Rabu, 25 Februari 2015

[Novelet] Mimpi Dari Sepertiga Pagi





hipwee.com


Satu



Brrrr... Pagi yang sungguh dingin!

Ornella menarik satu stel training suit dari dalam lemari. Ketika turun ke kota kemarin, dia sempat membeli tiga stel training suit baru yang paling tebal bahannya. Belum dicuci sudah dipakai? Ornella nyengir. Tak akan ada yang tahu.

Setelah berpamitan pada Mbok Wuri yang sudah sibuk di dapur, Ornella memulai acara jogging-nya. Baru jam setengah lima pagi, tapi desa itu sudah menggeliat bangun dan memulai kehidupannya.

Desa tempatnya berdinas sekarang adalah sentra penghasil susu sapi. Tiap rumah pasti punya ternak sapi barang seekor-dua ekor. Yang sampai punya belasan atau pun puluhan juga ada. Dan sepagi ini, para peternak sudah bersiap untuk membersihkan kandang dan memerah susu sapi.

“Selamat pagi, Bu Dokter!” sapa seseorang.

Ornella memutuskan untuk berbelok ke rumah Pak Bejo yang menyapanya.

“Pagi, Pak Bejo...”

“Wah, Bu Dokter rajin pagi-pagi sudah lari-lari,” Bu Bejo yang sedang menyiapkan kaleng susu tersenyum lebar.

“Iya, Bu, daripada saya tidur dingin-dingin gini, bisa bablas kesiangan, mendingan saya keluyuran saja,” Ornella tertawa. “Siapa tahu ada yang baik hati kasih saya susu segar segelas.”

“Oh, Bu Dokter mau?”

Ornella bengong sejenak. Maunya iseng bercanda kok Pak Bejo jadi serius?

“Nanti saya kasih Bu, jangan khawatir,” sambung Bu Bejo.

“Lho, Pak, Bu, saya cuma bercanda kok!” Ornella jadi tak enak hati.

“Lhoooo... Ndak apa-apa, Bu,  seliter juga saya kasih, wong Bu Dokter sudah menyembuhkan kambingnya Leman kok!”

“Lha itu kan sudah tugas saya to, Pak.”

“Pokoknya Bu Dokter ndak boleh nolak. Kalau Bu Dokter mau lanjut lari-lari lagi monggo, tapi nanti pulangnya mampir sini ya?”

Ornella menatap Bu Bejo dengan rasa bersalah. Bu Bejo tersenyum tulus. Ornella menyerah.

“Ya sudah nanti saya ke sini lagi. Maaf ya, Pak, Bu, jadi repot, wong saya cuma iseng. Makasih banyak ya...”

Ornella melambaikan tangan dan kembali jogging. Tapi pikirannya masih tertinggal di dekat kandang sapi keluarga Pak Bejo. Duh... Malu sekali kalau ingat betapa dia lalai menjaga mulut. Betapa tulus Bu Bejo hendak memberinya susu sapi segar hanya karena keisengannya berbicara.

Perlahan langit timur berubah warna jadi semburat jingga. Indah sekali. Ornella berdiri di atas bukit kecil di sebelah selatan desa. Tiap pagi dia ke tempat itu, sejak kedatangannya hampir sebulan yang lalu. Ketika matahari mulai mengintip malu-malu, Ornella berlalu dari tempatnya berdiri.

Ketika melihat sosok Ornella berjalan mendekat dari kejauhan, Leman sudah ribut memanggil ibunya. Buat perjaka kecil kelas 6 SD itu, Ornella adalah dewi penolongnya karena berhasil menolong kambing kesayangannya yang perutnya kembung beberapa hari yang lalu.

“Bu! Itu Bu Dokter Ella sudah mau pulang! Mana susunya?!”

Bu Bejo tergopoh-gopoh datang sambil membawa 2 jerigen kecil berisi 2 literan susu. Membuat mata indah Ornella terbelalak lebar ketika Bu Bejo mengulurkan jerigen itu padanya.

“Ibuuu! Ini terlalu banyak!” protes Ornella.

“Ndak apa-apa, Bu. Nanti di rumah tinggal dimasukkan ke plastik kecil-kecil, terus dimasukkan ke lemari es. Kalau Bu Dokter mau minum susu, tinggal memanaskan saja seplastik-seplastik.”

Ornella tak sanggup lagi berkomentar apa-apa kecuali mengucapkan terima kasih berkali-kali. Leman dan Bu Bejo kelihatan senang sekali karena pemberiannya pada Ornella diterima dengan senang hati.

Setelah melambaikan tangan Ornella pun menyusuri jalan kembali ke rumah dinasnya. Hangatnya sinar mentari belum berhasil mengusir hawa dingin di daerah itu. Bahkan bukit besar di seberang sana masih separuh bagian diselimuti kabut.

“Mbak! Mbak!”

Ornella menoleh ke belakang. Sesosok tubuh tinggi tegap sedang berlari menyusulnya. Sebelum Ornella memutuskan untuk lari menghindar atau tetap berdiri menunggu, sosok itu sudah sampai di tempatnya berdiri.

Malu seri kedua. Wajah Ornella agak memerah. Tadi keceplosan soal segelas susu, sekarang salah menilai orang. Laki-laki tinggi tegap itu kelihatannya orang baik-baik. Tatapannya sopan. Gerak-geriknya juga kelihatan normal.

“Maaf, Mbak, itu susu sapi ya?” laki-laki itu menunjuk jerigen di tangan Ornella.

Ornella mengangguk.

“Beli di mana ya, Mbak?”

Ornella menggeleng. “Tadi dikasih Bu Bejo,” Ornella mengarahkan telunjuknya ke rumah bergenteng merah yang masih kelihatan dari situ.

“Oh... Kalau mau langganan di mana ya?”

Ornella menatap laki-laki itu. “Anda baru ya di sini?”

“Iya, baru datang kemarin siang. Saya Aji,” laki-laki itu mengulurkan tangannya.

“Ella,” Ornella menyambut jabat tangan itu. “Anda benar-benar membutuhkan susu segar?”

“Saya suka saja, Mbak. Saya pikir gampang dapat susu sapi segar di sini.”

“Ini kebanyakan buat saya,” Ornella mengacungkan jerigennya. “Anda mau satu?”

Aji bengong sejenak menatap Ornella. Tapi dilihatnya wajah gadis itu begitu serius.

“Mbak yakin?”

Ornella menganggukkan kepalanya. Aji mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ornella pun mengangguk-angguk sambil tersenyum.

“Jerigennya nanti saya kembalikan, Mbak. Di mana rumah Mbak?”

“Oh... Anda datang saja ke rumah dinas saya. Tuh, di ujung jalan ini.”

Dan mereka berpisah di pertigaan. Aji berbelok ke kiri, Ornella berjalan terus.

Sampai di rumah Ornella langsung menuangkan susu itu ke dalam gelas, dan mengisikan sisanya ke dalam plastik kecil-kecil yang langsung dimasukkannya ke dalam freezer. Sambil meneguk susu ingatan Ornella kembali ke acara jogging paginya tadi.

Aji... Terlihat well educated, tidak kurang ajar, sopan, dan... tak asing.

Ornella menyipitkan matanya. Tapi sekeras apa pun dia mengingat, tak ada satu pun benang merah yang bisa menghubungkannya dengan seorang laki-laki bernama Aji itu. Dia menggelengkan kepala, menghabiskan susu, dan siap-siap menikmati hari Minggunya dengan membaca setumpuk buku yang dibelinya kemarin.

* * *




Dua



“Ooo... Mbak Ella? Yang dokter hewan?” Bidan Ika tersenyum lebar.

Aji mendadak tersipu malu. Sepertinya senyum Bidan Ika berarti ‘sesuatu’ sekali.

“Mbak Ella itu baru dua bulanan di sini. Tapi dedikasinya jangan ditanya. Jam berapa pun penduduk sini membutuhkan, dia selalu siap. Bayaran? Ndak pernah matok tarif. Anaknya orang kaya, tapi jiwa sosialnya hebat. Neneknya dulu punya peternakan sapi perah di kecamatan sebelah. Tapi ndak ada yang meneruskan. Mbak Ella masih kecil waktu neneknya meninggal.”

Aji manggut-manggut.

“Masih single, Dok, mau dicomblangi?” goda Bidan Ika.

Sambil tertawa Aji menggeleng. Segenting apapun hubungannya dengan Chiara, dia tak mau berkhianat. Kalau memang harus pindah ke lain hati, paling tidak hubungannya dengan Chiara harus dibereskan dulu. Tapi mengingat sikap kukuh Chiara, sepertinya tak akan lama lagi hubungan istimewa itu bakal kandas.

Aji menghela napas panjang. Chiara sudah ribut besar ketika Aji memutuskan untuk menerima tugas di desa ini. Bukan desa terpencil sebenarnya, tapi tetap saja ‘desa’ buat Chiara. Dan idealismenya mengalahkan keterikatannya pada Chiara. Keterikatan yang makin longgar karena sesungguhnya makin lama dia makin susah mengenali Chiara.

Dan di sinilah dia sekarang. Tempat yang baru. Dengan segala kesederhanaannya. Dengan segala antusiasmenya. Dengan sebuah jerigen bersih bekas susu segar yang masih tertinggal di rumah dinasnya.

Pasien terakhir baru saja berlalu. Aji menguap sambil menggeliat. Diliriknya arloji. Pukul 15.30.

“Dokter mau langsung pulang?”

Aji menoleh. Triman, salah seorang tenaga paramedis, melongokkan kepalanya dari ambang pintu.

“Sebentar lagilah, Mas Tri. Belum jam 4.”

“Ndak apa-apa, Dok. Nanti kalau ada pasien lagi kan bisa diterima di rumah. Atau kalau Dokter ndak mau biar ditangani Mbak Ika.”

“Ya maulah, Mas, mosok pasien butuh harus ditolak?”

“Ya... Barangkali, Dok,” senyum Triman.

“Sinyal HP kenceng juga di sini ya, Mas?”

“Oh iya, Dok! Jangan khawatir kalau di sini.”

“Oh iya, Mas Tri, tahu nggak jam berapa Mbak Ella itu biasanya ada di rumah?”

“Mbak Ella mana?”

“Itu, yang dokter hewan.”

“Oh... Bu Dokter?” Triman tertawa lebar. “Ndak tentu, Dok. Kadang-kadang siang sudah ada, kadang-kadang malem juga masih di rumah pasien. Ada apa, Dok? Kan Dokter ndak punya piaraan?”

“Kemarin aku dikasih susu segar sejerigen sama dia. Lha ini mau kembalikan jerigennya. Katanya dia juga dikasih orang. Eh, Mas, kalau mau langganan susu segar di mana ya?”

“Mau berapa, Dok?”

“Seliter sajalah tiap hari.”

“Oh... Kalau cuma seliter lha mbok besok saya bawakan.Tiap hari juga monggo. Gratis, Dok.”

“Lho, kok gratis?”

“Iya, nanti saya mintakan Emak. Emak saya kan sapinya ada tujuh, Dok.”

“Seliternya berapa itu?”

“Sudah... Buat Dokter gratis saja, lha wong cuma seliter kok.”

“Eh...”

Aji kwmudian terdiam. Antara tak enak dan berterima kasih. Triman tertawa melihat ekspresi Aji, dan berlalu.

“Makasih banyak ya, Mas Tri!”

“Sama-sama, Dok!”

Tak lama kemudian Aji memutuskan untuk pulang. Diambilnya jerigen susu, dan dia pun melajukan tiger-nya ke arah selatan desa.

Rumah itu sudah kelihatan. Tampak mungil dan apik. Sepi. Tapi jendelanya terbuka. Aji hampir berbalik pergi ketika agak lama ketukannya di pintu tak ada sambutan.

“Sore, Bu,” sapanya sopan.

Perempuan setengah baya itu mengangguk ramah. “Sore, Pak. Cari Mbak Ella ya? Mbak Ella lagi mandi.”

“Oh... Boleh saya tunggu?”

“Monggo, monggo...”

Aji memilih untuk duduk di teras. Udara mendingin dengan cepat. Bahkan kabut mulai turun menyelimuti perbukitan di kejauhan.

Menyesal? Aji menggeleng. Dia baru sehari aktif bertugas. Dan rasanya dia akan betah tinggal di sini. Ada ketenangan di sini. Dan keramahan. Dan penerimaan. Dia merasa nyaman.

“Sore...”

Aji tersentak. Dia menoleh. Ornella tampak segar dalam balutan celana bermuda dan sweater warna krem.

“Oh, Anda...”

Senyum ramah itu tersungging. Membuat sesuatu bergetar dalam dada Aji.

“Iya, selamat sore, Mbak. Saya mau mengembalikan jerigen. Terima kasih.”

“Oh... Iya, sama-sama.”

Perempuan setengah baya yang tadi membukakan pintu muncul dengan nampan di tangannya. Berisi dua mug susu coklat hangat dan sepiring sale pisang.

“Mbok, ini tolong dibawa ke belakang ya? Makasih,” Ornella menyodorkan jerigen dari Aji kepada Mbok Wuri, perempuan setengah baya itu.

“Ah, kok repot-repot,” ucap Aji, terdengan basa-basi yang sudah basi.

“Ah, wong cuma ini saja adanya kok... Monggo, Mas, dicicipi...”

Susu coklat itu benar-benar enak. Juga sale pisangnya. Juga obrolan yang kemudian mengalir.

“Oh... Jadi Anda ini dokter baru di puskesmas pembantu ya?” Ella tertawa, menyadari kebodohannya. “Saya nggak kepikiran kemarin itu.”

Aji tersenyum. “Kayak preman saya ya, Mbak?”

Tawa Ella meledak. “Preman kok klimis...”

Dan Aji terpaksa pamitan ketika hari menggelap. Sebetulnya dia belum terlalu hafal jalan-jalan di desa ini. Tapi sepertinya mudah saja rute dari rumah dinas dokter hewan ini ke rumah dinasnya.

Ketika Aji hendak berlalu, sebuah kijang Innova berbelok masuk ke halaman rumah dinas Ornella. Masih didengarnya teriakan bernada gembira dari Ornella, “Mbok! Mbok! Mas Dino sudah datang!”

* * *




Tiga



Ornella lebih senang lagi ketika mendapati Ayah-Bundanya turun dari mobil. Dino mengikuti dari belakang. Wajah laki-laki itu tampak cerah ketika Ornella menghambur ke dalam pelukannya.

“Mas kangen Ella,” ucap Dino.

“Mas kok kurusan? Susah makan ya?”

Dino mengangguk-angguk. “Nggak ada Ella yang nemenin.”

“Tapi kalau susah makan nanti Mas sakit. Kan kasihan Ayah sama Bunda.”


“Mas mau pindah sini.”

“Iya, Dino, kita akan pindah ke sini,” Bunda mengelus kepala Dino dengan sayang.

Ornella segera menggandeng Dino ke dalam. Tak ada kecanggungan sama sekali. Dino adalah dunia Ornella sebelum dia pindah ke desa ini. Mereka dekat. Sangat dekat. Membuat Ornella sangat kehilangan Dino pada hari-hari pertama tinggalnya di desa ini.

Dilahirkan sebagai anak bungsu tak membuat Ornella kehilangan peran sebagai kakak. Dino adalah kakak sekaligus adiknya. Usia Dino yang hanya terpaut tiga tahun di atas Ornella tidak membuat Dino jadi jauh lebih dewasa daripada Ornella. Justru Ornellalah yang banyak membimbing dan mengajari Dino. Karena Dino istimewa. Karena Dino berkebutuhan khusus. Karena Dino penyandang down syndrome.

Tahun-tahun pelatihan di sekolah khusus membuat Dino jadi pribadi yang lebih mandiri. Setidaknya untuk mengurusi kebutuhan dasar dirinya. Dino bisa bicara, tidak begitu jelas, tapi sangat dimengerti oleh keluarganya.

Mereka duduk mengeliling meja makan sederhana itu. Dino makan dengan lahap. Sesekali Ornella melayani kakaknya itu.

“El, ingat nggak dulu Oma punya peternakan sapi?” celetuk Ayah.

Ornella mengangguk.

“Beberapa hari yang lalu pemiliknya yang baru bermaksud untuk menjual kembali peternakan itu pada keluarga kita. Ayah pikir bagus juga biar diurus Dino.”

“Ayah serius?” Ornella berhenti makan sejenak.

“Iya,” Ayah mengangguk pasti. “Ya memang Dino nggak bisa dilepas begitu saja. Sedikit banyak Ayah juga masih ingatlah cara mengurus sapi.”

“Terus, rumah kita? Perusahaan?”

“Sudah waktunya diurus oleh Ian.”

Ornella manggut-manggut. Ian, kakak sulungnya, memang sudah dipersiapkan Ayah untuk menggantikan posisinya sebagai pemilik dan pemimpin perusahaan. Ian berminat, dan sangat mampu. Mungkin sekaranglah saat yang tepat buat Ian untuk maju.

“Awalnya Ian keberatan,” lanjut Bunda. “Tapi dia mampu kok. Nggak diragukan lagi. Kamu sendiri bisa dibilang sudah mulai membangun hidupmu sendiri. Tinggal Dino.”

Ornella menatap Dino. Yang ditatap sedang asyik makan sambil menonton TV. Dihelanya napas panjang.

“Aku senang banget sih, kalau Ayah, Bunda, Mas bisa ada di dekat sini. Nggak jauh dari sini juga tempatnya.”

“Kamu sudah pernah berkunjung ke sana?” Bunda tampak antusias.

Tapi Ornella menggeleng. “Aku lupa-lupa ingat, Bun,” desahnya sedih.

“Iya sih, terakhir kamu ke sana waktu Oma meninggal,” gumam Ayah.

“Ella masih kelas 2 SD, pasti banyak nggak ingatnya ” timpal Bunda.

Ornella tercenung.

* * *

Lupa?

Tak ada yang bisa dia lupakan dari rumah dan peternakan almarhum neneknya. Kalau dia berusaha melupakan, ya, benar. Apalagi apa yang dilihat oleh matanya saat itu. Saat terakhir dia menginjakkan kaki di desa neneknya.

Ornella kecil menyelinap pergi di tengah kesedihannya kehilangan Oma. Tujuannya satu. Rumah Caka. Sejak awal dia datang, tak dilihatnya Caka. Padahal Caka selalu muncul kalau dia datang.

Dan langkahnya terhenti di depan puing-puing bangunan yang terbakar. Rumah Caka sudah rata dengan tanah. Dengan gundukan arang hitam di sana-sini. Kenapa?

“Non, cari Caka?”

Ornella kecil menoleh. Pak Hamid, tetangga Oma dan juga Caka menatapnya dengan sedih. Ornella kecil hanya bisa mengangguk. Pak Hamid mendekatinya, jongkok di depannya, memegang lembut kedua bahunya.

“Non, pulang ya? Caka sudah pergi. Rumahnya terbakar dua minggu yang lalu. Semuanya sudah ludes. Ayo, Non, kita pulang ya? Paklik Hamid juga mau ke rumah Bu Sepuh.”

Pak Hamid menggandeng tangan Ornella kecil. Dituntunnya gadis cilik itu pulang. Sesekali Ornella menoleh ke belakang. Tempat yang makin jauh itu masih sama. Berantakan dan menghitam. Caka-nya sudah pergi. Entah di mana dimakamkan. Tak terasa airmata mengalir di pipinya.

Dan sejak saat itu semuanya tak lagi sama buat Ornella. Tak ada lagi keinginan untuk menginjak lagi rumah Oma, apalagi Oma tidak dimakamkan di desanya. Yang kemudian mengurus aset Oma berupa rumah dan peternakan adalah Pak Hamid. Hingga beberapa tahun kemudian Pak Hamid bisa membeli seluruh aset Oma.

Menurut cerita ayahnya, Pak Hamid kini akan mengembalikan aset milik Oma yang pernah dibelinya. Mas Anan, anak tunggal keluarga Hamid yang sudah jadi orang sukses dan bermukim di Bali, mengajak Pak dan Bu Hamid untuk tinggal bersamanya. Tak ada lagi yang mengurusi peternakan dan rumah yang dulu dimiliki Oma.

Ayah menyetujui untuk membeli kembali aset itu. Untuk Dino. Karena selama ini disadari atau tidak, Dino sangat telaten mengurus hewan. Mungkin, peternakan itu berguna untuk Dino.

Ornella perlahan mengusap telaga bening yang menggenang di matanya. Dari semua orang luar yang pernah dikenalnya, cuma Caka dan Bertha yang menerima Dino dengan tangan terbuka, apa adanya. Dan betapa beruntungnya Ian mendapatkan Bertha sebagai tambatan hati. Dan kini perempuan manis, lembut, dan ramah itu sudah jadi istri Ian.

Pendampingnya?

Ornella tersenyum sinis. Semua laki-laki yang pernah mendekatinya pada akhirnya kabur begitu mengetahui dia memiliki seorang Mas Dino. Kecewakah dia? Dengan tegas Ornella menggeleng.

Menukar begitu banyak pelajaran yang sudah pernah dia petik dari Dino hanya demi bersanding dengan laki-laki yang tidak bisa menerima kehadiran Dino sebagai keluarganya? Tak akan pernah.

“Ella, bobok.”

Sebuah suara menyentakkan Ornella dari lamunannya. Rumah dinas itu sudah sepi. Semua pasti sudah asyik meringkuk di tengah hawa dingin yang menggigit. Kecuali Ornella, dan Dino.

“Mas mau susu?”

Dino mengangguk.

Ornella tersenyum sambil bangkit dari duduknya. Dia menggandeng Dino ke dapur. Dibuatnya dua gelas susu hangat. Segelas diminum Dino dengan nikmat, segelas lagi meluncur masuk ke dalam perut Ornella.

Di luar, kabut kembali turun seperti biasanya. Bertambah tebal, dan bertambah tebal.

* * *




Empat



Waktu di tempatnya berada sekarang terasa cepat sekali berlalu bagi Aji. Satu minggu yang sibuk. Satu minggu yang nyaris penuh dengan pasien ‘tak penting’ yang hanya ingin sekedar mengenalnya lebih dekat sebagai dokter yang baru. Kadang-kadang Aji harus menahan tawa melihat ‘akting’ beberapa pasiennya.

Sabtu yang mendung dan cenderung berkabut sejak dini hari. Aji mengendarai motornya mengikuti jalan besar menuju kecamatan tetangga. Ketika mendekati sebuah pertigaan, dilihatnya Ornella keluar dari halaman rumah dinas dengan mengendarai motor maticnya. Aji membunyikan klakson pendek. Ornella menoleh sambil menghentikan motornya.

“Siang, Dok,” Aji tersenyum lebar.

“Siang juga, Dok,” Ornella membalas dengan tertawa kecil.

Sekali lagi Aji menikmati dekik di kedua pipi Ornella.

“Mau ke mana, Dok?”

“Eh,” Aji tersentak. “Ke kecamatan sebelah. Dokter Ella mau ke mana?”

“Aduh, panggil Ella aja deh,” protes Ornella. “Mau ke kecamatan sebelah juga.”

“Daerah tugasnya sampai sana?”

Ornella menggeleng. “Mau ke tempat ortu.”

“Oh... Ortunya orang sini?”

“Iya, Ayah asli sana. Ini lagi mau proses pindah lagi ke sana. Mas Aji mau ke puskesmas?”

“Iya, sekalian ada perlu pribadi. Bareng aja yuk!”

Ornella menimbang-nimbang sejenak sebelum menyetujui ajakan Aji. Setelah memasukkan kembali motornya ke dalam rumah, Ornella naik ke boncengan motor Aji.

“Kok tadi dibilang ortu mau pindah lagi ke sana?” Aji menoleh sekilas.

“Iya, dulu Oma punya peternakan di sana. Setelah Oma meninggal, peternakan dijual sama Ayah. Sekarang Ayah sudah mau pensiun. Beberapa waktu yang lalu sama orang yang dulu beli, peternakan itu mau dijual lagi ke Ayah.  Kebetulan kami juga lagi butuh, ya sudah diambillah sama Ayah.”

“Oh... “

“Nanti pulangnya aku nebeng lagi boleh nggak, Mas?”

“Nggak nginep?”

“Nggaklah, takut ada pasien.”

Aji tertawa ringan. Betul kata Bidan Ika, Ornella memang patut diacungi jempol dedikasinya. Tampaknya dia harus benar-benar mencontoh sikap Ornella.

“Halo, bolehkah nebeng lagi?”

“Ya, ayo! Nanti aku jemput di rumah ortumu deh!”

“Wah, makasih... Makasih... Makasih...,” Ornella meneruskan dengan tawa lepas.

Aji tertawa lagi. Enak betul rasanya mengobrol dengan gadis yang satu ini. Chiara? Terlalu menjaga image sebagai gadis bersopan-santun tinggi. Tak pernah ada istilah tertawa lepas di kamus Chiara. Membuat Aji kadang-kadang merasa aneh sendiri di samping Chiara.

Ah! Kenapa harus membandingkan dengan Chiara? Aji menggeleng tak kentara. Sudah seminggu. Tak ada kontak sama sekali dengan Chiara. Bahkan berpikir untuk menelepon Chiara barang sejenak pun Aji tak pernah kepikiran. Aji sedang menikmati betul dunianya yang baru. Dunia sederhana yang tak penuh dengan keruwetan ala muda-mudi kota.

“Mas, aku turun di situ saja.”

Aji sedikit tersentak. Wah! Sungguh bahaya mengendarai motor sambil melamun!

“Rumahmu?”

“Masih masuk lagi ke dalam, aku jalan kaki aja.”


“Ya udah aku antar sekalian ke dalam.”

Aji membelokkan motornya masuk ke jalan sempit menuju ke rumah Chiara. Di kanan-kiri mereka ada kebun apel. Sekitar 50 meter ke dalam, ada rumah besar berhalaman luas yang tampak bersih terawat, tapi sepi.

“Kok sepi?”

“Lagi pada ke kandang kayaknya. Duduk dulu, Mas.”

“Wah, makasih. Tapi aku mau ke puskesmas dulu nih! Ya udah, nanti aku jemput di sini ya?”

“Nggak takut nyasar?” goda Ornella.

Aji tertawa. “Nggaklah, aku sering ke sini kok. Pamit dulu ya?”

“Makasih ya?”

Ornella melambaikan tangan. Aji kembali melajukan motornya. Keluar dari jalan kecil itu, dia berpapasan dengan sebuah Kijang Innova. Mobil yang sama dengan yang dilihatnya hari Minggu yang lalu.

Tak berapa lama Aji sampai ke sebuah pemakaman besar di tepi jalan raya kecamatan. Setelah membeli empat bungkus bunga tabur, bersama motornya Aji masuk ke dalam kompleks pemakaman itu. Sampai di bawah sebuah pohon rindang ia berhenti dan memarkir motor.

Pelan dia mendekati jajaran rapi empat buah nisan. Di depan masing-masing nisan dia memanjatkan doa dan menabur bunga. Tiap kali melakukan itu, ada goresan-goresan kesedihan yang masih saja muncul di hatinya.

Dibacanya pelan-pelan tiap batu nisan empat makam yang sudah terbangun apik itu. Suwoyo bin Wakiman. Kusrini binti Mukidin. Eka Dewi Sinta binti Suwoyo. Ajisaka Catur Atmaja bin Suwoyo.

Aji menghela napas panjang. Tak pernah mudah untuk mengenang kepergian-kepergian itu dengan hati lapang. Meninggal dengan cara yang begitu mengerikan sama sekali tak pernah terpikirkan olehnya. Terperangkap di dalam rumah yang terbakar. Selalu membuatnya kelu. Tapi mungkin itu sudah kehendak Tuhan, hiburnya dalam hati. Pada diri sendiri.

Tak mau lama-lama terhanyut dalam nuansa biru di hatinya, Aji segera beranjak. Menuju ke rumah dinas dokter puskesmas. Di sana dia melepas gundahnya. Mengobrol ringan dengan Dokter Rudy dan Indira, istrinya. Bercanda dengan Elora, balita cantik Dokter Rudy. Menikmati makan siang sederhana yang begitu nikmat hasil masakan Indira.

“Aku senang kamu mau kembali ke sini, Ji,” ucap Dokter Rudy.

“Iya, Mas. Enak hidup di sini. Nyaman, tenteram,” senyum Aji.

“Pacarmu gimana?” tanya Indira.

“Nggak tahulah, Mbak. Mau putus ya putuslah. Makin dipikir kok aku makin pusing.”

“Ya... Cooling down dululah. Sadari juga dia berasal dari kalangan mana,” ucap Indira bijak.

“Iya, Mbak.”

Menjelang sore Aji pamitan. Tak lupa dia mampir ke rumah Ornella. Mobil yang berpapasan dengannya tadi masih ada di depan rumah. Dilihatnya pintu depan terbuka lebar dan ada banyak tawa dan suara dari dalam rumah. Sebelum Aji melangkah mendekati rumah itu, kepala Ornella melongok dari arah pintu.

“Eh, kirain lupa jemput,” tawa Ornella terdengar renyah.

Aji tersenyum lebar. “Nggaklah. Paling kalau lupa beneran aku balik lagi.”

Tawa Ornella pecah. “Masuk dulu yuk?”

Aji menurut. Di dalam Ornella memperkenalkannya pada seluruh anggota keluarga. Obrolannya tak lama, karena Ornella sudah mengajaknya kembali ke desa. Dengan diiringi banyak lambaian tangan mereka meluncur pulang.

“Kenapa buru-buru banget sih?”

“Keburu sore nanti, Mas. Kabutnya itu lho!”

“Seneng ya punya keluarga lengkap?” celetuk Aji sambil lalu.

“Ya gitu deh! Keluarga Mas?”

Aji menggeleng. “Sudah nggak lengkap lagi. Aku ke sini tadi kan sekalian nyekar.”

“Lho! Kok nggak ngajak aku sih?”

“Kapan-kapan juga bisa.”

Hawa dingin mulai terasa. Padahal baru jam empat sore. Kabut tipis perlahan mulai turun. Aji menghentikan motornya di depan rumah dinas Ornella. Segera Ornella meloncat turun.

“Masuk dulu, Mas,” tawar Ornella.

Tapi Aji menggeleng. “Mulai berkabut. Aku pulang dulu ya?”

“Makasih banyak ya, Mas.”

“Sama-sama.”

Ornella masuk ketika Aji sudah menghilang dari pandangannya. Tapi tak lama kemudian terdengar lagi deru motor Tiger memasuki halaman. Ornella mengerutkan kening dari balik jendela. Aji kembali lagi. Ornella buru-buru membuka pintu.

“Kok balik?” senyum Ornella.

“Ehm, aku lupa minta nomor ponselmu,” Aji terlihat kikuk.

Ornella bengong sejenak.

“Boleh?”

Ornella buru-buru mengangguk.

* * *




 Lima



Setelah sibuk non stop tanpa sempat banyak istirahat, akhirnya Ornella bisa juga mengambil libur dua hari. Dan Ornella langsung merencanakan untuk pergi ke Surabaya. Menemui Ian dan Bertha, dan Bimbim, keponakan tersayangnya. Dengan diantar sopir ayahnya, Ornella pun meluncur ke Surabaya.a

Dua minggu penuh dilalui Ornella dengan kesibukan yang sangat padat. Entah kenapa bisa ada lima ekor sapi yang bunting sungsang dan perlu ditolong saat melahirkan. Belum lagi ada wabah PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) melanda beberapa sapi di desa di ujung utara. Belum lagi para peternak yang hobi berombongan melakukan IB (Inseminasi Buatan) untuk sapi-sapi mereka.
                                                                
Biasanya Ornella dibantu oleh Pak Harno, seorang mantri hewan. Tapi dua minggu yang lalu Pak Harno terpaksa mudik ke Magetan karena ibunya sakit parah, yang disusul dengan wafatnya sang Ibu seminggu kemudian. Menunggu tujuh harian, Pak Harno baru kembali kemarin sore.

“Sudah, Bu Ella libur saja,” kata Pak Harno. “Mosok kerja non stop begitu. Saya saja yang tangani, Bu.”

Dan Surabaya langsung menyambutnya dengan hawa panas yang luar biasa. Ornella meminta sopir untuk membawanya langsung ke butik milik Bertha. Kakak iparnya itu menyambutnya dengan meriah.

“Jiaaah! Dokternya sapi datang!”

Ornella tergelak. Dipeluknya kakak iparnya itu. Terlihat sangat cantik dengan gaun hamil batiknya.

“Untung Mama tadi telepon, bilang kamu mau ke sini. Kemarin sore baru ada barang baru datang. Cakep-cakep! Tuh, udah kusisihkan buat kamu, ada di kantor.”

Ornella menurut ketika Bertha menarik tangannya. Ada sejumlah gaun batik yang sangat elegan berjajar di gantungan khusus. Ornella tertawa melihatnya.

“Kak, aku senang banget sih gaun batik, tapi sekarang buat apa? Mau show di depan sapi?”

Bertha tergelak. “Disimpan dulu kan bisa. Buat jaga-jaga kalau ada acara penting. Kamu betah di sana, El?”

Ornella mengangguk. “Asyik, Kak, di sana.”

“Udah ketemu sama siapa?”

Ornella mengangkat alisnya ketika mendengar ada nada menggoda dalam suara Bertha. Bertha sendiri meringis jahil.

“Mama cerita apa?”

“Enggak,” Bertha menggeleng. “Cuma ada seorang dokter gagah, kata Mama.”

“Ah, itu,” Ornella mengibaskan tangan. “Cuma teman biasa...”

“Begitukah?”

Ornella tertawa lagi mendengar godaan Bertha. “Dia baik. Itu aja.”

“Dia udah ketemu Dino?”

Ornella mengangguk.

Any comment?

“Enggak,” Ornella menggeleng. “Nggak ada komentar apa-apa. Belum ada, tepatnya. Terakhir ketemu ya pas aku nebeng dia ke farm itu. Dua minggu lalu. Terus aku sibuk banget. Cuma sempat SMS-an sesekali. Itu juga biasa aja.”

Bertha mengangguk-angguk mendengar penuturan Ornella. “Kamu nggak apa-apa pulang ke farm?”

Ornella menggeleng. “Aku belum pulang lagi kok. Cuma mampir bentar kapan hari itu. Nantilah, Kak, aku juga belum lihat lagi rumah itu.”

Bertha mengerti. Tak mudah untuk menghilangkan kenangan buruk masa kecil tentang pemandangan rumah terbakar, dengan sahabat yang mengalami hal mengerikan di dalamnya. Ornella pernah bercerita padanya. Tentang sosok teman kecil bernama Caka. Dan kenangan itu selalu ada dalam hati Ornella. Tak pernah lekang oleh waktu.

“Jam segini Bimbim belum pulang?”

“Sabtu libur, Non...”

“Oh, iya ya! Kenapa aku tadi nggak langsung ke rumah?”

“Percuma, nggak ada orang di rumah. Bimbim diajak Mas Ian mancing.”

“Hah? Di mana?”

“Tauk deh! Asal nggak mancing perkara aja.”

Ornella terbahak.

Sambil ngerumpi Ornella memperhatikan gaun-gaun batik di depannya. Semuanya bagus. Semuanya menarik. Semuanya indah. Apalagi yang hijau lumut itu. Atau yang biru. Atau yang coklat gelap itu. Atau yang kuning kecoklatan dengan aksen prada keemasan. Ah! Semua menarik!

Bertha mengambil sehelai gaun batik dari gantungan. Gaun batik tulis terbuat dari sutra. Berwarna dasar merah bata yang sangat-sangat elegan. Diulurkannya gaun itu pada Ornella.

“Nih, aku tahu seleramu.”

“Whoaaa...,” mata Ornella langsung berbinar melihat gaun itu.

Bertha tersenyum penuh kemenangan. “Bungkus ya?”

“Bayar gajian?”

Bertha tergelak. “Gratisss!”

“Beneran?”

“Iya. Apa sih yang enggak buat adik sendiri?” Bertha mengedipkan sebelah mata.

“Yippy!” Ornella berseru kegirangan.

“Pulang yuk!” ajak Bertha. “Kamu menginap kan?”

Ornella mengangguk. Setelah Bertha mengunci kantornya mereka turun ke lantai 1, ke ruangan butik. Bertha bertegur sapa sejenak dengan beberapa langganan yang sedang berbelanja. Ketika Bertha sedang mengobrol, Ornella memutuskan untuk berkeliling butik sejenak.

Di sebuah sudut dekat etalase asesori, seseorang menyerukan namanya. Ornella menoleh. Seorang gadis berambut coklat terang sedang menatapnya sambil tersenyum lebar. Ornella ternganga.

“Chia? Chiara?”

Mereka tertawa sambil berpelukan.

“Kamu bukannya di Jakarta?” Ornella melebarkan matanya.

“Iya, lagi ada kerjaan di sini. Kamu masih di sini?”

“Enggak. Aku dinas di Pujon. Udah hampir dua bulan.”

“Pujon?” Chiara membelalakkan matanya. “Pacar aku juga di sana!”

“Hah? Nggak salah?”

Ornella ternganga. Dia tahu betul Chiara, teman SMA-nya itu, bergaul dengan kalangan seperti apa. Dan pacar Chiara ada di Pujon katanya?

“Iya, pacar aku dinas di sana. Nyebelin tahu nggak, El! Masak sih, dia milih kerja di desa gitu. Padahal papa aku udah nawarin dia pegang klinik di Bandung. Eh, dia nggak mau. Malah minggat ke Pujon. Ini aku juga mau sekalian ke sana. Tauk deh, bisa nyampai apa enggak aku...”

“Pacar kamu kerja apa?”

“Ya dokterlah, El. Kan udah kubilang tadi ditawarin Papa pegang klinik tapi nggak mau.”

“Dokter Aji bukan?”

Chiara kembali membelalakkan matanya. “El, kamu kenal?”

Ornella mengangguk bodoh. Aji kekasih Chiara? Nggak salah?

* * *




Enam



Kadang-kadang Ornella heran sendiri memandang pertemanannya dengan Chiara. Pada satu sisi mereka sama dan sebangun, di sisi yang lain mereka berbeda 180 derajat. Mereka sama-sama anak pengusaha berada, anak bungsu dan anak perempuan satu-satunya. Tapi keseharian mereka sungguh bertolak belakang.

Ornella dibesarkan dengan terbiasa melihat ibunya aktif di bidang sosial. Kehidupan mereka dibiasakan sederhana. Semua kebutuhan akan dipenuhi, tapi bukan melulu soal merk dan benda-benda mahal. Sedangkan Chiara sebaliknya. Hidup terbiasa manja sebagai putri bungsu, dan agak terlalu mudah hidup mewah dan berhura-hura.

Mereka dipertemukan pada suatu peristiwa, saat MOS SMA. Ornella tidak tega melihat Chiara dibentak-bentak sedemikian rupa oleh senior ‘hanya’ karena pita rambutnya hari itu salah tempat. Harusnya pita kuning di kuncir kanan dan pita hijau di kuncir kiri, tapi Chiara memakai sebaliknya.

“Kak, tinggal ditukar saja letak pitanya saya kira masalah akan selesai,” celetuknya berani.

Ornella dan Chiara tak pernah lupa betapa besarnya mata senior itu ketika memelototi mereka. Akibatnya Ornella dihukum bersama Chiara. Mencabuti rumput liar di taman selatan sekolah.

“Mustinya kamu nggak usah membela aku. Jadinya kamu ikut dihukum,” celetuk Chiara.

“Nggak apa-apa. Lagian aku juga bosan di kelas melulu,” Ornella nyengir bandel.

Dan kemudian mereka berkenalan, cekikikan berdua, dan mendapat tambahan hukuman membersihkan WC. Sebuah pengalaman yang tak terlupakan dan bisa mendekatkan mereka selama 3 tahun sekolah di SMA. Sepertinya mereka memang bergaul dengan kelompoknya sendiri-sendiri, tapi sesungguhnya banyak sekali hal yang hanya bisa diceritakan Chiara pada Ornella.

Dan mereka harus berpisah karena Chiara melanjutkan kuliah di Jogja dan Ornella tetap di Surabaya. Sesekali mereka masih tetap bertemu kalau Chiara pulang ke Surabaya. Tapi ketika kemudian Ornella makin sibuk dengan kuliah dan kegiatan sosial bersama ibunya, hingga mereka kehilangan kontak ketika akhirnya Chiara pindah lagi ke Jakarta untuk bekerja.

“Aku kangen banget tahu, sama kamu,” ucap Chiara sambil mengaduk Strawberry Shake-nya. “Kayak mimpi aja ketemu sama kamu lagi.”

Ornella tertawa ringan. Rasa itu juga yang membuat dia langsung menyetujui ajakan Chiara untuk bertemu di Cafe Tosca Sabtu sore itu. Melepas kangen. Menyediakan telinganya untuk mendengarkan curahan hati Chiara yang hanya boleh didengarkan oleh Ornella.

“Terus gimana sih ceritanya kamu ketemuan sama Aji itu?”

“Mas Aji itu sohib Bang Cornel. Seringlah ke kost aku. Kan aku satu kost sama Abang.Ya gitu deh, tahu-tahu jadian.”

Ornella tersenyum lebar melihat ada semu merah di kedua pipi Chiara.

“Tapi belakangan ini hubunganku sama dia jadi rada rumit, El. Gila aja rasanya, dia masa depannya cerah di klinik cabang punya papa aku, tahu-tahu malah minggat ke desa gitu. Jauh lagi!”

“Nggak desa-desa amat sih sebenarnya, Chi. Kamu aja yang kelewat under estimate.”

“Aduh... Under estimate gimana coba? Desa ya tetap desalah, El. Mungkin kamu memandang biasa. Tapi aku?” Chiara menghembuskan napasnya, kesal.

“Ya cobalah ke sana dulu. Besok sore aku balik ke sana. Kamu bisa ikut aku kalau mau. Kamu juga bisa nginep di farm, kalau nggak mau di rumah dinasku. Anggap aja liburan ke villa. Gimana?”

Chiara menimbang-nimbang sejenak. Ini seperti mimpi! Tampaknya berangkat sendirian ke tempat tugas Aji adalah hal yang ‘mengerikan’. Dia tak tahu medan. Hanya tahu nama desa dan kecamatan tempat Aji bertugas. Dan Ornella seolah-olah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untuknya. Lalu kenapa harus menolak?

“Oke deh, aku ikut kamu.”

Mereka toss sambil tertawa. Sambil menikmati menu andalan kafe itu mereka bercerita tentang banyak hal. Chiara tampak prihatin melihat Ornella masih juga sendiri.

“Aku tuh suka heran sama orang-orang,” ucap Chiara setengah termenung. “Kalau dipikir, mana ada sih orang mau dilahirkan kayak Mas Dino gitu? Kayak gitu kok jadi alasan mundur dari hubungan sama kamu. Enggak banget deh!”

“Ya... Kita kan nggak bisa berharap orang punya pikiran yang sama kayak kita, Chi. Buat aku sih malah kebetulan, jadi bisa melihat siapa yang bisa terima aku apa adanya.”

Chiara manggut-manggut. Menyetujui ucapan Ornella.

“Eh, rumahmu jauh nggak sama rumah Mas Aji?”

“Lumayan sih, dia agak di tengah desa. Dekat kantor desa. Kalau tempatku agak minggir dikit, dekat pasar.”

“Kamu betah tinggal di sana, El?”

Ornella membalas tatapan ingin tahu Chiara dengan senyum lebar.

“Ya betahlah. Orang-orang di sana baik-baik banget kok. Nggak terlalu pelosok juga kan tempatnya. Apalagi sekitar 2 mungguan yang lalu Ayah, Bunda, sama Mas Dino resmi pindah ke sana. Lain kecamatan sih, tapi dekat. Oma dulu punya farm di sana. Sekarang farm itu dipegang lagi sama Ayah.”

“Lha, terus perusahaan ayahmu?”

“Dipegang sama Mas Ian. Udah waktunya, Chi.”

“Eh, di sana Mas Aji ada gebetan nggak?”

“Hah?” Ornella tertawa geli. “Ya mana aku tahulah, Chi. Ketemu juga baru berapa kali. Itu juga nggak sampai ngerumpi gimana gitu.”

Chiara nyengir malu.

“Chi, kamu serius sama Mas Aji-mu itu?”

“Ya iyalah! Susah tahu cari cowok yang sabarnya kayak Mas Aji itu. Ya aku sering keterlaluan juga sih, El. Cuma gimana dong, aku masih suka juga clubbing sama temen-temen kantor aku. Kalau udah jenuh sama kerjaan kan perlu juga santai sejenak. Aku tahu Mas Aji nggak suka. Tapi aku belum bisa maksain diri lepas dari itu.”

“Tapi kamu nggak aneh-aneh kan?”

“Aneh-aneh gimana?”

“Ya... Minum, rokok...”

“Enggak. Aku nggak pernah miras, rokok, narkoba, dan lain-lain. Suer!”

“Iya... Percaya... Ya kalau menurutku sih, kamu perlu ngobrol banyak sama dia, soal masa depan kalian. Dengar dulu apa maunya. Kamu sendiri juga jangan terlalu banyak menuntut sementara kamu sendiri nggak suka dituntut.”

Chiara menghela napas panjang. Ornella adalah orang ketiga yang mengatakan hal yang sama. Dan sepertinya itulah pandangan obyektif orang lain tentang dirinya. Terlalu banyak menuntut untuk dipahami. Karena terlalu manja.

“Kita udah dewasa, Chi. Kalau memang ada laki-laki yang bisa kamu cintai dan mencintai kamu, pertahankan itu. Coba deh ingat aku yang nggak seberuntung kamu.”

Ada senyum di wajah Chiara. Ditatapnya Ornella dengan binar-binar menggoda.

“Kayaknya aku tahu laki-laki yang cocok buat kamu deh, El. Dia dokter hewan juga.”

“Hahaha... Jangan-jangan dia sama borjunya kayak kamu?”

Chiara cemberut. “Ih! Aku serius, ah!”

“Hehehe... Siapa?”

“Mas Soni, kembarannya Mas Aji.”

“Hah? Mas Aji kembar?”

“Iya, tapi kayaknya nggak identik deh, mirip tapi nggak persis banget wajahnya.”

“Ooo...”

“Nggak kebayang kita bisa punya mertua yang sama,” Ornella cekikikan.

“Ah, udah yatim piatu kok. Ada sih Om sama tantenya Mas Aji di Jogja sana.”

“Ooo...”

“Jadi ceritanya Mas Aji itu diambil tantenya itu dari bayi. Diangkat anak, gitu. Terus ortu mereka meninggal, sekitaran Mas Aji dan Mas Soni kelas 4 SD. Mas Soni sekalian diasuh tantenya itu. Sampai jadi orang semua.”

“Kasihan juga ya?”

“Mana meninggalnya tragis banget, El. Kebakaran rumah. Hih! Ngeri kalau denger cerita Mas Soni.”

“Ooo...”

“Mas Soni itu memang harus dibantuin cari jodoh deh, El! Susah move on orangnya. Bayangin, dia itu masih terkenang-kenang sama first love-nya. First love dari jaman jebot, jaman dia masih kicit, masih SD. Coba?”

Ornella tertawa. “Lha, cowok kayak gitu mau kamu tawarin ke aku? Udah deh, Chi. Aku nggak punya waktu buat ngurusin cowok gituan.”

“Eit! Jangan nolak dulu. Eh, kalau nggak salah kecilan dia di Pujon juga lho!”

“Masak sih?” Ornella mengangkat alisnya.

“Beneran.”

Mendadak ada yang berdesir dalam hati Ornella. Pujon? Kebakaran? Saat SD? Ah, tapi tak mungkin. Caka tak punya kembaran. Cuma  punya satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Mbak Wiwik dan Jojo. Lagipula...

Ornella menelan ludah. Caka ikut jadi korban dalam kebakaran itu. Bertemu Caka kembali hanyalah sebuah mimpi.

* * *




Tujuh



Aji hanya bisa terbengong melihat siapa yang berada di ruang tunggu klinik ketika dia keluar dari ruang periksa. Seulas senyum menyambutnya. Membuatnya ternganga.

“Mas Aji...”

Aji tersentak. “Chia? Chiara?”

“Iya, ini aku,” Chiara melebarkan senyumnya.

Aji berdiri kikuk. Memeluk Chiara? Ah, ini di mana? Akhirnya dia cuma bisa meraih kedua tangan Chiara dan membawanya ke pipi.

“Kamu gimana bisa sampai di sini?”

“Rahasia dong...,” Chiara menggoda Aji.

Aji menyipitkan kedua matanya.

“Oke! Oke! Aku ke sini bareng Ella. Kemarin sore, menjelang malam. Inginnya langsung ke sini, tapi sama Ella menginap dulu di farm ayahnya. Tengah malam Ella dijemput asistennya, ada sapi mau beranak. Dan ini tadi aku kangen-kangenan dulu sama Om, Tante, dan masnya Ella. Baru aku diantar sopirnya ke sini.”

“Ella?”

“Iya, Ella. Kenal kan?”

“Ella yang dokter hewan itu?”

Iya. Memangnya ada berapa Ella di sini?”

Aji menggeleng. “Kamu apanya Ella?”

“Aku sohibnya waktu SMA.”

“Kok kamu nggak pernah cerita?”

“Ya aku pikir ngapain diceritain, nggak bakal ketemu juga. Eh... Nggak tahunya...”

Aji menatap binar di mata Chiara. Masih terkaget-kaget.

“Kok kayaknya nggak senang gitu sih, melihatku datang?” Chiara mengerutkan kening.

“Ehm... Ya senanglah! Aku cuma kaget saja. Chiara, di sini. Ajaib!”

Chiara merengut manja. Aji mengajaknya masuk ke ruang praktek. Dibiarkannya pintu terbuka. Di dalam mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja.

“Kamu gimana bisa sampai ke sini, Chi?”

“Aku kangen, Mas. Sengaja ambil cuti. Aku dapat alamat Mas Aji dari Mas Soni. Sebetulnya Mas Soni mau antar aku, tapi partner-nya lagi jalan ke Singapore. Jadi Mas Soni nggak bisa ninggalin pet shop dan kliniknya.”

“Terus kamu ketemu Ella? Di mana?”

“Di Surabaya. Aku memang nggak langsung ambil cuti. Kebetulan aku ada tugas di Surabaya, ketemu klien. Sekalian disambung cuti. Aku ketemu Ella lagi di butik. Ternyata butik itu punya kakak iparnya. Ya udah, sorenya ketemuan di kafe, kemarin aku ikut dia ke sini.”

“Ooo...”

“Kok cuma ‘ooo’ doang sih?”

Aji tertawa. “Beneran aku masih kaget lihat kamu tahu-tahu nongol di sini.”

“Chiara muncul di desa. Enggak banget kayaknya ya?”

“Terus kamu nginep di mana?”

“Kayaknya malem ini nginep di rumah Ella, Mas. Nginep di rumah Mas nggak mungkin kan?”

“Iya sih... Tapi kamu mau ke rumahku dulu?”

“Iyalah...”

Dan Aji pun membawa Ella ke rumahnya. Rumah dinas mungil nan sederhana di belakang klinik. Aji memanaskan susu segar yang diambilnya dari dalam kulkas.

Setengah mati Chiara menahan diri untuk tidak berkomentar melihat kondisi Aji dan rumahnya. Rumah itu memang sangat bersih dan rapi. Tapi tetap saja area untuk pembantu di rumahnya di Jakarta masih jauh lebih bagus daripada ini. Menghabiskan waktu untuk mendampingi Aji di tempat ini? Oh, no!

“Enak,” Chiara meneguk susu hangatnya.

“Gratis lagi!” senyum Aji.

“Kok bisa?”

“Iya, dapat sehari seliter dari orang klinik. Kadang malah lebih. Nggak mau beneran dibayar.”

“Jaman sekarang masih ada orang kayak gitu?”

Aji menatap Chiara sejenak. “Ya adalah, banyak. Di sini ketulusan nggak melulu bisa diukur dengan uang. Kok heran gitu sih?”

Chiara meletakkan mugnya. “Kok Mas jadi sinis begitu? Dan sepertinya Mas nggak antusias aku datang. Kenapa?”

Ya, kenapa? Aji tercenung.

Entah kenapa ketenangannya di sini terasa terganggu dengan kehadiran Chiara. Atau sesungguhnya dia sudah malas dikejar-kejar berbagai pertanyaan ini dan itu dari Chiara? Lalu ke mana hilangnya rasa rindu yang sempat dirasakannya terhadap Chiara pada hari-hari pertama dia berada di sini?

Chiara masih menatap Aji, menunggu jawaban. Aji menggeleng pelan.

“Entahlah, Chi. Aku hanya merasa kita sudah tak seperti dulu lagi.”

Chiara terhenyak.

“Apa salahnya sih, aku ingin kehidupan kita baik di masa mendatang? Aku percaya Mas bisa mengembangkan klinik Papa yang di Bandung. Kita juga nggak terlalu jauh. Aku juga bisa pindah ke Bandung, tukar tempat dengan Bang Cornel. Apa susahnya sih, Mas?”

Aji menatap Chiara tajam.

“Apa susahnya? Itu semua keinginanmu, Chi. Bukan keinginanku. Keinginanku adalah aku ingin membaktikan ilmuku pada orang yang membutuhkan. Dan tempatku di sini, bukan di klinik papamu. Entah nanti. Tapi setidaknya sekarang aku ingin berada di sini.”

“Kenapa?”

“Karena aku lebih tenang berkarya di sini, Chi. Setidaknya aku ingin sedikit saja mengenal akarku. Akarku di sini. Di daerah ini. Setidaknya dulu sekali kehidupanku berawal dari daerah sini.”


“Kenapa Mas tidak realistis saja seperti Mas Soni? Sama-sama berurusan dengan pasien, tapi posisinya jauh lebih enak Mas Soni?”

“Jangan pernah bandingkan aku dengan Soni!”

Chiara kaget mendengar suara keras Aji. Belum pernah Aji sekeras ini. Biasanya Aji hangat, ramah, sabar. Kenapa sekarang Aji berubah seperti ini? Dan Aji menyadari kesalahannya.

“Maafkan aku, Chi. Maafkan aku. Aku sedang menata hidupku di sini. Baru beberapa hari. Tapi aku merasa tenang di sini. Setidaknya berilah aku kesempatan berpikir. Memikirkan kembali semuanya yang sudah terjadi pada kita. Kita sudah terlalu banyak selisih pendapat akhir-akhir ini. Kita perlu cooling down, Chi.”

Chiara terdiam. Serasa ada alarm yang berbunyi di dalam kepalanya. Instingnya mengatakan bahwa hubungannya dengan Aji akan segera berakhir. Sungguh, dia tak rela bila hubungan itu berantakan sedemikian rupa begitu saja. Mengalah sementara? Mungkin itu yang harus dia lakukan. Supaya tidak kehilangan Aji.

“Halo!”

Keduanya tersentak. Terdengar pintu diketuk. Ornella berdiri di ambang pintu. Dengan senyumnya yang meruntuhkan dunia. Setidaknya dunia Aji.

“Eh, aku mengganggu?”

“Enggak, enggak,” jawab Aji cepat. “Masuk, Mbak El.”

Ornella melangkah masuk.

“Aku ingin ajak kalian turun ke Batu, ada warung ketan yang asyik di sana. Mau?”

Aji menoleh ke arah Chiara. Masih ada segurat mendung di sana. Chiara balik menatapnya. Penuh permohonan. Aji kembali menatap Ornella.

“Boleh deh! Aku mandi dulu. Chi, mau mandi sekalian di sini?”

Chiara menggeleng. “Aku di rumah Ella saja.”

“Ya udah, nanti aku ke sana. Mbak Ella dari rumah tadi?”

Ornella menggeleng. “Aku lagi patroli di sekitar sini. Kupikir Chia pasti ada di sini. Jadi aku mampir.”

“Ya udah, kita pulang ke rumahmu dulu, El.”

“Oke. Mas Aji, pulang dulu ya? Sampai ketemu di rumah.”

Aji mengangguk.

Sesaat setelah menutup pintu, Aji bersandar letih. Kenapa hatinya serasa tertutup mendung ketika melihat ada Chiara datang? Seseorang yang seharusnya justru menceriakan harinya? Dan kenapa mendung itu serasa tersibak begitu saja melihat seulas senyum di bibir Ornella?

Gila! Aji menggeleng kuat-kuat. Mendua? Jangan pernah!

* * *



 Delapan



Sambil menikmati seporsi ketan bubuknya, Ornella mengamati Aji dan Chiara. Dingin. Itulah suasana yang tercipta di antara Aji dan Chiara. Lebih tepatnya, sikap Aji terhadap Chiara. Diam-diam Ornella mengeluh dalam hati.

Sekian tahun mengenal Chiara, Ornella segera tahu bahwa sebetulnya cinta Chiara pada Aji tidak main-main. Chiara bukan type perempuan yang sampai mau kelayapan ke tempat asing hanya demi menemui orang yang dicintainya kalau cinta itu hanya seujung hati. Cinta Chiara jauh lebih dalam daripada itu. Dan melihat sikap Aji terhadap Chiara, Ornella jadi sakit hati sendiri. Tapi dia berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur. Walaupun sangat ingin.

“Aku belum pernah turun ke sini,” celetuk Aji.

“Selama dinas aku juga jarang kok,” kata Ornella. “Baru dua kali ini. Tapi ke sini sering sih, apalagi waktu mas Ian masih bujangan dulu.”

“Jauh amat?” Chiara terkekeh.

“Iseng aja,” Ornella menyambungnya dengan tawa.

“Kamu sering ketemu Soni?” tiba-tiba Aji mengalihkan pembicaraan, menatap Chiara sekilas.

“Lumayan. Aku kan langganan pet shop-nya. Emangnya Mas Soni nggak pernah cerita?”

Aji menggeleng. “Aku juga nggak pernah nanya.”

Sekilas Ornella menangkap ada gurat kecewa di wajah Chiara. Hm... Ornella berdiri.

“Aku tinggal kalian di sini ya? Jangan ke mana-mana. Aku mau belanja sebentar.”

Dan sebelum Aji atau Chiara berhasil menahan, Ornella sudah menghilang.

“Aku mau menjodohkan Ella dengan Mas Soni, gimana?” ucap Chiara.

“Kamu ini... Hubungan kita yang harus diurusi sekarang, bukan Soni, bukan Ella.”

Chiara melengak demi mendengar suara Aji. Berdengung rendah, tapi terdengar begitu dingin.

“Lalu Mas Aji maunya gimana?” Chiara berusaha sabar.

“Aku kan sudah bilang, kita perlu waktu untuk cooling down, introspeksi. Setidaknya kasih tahulah kalau mau datang ke sini. Nggak dadakan seperti ini. Jadi merepotkan banyak orang.”

Chiara terdiam. Ya, kata-kata Aji banyak benarnya. Tapi mau bagaimana lagi? Sungguh, dia rindu pada Aji.

“Aku rindu padamu, Mas.”

Aji menatap Chiara, dalam. Benar. Dia menemukan tumpukan kerinduan di sana. Tapi entah kenapa hatinya begitu keras kali ini. Enggan terbujuk oleh sorot mata sarat kerinduan itu.

“Tapi bukan berarti harus merepotkan Ella dan keluarganya seperti ini, Chia.”

“Mungkin benar mereka merasa repot, tapi setidaknya peduli dengan apa yang kurasakan,” jawab Chiara. Getas.

Aji tercenung.

“Aku ingin tahu keadaanmu, Mas. Tapi gimana? Nomor ponselmu nggak aktif. Emailku juga nggak satu pun kamu balas. Aku khawatir.”

“Aku bukan anak kecil yang harus kamu khawatirkan, Chia. Nyatanya aku baik-baik saja di sini. Ini pilihanku, dan aku senang berada di sini. Kapan sih, kamu mau sedikit saja berusaha untuk mengerti?”

Seketika Chiara paham. Aji benar-benar tak ingin diganggu. Dan rasanya datang ke tempat ini adalah kesalahannya yang terbesar. Dengan sedih ditatapnya Aji.

“Baiklah, aku akan pulang besok. Tapi aku sungguh berharap Mas masih mau berbaik hati untuk memikirkan kelanjutan kita.”

Aji menatap Chiara. Lalu ke mana perginya getar-getar yang dulu pernah ada? Getar-getar yang selalu muncul walau dia hanya menatap Chiara? Aji mengerjapkan mata.

“Tinggallah, Chia. Mungkin kamu bisa mengerti kenapa aku mau bekerja di sini. Kamu punya cuti berapa hari?”

“Masih ada seminggu lagi.”

“Kamu mau tinggal, atau tetap mau pulang?”

Chiara menatap Aji. Ada ketulusan dalam mata Aji. Maka dia pun memutuskan untuk mengangguk.

“Baiklah, aku akan tinggal. Di rumah Ella. Kalau dia nggak keberatan.”

Dan Ornella menyambut dengan antusias maksud Chiara menginap sementara waktu di rumah dinasnya.

“Kalau kamu nggak betah sendirian di rumahku sementara aku keluyuran pacaran sama sapi-sapi, teleponlah Bunda, Chi, biar Bunda kirim sopir untuk menjemputmu. Kamu bisa main ke farm.”

“Nggak usah merepotkan gitulah, Chiara bisa bantu-bantu aku di klinik. Tapi itu juga kalau dia mau,” Aji melirik Chiara sekilas.

Tak urung hati Chiara bagai tersengat mendengar nada bicara Aji.

“Ya kita lihat nantilah,” jawab Chiara, mencoba tersenyum.

* * *

Dalam perjalanan pulang, sepi melingkupi bagian dalam mobil yang dikendarai Ornella. Aji dan Chiara tak banyak bicara. Ornella sendiri berusaha konsentrasi pada jalan berliku-liku di depannya. Apalagi kabut tipis mulai turun.

“Benar juga Mbak Ella nggak mengijinkan aku menyetir. Nyerah deh, dengan kondisi jalan seperti ini,” celetuk Aji.

“Iya, Mas. Aku yang lebih kenal medan aja harus super waspada.”

“Kok tadi nggak ajak sopir aja sih, El?”

“Biarin dah, enakan gini keluar bertiga, Chi.”

“Aku nanti nginep di farm aja ya, El? Soalnya barangku masih di sana semua. Besok pagi aku boyongan ke rumahmu.”

“Oke, sip!”

Ornella mengambil jalan lurus di petigaan dekat rumah dinasnya. Jalur menuju ke rumah orangtuanya. Setelah mengantarkan Chiara, Ornella dan Aji kembali ke desanya. Kali ini Ornella membiarkan Aji memegang setir.

“Mm... Maaf kepo, tapi kulihat ada yang nggak beres dengan kalian. Am I right?” ucap Ornella hati-hati.

Aji menghela napas panjang. “Kukira kamu sudah tahu,” jawabnya pendek.

“Iya sih, Chia udah cerita. Tapi kan itu versinya, dan aku kenal Chia.”

“Jadi aku harus gimana? Aku senang di sini. Tapi tahu sendiri kan Chia seperti apa?”

“Ya... Aku sih nggak bisa kasih advis, karena aku juga nggak punya pengalaman rumit begini. Cuma pesanku, kalian sudah mulai dengan cara yang indah, lanjutkan semuanya itu dengan cara yang indah juga.”

Aji mengerutkan kening. “Susah ngomong sama Chia.”

“Memang sih, tapi bukan berarti nggak bisa.”

“Ya, akan kucoba. Makasih ya, buat semuanya.”

“Yup,” Ornella menjawab ringan.

Setelah pindah lagi ke belakang kemudi, Ornella meluncurkan innova-nya, pulang. Aji menunggu hingga mobil Ornella menghilang di tikungan.

“Oh... Jadi dia, alasanmu minggat?”

Aji berbalik cepat. Sebuah senyum lebar menyambutnya. Dia terperangah sejenak.

“Hei! Kapan kamu datang? Bisa-bisanya nggak kasih tahu?”

“Dari jam 6 tadi. Nggak tahunya yang punya rumah malah asyik keluyuran dengan perempuan cantik. Yakin dia manusia? Bukan bangsa lelembut?”

Aji terbahak. “Dia dokter hewan di sini.”

“Wah, teman sejawat. Kenalin ya?”

“Iya, besok aja, Son. Yuk masuk!”

* * *




Sembilan



Pagi-pagi Chiara sudah muncul di depan rumah dinas Aji dengan wajah segar. Dan dia langsung terbengong begitu melihat siapa yang membuka pintu.

“Mas Soniii...?!”

Soni tertawa lebar.

“Kok bisa sampai di sini? Katanya pet shop nggak ada yang jaga? Mas Soni bohong ah!” Chiara cemberut.

“Lho, siapa yang bohong? Olaf memang ke Singapore kok, begitu dia balik, ya ganti aku yang pergi. Aku takut kamu kenapa-napa. Bisa digoreng Aji, aku.... Untunglah kamu bisa selamat sampai di sini.”

“Ya memang udah dikasih jalan aku bisa sampai ke sini,” Chiara melebarkan matanya.

“Kamu mau bantuin Aji di klinik ya? Latihan jadi nyonya dokter?” goda Soni. “Emang betah?”

“Dih! Nyebelin!”

“Siapa, Son?” Aji muncul dari dalam. “Oh... Kamu, Chia. Dah lama?”

“Baru aja kok.”

“Kamu naik apa ke sini?”

“Tadi subuh diantar sopir Ella naik motor, sekalian ambil mobil yang kita pakai semalam. Terus aku sekalian diantar ke sini.”

“Hm... Merepotkan lagi kan?”

Chiara sudah membuka mulut, tapi kemudian dia menutupnya lagi. Tak tahu harus menjawab apa. Kenyataannya, memang dia sudah merepotkan Ornella sekeluarga. Soni paham ada sesuatu yang panas. Dicobanya untuk menengahi.

“Daripada aku cuma bengong-bengong di sini sementara kamu dinas, boleh nggak aku minta ditemenin Chiara jalan-jalan di sekitar sini?”

Aji menatap Soni sejenak sebelum mengangguk. “Ya udah, kalian menikmati libur aja yang enak di sini. Aku kerja dulu ya?”

Tanpa menunggu jawaban, Aji sudah melangkah pergi.

“Ya gitu deh...”

Soni berbalik. Ada kepedihan dalam suara Chiara.

“Ya udah,” Soni menepuk ringan bahu Chiara. “Aku mandi dulu, setelah ini kita cari tempat yang enak buat ngobrol.”

Chiara mengangguk.

* * *

Satu-satunya tempat yang nyaman buat Chiara adalah rumah dinas Ornella. Dan ke sanalah dia mengajak Soni pergi. Tapi sebelumnya Soni mengajaknya pergi ke kecamatan sebelah. Chiara menurut tanpa banyak cingcong.

“Emang Mas Soni tahu jalannya?”

“Ya tahulah. Yuk!”

Chiara pun naik ke boncengan tiger milik Aji. Benar. Soni tampak menguasai betul medan yang ditempuhnya. Chiara pun mengenali jalan itu.

“Ini kan jalan ke farm milik ortu Ornella,” celetuknya.

“Siapa?”

“Ornella, Ella, yang mau aku kenalin ke Mas Soni.”

“Oh... Namanya Ornella? Bagus.”

“Cantik juga lho...” Chiara menyambungnya dengan tawa.

“Semua perempuan cantik,” jawab Soni, sok bijak.

Langit di atas tersaput mendung kelabu muda. Angin yang berhembus cukup kencang untuk menggoyangkan pucuk-pucuk pinus. Terasa dingin.

Sampai di belokan terakhir, Soni menghentikan motor. Ditunjuknya sesuatu.

“Rumahku dulu di situ, Chi.”

“Lho! Dekat farm ortu Ella.”

“Yang mana?”

“Tuh!” Chiara menunjuk jalan kecil di dekat mereka, tepat di sebelah tempat yang ditunjuk Soni, sebuah rumah kecil yang tegak berdiri.

Soni mengerutkan kening. “Farm itu dulu milik Ibu Sepuh,” gumamnya lirih. “Nonik...”

“Apa, Mas?”

“Eh, enggak, enggak. Udah yuk, kita ke makam dulu ya?”

Chiara mengangguk.

Tak lama kemudian mereka sudah sampai ke sebuah pemakaman. Chiara mengerti, keluarga Aji dan Soni dimakamkan di sana. Ayah, ibu, kakak, dan adiknya. Soni tampak terpekur lama di depan keempat makam itu. Chiara menungguinya dengan sabar.

“Akhirnya aku bisa kembali lagi ke sini,” gumam Soni. “Hanya saja semuanya nggak lagi sama.”

Chiara tak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya menepuk lembut bahu Soni. Soni berdiri. Mereka kemudian berjalan beriringan kembali ke motor.

“Mas, first love-mu itu memangnya udah nggak pernah ketemu lagi?”

Soni tertawa masam. “Dari semua pembicaraan penting yang harusnya kita kupas, kenapa harus dia yang kamu senggol duluan?”

“Yah... Jarang aja nemu cowok sentimentil kayak Mas Soni. Segitu eratnya menggenggam kenangan masa kecil.”

“Aku punya keyakinan suatu saat akan ketemu dia lagi, Chi. Nonik. Namanya Nonik. Dia cucu Ibu Sepuh yang dulu punya farm yang kamu tunjuk tadi itu.”

“Lho! Berarti Nonik saudaranya Ella? Kan farm itu dulu milik omanya Ella!”

Mata Soni melebar menatap Chiara. “Serius?”

Chiara mendorong bahu Soni. “Buruan ke tempat Ella!”

* * *

Hampir tengah hari ketika mereka sampai di rumah dinas Ornella. Mbok Wuri menyuruh mereka masuk, tapi mereka tetap menunggu di teras. Ornella belum pulang. Biasanya tengah hari dia memang pulang untuk makan siang di rumah.

Ada yang bergetar hebat dalam dada Soni. Entah kenapa. Tapi kenyataan bahwa Ornella adalah cucu Ibu Sepuh sungguh memberinya harapan yang menggunung. Nonik. Pada akhirnya dia bisa menemukan lagi jejak gadis kecil bermata bulat bening itu. Pasti Ornella kenal Nonik.

Nonik. Seraut wajah mungil yang tak pernah bisa dia lupakan. Gadis kecil yang tak enggan bermain di bawah terik matahari dan di sekitar kandang sapi. Gadis kecil yang telah membawa pergi sepotong hatinya di masa kecil yang indah.

Sebuah motor meluncur masuk ke halaman rumah itu. Chiara langsung menyambutnya dengan wajah cerah. Dia langsung berbisik-bisik bahkan sebelum Ornella melepaskan helmnya.

“El, itu kembaran Mas Aji yang kemarin itu kuceritakan. Dia tahu-tahu datang. Ayo, aku kenalin.”

Ornella mengikuti langkah Chiara.

Laki-laki tinggi tegap itu berdiri dari duduknya di teras. Wajahnya tak mirip Aji. Matanya terlihat begitu teduh. Membuat Ornella seketika tercekat. Dunianya seakan berputar lagi ke masa lalu.

Soni pun tak kalah tercengang. Dadanya berdegup kencang. Gadis mungil itu... Mata bulat itu... Tetap sama. Tak pernah berubah.

“Nonik?”

“Caka?”

Dan waktu seakan berputar kembali pada sepertiga pagi kehidupan mereka. Waktu yang lalu. Waktu yang begitu indah. Seiring peluk erat yang seakan tak bakal terlepas.

Chiara ternganga.

* * *




Sepuluh



“Cak, aku kira kamu sudah...”

Ornella tak bisa menahan deraian airmatanya. Dia sudah tak lagi mampu menanti, karena dikiranya Caka sudah pergi ke Surga. Tapi di saat harapan itu sudah mencapai titik minus, tiba-tiba orang yang diimpikannya sudah ada di hadapannya. Begitu saja.

“Aku sedang berlibur ke rumah Aji waktu kebakaran itu terjadi, Nik.”

Ada butiran bening juga di mata Soni. Sosok yang sekian tahun dia rindukan kehadirannya kini sudah tepat ada di depan matanya. Tanpa pendahuluan. Membuatnya sejenak tenggelam dalam lautan euforia yang dalam.

“Kamu ke mana saja, Nik?” desah Soni.

“Oma meninggal. Dalam pikiranku kamu juga udah nggak ada. Apa lagi coba, alasanku berada di sini?”

“Setahuku farm Ibu Sepuh dibeli Paklik Hamid?”

“Ya, tapi dibeli kembali oleh ayahku beberapa hari yang lalu.”

“Dino?”

“Ada... Farm itu dibeli ayahku untuk Mas Dino.”

“Ya, Tuhan... Ini benar-benar kamu, Nik...”

“Jadi bapakmu, ibumu, Mbak Wiwik, Jojo...”

“Ya, Nik, mereka semua pergi dalam kebakaran itu. Aku sendirian sekarang, cuma sama Aji dan om-tanteku.”

“Cak... Bahkan aku nggak tahu siapa namamu yang sebenarnya!”

Ornella tertawa dan menangis sekaligus. Persahabatannya dengan Caka terlampau murni. Bahkan nama sebenarnya pun seolah tak penting lagi. Soni juga tertawa.

“Aku juga cuma tahu nama panggilanmu Nonik, seperti pembantu Ibu Sepuh dulu memanggilmu. Ternyata namamu Ornella. What a beautiful name! Jadi nama lengkapmu?”

“Ornella Berliana. Kamu?”

“Ajisaka Tri Wicaksana.”

“Mas Aji?”

“Ajisaka Dwi Pawaka.”

“Wah, pakai Ajisaka semua?”

Soni mengangguk. Ornella terdiam. Tak tahu harus bicara apa lagi. Dia cuma bisa menatap Soni, yang balik menatapnya, dalam. Membiarkan aroma kenangan itu berputar di sekeliling mereka. Betapa rasa rindu itu tak kelihatan memudar sedikit pun walau bertahun telah berlalu.

Chiara masih ternganga. Ella? Nonik? Soni? Caka? Semuanya membuatnya jadi pusing sendiri. Terlampau mudah mempertemukan mereka, sekaligus terlalu sulit hingga butuh waktu belasan tahun lamanya. Chiara menggelengkan kepala.

“Ada yang mau berbaik hati menjelaskan padaku?” celetuknya kemudian. Tak sabar.

Ella dan Soni baru menyadari bahwa masih ada orang ketiga di antara mereka. Seseorang yang begitu berjasa mempertemukan mereka kembali.

“Halooo... Gimana Caka bisa jadi Soni?” Chiara melebarkan matanya.

Soni tersenyum. “Dulu memang nama panggilanku Saka. Tapi lidah cadelku saat masih balita menjadikan namaku Caka. Sekilas aku udah pernah cerita sama kamu soal kebakaran itu kan?”

Chiara mengangguk.
                                       
“Semua kenangan burukku ada dalam nama Caka, Chia. Semua kehilanganku ada dalam nama itu. Keluargaku. Nonik. Makanya ketika aku terpaksa ikut ke Jogja karena aku nggak punya siapa-siapa lagi di sini, aku nggak lagi mau pakai nama itu. Nama panggilanku jadi Soni. Seterusnya, sampai sekarang.”

“Ooo...,” Chiara membulatkan mulutnya tanpa suara.

“Tapi nggak apa-apa kalau ada yang memanggilku Caka,” tatapan Soni beralih pada Ornella. “Setidaknya salah satu matahari hidupku telah kutemukan kembali.”

Ada semburat merah tergambar di kedua pipi Ornella. Entah kenapa kalimat itu terdengar begitu hangat di hatinya, menjalar hingga ke seluruh permukaan kulitnya.

“Tapi apakah matahariku masih sendirian?”

Ornella mengerjapkan matanya. Sepenuhnya dia mengangguk. Membuat hati Soni bergetar hebat. Setelah sekian lama hati itu bertahan membeku.

* * *

Aji terpekur menatap binar di mata Soni. Entah dia harus memandang kedatangan Soni sebagai berkah ataukah musibah, dia tidak tahu. Dan tatapan Aji membuat Soni seketika tersadar. Ada yang lebih dalam dari sekedar pudarnya rasa cinta Aji pada Chiara.

“Jadi benar ada yang lain?” nada suara Soni terdengar hati-hati.

“Maksudmu?” Aji berusaha menyembunyikan gelisahnya, tapi dia gagal.

“Ini bukan hanya tentang kamu dan Chia aja kan?”

“Ini menyangkut masa depan, Son.”

“Jangan dulu bicarakan masa depan,” sergah Soni. “Bicarakan dulu masalah hatimu. Ella tersangkut di dalamnya kan?”

“Ella nggak tahu apa-apa, Son. Dan jangan pernah mencoba untuk menyangkutkan dia.”

“Aku nggak menyangkutkan dia, tapi hatimu yang tersangkut padanya.”

Kalimat lugas Soni membuat Aji terhenyak. Dia bisa berbohong pada siapa pun. Mengelak dari siapa pun. Tapi bukan terhadap Soni. Ditatapnya Soni putus asa.

“Lalu aku harus gimana?”

Soni menghela napas panjang. “Ji, Chiara memang dari dulu seperti itu. Kamu juga tahu. Dan kamu tetap memilihnya. Kenapa sekarang hanya karena masalah pekerjaan saja kalian jadi demikian jauh?”

Mata Aji menerawang di kejauhan. Pucuk-pucuk pinus samar digoyang angin. Dengan latar belakang langit yang menggelap. Di atas pucuk-pucuk pinus itu terlihat ada puluhan senyum Ornella, membuat Aji mengeluh dalam hati.

“Dan ternyata ini bukan masalah pekerjaan dan masa depan lagi kan? Tapi masalah hatimu,” suara Soni mencecarnya lagi.

Aji menggosok-gosok wajahnya dengan kedua belah tangan. Kenapa keadaan jadi demikian rumit? Padahal yang dia cari cuma ketenangan sambil memikirkan kembali hubungannya dengan Chiara. Tapi tanpa diingatkan oleh siapa pun, dia sadar bahwa dia sendiri yang memperumit masalah.

Tak ada yang boleh menyalahkan kehadiran Ornella. Gadis itu sudah ada sebelum dia bertugas di sini. Gadis itu ada dalam dunianya sendiri. Tak pernah menyuruhnya masuk. Atau hanya mengajaknya sekali pun.

“Apakah Ella mencintaimu?”

Aji menggeleng cepat. “Aku tak pernah mengatakan apa-apa. Kami juga nggak gitu sering ketemu. Sikapnya juga biasa-biasa aja.”

“Apakah kamu mencintainya?”

Pertanyaan itu sungguh menohok hati Aji. Apakah dia betul mencintai Ella?

“Aku nggak tahu,” jawabnya jujur. “Ya, aku tertarik padanya. Pada sikapnya yang bersahaja. Pada etos kerjanya. Pada ketulusannya. Mau nggak mau aku membandingkannya dengan Chiara.”

“Mereka bersahabat baik, Ji. Dua pribadi yang begitu bertolak belakang bisa bersahabat begitu baik. Karena mereka bisa saling menerima apa adanya. Tanpa pernah berusaha mengubah satu sama lain.”

“Katakan itu pada Chiara.”

“Sudah kukatakan padanya,” senyum Soni. “Dan dengan bantuan Ella kurasa dia mulai memahami itu. Jauh-jauh dia datang ke sini, Ji. Dengan resiko tersesat dan sebagainya. Selalu ada jalan buat yang berkemauan. Terbukti ada aja jalan yang bisa membawanya ke sini dengan selamat. Coba hargai itu, Ji.”

Aji kembali terpekur. Secercah kesadaran merayap masuk ke dalam hatinya. Ya, hatinya yang salah. Goyah. Hanya karena ada sosok lain yang membuatnya kagum. Sosok lain yang belum tentu juga menganggapnya sebagai ‘apa-apa’. Ini cuma antara dia dan Chiara. Seharusnya  dia yang membatasi hatinya sendiri, bukannya malah meletakkan semua kesalahan di bahu Chiara.

Tapi apa salahnya mengharapkan cinta lain yang mungkin lebih baik? Yang mungkin lebih cocok dengan dirinya? Aji mengedikkan bahu. Mungkin memang sudah seharusnya dia dan Chiara mengakhiri semuanya sampai di sini saja. Bila setelah itu tiba masanya dia dengan Ella, itu urusan nanti.

“Ji, ingat nggak aku pernah cerita tentang teman kecilku di sini?”

Aji melihat ada senyum lebar di wajah Soni. “Oh ya? Kamu ketemu dia?”

“Yup!” Soni mengangguk mantap. “Dia Ella.”

Aji berharap telinganya salah mendengar ucapan Soni. Tapi tidak. Soni menatapnya penuh arti. Aji terhenyak seketika.

* * *




Sebelas



“Menurutmu, aku harus gimana?”

Ornella menatap Chiara. Terkadang dia merasa Chiara adalah perempuan dewasa mandiri yang cukup cerdas. Tapi terkadang juga Chiara begitu kekanakan dengan berbagai pikiran dan pertanyaan naifnya. Bagaimana harus menjawab pertanyaan Chiara dengan tepat kalau pada kenyataannya selama ini percintaanya juga kandas melulu? Dihelanya napas panjang.

“Chia, kamu dan Mas Aji tuh udah sama-sama dewasa. Bisa kan ngomongin segalanya dengan baik-baik? Aku nggak nyalahin kamu, karena pada kenyataannya hidup bersama dalam pernilkahan di masa depan itu nggak gampang, nggak cuma butuh modal pernyataan cinta aja. Dan aku juga nggak bisa nyalahin Mas Aji, karena benar sebagai seorang dokter dia harus belajar untuk melayani semua orang. Dia wajib dan berhak mengamalkan ilmu yang sudah diperolehnya. Dia berhak menentukan di mana dia ingin mengabdi. Okelah, papamu punya cabang klinik yang bisa dikelola dan dikembangkannya, tapi dia juga perlu waktu untuk mengelola dan mengembangkan dirinya dulu kan?”

“Iya, aku tahu, El,” Chiara mengangguk pasrah. “Justru itu yang ingin kubicarakan dengan dia. Tapi kamu tahu sendiri kan, dia sepertinya menghindar.”

“Makanya tadi aku bilang, Chia, dia butuh waktu. Bisa jadi dia merasa kamu kejar dengan pernyataan dan pertanyaan tentang pengelolaan klinik papamu. Mungkin waktu kedatanganmu kurang tepat.”

Chiara menghempaskan punggungnya ke atas kasur. Ditatapnya langit-langit kamar Ornella dengan dada terasa sesak.

“Mas Aji berubah, tahu nggak,” gumam Chiara. “Kemarin-kemarin dia nggak gitu-gitu amat. Aku cuma merasa kayaknya dia mau hubungan kami berakhir gitu aja.”

“Ah! Kamu mulai ngaco, Chia,” sergah Ornella.

“Enggak, Ella, perasaanku bilang gitu.”

Ornella berhenti mengoleskan krim malam di wajahnya. Ditatapnya Chiara melalui cermin.

“Kalau yang kamu maksudkan dia main api dengan perempuan lain, aku jamin enggak, Chia,” Ornella menggeleng mantap. “Aku memang jarang bertemu Mas Aji. Tapi ini cuma desa kecil. Jarum jatuh di salah satu ujung desa suaranya pasti akan kedengaran sampai ujung lain. Apalagi masalah skandal yang salah satu lakonnya adalah Mas Aji. Aku nggak pernah dengar. Sedikit pun. Lagipula dia mau bikin skandal sama siapa? Bidan Ika? Anaknya sudah dua. Perawat Nina? Dia calon menantunya Pak Lurah. Mas Triman? Lebih nggak mungkin lagi. Seputus asa apa pun Mas Aji, nggak mungkinlah dia sampai jeruk makan jeruk.”

Mau tak mau Chiara tertawa lebar mendengar penuturan Ornella. Ya, barangkali dia memang terlalu curiga. Walaupun hatinya masih berbisik tentang kemungkinan terburuk itu, dia berusaha untuk mengenyahkannya. Sulit. Tapi dia harus.

* * *

Hujan rintik yang merinai sejak pagi masih gelap tak menghalangi Soni untuk pergi ke rumah dinas Ornella. Ada seulas senyum Ornella yang dia ingin melihatnya. Ada mata bening Ornella yang dia ingin selami. Ada segunung cerita yang dia ingin bagi pada Ornella.

Kabut yang membayang membuat dia harus hati-hati memacu tiger milik Aji. Hawa dingin menyusup dari sela-sela helaian benang yang membentuk jaketnya. Ada rasa familiar terhadap nuansa kelabu di sekelilingnya. Terhadap rasa dingin yang nyaris membekukan kulitnya.

Dengan sedikit menggigil, Soni sampai di rumah Ornella. Sepagi itu Ornella sudah duduk di atas motornya. Soni mengerutkan kening.

“Pagi, Nik! Mau ke mana?”

“Ada sapi bunting yang kesulitan partus. Mau bantu?”

“Ayo, naik!” Soni menepuk sadel motor yang dikendarainya.

“Sebentar,” sejenak Ornella masuk ke dalam rumah. Soni masih dapat mendengar suara Ornella, “Chia, kalau mau ke klinik Mas Aji, pakai saja motorku. Aku pergi sama Caka.”

Terdengar sahutan tak jelas dari Chiara. Beberapa detik kemudian Ornella sudah duduk manis di boncengan tiger. Soni pun mengarahkan motor itu menyusuri jalan yang ditunjukkan Ornella. Tidak jauh ternyata.

Mereka segera menuju ke kandang di belakang rumah Pak Kandar. Keadaan sapi Pak Kandar sungguh menyedihkan. Bisa mati kalau dibiarkan saja partus tanpa bantuan.

“Haduh, sungsang lagi,” gumam Ornella.

“Bisa,” ucap Soni yakin.

“Pak Harno ke mana, Bu Dokter?” tanya Pak Kandar.

“Lagi penataran, Pak, baru sore nanti pulangnya.”

“Pak, bantu kami menarik anak sapinya ya?” Soni menoleh sekilas ke arah Pak Kandar.

Pak Kandar masih terbengong menatap Soni. Ornella mengerti.

“Ini teman saya, Pak, Pak Soni, dokter hewan juga. Pak Kandar nggak perlu khawatir,” ucap Ornella halus.

Berkali-kali Ornella memberi aba-aba pada Soni dan Pak Kandar untuk menarik anak sapi itu keluar dari perut induknya. Ornella hampir putus asa. Sedari awal dia menyadari bahwa harapan hidup induk dan anak itu sudah tipis. Berkali-kali pula mereka gagal. Berkali-kali pula Soni harus meyakinkan Ornella bahwa mereka bisa melakukan itu.

Dan perjuangan itu akhirnya berhasil. Anak sapi Pak Kandar bisa diselamatkan. Induknya lemah, tapi masih bisa dipulihkan. Ornella merasa terharu melihat binar di mata Pak Kandar.

“Makasih ya, Bu Dokter, Pak Dokter,” Pak Kandar membungkuk berkali-kali.

Setelah bergantian mandi, Ornella dan Soni pun disuguhi sarapan yang sudah disiapkan Bu Kandar. Tak lama mereka di situ setelah sarapan, mereka pun pamitan.

“Ke sana yuk, Cak,” ajak Ornella.

Soni menurut. Dia melajukan motornya ke arah yang ditunjukkan Ornella. Hujan rintik sudah berhenti. Matahari pun malu-malu mulai mengintip dari balik awan. Dan mereka pun sampai di bukit tempat Ornella biasa menikmati matahari terbit.

“Tempat ini indah,” gumam Soni.

“Aku suka ke sini kalau jogging. Lihat sunrise. Sayangnya sekarang sudah kelewat waktunya. Mendung lagi,” Ornella duduk begitu saja di atas rerumputan yang basah.

Tak pernah berubah, batin Soni, dia tetap Nonik-ku yang dulu.

“Kamu kelihatannya betah banget di sini ya, Nik?”

Ornella tersenyum. “Enak tinggal di sini. Lama-lama jenuh tinggal di Surabaya. Terlalu panas dan penuh hiruk-pikuk. Gimana Jakarta?”

“Samalah,” Soni mengedikkan bahu.

“Karirmu sudah mantap di sana, Cak?”

Soni tengadah. Menatap potongan langit dari sela-sela dedaunan pohon yang menaungi mereka.

“Prospeknya bagus. Itu saja.”

“Kita akan berjauhan,” gumam Ornella.

“Kita pernah terhalang jarak, waktu, dan nyaris punahnya mimpi, Nik. Dan kita bisa bertahan di dalamnya. Kenapa sekarang tidak?”

“Yah... Setidaknya aku tahu kamu masih ada, Cak, untukku.”

“Seutuhnya,” Soni menepuk lembut punggung tangan Ornella.

“Kita masih bisa memelihara rasa itu kan, Cak?” lirih suara Ornella.

“Bisa, Nik. Pasti bisa.”

Ornella seketika merasakan ketenangan begitu mendengar ketegasan suara Soni. Juga debar-debar yang tak perlu dicari dari mana datangnya. Debar-debar yang selalu muncul setiap kali dia mengingat sepotong nama. Caka. Walaupun selama ini dia mengira semuanya itu cuma angan kosong tak bertepi.

Pun debar yang sama menggetarkan sepotong hati yang lain. Sepotong hati yang telah membekukan sebentuk kerinduan akan sebuah nama. Nonik. Tak perlu jutaan kata untuk melukiskannya. Hanya perlu keheningan pagi yang murung tertutup mendung tipis. Hanya perlu tatapan yang bisa bicara banyak. Tentang arti kerinduan.

* * *



Dua Belas



Baik Ornella maupun Soni kaget ketika mereka sampai di rumah dinas Ornella. Chiara sudah siap untuk pergi. Wajahnya keruh. Matanya sembab.

“Aku pulang sekarang, El. Nggak ada gunanya aku di sini.”

Ornella meraih Chiara ke dalam pelukannya, tapi gadis itu mengelak.

“Kamu berantem sama Aji?” tanya Soni.

Chiara tak menjawab. Hanya saja kemudian tangisnya pecah.

“Aku nggak mengira kalau ternyata orangnya kamu, El,” ucap Chiara di sela tangisnya.

Ornella mengerutkan keningnya. Dia benar-benar tak mengerti apa yang dibicarakan Chiara. Berbeda dengan Soni. Soni langsung memahami ucapan Chiara.

“Kamu tega, El! Kamu tega!”

“Kamu ini ngomong apa sih, Chia?” Ornella menatap Chiara dengan wajah bingung.

“Sudah...,” Soni menatap Ornella. “Katanya mau ke kelurahan? Sudah sana berangkat. Aku akan urus Chiara.”

Dan Ornella meninggalkan kedua orang itu dengan wajah yang masih sepenuhnya menyiratkan kebingungan. Chiara membicarakan apa sih? Ornella diam-diam mengedikkan bahunya.

Soni menatap Chiara. Ditunggunya sampai Chiara tak lagi sesenggukan. Cukup lama. Tapi Soni dengan sabar melakukannya.

“Aji bilang apa?” tanya Soni halus.

“Dia suka sama Ella. Benar kan perasaanku? Dia berubah banyak. Ella juga ngaco. Dia bilang berani jamin Mas Aji nggak ada skandal apa-apa. Nyatanya?!”

“Ya tapi Ella bener ngomong gitu. Nyatanya memang nggak ada apa-apa di antara mereka. Aji aja yang ngaco.”

“Maksud Mas?”

Soni menghela napas panjang. “Chia, memang benar Aji suka sama Ella. Tapi Ella sendiri nggak tahu apa-apa soal ini. Aji nggak pernah ngomong apa-apa sama Ella. Aku nggak sedang mencoba membela Ella, tapi aku tahu betul Ella bersih.”

“Aku nggak percaya!” Chiara membuang muka.

“Terserah. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, Ella dan aku saling mencintai, Chia. Dia nggak akan membiarkan Aji masuk ke dalam kehidupannya. Aku kenal Ella, dan aku mempercayainya.”

Chiara menatap Soni. Dia melihat ada kesungguhan dalam mata Soni.

“Jadi kalian sudah...”

“Ya. Sementara harus LDR. Kita sama-sama LDR. Kita bisa saling menjaga, Chia. Tapi masalahmu dengan Aji harus beres dulu.”

“Udah beres,” ucap Chiara, sedih tapi lugas. “Udah bubar. Dan aku nggak mau lagi mengemis apa-apa darinya.”

Soni terhenyak. Masalah Aji dan Chiara ternyata jauh lebih pelik daripada yang dia kira. Dan sebab kerumitan yang sekarang terjadi itu cuma satu. Kebodohan Aji. Soni menghembuskan napas keras-keras.

* * *

“Kamu tuh gelo apa dudul?!” Soni begitu saja menghamburkan kemarahannya. “Bisa-bisanya bilang ke Chiara kamu suka Ella!”

Aji melengak. Dalam hati dongkol juga melihat Soni begitu muncul entah dari mana  langsung marah-marah seperti itu.

“Aku udah nggak tahan lagi sama Chiara.”

“Tapi nggak berarti kamu bisa seenaknya mengaku ini-itu hanya untuk alasan dan cari pembenaran!” sergah Soni. “Tahu nggak, kamu tuh hampir aja merusak persahabatan Chia dan Ella. Persahabatan yang udah berjalan sekian tahun dengan manisnya. Sadar nggak sih kamu, Ji?!”

“Aku cuma mau jujur!”

“Dalam kasusmu, jujur dan dudul itu bedanya tipis,” tandas Soni. “Kalau mau beralasan, cari alasan yang elegan. Bukannya malah menyeret-nyeret orang lain yang nggak bersalah.”

“Dengar ya, Son, kamu nggak usah ikut campur masalah ini. Ini antara Chiara dan aku, dan Ella.”

“Oh ya?” Soni tertawa sinis. “Tentu aja aku harus ikut campur. Kamu udah janji padaku untuk nggak menyakiti Chiara. Nyatanya? Satu lagi, jangan pernah libatkan Ella. Jangan lagi. Dia milikku. Dan kali ini aku nggak akan mengalah padamu.”

Ada nada ancaman dalam suara Soni. Aji terperangah. Soni? Ella? Aji terpekur. Habis sudah!

* * *

Berhasilnya Soni menjelaskan posisi Ornella membuat Chiara mau bertahan tetap tinggal hingga beberapa hari lagi di rumah dinas Ornella. Lagipula dia merasa berhutang maaf pada Ornella. Dengan sabar ditunggunya kedatangan Ornella. Tapi hingga malam menjelang Ornella tak kunjung pulang.

Chiara gelisah. Mbok Wuri sudah mengatakan kalau sudah biasa Ornella pergi dari pagi atau siang sampai malam hari. Tapi ganjalan dalam hatinya membuatnya tidak tenang. Dia sudah menuduh Ornella macam-macam. Itu adalah kesalahan terbesar sepanjang sejarah persahabatannya dengan Ornella.

Menjelang pukul sembilan Ornella baru pulang. Dengan wajah kuyu dan terlihat luar biasa lelah. Tapi wajahnya berubah jadi sedikit cerah ketika melihat Chiara masih ada di rumahnya.

“Lho, nggak jadi pulang?” celetuk Ornella dengan nada menggoda.

Chiara tersenyum malu.

“El, maafin aku soal yang tadi pagi. Aku udah salah nuduh kamu yang enggak-enggak.”

“Iya, dimaafin... Tapi jelaskan padaku apa yang udah terjadi.”

“Iya, tapi kamu mandi dulu, makan dulu. Nanti aku jelasin.”

Setelah Ornella mandi dan makan, dia pun mengajak Chiara ke kamarnya. Malam terlalu dingin untuk dinikmati di teras. Di dalam rumah pun mereka terpaksa harus mengenakan sweater. AC alami, celetuk Chiara beberapa hari yang lalu, membuat Ornella tertawa.

“Nah, sekarang ceritakan padaku, ada apa sebenarnya, Chia?”

Chiara ragu-ragu sejenak. Tapi dia sudah mengatakan akan bercerita pada Ornella. Maka dia pun memulainya. Dengan sangat hati-hati.

“Mas Aji memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami, Ella, justru pada saat aku udah mulai menerima keputusannya untuk bekerja di sini. Aku pernah bilang ada yang berubah pada Mas Aji kan? Dan aku benar. Dia goyah karena ada perempuan lain.”

“Oh ya? Siapa? Kok aku bisa nggak tahu?”

“Kamu, El. Dia suka sama kamu.”

Ornella melongo menatap Chiara.

“Bukan salahmu, El, sungguh. Aku udah mengerti kok. Mas Soni udah jelasin semuanya. Kamu nggak tahu apa-apa soal ini.”

Ornella masih blank. Dia cuma bisa mendengarkan penuturan Chiara dengan setengah sadar. Apa yang diungkapkan Chiara sungguh mengagetkan dirinya. Aji menyukainya? Bagaimana bisa?

“El, kalau kamu juga menyukainya, udahlah, aku nggak apa-apa. Pasti buat dia kamu lebih baik daripada aku.”

Ornella menggeleng cepat. “Enggak, Chia. Nggak akan. Aku nggak pernah punya keinginan untuk merebutnya darimu. Lagipula... Caka dan aku... Kami...”

“Oh ya?” potong Chiara.

Ditatapnya Ornella dengan antusias. Jadi benar kata Soni, mereka sudah jadian. Terasa beban di pundaknya telah berkurang separuh. Beban yang tanpa sadar dia pikul terus sejak dia memutuskan untuk memilih Aji, bukan Soni.

Sebuah pilihan yang membuat Soni kembali berkubang dalam kenangan masa lalu dengan cinta pertamanya. Sebuah pilihan yang membuatnya mengusung rasa bersalah yang demikian besar selama bertahun-tahun. Sebuah pilihan yang diambilnya karena dia memang mencintai Aji, bukan Soni.

Dilihatnya Ornella tersipu dalam senyumnya.

My God... Akhirnya, Ella, kalian memang udah seharusnya bertemu lagi,” bisik Chiara takjub.

Ornella menatap Chiara. “Berjanjilah padaku kalian akan kembali bersama. Kamu dan Mas Aji.”

Chiara menghela napas panjang. “Aku mau, El, tapi entah dia. Aku nggak tahu ke mana harus mengejar rasanya yang terlanjur pergi.”

Ornella tercenung. Malam merayap semakin larut...

* * *



Tiga Belas



Chiara memutuskan untuk menginap semalam lagi di farm keluarga Ornella. Alasannya pamitan sebelum kembali ke Jakarta. Padahal sebetulnya dia ingin memberi kesempatan pada Ornella dan Soni membicarakan banyak hal tentang diri mereka sendiri.

Angan-angannya kemarin adalah dia pun ingin membicarakan banyak hal dengan Aji. Sayangnya, semuanya telah berlalu begitu saja tanpa Chiara mampu mencegahnya. Terasa sakit? Sangat. Tapi pada akhirnya Chiara mampu memahami bahwa semuanya tak bisa dipaksakan, termasuk cinta yang kini cuma bertepuk sebelah tangan.

Dan di sore yang sebetulnya dingin seperti biasanya itu, Ornella merasakan kehangatan yang berbeda. Pekerjaannya banyak. Harus membuat laporan ini-itu. Tapi bantuan Soni membuatnya cepat menyelesaikan tugasnya. Menjelang makan malam, Ornella pun sudah bisa menutup laptopnya.

“Semalam aku berpikir untuk mencoba menjajaki buka cabang pet shop di Surabaya. Gimana menurut kamu, Nik?”

Ornella berhenti mengunyah. “Nggak apa-apa sih, asal perhitungannya matang. Jangan cuma karena asal ingin kita berdekatan.”

“Ya sebetulnya sih, salah satu alasannya itu,” senyum Soni. “Makanya aku mau bicarain dulu sama Olaf, partner-ku. Kalau dia setuju ya jalan, kalau enggak ya terpaksa aku harus bertahan di Jakarta dulu.”

“Di mana pun kita, asal kita punya komitmen untuk saling menjaga, buat aku sih no problemo. Ya kita coba berelasi secara dewasalah. Lagipula masih banyak hal yang terlewat gitu aja dari semua diri kita. Kita masih perlu lebih saling mengenal lagi. Biar kita nggak saling mengecewakan satu sama lain.”

“Hm... Menurutku juga gitu. Gimana kalau kita mulai dengan masa lalu?” tatapan Soni terlihat begitu jahil dan menggoda. “Pacarmu dulu ada berapa?”

Ornella terbahak. “Empat.”

Soni membelalakkan mata. “Dahsyat!

Ornella tergelak lagi. “Dan semuanya kandas. Untung nggak pernah terlalu lama dan dalam. Jadi walaupun aku kecewa dan sakit hati, aku nggak segitunya tenggelam.”

“Kok bisa gagal? Kenapa?”

Ada semburat murung di wajah Ornella. Dia menghela napas panjang sebelum menjawab lirih, “Semua karena Mas Dino.”

Seketika Soni mengerti.

“Kamu tahu sendiri kondisi Mas Dino seperti itu. Kelak kalau Ayah dan Bunda udah nggak ada, otomatis aku yang harus merawat Mas Dino. Aku sih nggak pernah menganggap itu sebagai beban. Tapi orang lain yang bakal menjadi pendamping hidupku kan bakalan harus menanggung itu juga. Wajar dong, kalau pada nggak mau.”

“Tapi aku nggak keberatan,” senyum Soni. “Apa-apa kalau ditanggung bersama nggak bakalan jadi beban, Nik. Lagipula Dino yang dulu kukenal cukup mandiri juga kan?”

“Itulah yang kadang-kadang orang lain nggak paham, Cak. Banyak orang yang memandang orang berkebutuhan khusus itu selalu merepotkan. Padahal kan nggak semua kayak gitu.”

“Buat aku sih, Nik, tiap orang itu dilahirkan istimewa. Normal atau berkebutuhan khusus, kalau dari awalnya dipandang nggak merepotkan, ya nggak merepotkan aja. Walaupun normal, kalau merepotkan ya merepotkan aja. Tergantung dari sisi mana kita memandang sih...”

“Jadi bagimu Mas Dino bukan masalah?”

Soni menggeleng mantap. “Not at all. Lagipula siapa sih yang pernah berharap dilahirkan atau punya saudara dalam kondisi seperti itu? Kalau pun memang harus mengalami, ya sudahlah kita terima. Mungkin kita punya keistimewaan yang membuat Tuhan menitipkan orang-orang seperti Dino pada kita.”

Ornella menatap Soni. Cukup lama. Membuat Soni salah tingkah.

“Napa sih, Nik? Kok lihatnya gitu amat?”

Ornella tersenyum. “Sejak dulu aku menganggapmu sebagai sebuah panutan. Dan ternyata aku nggak salah. Kamu dewasa, Cak, selalu dewasa buatku.”

“Halah... Nggak usah merayu kayak gitu,” wajah Soni sedikit memerah.

“Dih! Siapa juga yang merayu?” Ornella meleletkan lidahnya. “Nah, sekarang ceritakan masa lalumu.”

Soni kelihatan ragu-ragu sejenak. Tapi tatapan Ornella membuatnya memiliki keberanian lebih.

“Ehm... Jujur, aku belum pernah punya pacar atau kekasih atau apalah namanya.”

“Serius?” Ornella membelalakkan matanya.

“Serius... Tapi jatuh hati sih pernah.”

“Sama first love-mu itu ya? Teman SD-mu?”

“Siapa bilang?”

“Chiara.”

“Wah... Salah tuh! Yang betul aku kenal dia waktu aku masih SD, tapi dia bukan teman SD-ku. Dia cucu Ibu Sepuh.”

Ornella ternganga. Cucu Ibu Sepuh? Bukannya Ibu Sepuh itu panggilan para tetangga untuk Oma? Dan Soni menatapnya penuh arti. Seketika semburat merah muda mewarnai pipi Ornella.

“Kamu pasti kenal dia siapa,” senyum Soni.

Ornella tersipu. Soni menatapnya serius. Siap menceritakan cinta berikutnya.

“Kamu selalu ada dalam pikiranku, Nik. Mungkin jadi kayak gitu karena ada yang belum beres di antara kita, belum selesai. Setidaknya kita nggak pernah saling mengucapkan selamat tinggal sebelum benar-benar berpisah sekian lamanya.”

“Aku juga merasakan hal yang sama. Sadar atau enggak, aku selalu membandingkan keempat mantanku itu denganmu. Padahal apa coba yang bisa tertinggal dari kenangan seorang anak kelas 2 SD seperti aku waktu itu?”

Soni tertawa kecil. “Apa kita berlebihan kalau kita bilang mungkin kita berjodoh?”

Ornella menggeleng sambil tertawa juga. “Mau nggak percaya gimana, coba?’

Kemudian Soni kembali serius. “Sebelumnya aku minta maaf, Nik. Aku nggak mau menyakitimu, tapi aku harus jujur kan? Aku pernah menyukai Chiara. Dulu. Waktu masih kuliah. Abangnya temanku berlatih kempo. Aku sering ke kostnya, jemput dia. Kan mereka satu kost. Ya gitu deh!”

“Ooo...,” ucap Ornella tanpa suara.”Tapi Chiara akhirnya sama Mas Aji?”

“Ya... Karena Aji satu fakultas sama Cornel. Satu angkatan, satu kelas. Jadi intensitas ketemunya lebih tinggi mereka. Ya udahlah, aku mengalah. Lagipula Chiara kelihatan banget lebih menyukai Aji. Apa boleh buat?”

“Tapi sekarang Chiara free kan?” goda Ornella.

Soni tertawa. “Dan membiarkanmu menghilang lagi dari hidupku? Enggak, Nonik, aku nggak mau. Lagipula Chiara cuma sepenggal masa lalu buatku. Rasa itu udah menguap. Makin menguap setelah aku bertemu lagi denganmu. Buatku, kamu kehidupan sepertiga pagiku, masa kini, dan masa depanku.”

“Kalau kita berjauhan, sementara di sini jarakku dengan Mas Aji begitu dekat, tidakkah kamu takut akan terjadi sesuatu?” ucap Ornella lirih.

“Semuanya tergantung padamu, Nik. Tapi pada dasarnya aku percaya kamu bisa dengan jernih mengolah hatimu. Dan aku sendiri, nggak akan semudah itu melepaskanmu begitu saja pada Aji. Dia boleh menyakiti hati Chiara walaupun dia pernah berjanji padaku untuk nggak melakukannya. Tapi dia sama sekali nggak boleh melakukan itu padamu. Setidaknya, aku nggak akan pernah membiarkannya.”

Kini Ornella mengerti mengapa sekian lama sepotong hatinya tetap menyimpan rapi segala kenangan tentang seorang teman bernama Caka. Caka selalu istimewa baginya. Dengan segala sikap yang juga terasa istimewa sejak usia sepertiga pagi mereka.

“Kalau kamu bisa seteguh itu mempertahankan cintamu padaku, mengapa aku tidak?” senyum Ornella.

Dan Soni pun merasa sepotong hatinya yang pernah hilang kini sudah kembali.

* * *




Empat Belas



“Baik-baik di sini ya, Nik? Jaga kesehatan,” ucap Soni lembut sambil mencium sekilas pipi Ornella.

Di dekat mereka Aji dan Chiara masih berusaha untuk bersalaman.

“Maafkan aku, Chia. Sepertinya aku salah. Kurasa kita masih bisa memperbaiki hubungan ini. Kasih aku waktu untuk memikirkannya lagi,” ucap Aji lirih, nyaris sama seperti ucapannya kemarin siang, meralat keputusannya mengakhiri hubungan mereka.

Chiara terdiam. Benar-benar tak tahu harus menjawab apa. Ditatapnya sejenak Aji. Hambar. Lalu tanpa kata dia mengikuti langkah Soni menuju ke gerbang pemberangkatan.

Sejujurnya Chiara enggan pulang ke Jakarta. Enggan diburu rutinitas pekerjaan. Tapi apa yang bisa menahannya? Kenyataannya dia sudah tak lagi punya tempat dan alasan untuk bergantung. Bahkan untuk sekedar berpegangan. Harapan yang akhirnya diberikan Aji tampaknya terlalu rapuh.

Chiara berjalan sambil setengah melamun. Membiarkan pikirannya mengembara bebas. Tentang berbagai rangkaian kata semalam, pada malam terakhir dia berada bersama Ornella.

“Seharusnya aku sedikit lebih sabar, membiarkannya memikirkan lagi hubungan kami,” ucapnya sedikit menerawang, di depan Ornella.

Ornella menepuk lembut bahu Chiara. “Dan membiarkannya bebas berfantasi tentangku?”

Chiara mengangkat bahu. “Kalau itu terjadi, setidaknya aku tahu kalau orang ketiga itu jauh lebih baik daripada aku.”

“Ah! Ngomong apa kamu ini?” tukas Ornella.

Chiara menatap Ornella dengan serius. “Mas Soni jauh lebih baik daripada Mas Aji, El. Sayangnya aku terlambat menyadari itu. Tapi aku nggak menyesal. Setidaknya aku berusaha untuk nggak menyesal. Dia pantas mendapatkan yang terbaik. Dan kamulah orangnya.”

Ornella hanya menatapnya.

“Jaga hubungan kalian baik-baik., El. Dasar kalian udah kuat. Tinggal gimana kalian aja memelihara itu.”

“Kalau kalian bisa balikan lagi, lakukan aja, Chia. Mungkin kejadian ini bisa membuat kalian saling memperbaiki diri.”

Chiara mengangguk. Dan mereka pun berpelukan.

Sebuah sentuhan di bahu membuat lamunan Chiara terburai. Ditatapnya Soni penuh tanya.

“Kamu melamun. Nggak takut kesandung?”

Mau tak mau Chiara tersenyum sambil mengikuti langkah Soni masuk ke dalam pesawat. Dia tetap diam hingga pesawat mengudara. Meninggalkan segala keruwetan di bawah sana.

Chiara menatap awan yang berarak di luar jendela pesawat. Seandainya dulu Soni lebih gigih, bisa jadi dia sudah nyaman berada di sisi Soni sekarang. Yang dengan kesetiaannya tetap tegak berdiri. Walaupun menantang sesuatu yang absurd sekalipun. Seperti perpisahan dan perjumpaannya kembali dengan Ornella.

Tadi Aji memang mengucapkan sesuatu. Sepertinya kembali meniupkan harapan. Hanya saja fakta sudah terbentang begitu saja di hadapannya. Bahwa cinta Aji padanya sudah mulai buram dan mengabur entah bagaimana caranya.


“Mungkin dengan berjauhan kalian bisa jadi lebih dekat satu sama lain.”

Suara rendah Soni memecahkan lamunan Chiara. Perlahan dia mengerjapkan mata.

“Kenapa aku dulu nggak memilihmu?”

“Cinta nggak bisa dipaksakan, Chia,” ucap Soni halus.

Benar, ucap Chiara dalam hati. Semua hal di dunia ini memang tak bisa dipaksakan. Pun keinginannya untuk melihat masa depan yang lebih baik dari karir Aji sebagai seorang dokter. Harga yang harus dibayarnya hanya untuk belajar tentang mengurangi egoisme ternyata sangat mahal. Dia harus kehilangan Aji. Mungkin hanya untuk sementara. Mungkin juga untuk selamanya.

Guncangan kecil di badan pesawat menyadarkan Chiara. Dia mengerjapkan mata. Satu hal yang harus bisa dilakukannya sekarang. Tetap berusaha untuk tegar. Dan mungkin memang harus menunggu Aji siap kembali dengan seluruh cinta dan hatinya. Tapi sampai kapan?

Chiara menggeleng pelan. Dia benar-benar tidak tahu. Juga tidak tahu apakah dia bisa benar-benar sanggup menunggu.

* * *

Ornella tersenyum sambil meneguk teh hangatnya. Selesai sudah laporannya yang ke sekian. Tepat saat itu ponselnya berbunyi pelan. Sebuah SMS masuk, membuatnya melebarkan senyumnya.

Chatting yuk!

Dibalasnya, ‘Sebentar, aku baru selesai bikin laporan. Aku mandi dan makan dulu ya?’

Oke!

Tak berapa lama kemudian Ornella sudah anteng kembali di depan laptopnya. Tenggelam dalam percakapan maya dengan Soni. Sesekali tersenyum. Sesekali cemberut. Sesekali tertawa tertahan.

Ketika ponselnya kembali berbunyi, Ornella meraihnya. Sebuah SMS yang lain. El, kapan kita jalan ke Pos Ketan lagi?

Ornella kembali melanjutkan chatting-nya dengan Soni. Diabaikannya SMS itu. Seperti juga dia sudah mengabaikan beberapa SMS sebelumnya dari orang yang sama. Aji.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


22 komentar:

  1. Iyah bener, cinta emang nggak bisa dipaksakan tan #eh :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uhuk! Kok mendadak jadi keselek ya? Hahaha...
      Makasih mampirnya, Mbak Putri...

      Hapus
  2. Nostalgia sama cerita ini. Gara2 cerita ini aku jadi tahun kalo kita ae almamater.....peyuukk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya yaaa... Waktu itu sempet kontakan via inbox gara-gara ini. Peyuk jugaaa... Suwun mampire, Mbak...

      Hapus
  3. Kalok diblog gini enak mba aq isa numpang komen. Super apik wes critae!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih, Nita... Rajin-rajin mampir ya? Sun sayang buat baby!

      Hapus
  4. Kl pnjg gini biasanya msk bookmark dl :) (C)

    BalasHapus
  5. Asyiiik dapat makan "siang" dari Mb Lizz, muantap banget ceritanya. Tadi pagi dapat sarapan dari Bu Dyah, puol buanget.....Terima kasih Mb Lizz, selamat siang. Mau gelar tenda ah di sini nunggu sarapan dari Mb Lizz besok pagi....hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sarapan udah siap, Mbaaak... Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. pos ketan..?? hahahha....malih pengin nang mBatu maam ketan..akuh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Budhaaalll, Maaak! Hahaha... Nuwus mampire yo...

      Hapus
  7. asyiknya menikmati cerita keren hanya dalam satu klik..ya..Mbak Lis...selamat yaah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak bosen karena kepanjangan to, Mbak Bekti? Hehehe...
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  8. Hmmm cinta mmg tak indah bila dipaksakan :( Trims ya sdh ksh bacaan seru ya Mbak :) Salam sore...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam pagi... :)
      Makasih kunjungannya ya, Mbak Fitri...

      Hapus
  9. Balasan
    1. Wakakak... Jangan ambil merek dagangnya Pak Edy Priyatna dong, Mas Ando...
      Makasih banyak singgahnya ya...

      Hapus
  10. Ngga bosan menikmati ini. Antara cinta dan kesetiaan, selalu seharusnya bersama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup! Seharusnya sih gitu... ;)
      Makasih mampirnya, Mbak MM...

      Hapus
  11. Saya gk pernah bosen baca tulisan Mbak Liz.....bagus n bikin gimana gituuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf banget, Mbak Tri... komennya baru terdeteksi hari ini . Jadi balesnya super telat. Makasih atensi dan singgahnya ya...

      Hapus