencoba untuk mengais nada pembandingan antara ia dan Ervina dalam suara Rilo.
Sama sekali tidak ada. Rilo tak pernah sekali pun membandingkannya dengan
Ervina. Dengan tegas Rilo sudah mengatakan bahwa hubungannya dengan Ervina
sudah jauh hari selesai. Tak ada lagi yang perlu dibahas.
Dan sekarang ia ‘membangunkan macan tidur’
dengan memesan gaun pengantin pada Ervina demi kelihatan sebagai pengantin
tercantik? Baru sekarang ia merasa menyesal karena menuruti nafsunyua tanpa
berpikir lebih panjang.
Tapi semuanya sudah terlanjur terjadi.
Konsekuensinya ia harus ‘mengaku’ pada Rilo. Secepatnya.
“Kok melamun melulu sih, Bri?”
Ucapan halus Rilo seketika mencabut Berlian
dari alam lamunan. Entah sudah berapa lama tangan kanannya sudah ada dalam
genggaman hangat Rilo.
“Kayaknya kamu jadi jauh lebih pendiam
sekarang,” ucap Rilo lagi.
“Gitu ya?” Berlian mencoba untuk tersenyum.
Rilo meremas lembut telapak tangan Berlian.
“Rileks, Bri. Acara pernikahan kita cuma awal. Masih banyak yang harus kita
pikirkan dan jalani setelahnya. Jangan habiskan energi hanya buat awalan ini.”
Berlian menghela napas panjang. Pada akhirnya
ia memang harus mengumpulkan keberaniannya untuk memulai yang sudah ia mulai.
Dan waktu terus berjalan tanpa ampun. Membuat Berlian akhirnya berkata lirih,
“Apa aku salah kalau aku menginginkan yang terbaik untuk hari istimewa itu?”
“Enggak,” Rilo menggeleng. “Sama sekali.
Apalagi ini peristiwa sekali seumur hidup kita.”
“Jujur aku sudah setengah mati waktu Mama
menginginkan pesta yang besar dan meriah. Mama sudah memikirkan semuanya
kecuali aku, pengantinnya. Padahal salah satu pelakunya aku, bukan Mama. Ini
lebih seperti pesta pernikahan Mama. Bukan pesta pernikahanku,” airmata Berlian mulai mengembang. Ia tak sanggup lagi
meneruskan kalimatnya.
“Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?” tanya
Rilo halus.
“Aku cuma ingin gaun pengantin yang cocok
buatku,” airmata Berlian mulai meleleh tanpa bisa ditahan. “Kalau semuanya
sudah buat Mama, ya sudahlah aku nyerah. Tapi setidaknya aku masih bisa
menikmati acara pernikahanku sendiri. Jadi diriku sendiri.”
“Kalau masalahnya cuma gaun pengantin, ya
sudah batalkan saja yang tidak kamu inginkan itu. Cari yang kamu mau. Nggak
usahlah dibuat rumit.”
“Aku sudah melakukannya,” Berlian menyusut
airmatanya. “Aku pesan sama Ervina.”
“Oh...”
Berlian menoleh cepat. Ditatapnya Rilo dengan
pikiran mulai menghilang. Cuma ‘oh...’? Rilo sendiri menyadari gerakan Berlian. Ia
balas menoleh.
“Kenapa, Bri?”
“Cuma ‘oh’?”
Rilo mengembangkan senyumnya. “Lalu aku harus
ngomong apa?”
Berlian terhenyak mendengar nada kebenaran
dalam suara Rilo. Ya, memangnya kenapa kalau perancang gaun pengantinnya
Ervina?
“Kamu nggak marah?” Berlian menatap Rilo,
polos.
“Lho, ngapain marah?” Rilo tergelak. “Apa
bedanya dia dengan perancang gaun lainnya?”
“Masalahnya...,” Berlian menghela napas
panjang. “Gaunnya mahal banget. Dia memberiku harga murah tapi ada syaratnya.”
“Apa itu?”
“Sekali dinner
denganmu.”
Rilo ternganga. Berlian mengerjapkan matanya.
“Tapi aku masih belum nego lagi,” lanjut
Berlian cepat. “Aku bisa bayar penuh tanpa dia harus dinner denganmu. Cuma aku belum tahu dia setuju apa enggak.”
“Kamu masih punya uang? Terus terang aku
sudah nggak ada uang ekstra lagi, Bri.”
“Gracia menghutangiku,” jawab Berlian, nyaris
tak terdengar.
“Ya, Tuhan...”
Rilo menghempaskan punggungnya ke sandaran
kursi taman. Tak tahu harus mengatakan apa lagi.
* * *
Empat
Ervina menelepon Berlian tepat dua minggu
sebelum acara pernikahan itu dilangsungkan. Gaun pengantinnya sudah selesai.
Ervina memintanya untuk melakukan fitting.
Dengan jantung berdebar Berlian menyetir mobilnya pelan ke arah bengkel kerja
Ervina.
Ketika Ervina menunjuk sebuah gaun indah yang
membungkus manekin di tengah ruangan, Berlian hanya mampu terpana. Seutuhnya
gaun itu tak terbayangkan olehnya ketika masih berupa rancangan.
“Itu... gaunku?” bisik Berlian terbata.
Bayangan gaun itu mengabur di mata Berlian.
Ia nyaris tak mau mengerjapkan matanya. Takut bila ia membuka kembali matanya
gaun itu akan menghilang karena cuma bayangan maya. Tapi tidak. Semuanya nyata
dan Ervina sudah mendorong bahunya, menyuruhnya untuk mencoba.
Gaun rancangan Ervina bukan gaun yang terlalu
repot dengan detail tumpukan renda yang menyebalkan, tapi sebuah gaun berbahan lace berwana putih, berpotongan
empire, dan menampilkan siluet A line yang sempurna dengan ornamen
berkilau karena barisan kristal swaroski yang ditambahkan Ervina. Simpel. Elegan.
“Aku merasa itu masterpiece-ku,” ucap Ervina dengan bibir mengukir senyum.
Ya,
aku belum lupa nilai yang harus kusediakan untuk menebusnya,
batin Berlian setengah pahit.
Dan beberapa menit kemudian Berlian hanya
mampu terdiam ketika menatap pantulan dirinya di cermin. Ia nyaris tak
mengenali dirinya. Tak ada lagi calon pengantin berbentuk bulat dan kedodoran,
terlihat kumuh dan menderita, seperti yang beberapa hari lalu pernah dilihatnya
sendiri. Yang ada hanya seorang calon pengantin cantik dengan gaunnya yang
sempurna.
“Nah,” Ervina bertolak pinggang sambil
mengamati Berlian dari atas ke bawah, “bagian mana yang terasa kurang nyaman?”
Berlian buru-buru menggeleng. “Tidak! Ini
sudah...,” ia kesulitan menemukan kata yang tepat, “... pas.”
“Yakin?”
Berlian mengangguk lagi. Ervina
mempercayainya. Sesungguhnya ia melihat gaun itu memang sudah pas di tubuh
Berlian. Ia beranjak sebentar dan kembali dengan sebuah veil di tangannya. Sebuah veil
berbahan tipis melayang yang menempel pada tiara mungil yang berkilau sempurna.
“Hm...,” gumam Ervina. “Aku membayangkan
rambutmu disanggul agak tinggi dan tiara ini dipasang pas di atas sanggul itu.”
Berlian menatap sekali lagi bayangannya di
cermin. Entah kenapa mendadak ia merasa bahwa semuanya itu cuma sekedar mimpi.
Entah kenapa mendadak saja perasaannya mengatakan begitu.
“Oke, jadi kapan aku bisa dinner dengan Rilo?”
Berlian buru-buru berjalan ke ruang ganti
untuk melepaskan gaun pengantin itu dari tubuhnya. Ketika ia keluar, mereka
hanya tinggal berdua saja di ruang atas bengkel kerja Ervina. Tentu saja Ervina
sudah menyuruh asistennya pergi.
“Sebentar lagi aku akan ke ATM untuk transfer
pelunasannya padamu,” ucap Berlian pelan.
“Maksudmu?” Ervina mengerutkan keningnya.
“Aku sudah transfer sepuluh juta padamu kan?”
Berlian mencoba untuk mengumpulkan semua kekuatannya dan menatap Ervina. “Kamu
pernah bilang harga gaun itu tiga puluh juta. Kekurangannya yang dua puluh juta
akan kutransfer beberapa menit lagi.”
Ervina menatap Berlian dengan kedua bola mata
melebar. “Tapi kita sudah sepakat sepuluh juta plus dinner dengan Rilo. Enak banget kamu mengingkarinya!”
“Aku
nggak mengingkari, Vin,” jawab Berlian sabar. “Rilo nggak mau melakukannya. Dan
aku nggak bisa membujuknya lagi.”
“Kalau dia mencintaimu tentu dia akan
melakukan apa saja untukmu,” senyum Ervina terlihat begitu sinis. “Tapi
nyatanya?” Ervina mengangkat bahu. “Pastikan dulu itu sebelum kalian menikah.
Sebelum kamu kecewa. Kalau sudah nggak ada apa-apa lagi denganku kenapa dinner
saja dia nggak mau?”
Berlian nyaris kehilangan napas dibombardir
Ervina dengan kalimat-kalimat yang tak pernah dipikirkannya itu. Bahkan
membayangkannya saja tidak pernah.
“Maaf ya, Bri,” ucap Ervina lagi, lugas. “Aku
nggak bisa kasih gaun itu padamu. Uang sepuluh juta yang sudah kamu transfer
padaku akan kutransfer balik padamu nanti sore. Maaf, aku masih banyak kerjaan.”
Berlian masih tak mempercayai nasibnya hari
ini. Tapi ia mencoba untuk menyingkir dengan hati terasa perih. Penyesalan
memang selalu datang terlambat. Kenapa juga ia tak pernah memikirkan
kemungkinan terburuk tentang gaun pengantinnya, Ervina, Rilo, dan dirinya
sendiri?
Ia hanya bisa menghembuskan napas panjang
berkali-kali ketika sudah berada di dalam mobilnya. Mencoba untuk mengurangi
rasa sesak yang menghimpit dadanya.
Dicobanya untuk mengumpulkan kembali konsentrasinya yang pecah terburai
dan berserakan ke mana-mana sebelum mulai menyetir mobilnya.
Tujuannya cuma satu. Pulang. Bersembunyi di
dalam kamarnya yang selalu hangat.
* * *
“Membatalkan pernikahan?!”
Berlian terhenyak mendengar nada bicara Rilo
yang tak pernah ia dengar sebelumnya. Ia memilih untuk mengalihkan tatapannya
pada taman hijau di depan teras.
“Setelah semua yang sudah kita lalui?!
Setelah semua persiapan habis-habisan yang kita lakukan?! Hanya gara-gara gaun
pengantin kamu mau batalkan pernikahan kita?!” Rilo hampir tak bisa menguasai
emosinya. “Kamu ini mikir apa sih, Bri?”
“Lalu kenapa dinner dengan Ervina saja kamu nggak mau?” Berlian mulai kehilangan
ketenangannya. “Aku sudah pernah bilang padamu sisakan satu saja diriku dalam
acara ini. Dan itu gaun pengantinku!”
Rilo sudah hendak membuka mulutnya lagi tapi
kali ini ia tertegun dengan kalimat-kalimat Berlian selanjutnya.
“Kamu pikir aku nggak merasa terhina datang
pada Ervina minta dia buatkan gaun pengantin untukku? Kalau aku punya pilihan
lain tentu saja bukan dia yang akan kutuju. Hanya dinner dengannya, Lo... walau seumur hidup aku nggak pernah rela.”
“Bri,” Rilo melunakkan suaranya, “aku nggak
mau melakukannya karena aku tahu itu bakal nyakitin kamu. Aku...”
“Kamu nggak mau karena kamu takut goyah kan?”
suara Berlian meninggi lagi. “Karena kamu masih mencintainya kan? Karena aku
cuma pelarian kan? Bodohnya aku!”
“Bri...”
“Aku juga sudah ngaca berkali-kali dan makin
ngaca makin aku menemukan kalau sebenarnya kita nggak sepadan,” genangan bening
makin mengembang dalam mata Berlian. “Aku nggak sepadan buatmu. Nggak pernah!”
“Bri, aku cinta sama kamu,” ucap Rilo lugas.
“Seutuhnya. Kamu jauh melebihi ekspektasimu terhadap dirimu sendiri. Kenapa sih
kamu nggak pernah mau percaya?”
“Sudahlah, Lo. Aku capek. Nggak tahu mau jadi
apa aku dua minggu lagi.”
Dan Berlian nyaris membeku di tempat
duduknya. Dan senja menghening hingga Rilo beranjak dari teras itu. Dan beban
serta amarah membawanya pada satu tujuan. Persinggahan berikutnya.
Rumah Ervina.
* * *
Lima
Rilo menghentikan mobilnya dengan kasar di
depan sebuah rumah bercat hijau muda. Ban mobilnya bergesek dengan aspal hingga
menimbulkan suara decit yang menyakitkan telinga, tanda pedal rem diinjak
sedalam-dalamnya. Beberapa saat kemudian dengan langkah-langkah lebar ia
menghampiri pagar.
Ervina yang mendengar bel berdenting segera
meletakkan cangkir tehnya dan mengintip sejenak dari balik tirai jendela.
Matanya serta-merta melebar melihat siapa yang datang. Senyumnya mengembang
ketika membuka pintu dan melangkah untuk membuka pintu pagar yang terkunci
rapat.
“Hai, Lo!” sapanya dengan suara berbunga.
Tapi Rilo hanya berdiri tegak tanpa segaris
tipis pun senyum. Bibirnya terkatup rapat. Tatapannya terlihat begitu dingin.
Membuat Ervina diam-diam bergidik ngeri.
“Masuk, Lo,” si nona rumah berusaha tetap
mengembangkan senyum sambil membuka pintu pagar lebar-lebar.
Tapi Rilo bergeming. Ia hanya berdiri sambil
menatap tajam pada Ervina.
“Lo?”
“Kamu ngomong apa sama Bri?”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu apa yang kumaksud!” suara Rilo
mulai menajam.
“Soal gaun pengantinnya?” Ervina menelan
ludah. “Dia mengingkari kesepakatan.”
“Syaratmu itu yang gila!”
“Tapi dia sudah sepakat!”
“Kamu permainkan perasaannya!”
“Memangnya kamu enggak?!”
“Aku nggak pernah mempermainkan perasaannya,”
desis Rilo. “Pada siapa pun!”
“Kamu melakukannya padaku!”
“Siapa yang mulai?! Siapa yang berkhianat?!
Siapa yang berselingkuh?! Bukan aku, Vin!”
Ervina terhenyak. Sia-sia ia mencari rasa
sakit yang mungkin masih tersisa dalam tatapan Rilo. Ia tidak mendapatkannya
setitik pun. Hanya ada bara kemarahan. Itu pun bukan tentang mereka, tapi
seutuhnya tentang Berlian.
“Lo, kalau kamu benar mencintainya, kenapa
untuk dinner denganku saja kamu nggak
mau?” Ervina berusaha untuk mengalihkan topik.
Rilo mengerjapkan matanya. “Karena aku nggak
mau menyakitinya.”
Ervina tersenyum mengejek. “Walaupun dia
sangat menginginkan gaun pengantin itu?”
Rilo masih menatap tajam.
“Kamu egois, Lo,” Ervina menggelengkan
kepala. “Sangat egois!”
“Apapun yang terjadi, jangan pernah
mempermainkan perasaan Berlian! Aku nggak akan pernah memaafkanmu.”
“Kamu pikir gimana perasaanku mendesain gaun
untuk calon istri mantanku?” airmata mulai menggenangi pelupuk mata Ervina.
“Sakit, Lo!”
“Tapi itu profesimu kan?” Rilo menjawab
lugas. Tetap dingin. “Kalau nggak sanggup kenapa nggak menolak?”
Ervina kehilangan kata-kata.
“Kamu memang nggak pernah berubah,” ucap Rilo
dengan suara rendah, penuh tekanan. “Selalu mau menang sendiri. Selalu mencari
cara untuk tetap kelihatan menang. Kamu sudah kalah, Vin. Kamu yang membuat
dirimu sendiri kalah.”
Rilo kemudian berbalik. Meninggalkan Ervina
yang pipinya mulai diguliri butir-butir airmata.
* * *
Egois? Rilo mengerjapkan mata.
Apa
yang sebenarnya kupikirkan? Tak mau menyakiti Bri? Tapi apa yang sudah
kulakukan? Aku sudah menyakiti Bri!
Rilo menghenyakkan punggungnya ke sandaran
sofa. Ia merasa belum buta untuk melihat betapa Berlian membenci gaun pengantin
ala Cinderellanya. Dan Berlian menginginkan yang lebih bagus untuk peristiwa
bahagia sekali seumur hidup. Salahkah?
Perlahan Rilo menggelengkan kepala. Tapi
berapa harga yang harus ditebusnya? Terlalu mahal hingga bisa membuat hati
Berlian meretak kalau sampai itu terjadi. Dan ia sama sekali tak
menginginkannya.
Berlian...
Pelan Rilo mengeja nama itu. Sesosok
perempuan lembut hati yang lebih memikirkan orang lain daripada memikirkan
dirinya sendiri. Sesosok perempuan yang langsung membuatnya jatuh hati tanpa
syarat apapun.
Haruskah?
Rilo terus menimbang-nimbang sesuatu. Sampai
akhirnya ia meraih ponselnya. Beberapa saat kemudian ia berucap lembut,
terdengar ragu-ragu, “Bri, kamu masih menginginkan gaun itu?”
* * *
“Sebenarnya apa sih yang kami mau, Lo?”
Berlian menatap lelah.
Rilo terdiam. Serba salah.
“Ya sudahlah kalau kamu nggak mau dinner sama Ervina,” lanjut Berlian.
“Aku juga sudah gagal menebus gaun itu walaupun uangnya ada. Masih cukup waktu
buat merombak gaun yang sudah ada. Entahlah mungkin rendanya sedikit dikurangi
atau apa.”
Tanpa menyiagakan perasaannya pun Rilo
seutuhnya bisa menangkap nada putus asa dalam suara Berlian. Dan itu membuatnya
makin merasa bersalah.
“Bri, coba kita nego sama Ervina lagi ya?”
ucap Rilo halus. “Kita berdua. Mau?”
Berlian menghela napas panjang. Masih
ditatapnya Rilo.
“Besok sore pulang kerja kita ke sana ya? Aku
antar kamu pagi, terus aku jemput sorenya. Mau ya?”
Mau tak mau Berlian tersenyum. Rilo yang
sabar. Rilo yang selalu berusaha untuk mengerti. Pelan ia menganggukan kepala.
* * *
Enam
Hari itu berlalu sangat lambat bagi Berlian.
Berkali-kali ia melirik arloji. Berkali-kali juga ia terpaksa menghela napas
panjang. Sepertinya jarum pada arlojinya tak kunjung bergerak.
Ketika jam bubaran kantor, Berlian segera
melesat keluar menuju lobby gedung perkantoran tempatnya bekerja. Ketika
sebelah kakinya melangkah keluar dari dalam lift yang sudah sampai di lantai
dasar, barulah ia tersadar. Bubaran jam kantor Rilo setengah jam lebih lambat
daripada kantornya. Belum lagi perjalanan dari kantor Rilo ke sini. Lalu buat
apa juga ngebut menuju lobby? Diam-diam Berlian tersenyum masam,
menyadari ketololannya.
Segera saja ia melangkah menuju ke coffee shop kecil di sudut lobby. Sejam.
Dua jam. Berkali-kali ia menghubungi ponsel Rilo, berkali-kali pula langsung
masuk mailbox. Dengan jengkel
diselipkannya ponselnya ke dalam tas. Dan ia nyaris putus asa ketika jam
digital besar di dinding lobby menunjukkan angka 18:55.
Pelan dikeluarkannya ponsel dari dalam tas.
Ada 24 panggilan tak terjawab. Semuanya dari Alex, abang sulungnya. Sekali lagi
Berlian mengutuki dirinya, lupa menonaktifkan silent mode pada ponselnya. Tak
urung ia mengerutkan kening. Alex?
Beberapa detik kemudian ia menghubungi Alex.
Pada panggilan kedua barulah Alex menjawabnya.
“Kamu ke mana aja sih, Bri?” suara Alex
terdengar tak sabar.
“Iya, sorry
ponselku silent. Tumben nelpon aku,
Lex?” Berlian meringis sekejap.
“Kamu sekarang lagi di mana?”
“Masih di kantor, nunggu Rilo jemput. Nggak
tahu nih, lama banget.”
“Sekarang kamu keluar, buruan cari taksi,
langsung ke sini.”
“Ke mana? Ke rumahmu?”
“Aku masih dinas. Kamu ke sini, buruan.”
“Aku udah terlanjur janjian sama Rilo, Lex.
Aku juga nggak bisa hubungi dia. Masak kutingggal ke tempatmu?”
“Rilo di sini.”
“Hah? Ngapain?”
“Sudahlah kamu buruan cari taksi, langsung ke
sini.”
“Lex! Rilo ngapain di situ?”
“Mobilnya ketimpa truk yang terguling. Dia
ada di dalam. Sudah dibawa ke sini. Lukanya nggak parah tapi dia belum sadar.
Jadi sebaiknya kamu cepat ke sini.”
Berlian membeku di tempatnya duduk. Rilo? Ketimpa truk? Rilo? Kenapa? Ya
Tuhan... Begitu menyadari apa yang terjadi Berlian segera berlari keluar
dari gedung dan mencari taksi. Begitu mendapatkan taksi ia langsung menyebut
nama rumah sakit tempat Alex berdinas sebagai dokter.
Perjalanan 30 menit menuju ke rumah sakit
dirasanya sebagai perjalanan terlama sepanjang hidupnya. Tangannya gemetar
mendekap tas. Hatinya tak henti-henti menyebut nama Tuhan dan Rilo.
Alex sudah menunggunya di dekat pintu masuk
IRD. Ia segera meraih Berlian dan membawanya ke dalam pelukan. Tanpa bisa
ditahan lagi tangis Berlian pecah dalam pelukan Alex.
“Dia gimana, Lex?” tanyanya terbata.
“Tadi sudah di-scan. Kepalanya kena benturan tapi nggak apa-apa. Selebihnya cuma
lecet. Baru aja dia sadar.”
Berlian melangkah seperti melayang ketika ia
mengikuti Alex menuju ke bed di ujung IRD. Ketika Alex menyibakkan tirai,
Berlian langsung menghambur.
“Lo...”
“Hai!”
Tangis Berlian kembali tak terbendung ketika
melihat Rilo melambaikan tangan kanannya dengan wajah dibuat seceria mungkin. Ia
merangkum wajah Rilo dengan telapak tangan mungilnya.
“Lo, ini salahku... Salahku, Lo...,” Berlian
tersedu.
“Hoi! Aku nggak apa-apa, Bri,” Rilo tersenyum
lebar.
Berlian menghabiskan tangisnya dalam pelukan
Rilo. Perwujudan rasa bersalah yang sepertinya tak mungkin ada habisnya.
Semuanya karena keinginan konyolnya untuk mengenakan gaun pengantin yang
cantik.
Dan hari ini, minus 10 hari sebelum tanggal
pernikahan, Rilo malah mengalami kecelakaan yang sungguh tak terduga. Masihkah
boleh mengatakan ‘untung’ karena sekilas Rilo terlihat seperti tak apa-apa?
“Lo, sudahlah aku nggak mau lagi gaun
pengantin celaka itu,” bisik Berlian terbata. “Yang penting kamu sembuh, kita
menikah, dan...”
“Kamu akan selalu jadi pengantinku yang
paling cantik,” Rilo mengelus kepala Berlian.
Berlian tertawa di tengah derai airmatanya.
Rilo selalu bisa membuatnya tertawa.
* * *
Berlian menatap gaun pengantin yang
tergantung di dinding kamarnya. Terlihat jauh lebih baik setelah Garcia bekerja
keras merombak gaun itu dengan mengurangi beberapa aksen renda yang tidak
penting. Tidak pernah bisa menyamai kecantikan gaun rancangan Ervina, tentu
saja. Tapi setidaknya sudah tak lagi membuatnya terlalu kelihatan seperti
Cinderella kesasar.
Direbahkannya diri ke atas kasur sambil menghela
napas panjang. Sungguh minggu terakhir yang melelahkan. Tapi setidaknya ia jadi
punya waktu untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa memang benar Rilo
mencintainya.
“Aku nggak pernah menganggapmu sebagai
pelarian, Bri,” ucapan lembut Rilo seakan menggema di ruangan itu. “Kamu dan
Ervina berbeda. Dan makin mengenalmu, aku makin jatuh cinta padamu. You’re beyond compare. Terutama hatimu.”
Berlian mengerjapkan matanya.
Kalau berurusan dengan fisik, tentu Ervina
menang sepuluh langkah di depan. Tapi hati, entah kenapa Berlian merasa menang
mudah dari Ervina. Dan Rilo jatuh cinta pada hatinya. Lalu apa lagi yang harus
dikhawatirkan?
Malam kian hening dan mata Berlian kian
berat. Sebelum benar-benar memejamkan mata BB-nya berbunyi. Dengan malas
Berlian meraihnya.
Tidur,
Bri sayang... Sudah malam. Jadilah pengantinku yang paling indah besok lusa...
Berlian tersenyum. Rilo... selalu mengerti...
* * *
(Kalau mau ilustrasi musik, silakan klik video di bawah ini)
Tujuh
Rilo berkali-kali menghela napas panjang dan
menghembuskannya keras-keras. Berusaha untuk mengurangi rasa mulas di perutnya.
Menunggu adalah pekerjaan yang paling menyebalkan. Terutama menunggu pengantin
cantiknya tiba di Gereja. Sekuat apapun ia berusaha untuk menenangkan hati, tak
urung gelisah itu muncul juga.
Berlian dan Gracia, sahabat-pendamping pengantin-sekaligus
periasnya, sudah terlambat hampir 20 menit lamanya dari jadwal kedatangan.
Memang belum sampai pada limit di mana
upacara pemberkatan harus dimulai. Tapi tetap saja keadaan itu mengkhawatirkan
bagi semuanya yang sudah terlanjur menunggu di situ, terutama keluarga besar
Berlian sendiri. Menimbulkan sedikit kerusuhan bagai gumam seribu lebah di
sekelilingnya.
Mendadak Rilo mengingat tiap detik yang
terjadi selama ada tragedi gaun pengantin itu. Sesungguhnya ia sedih karena
merasa gagal membahagiakan Berlian di awal perjalanan bersama mereka. Hanya sepotong gaun pengantin yang
cantik, tapi Berlian kesayangannya gagal mendapatkan keinginannya itu. Sekarang
yang bisa ia lakukan hanya berharap Berlian sudah berdamai dengan gaun
Cinderela yang nyasar itu. Ia tak punya pilihan lain. Toh ia sudah terlanjur
jatuh cinta pada hati Berlian, dengan atau tanpa gaun itu.
Ia tersentak ketika Luki menggamit tangannya.
“Ayo, sudah waktunya kamu berdiri di depan altar, Lo. Berlian udah dekat.
Gracia udah meneleponku.”
Bersamaan dengan langkah tegap Rilo untuk
bersiap menuju ke depan altar, keluarga Berlian pun membentuk barisan di kedua
sisi. Alex, abang sulung Berlian sudah menunggu di tempat parkir, siap menjadi
pengganti Papa yang sudah tiada, untuk menyerahkan adik kesayangannya nanti
pada Rilo.
Ketika calon pengantin perempuan itu turun
dari mobil, Alex hanya bisa ternganga. Hampir ia tak mengenali adiknya sendiri.
Berlian tampak sempurna dengan gaun yang sama sekali berbeda dengan yang
diantarkan ke rumah beberapa hari yang lalu.
“Hai, Lex!” sapa Berlian jahil.
“Gaunmu...”
“Jangan rusak mood-ku dengan membicarakan gaun konyol itu,” hardik Berlian pelan
dari balik veil-nya.
Alex mengulum senyum. Seutuhnya rona
kebahagiaan itu memenuhi wajah Berlian. Sejujurnya, Alex merasa lega tidak
harus melihat Berlian mengenakan gaun Cinderella itu.
Ia menyodorkan lengan dan Berlian
menyambutnya seketika dengan penuh senyum. Gracia sempat merapikan gaun Berlian
sebelum melangkah di belakang abang-adik
itu dengan membawa buket bunga berisi cincin kawin kedua mempelai.
Dan di depan altar Rilo menatap pengantinnya,
nyaris tanpa bisa mengedipkan mata. Benarkah
itu Berlian? Berliannya? Benar-benar Berlian ataukah malaikat yang mendadak
jatuh dari langit? Bagaimana bisa gaunnya...?
Lalu semuanya mendadak jadi nyata ketika
Berlian terus berjalan mendekat dan memberinya seulas senyum penuh seri di
balik veil tipis menerawang yang
menyelubungi wajah. Senyum yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.
Berlian datang bukan dalam balutan sebuah gaun yang terlalu repot dengan detail
tumpukan renda yang menyebalkan, tapi sebuah gaun berbahan lace berwana putih, berpotongan empire, dan menampilkan siluet A
line yang sempurna dengan ornamen berkilau karena barisan kristal swaroski.
Cantik...
Sangat cantik... Selalu cantik...
Hanya itu yang bisa dibisikkan Rilo ketika
Berlian sudah berada di sampingnya. Dan ia mendapatkan senyum malaikat itu
lagi. Membuat hatinya makin runtuh. Membuatnya lebih dulu berjanji dalam hati
untuk mencintai dan membahagiakan Berlian seumur hidupnya jauh sebelum ia harus
mengucapkan janjinya itu dengan tangan berada tepat di atas kitab suci.
Dan upacara pemberkatan pernikahan pun
dimulai...
* * *
Epilog
Ervina setengah tersedu menatap gaun yang
masih tergantung apik di tengah ruangan studionya. Seandainya Rilo sampai lewat karena tertimpa truk itu maka ia
tak akan pernah memaafkan dirinya. Apalagi ia tahu kecelakaan Rilo beberapa
hari lalu terjadi karena perburuan gaun pengantin rancangannya itu.
Dan pada suatu sore tiga hari yang lalu,
dengan mata kepalanya sendiri, dari kejauhan ia melihat betapa wajah Rilo
begitu berseri menerima semua perlakuan Berlian. Laki-laki itu masih duduk di
kursi roda dan Berlian duduk di depannya sambil menyuapinya sepotong brownies.
Sesekali mereka bicara, tersenyum, dan tertawa sambil menikmati keasrian taman
rumah sakit.
Ada yang terasa sakit jauh di dalam hatinya.
Apalagi ketika menyadari bahwa selama ini setelah menjalani hubungan serius
dengan Berlian, Rilo sama sekali tak pernah menoleh ke arahnya. Sekali pun.
Sedetik pun. Dan ia cukup mengenal Rilo hingga sampai pada satu kesimpulan
bahwa ia memang tak cukup layak untuk Rilo.
Sesungguhnya ia telah kalah. Telak. Dan
haruskah melengkapi kekalahan itu dengan terus menatap gaun pengantin
rancangannya untuk Berlian? Ervina menggeleng.
Ia sudah tak ada harganya di mata Rilo.
Apapun yang akan dilakukannya. Barangkali benar bahwa Rilo sudah ditakdirkan
untuk jadi pasangan Berlian, bukan pasangannya. Sangat menyakitkan, tapi mau
tak mau ia harus menghadapi kenyataan itu.
Dihelanya napas panjang. Ia berdiri dan
melangkah mendekati gaun itu. Pelan dilepaskannya gaun itu dari manekin.
Diraihnya veil dan sebuah tas besar sebelum membawa gaun itu turun dengan
hati-hati dan masuk ke dalam mobil. Sebelum menekan pedal gas diliriknya jam
digital di dashboard. 7:15. Semoga masih
cukup waktu, gumamnya dalam hati.
Ia sampai ke tempat tujuannya tepat ketika
tiga buah sedan meluncur meninggalkan rumah itu, meninggalkan mobil keempat
yang terlihat anggun dengan hiasan pita dan bunga-bunga. Dengan cepat ia masuk
ke halaman dan mendapati seorang perempuan setengah baya menatapnya dengan
bingung di depan pintu.
“Kamar Berlian mana?” ia mencoba tersenyum.
Perempuan itu menunjuk ke atas dan ia segera
melesat ke sana. Hanya ada satu pintu kamar yang terbuka. Ketika ia melongokkan
kepala, terlihat Berlian sudah berdiri tegak dengan mengenakan baju pengantin
yang... Ya Tuhan..., ia hanya mampu
menggumamkan itu.
“Lepas gaun itu, Bri...”
Berlian tersentak kaget dan menoleh cepat ke
arah pintu. Ervina berdiri di sana dengan sehelai gaun pengantin indah berwarna putih.
“Ini gaunmu,” Ervina berucap nyaris berbisik.
“Maksudmu?” Berlian ternganga.
“Bri, maafkan aku,” Ervina melangkah
mendekat. “Ini gaunmu. Yang kurancang dengan tanganku sendiri, untukmu. Kalau
memang aku tak pernah memberi Rilo yang terbaik, ijinkan aku memberikan
rancangan terbaikku buatmu. Karena kamu yang terbaik buat Rilo.”
“Aku...”
“Bri, pakai gaun ini.”
Berlian menoleh ke arah Gracia. Dan
sahabatnya itu cuma bisa mengangkat bahu. Tapi akhirnya dilepaskannya juga gaun
pengantin mengenaskan itu, dan ia berganti mengenakan gaun pengantin rancangan
Ervina.
id.aliexpress.com |
Dengan hati-hati Berlian menatap ke arah
cermin. Sempurna. Tapi Ervina menggelengkan kepala. Ia menatap Berlian serius.
“Lepaskan dulu, Bri,” ucap Ervina tegas.
“Kamu kelihatannya sedikit lebih kurus dari terakhir ketika kamu fitting baju ini. Coba kuperbaiki
sebentar.”
Berlian melepaskan kembali gaun itu sementara
Ervina mengeluarkan mesin jahit mini dari dalam tas besarnya. Berlian dan
Garcia saling melemparkan tatapan masih-tak-mengerti ketika Ervina dengan cepat
menjahit sedikit pinggang kanan dan kiri gaun itu.
“Oke, selesai. Pakai, Bri,” Ervina mengulurkan
gaun itu.
Berlian kembali mengenakannya dan kali ini
semuanya memang benar-benar telah
sempurna. Ervina menatap gaun rancangannya yang melekat pada tubuh Berlian itu
dengan puas.
“Berapa kami harus membayarnya?”
Ervina tersentak mendengar suara Gracia.
Bergantian ia menatap Berlian dan Gracia. Terakhir tatapannya berlabuh pada
Berlian.
“Kamu berhutang padaku seumur hidup,” jawab
Ervina serius. “Bahagiakan Rilo. Bukan untukku, tapi untuk dirimu sendiri.
Janji?”
Berlian mengerjapkan mata. “Kenapa?”
“Karena kamu yang terbaik buatnya,” jawab
Ervina tegas..
“Bukan,” Berlian menggelengkan kepalanya.
“Maksudku, kenapa kamu melakukan ini?”
Ervina mengangkat bahu, mencoba untuk
mengulas senyum. “Bahkan terkadang nenek sihir yang paling jahat sekalipun
masih punya hati, Bri.”
Berlian tertegun menatap Ervina. Beberapa
detik kemudian ia mengerjapkan mata.
“Terima kasih,” bisiknya.
Ervina mengangguk. “Sama-sama. Kamu
mengajarkan banyak hal padaku, tanpa kamu sadari. Berbahagialah bersama Rilo,
Bri. Sampaikan salamku buatnya.”
“Kamu nggak menghadiri pernikahan kami?” Berlian mengerutkan kening. “Maaf,
kami memang nggak mengundangmu, tapi setidaknya sekarang aku mengundangmu.”
Tapi Ervina menggeleng. “Pesawatku ke Singapura berangkat siang ini, Bri. Lanjut ke Paris. Aku harus belanja untuk kebutuhan studioku.
Nggak cukup waktu untuk mengejar keberangkatanku kalau aku harus menghadiri
pernikahan kalian. Setidaknya gaun itu sudah mewakiliku. Semoga kalian
bahagia.”
Berlian masih tertegun-tegun hingga Ervina
menghilang dari kamarnya. Ia kembali menatap cermin. Masih tak mempercayai
penglihatannya. Gracia memegang veil bertiara
dari Ervina. Dengan cepat ia mengganti tiara yang sudah terlanjur terpasang
rapi pada sanggul Briana dan menggantinya dengan tiara yang baru.
Makin sempurna.
Gracia sempat memperbaiki sedikit riasan dan
rambut Berlian sebelum menurunkan veil
menutupi wajah Berlian. Ia melirik jam dinding dan segera berseru khawatir.
“Kita sudah terlambat 20 menit, Bri! Rilo
bisa mencincangku kalau pernikahan kalian berantakan hanya gara-gara aku telat
membawamu ke Gereja.”
Berlian mengulum senyum. Sekali lagi ia
menatap cermin walau terhalang veil yang
menutupi wajahnya. Lo, pengantinmu akan
segera datang...
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
hihihih... seneng ga perlu nunggu sambungannya
BalasHapusHihihi... Iya, Ma, bablaaasss... Makasih mampirnya ya...
HapusWeheheh di sini lebih lengkap, langsung bablas abis satu kali tayang :D
BalasHapusKeknya di sini juga ada tambahan ilustrasi yah tan?
Betul, Mbak... Sempat merubah beberapa kalimat untuk menyesuaikan dengan ilustrasi. Makasih dah mampir, Mbak Putri...
Hapusdibaca berkali-kali nggak bosan, nice stori mbak
BalasHapusMakasih banyak atas kunjungannya, Pak Subur...
HapusYosh, pulang gawe, buka lappie, nggelar tiker, sama maem nasi pecel, sambil baca novelette TOPBGT.... Nuwus fiksinya mbak.... Bikin capek ama keselku ilang,
BalasHapusNuwus juga mampirnya... Semoga ceritanya nggak mengecewakan...
HapusNice story mbak Lis. Rasanya senang baca kisah pernikahan, apalagi yg happy ending.
BalasHapusJangan-jangan bacanya sambil mengenang masa lalu sama nyonya nih, Mas Pical? Hihihi...
HapusMakasih mampirnya ya...