Sabtu, 21 Februari 2015

[Novelet] Sepotong Cinta Putih






Satu


Sophie membereskan ranselnya dengan setengah hati. Ketika ia menegakkan badan, dilihatnya bayangan bundanya melalui cermin. Perempuan itu berdiri di depan pintu kamar dengan wajah yang tak bisa diungkapkan ekspresinya. Sophie balik menatap. Murung.

“Kenapa Addo sama aku harus ke sana, sih, Bun?” desahnya.

Diva berjalan mendekat sambil menghela napas panjang. “Nenekmu kangen, Phie,” ucapnya halus.

Sophie mendengus sambil membanting dirinya di atas kasur.

“Kangen?” Sophie mencibir. “Yang ada dia pasti meracuniku dengan segala hal kebaikan Mama dan keburukan Bunda.”

“Jangan berburuk sangka dulu, Phie.” Diva duduk di tepi kasur, mengelus rambut Sophie. “Gimana pun, kamu itu anak mamamu, cucu nenekmu.”

“Iya, Nenek dan Mama sama-sama nggak beresnya!” sahut Sophie, getas.

“Bunda nggak suka, lho, Sophie ngomong gitu,” tegur Diva lembut. “Iya, Bunda mengerti sebabnya, tapi Bunda tetap nggak suka Sophie punya pikiran seperti itu.”

Sophie bangun dan memeluk bundanya. Dengan sayang diusapnya perut gendut bundanya. “Dedek jangan lahir dulu sebelum Kakak pulang, ya, Dek....”

Diva tersenyum. “Iya, Kakak...,” jawabnya dengan suara lucu. “Dedek tunggu sampai Kakak dan Abang pulang.”

“Sudah selesai beberesnya?”

Sophie dan Diva sama-sama menoleh ke arah pintu. Dendy berdiri dengan Addo mengekor di belakangnya. Kelihatan betul betapa ekspresi wajah Addo. Perjaka kecil berumur sepuluh tahun itu wajahnya super keruh dengan bibir maju sekian senti. Diva sebetulnya ingin tertawa melihat ekspresi Addo, tapi ia tak tega.

“Kenapa anak Bunda wajahnya jelek banget, sih?” Diva susah payah bangkit dari tepi tempat tidur Sophie dan mendekati Addo.

“Aku males ke rumah Nenek. Sumpah!” gerutu Addo.

“Eits! Anak Bunda, kok, ngomongnya gitu?” tegur Diva sambil mengelus kepala Addo. “Nggak bagus, ah!”

Dendy menatap Sophie, serius. “Jaga Addo, ya, Phie? Cepet hubungin Ayah atau Bunda kalau ada apa-apa.”

Sophie mengangguk setengah hati. Dendy ganti menatap Addo.

“Do, jangan nakal di sana. Jangan bikin repot Kak Sophie, ya?”

Addo tak menjawab. Tak juga mengangguk. Tapi ia mulai menyandang ranselnya. Sophie menggandeng adiknya sambil menyeret ranselnya. Di luar, sopir sang Nenek sudah menunggu untuk membawa mereka pergi.

Ketika mobil mulai melaju, Sophie dan Addo melambaikan tangan, masih dengan setengah hati. Dendy dan Diva balas melambaikan tangan. Berusaha untuk memberikan senyum menenangkan.

* * *

Liburan macam apa, sih, ini?!

Sophie merutuk dalam hati. Dengan sedih ditatapnya Addo yang tertidur dengan napas yang sesekali masih tersentak. Sisa-sisa tangis yang cukup hebat. Masalahnya sepele. Addo tak mau makan kalau tidak ada lauk sambal tempe. Dan, hal sepele yang bisa diatasi dengan ganti berupa sebutir telur mata sapi dan kecap itu sudah membuat sang Nenek meradang hebat.

Habis sudah Addo dimarahi dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Yang lebih menyakitkan hati Sophie, Nenek selalu membawa-bawa nama bundanya. Padahal salah Bunda apa, sih?! Sophie tak juga bisa mengerti.

Sophie berbaring telentang dengan mata bundar menatap langit-langit kamar. Bunda memang cuma seorang ibu tiri, desahnya. Tapi dia seribu kali lebih baik daripada Mama. Apakah itu salah Bunda? Pelan ia menggeleng.

Seharusnya ia bisa menghubungi ayahnya. Atau bundanya. Sekadar mengirim SMS atau malah telepon minta dijemput sekalian. Tapi.... Air mata Sophie meluncur jatuh melewati kedua pelipisnya.

Sejak kedatangannya dua hari yang lalu, Nenek sudah ‘menyita’ ponselnya tanpa ampun. Sekaligus dengan charger-nya. Alasannya? “Libur, ya, libur saja! Nggak usah hubung-hubungin rumah!” Sophie terpaksa mengelus dada.

Sophie tersentak ketika Addo bergerak di sebelahnya. Ia menoleh dan mendapati Addo tengah menatapnya dengan mata mengantuk.

“Kakak belum tidur?” gumam Addo.

Sophie menggeleng. Ia kemudian balik bertanya, ”Do, kamu nggak laper? Tadi nggak makan.”

“Laper sih...,” jawab Addo lirih. “Aku mau minum susu aja, Kak.”

“Haduuuh... Males, ah, harus ke dapur segala.” Sophie sedikit sewot.

“Di ranselku ada susu kotak, Kak.”

“Oh.... Bilang, dong, dari tadi.” Sophie bangun dan menghampiri ransel Addo yang tergeletak di sudut kamar.

Dan, ketika ia merogohkan tangan ke dalam ransel Addo, ditemukannya sebuah benda yang hampir membuatnya bersorak gembira. Ponsel Addo! Dengan baterai yang tinggal setengah, tapi kelihatannya masih sehat. Ia segera meloncat ke atas kasur dan hampir saja menubruk Addo.

“Do,” bisiknya, “kamu bawa ponsel?”

Addo mengangguk dengan wajah polos. "Tapi aku nggak bawa charger. Lupa."

“Tapi kenapa waktu Nenek tanya, kamu bilang nggak bawa?”

Addo mengerutkan kening. Menatap Sophie dengan pandangan ‘Hellooo.... Are you sure want to know?’ Seketika Sophie tertawa tertahan ketika menerima tatapan adiknya yang seperti itu. Dengan gemas dicubitnya lembut pipi Addo.

“Kita akan pulang secepatnya, Do,” bisik Sophie penuh semangat. “Secepatnya. Kakak janji!”

Addo menguap lebar-lebar. Sophie tersadar seketika. Ia segera meloncat ke arah ransel Addo dan mengambil sekotak kecil susu cair. Setelah memberikan susu itu pada Addo, jemarinya pun mulai bergerak lincah di atas layar ponsel.

* * *



 Dua


Ponsel di atas nakas berbunyi lirih tepat ketika Diva keluar dari kamar mandi. Notifikasi SMS. Ia sempat mengerutkan kening sebelum meraih ponsel itu. Hampir tengah malam begini? Kerutan di keningnya makin dalam setelah membaca pesan yang masuk. Kemudian secepat kilat digoyang-goyangkannya tubuh Dendy.

“Yah, Ayah.... Bangun.... Ayah.... Bangun, Yah....”

Setengah gelagapan Dendy terbangun. Pertama yang ditatapnya adalah wajah khawatir Diva. Setengah sadar ia mengerjapkan matanya.

“Bunda sudah mules?” Dendy meloncat bangun. "Mau ke rumah sakit sekarang?"

“Ih! Apaan, sih?” Diva meringis. “Ini ada SMS dari anak-anak. Baca sendiri, deh!”

Dendy menerima ponsel dan sebuah kacamata baca yang diulurkan Diva. Dengan cepat dibacanya SMS yang masuk ke ponsel Diva itu.

Bun, pokoknya bisa nggak bisa, boleh nggak boleh, mau nggak mau, harus nggak harus, Addo dan Sophie MAUNYA dijemput BESOK. Ini bukan liburan tapi neraka! Please.... πŸ™πŸΌπŸ™πŸΌπŸ™πŸΌ Keluarkan anak-anakmu ini dari neraka. 😭😭😭 CATATAN : KALO SAMPE BESOK SIANG NGGAK ADA YANG JEMPUT, KAMI MINGGAT!!! Bales SMS-nya ke nomor Addo aja. Ponsel Sophie disita Nenek.

Mau tak mau Dendy terbahak setelah membaca pesan itu. Diva menatapnya jengkel.

“Ayah gimana, sih? Malah ketawa!” omelnya pelan. “Kasihan anak-anak, Yah. Jemputlah besok pagi.”

“Halah.... Sophie mau bawa Addo minggat ke mana? Paling juga pulang ke sini.” Dendy menanggapi dengan nada santai.

“Iya, tapi tetap saja kasihan, Yah. Sophie saja belum genap lima belas umurnya. Surabaya-Malang, kan, jauh juga. Lagian Sophie mana ngerti Surabaya ruwet begitu? Kalau nyasar gimana?”

Dendy menatap Diva, masih penuh senyum. Diva jadi makin jengkel.

“Kalau Ayah nggak mau jemput, biar Bunda berangkat sendiri!” rajuk Diva.

“Iya... iya.... Besok pagi-pagi Ayah jemput, deh!” Dendy mengalah. “Sudah sekarang tidur lagi, yuk! By the way, Bunda kalau cemberut gitu sexy, deh!”

“Ih! Apaan, sih?” Diva tersipu sambil memukul pelan lengan Dendy.

Dendy terbahak lagi.

“Eh, Yah, besok Bunda ikut, ya?” celetuk Diva kemudian.

“Eits! Nggak usah,” sahut Dendy cepat. “Bunda nggak boleh capek. Lagian Ayah langsung bawa anak-anak pulang. Nggak mampir ke mana-mana.”

“Mmm... Iya, deh...” Diva membaringkan tubuhnya kembali.

Malam kian menggelincir menuju pagi. Diva tidur dengan nyaman dalam pelukan Dendy.

* * *

Begitu selesai mandi, Sophie langsung mengunci pintu kamar. Dirogohnya ransel Addo, mengambil ponsel. Ketika dilihatnya ada gambar pesan masuk, ia hampir meloncat kegirangan. SMS dari ayahnya.

Phie, tolong bertahan dulu sebentar di situ, ya? Ayah harus ngantor dulu sebentar sebelum jemput kalian. Paling lambat jam 12-lah Ayah sampai situ. Baik-baik di situ, ya...

Ingin rasanya Sophie tertawa keras. Tapi ketika ia ingat itu bisa berarti ‘bunuh diri’, ia segera mengurungkan niatnya. Disembunyikannnya lagi ponsel Addo baik-baik sebelum membuka pintu kamar.

Beberapa saat kemudian Addo sudah selesai mandi dan masuk ke kamar. Sophie segera membisikinya, “Nanti siang Ayah jemput kita. Udah, kita manis-manis aja hari ini, ya?”

Addo mengangguk sambil tersenyum senang.

Tapi, niat untuk bermanis-manis itu nyaris menguap ketika mereka sarapan. Bagaimana tidak? Menu sarapan mereka kali ini adalah nasi goreng yang entah ke mana arah rasanya. Yang jelas, terlalu asin.

Sophie dan Addo saling menatap dengan putus asa. Akhirnya mereka mengakali itu dengan minum seteguk air setiap selesai menyuap sesendok nasi goreng ke mulut. Tapi aksi itu tak luput dari pandangan Rokayah, sang Nenek.

“Ini ada lagi minum melulu kalau makan?” celetuk Rokayah pedas. “Nggak diajarin cara makan yang benar, ya, sama bundamu itu?”

Sophie tak tahan lagi. Kenapa selalu Bunda yang salah?! Ia meletakkan sendok dan menatap Rokayah dengan tajam dan berani. Cukup!

“Seburuk-buruknya Bunda, ya, Nek, Bunda nggak pernah kasar sama kami,” ucap Sophie dengan suara bergetar. “Bunda nggak pernah masak nggak enak kayak gini. Bunda nggak pernah nggak perhatiin kami. Semuanya itu nggak pernah dilakukan Mama. Jadi, Mama nggak pernah diajarin jadi mama yang benar, ya, sama Nenek?”

Rokayah terbelalak dengan wajah merah padam. Hilang sudah semua perbendaharaan katanya karena diselimuti emosi yang demikian besar. Sophie menoleh ke arah Addo.

“Kamu masih doyan makanan ini?” ucap Sophie mengerutkan kening.

Dengan polos Addo menggeleng. Sophie menarik tangan Addo.

“Yuk, kita ngumpet aja sebelum ada yang mencincang kita!”

“Sophiiie!!!”

Seiring dengan gema suara Rokayah yang menggelegar, Sophie dan Addo segera berlari menyelamatkan diri ke kamar dan menguncinya dari dalam. Kemudian mereka membereskan semua barang bawaan supaya ketika sang Ayah menjemput, mereka sudah siap untuk pergi.

* * *

Dendy menatap jalanan yang disinari teriknya sinar matahari sambil setengah melamun. Di sampingnya, Atmo terus berkonsentrasi mengemudikan mobil menembus beberapa kemacetan di jalur Malang-Purwosari. Ia sengaja menyuruh Atmo untuk lewat jalur biasa, bukan jalan tol.

Ketika sampai di depan Kebun Raya Purwodadi, Dendy memejamkan matanya sejenak. Tempat itu.... Dihelanya napas panjang. Empat tahun yang lalu....

Sampai kapan pun rasanya peristiwa itu tak akan pernah bisa hilang dari ingatannya. Peristiwa paling hitam yang membanting harga dirinya sebagai seorang laki-laki ke titik terendah, bahkan seolah minus. Peristiwa yang membuat Sophie menatapnya dengan sinar mata yang tak bisa didefinisikan.

Ada kepahitan, seribu pertanyaan, kelegaan, kegembiraan, duka, sekaligus sinar kelam yang bermain jadi satu di sana, jauh dalam kedalaman mata Sophie. Membuatnya hanya sanggup mendekap Sophie dan Addo dalam diam. Membuatnya tersentak ketika dengan lirih Sophie menjatuhkan pertanyaannya, “Siapa laki-laki itu, Yah?”

Dan, ia tak tahu harus menjawab apa. Lebih tepatnya tak sanggup. Mungkin juga tak perlu karena sesungguhnya Sophie sudah tahu jawabannya dengan pikiran mudanya. Mungkin Addo juga. Kemudian. Suatu saat kelak.

Pelan Dendy mengerjapkan matanya. Terasa basah.

* * *



Tiga


Addo membaringkan tubuhnya di atas kasur. Ditatapnya Sophie yang tengah mengancing ranselnya. Sophie mendongak sedikit, sekilas menatap jam dinding. Hampir pukul 11. Sebentar lagi, bisik Sophie dalam hati.

“Kak....”

“Ya?” Sophie menoleh.

Addo tengkurap sambil bertopang dagu. “Kenapa, sih, Nenek benci banget sama Bunda?”

Sophie tertegun. Beberapa detik kemudian dihelanya napas panjang.

“Padahal, kan, Bunda baik banget sama kita,” lanjut Addo. “Mama aja dulu nggak segitunya sama kita.”

Sophie melangkah dari sudut, mendekat ke kasur. Ia kemudian duduk di tepi kasur. Membelai kepala Addo dengan sayang.

“Kamu masih ingat Mama, Do?” tanya Sophie lirih.

Addo mengangguk. “Ingatlah, Kak,” jawabnya. “Persis Nenek. Kayak demit."

Mau tak mau Sophie tertawa. Setengah pahit. Pelan ia ikut berbaring di sebelah Addo.

Waktu itu Sophie seusia Addo sekarang. Sepuluh tahun. Tapi sudah cukup tahu kelakuan mamanya. Ayahnya sering keluar kota untuk keperluan pengembangan usahanya. Dan, Mama? Sophie menelan ludah. Terlalu hitam rasanya bayangan apa yang dilakukan mamanya.

Dan, puncaknya terjadi empat tahun yang lalu. Ketika polisi datang mengabarkan tentang kecelakaan yang menimpa Mama. Mobil Mama terbalik tepat di depan Kebun Raya Purwodadi setelah menyenggol truk dari arah berlawanan. Ringsek. Nyaris tak berbentuk.

Tapi Mama tidak sendirian. Ada orang lain di dalamnya. Seorang laki-laki. Dan, laki-laki itu ia tahu adalah kawan dekat Mama. ‘Kawan dekat’ diapit tanda kutip karena sesungguhnya ia cukup tahu siapa laki-laki itu buat Mama.

Lalu apa hal baik yang tersisa dari Mama? Pelan Sophie menggeleng. Hampir tak ada. Semuanya tentang Mama melarut begitu saja seiring waktu. Apalagi ketika perempuan itu hadir dalam kehidupan mereka.

Bunda Diva... Sophie mengerjapkan matanya yang terasa sedikit basah.

“Kakak nangis?”

Lirih ucapan Addo menyentakkan kesadaran Sophie. Buru-buru ia mengusap matanya yang berair.

“Kangen Bunda, ya, Kak?” celetuk Addo lagi. “Sama, aku juga. Banget.”

Sophie memeluk Addo dengan tangan kirinya. Dihelanya napas panjang.

“Kadang-kadang aku senang Mama nggak ada lagi,” bisiknya patah. “Dosa nggak, sih, Do?”

Addo hanya mengangkat bahu. Tak mengerti sepenuhnya ucapan sang Kakak. Hanya saja ia punya perasaan yang sama.

Sophie kemudian bangun dan meraih ransel Addo. Dicarinya ponsel Addo. Ia mengeluh pelan ketika melihat lampu LED penanda kapasitas baterai ponsel itu sudah menyala merah.

Lalu ia secepatnya mengetikkan sesuatu dan menyentuh kotak SEND. Terkirim. Lalu, ponsel itu langsung padam.

* * *

Diva membuka lebar-lebar pintu kamar Sophie. Setelah mengganti seperangkat sprei di kamar Addo, sekarang giliran kamar Sophie. Ia selalu senang berada di sana. Di kamar anak-anaknya. Terasa hangat dan akrab. Apalagi bila para pemiliknya ada di dalamnya. Sekadar tidur pulas, atau sedang belajar.

Ditebarkannya sprei baru berbau harum segar di atas kasur Sophie. Saat itu ponselnya berbunyi. Dibiarkannya sejenak hingga pekerjaannya beres. Setelah tempat tidur itu rapi, barulah Diva merogoh kantong dasternya.

Bun, Sophie dan Addo kangen.

Dibacanya SMS dari nomor ponsel Addo itu sambil tersenyum. Ada sebersit keharuan dalam hatinya. Ia kemudian mengetikkan balasannya.

Iya, Nak... Bunda juga kangen. Kita ketemu lagi menjelang sore, ya. 😘

Sayangnya Diva harus menelan sedikit kekecewaan. Pesannya terkirim, tapi tak tersampaikan ke ponsel Addo. Mungkin keburu mati karena lowbatt, ucapnya dalam hati, menghibur diri.

Diva membuka jendela lebar-lebar dan membiarkan hawa segar masuk dengan bebas. Pelan ia duduk di atas kursi di depan meja belajar Sophie. Ada berbagai foto dalam pigura-pigura mungil di atas meja. Ditatapnya satu-satu.

Sophie sedang tertawa lebar bersama Addo. Sophie selfie dengan ekspresi muka bebek. Sophie mengumbar senyum jenaka dalam pelukan Dendy. Sophie berakting gemas seolah ingin menggigit perut gendut Diva sementara pemilik perut tertawa ceria.

Diva mengerjapkan mata. Tanpa satu pun foto Sophie bersama mamanya. Dan, ia sungguh tahu kenapa.

Melihat sosok Sophie, ia jadi teringat dirinya sendiri bertahun yang lalu. Hampir sama. Harus kehilangan ibu dan kemudian harus hidup dengan ibu tiri. Tapi kondisinya sungguh bertolak belakang.

Ibu kandungnya sungguh segalanya buat Diva. Namun, ibu tiri yang kurang perhatian itu adalah mimpi buruk buatnya. Ia seolah harus meniti jembatan hidupnya sendiri. Mereka-reka sendiri apa yang baik dan apa yang tidak. Seringkali ia merasa kehilangan arah sebelum menemukan arah yang benar.

Puncak kesalahannya adalah memilih Ludy sebagai suami. Seorang tukang selingkuh yang akhirnya menemui ajal bersama perempuan selingkuhannya. Nasib kemudian membawanya masuk kemari. Menghabiskan sisa hidup dengan keluarga yang pernah diliputi lara yang sama dengannya.

Sejak awal ia sudah bersumpah untuk menjadi seorang ibu yang baik buat anak-anaknya kelak. Dan, ia melihat bahwa kedua anak kecil yang penuh lara itu adalah anak-anak yang disediakan Tuhan untuk memenuhi sumpahnya.

Sophie dan Addo sungguh anak-anak yang menyenangkan. Ia sendiri tak mengerti bagaimana bisa Ainna mengabaikan anak-anak manis darah dagingnya sendiri itu. Sedangkan Dendy secara utuh adalah segalanya tentang pria idaman. Bagaimana bisa Ainna mengkhianati kepercayaan dan cinta laki-laki itu?

Diva menghela napas panjang. Semua jawabannya sudah ikut terkubur bersama raga Ainna. Tak berbekas.

* * *


Empat


“Non, Gus, Makan dulu.... Sudah siang. Nanti Bu Sepuh marah, lho!”

Sophie membiarkan saja ART neneknya capek mengetuk pintu kamar. Kapan, sih, Nenek nggak marah-marah? batinnya sebal. Diliriknya jam dinding. Sudah hampir pukul 1, tapi ayahnya belum datang juga.

Ia menengok ke arah Addo dan mendapati adiknya itu tengah tertidur. Dengan halus dibelainya rambut Addo. Belaian sayang itu membuat Addo membuka matanya pelan-pelan.

“Jam berapa, Kak?” tanya Addo sambil menguap.

“Hampir jam satu.”

“Kok, Ayah belum datang juga?” keluh Addo.

Sophie kembali membelai rambut Addo. “Macet ‘kali, Do. Kan, jauh.”

Addo mengembuskan napasnya keras-keras.

“Kamu laper?” tanya Sophie. “Kalau laper makan dulu, gi!”

Tapi Addo menggeleng. “Aku puasa aja, deh! Lagian makanan di sini juga nggak enak.”

Sophie tertawa tertahan. Setengah geli, setengah kasihan.

“Nanti aja sampai di rumah aku mau kalap makan semuuuaaa masakan Bunda,” lanjut Addo polos.

Sophie tergelak karenanya.

Di luar kamar, Tatik menatap Rokayah dengan putus asa. Rokayah menggelengkan kepalanya dengan jengkel.

“Nanti saya suruhnya makan lagi, Bu,” ucap Tatik menenangkan.

“Anak-anak itu...,” gumam Rokayah geram. “Maunya melawan terus.”

“Bukan melawan, Bu.” Tatik menanggapi dengan halus. “Ibu aja yang terlalu galak. Apa-apa dianggap melawan. Buktinya sama saya juga mereka sopan, kok!”

Rokayah menatap Tatik dengan mata yang mulai bulat. Melihat pertanda itu Tatik buru-buru menyingkir. Menghindari ‘pertumpahan darah’ yang tidak perlu. Rokayah menghela napas panjang. Sambil duduk di sofa ia menatap ke sekeliling.

Alangkah lengangnya rumah besar ini! Sebenarnya sudah terasa lengang sejak lama. Sejak Herjuno meninggalkan rumah ini dan lebih memilih Tika, seorang perempuan yang tidak lebih muda ataupun lebih cantik ataupun lebih kaya daripadanya. Lebih lengang lagi setelah Ainna menikah dengan Dendy. Dan jadi lebih lengang lagi setelah Ainna tidak ada.

Sudah lama juga hatinya mendingin entah kenapa. Semua rasa hatinya menghambar tanpa bisa dicegah. Apalagi setelah kejadian Ainna kecelakaan bersama selingkuhannya. Sesungguhnya ia tak lagi tahu harus meletakkan muka di mana bila berhadapan dengan Dendy. Ia terlalu malu walau Dendy tak pernah mengatakan apa-apa.

Dan, ketika perempuan itu masuk ke rumah Dendy menggantikan Ainna, entah kenapa tak pernah ada perasaan rela. Apalagi ia bisa melihat bahwa perempuan bernama Diva itu mengurus anak-anak Ainna bahkan jauh lebih baik daripada Ainna sendiri. Kenyataan yang membuatnya merasa terancam.

Kedua anak itu, Sophie dan Addo, adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki. Apa jadinya bila ia tak lagi dikenal oleh mereka? Sebuah ketakutan yang absurd, tapi ia sungguh merasakannya. Walau perasaan itu menghambar tapi ketakutan itu tetap ada.

* * *

“Pak....”

Dendy tersentak. Atmo sudah menghentikan mobil yang dikemudikannya di pinggir sebuah jalan.

“Mau langsung atau mampir ke mana dulu?” lanjut Atmo.

“Langsung saja, Mo,” jawab Dendy. “Kasihan anak-anak kalau harus menunggu lagi.”

Atmo pun langsung melajukan lagi mobil itu. Diam-diam Dendy menghela napas panjang. Sebersit penyesalan muncul dalam hatinya. Seharusnya ia tak melepas anak-anak liburan di rumah neneknya. Tapi bijaksanakah itu?

Bagaimanapun Sophie dan Addo tetaplah anak Ainna, cucu Rokayah. Rokayah punya hak untuk bertemu dengan cucunya. Tapi kalau kejadiannya selalu sama dari tahun ke tahun?

Bahkan sejak Ainna masih ada, anak-anak tak pernah dekat dengan neneknya. Sama persis seperti anak-anak tak pernah bisa dekat dengan mamanya sendiri. Anak-anak justru kelihatan lebih sebagai anak-anak Diva daripada anak-anak Ainna.

“Sudah sampai, Pak.”

Dendy kembali tersentak. Ia menatap rumah itu sejenak sebelum turun dari mobil. Agak lama ia berdiri di depan pagar sebelum ART Rokayah keluar membuka gembok.

Ibu Sepuh ada?” tanya Dendy datar.

“Ada, Pak.” ART Rokayah mengangguk sopan sambil membuka pintu pagar sekadarnya.

Dengan mantap Dendy melangkah masuk.

Beberapa saat sebelumnya, derum halus suara mobil yang berhenti di depan rumah membuat Sophie dan Addo tersentak. Berbarengan keduanya meloncat dari atas kasur dan mengintip dari balik jendela kamar.

“Ayah!” seru keduanya dengan suara girang.

* * *



Lima


“Bu....”

Rokayah tersentak dari lamunannya. Tatik menatapnya dengan mata gelisah.

“Ada Pak Dendy, Bu.”

“Hah?!” Rokayah seakan tersengat sesuatu.  “Mau apa dia ke sini?” Rokayah berdiri dan melangkah lebar-lebar ke ruang tamu.

Di tengah perbatasan ruang tengah dan ruang tamu Rokayah berdiri tegak. Ditatapnya Dendy dengan dingin.

“Mau apa kamu ke sini?”

“Siang, Bu,” sapa Dendy dengan sopan. “Saya mau menjemput anak-anak.”

Tepat saat itu Rokayah hampir saja terpelanting karena senggolan tak sengaja Sophie dan Addo yang berlari sambil menenteng ransel masing-masing dari arah belakangnya. Kedua anak itu kemudian  tenggelam dalam pelukan Dendy. Ditatapnya semua itu dengan kemarahan bertumpuk.

“Kamu tidak bisa membawa pulang mereka!” seru Rokayah. “Liburan masih lama. Jangan pernah kamu lupakan hakku untuk berkumpul dengan cucu-cucuku sendiri!”

Mendengar ucapan Rokayah, Dendy melepaskan pelukan Sophie dan Addo. Ditatapnya Rokayah dengan sabar.

“Saya paham, Bu.” Dendy mengangguk. “Tapi saya juga paham keinginan anak-anak untuk pulang hari ini.”

“Kalau kamu terus-terusan memanjakan anak-anakmu, kamu tahu akibatnya, Den! Mereka jadi manja dan susah diatur! Dan, istri barumu itu sudah terlalu memanjakan mereka! Itu merusak!”

Dendy tertegak. Pelan tatapan sopannya berubah menjadi dingin.

“Bu,” ucapnya dengan suara yang terdengar sangat dalam dan sarat emosi. “Sampai kapan Ibu akan menyalahkan Diva atas apa yang tak pernah dia perbuat? Bahkan anak-anak pun bisa merasakan mana ibu yang baik, mana yang tidak.  Anak-anak nyaman bersama Diva. Sesuatu yang bahkan tak pernah mereka dapatkan dari mamanya sendiri. Entah Ibu bisa mengerti atau tidak.”

Rokayah kehilangan kata-kata judesnya. Sesungguhnya ia sudah kalah sejak lama.

“Anak-anak saya bawa pulang sekarang, Bu.” Suara Dendy terdengar tetap dingin walau melembut. “Mereka merasa tidak nyaman di sini. Itu karena sikap Ibu sendiri. Kelak bila Ibu bisa berubah, saya yakin mereka akan senang berada di sini. Permisi.”

Tanpa menunggu reaksi Rokayah, Dendy segera menggandeng kedua buah hatinya berbalik dan melangkah keluar dari rumah itu. Sophie dan Addo entah kenapa seolah kehilangan kata juga.

“Tunggu!”

Ketiganya berhenti. Dendy berbalik. Rokayah menatapnya dengan sinar mata yang tak bisa diartikan.

“Kalau anak-anak tidak kamu perbolehkan liburan di sini, aku yang akan berada di rumahmu selama libur mereka. Tunggu, aku berkemas sebentar." Rokayah berbalik.

Dendy ternganga. Sebelum Dendy menyadari arti ucapan Rokayah, Rokayah berbalik lagi beberapa detik.

“Oh ya,” ucap Rokayah, “kamu boleh pergi sekarang. Aku bawa mobil dan sopir sendiri.”

* * *

Atmo mulai menekan pedal gas dengan halus dan melajukan mobil itu. Sophie memeluk Dendy.

“Makasih sudah mau jemput, Yah.”

“Daripada kalian minggat." Dendy tertawa.

But... is she kidding us?” Sophie melebarkan matanya. “Kita keluar dari neraka ini tapi membawa pulang that devil?”

Dendy menatap Sophie dengan setengah geli, setengah putus asa. “Nggak usah lebay begitu.”

“Gimana nasib Bunda nanti?” Sophie menghempaskan punggungnya ke sandaran jok mobil.

Dendy menghela napas panjang. “Kalian libur. Ayah harus kerja. Cuma kalian yang bisa melindungi Bunda dari... that devil--,” mau tak mau Dendy mengucapkannya sambil mengulum senyum, “--selama Ayah di kantor. Bisa?”

“Bisa, Yah, pasti bisa!" jawab Sophie tegas.

Dendy mengacungkan jempolnya sambil tertawa. Tapi sejenak kemudian ia mengatupkan mulutnya. Dilihatnya Addo duduk termenung dengan wajah murung. Disenggolnya lembut lengan Addo.

“Kenapa, Do?”

Addo menghela napas panjang sebelum menjawab, “Aku sebetulnya kasihan sama Nenek. Tapi gimana? Neneknya sendiri kayak gitu.”

Dendy merengkuh bahu Addo. “Ayah harap suatu saat Nenek bisa berubah. Nenek Rokayah tetap nenek kalian sampai kapanpun. Seperti Mama Ainna tetaplah mama kalian sampai selama-lamanya karena darah kalian berasal darinya juga. Baik atau buruk, darah kalian tetaplah sama.”

Sesungguhnya Addo agak tidak memahami apa yang dikatakan ayahnya. Tapi ia memutuskan untuk diam saja. Tak berkeinginan untuk memperpanjangnya lagi.

Dendy mengambil ponsel dari dalam saku kemejanya. Dengan ringan ia menyentuh layar ponselnya sebelum menempelkan benda itu ke telinganya.

* * *

Diva menutup pembicaraan itu dengan tawa ringan. Tapi tak urung hatinya dihantam gelisah juga. Pelan ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Bu Rokayah ikut ke sini? Yang benar saja! Itu namanya menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru.

“Tenang aja, Bun... Aku dan Addo nggak akan membiarkan Nenek menyakiti Bunda...”

Mau tak mau Diva mengembangkan senyumnya mengingat suara yakin Sophie melalui telepon tadi. Pelan ia beranjak dari duduknya.

“Ni!” serunya.

“Ya, Bu?” Tini muncul dari arah belakang.

“Tolong, beresin kamar buat tamu, ya? Bu Rokayah mau nginep di sini.”

Tini ternganga menatap Diva. Diva pun balik menatapnya dengan penuh senyum.

“Kenapa, Ni?”

Tini menggelengkan kepala. “Yang sabar aja, ya, Bu... Bu Sepuh itu mengerikan. Pantes kalau anak-anak nggak betah di sana. Eh.... Lha, kok, sekarang malah mau ikut ke sini ini gimana, to?”

“Biar ajalah, Ni. Namanya masih kangen sama cucu. Sudah, bereskan dulu kamarnya.”

Nggih, Bu.”

Sejenak kemudian, sementara Tini membereskan kamar, Diva berusaha untuk menyibukkan diri di dapur. Hanya membuat puding coklat dengan vla susu. Ketika keduanya sudah masuk ke dalam lemari es, ia terduduk diam, menghela napas panjang.

Rasa-rasanya ia sudah tidak bisa lagi mengabaikan rasa mulas yang sudah berkali-kali datang sepanjang pagi hingga menjelang sore ini. Ia menangkupkan tangannya di atas meja dapur dan meletakkan kepalanya di atas tangan.

“Bu, kalau capek istirahat." Terdengar suara Tini di belakangnya. “Ibu ini perutnya sudah segede itu masih juga lari sana lari sini.”

“Ini juga lagi istirahat,” ucap Diva tanpa mengangkat kepalanya.

“Tiduran, Bu, di kamar.” Tini mulai sibuk di depan tempat cuci piring. “Kalau cuma di dapur nanti tangannya gatel pegang ini pegang itu. Malah nggak jadi istirahat.”

Diva tak menjawab. Rasa mulas itu datang lagi

* * *



Enam


Begitu Atmo menghentikan mobil di depan garasi, Sophie dan Addo segera berebutan meloncat keluar dari dalam mobil. Tujuannya cuma satu, mencari sosok yang sudah tiga hari mereka rindukan. Yang pertama mereka temukan adalah Tini.

“Yu Ni, Bunda mana?” tanya Diva.

“Ibu tidur, Mbak,” jawab Tini. “Kasihan, capek tadi bikin puding segala.”

“Oh....”

Addo pun segera mengikuti langkah Sophie yang setengah berjingkat menuju ke kamar utama. Perlahan Sophie membuka pintu dan mendapati sang Bunda tengah tertidur sambil meringkuk. Pelan kedua anak itu mendekati Diva.

“Bun...,” bisik Sophie lembut, sambil membelai pipi Diva. “Addo dan aku sudah pulang.”

Pelan Diva membuka matanya. Senyum Diva langsung terkembang melihat wajah ceria Sophie dan Addo.

“Wah.... Anak Bunda sudah pulang.”

Susah payah Diva bangun dan menciumi pipi Sophie dan Addo. Dendy muncul di belakang Sophie dan Addo.

“Bunda kecapekan?” Dendy menatap Diva sambil mengerutkan kening.

Diva hanya menatap Dendy, tak tahu harus mengatakan apa. Di satu sisi rasanya ia harus berangkat ke rumah sakit sekarang. Tapi di sisi lain tampaknya mereka harus menyambut kedatangan Rokayah lebih dulu. Dan, tanpa bisa dicegah Diva meringis kesakitan ketika rasa mulas itu mendadak datang lagi.

“Bun!” serempak Dendy, Sophie, dan Addo meneriakkan kata itu.

“Nggak apa-apa,” bisik Diva. “Bunda memang sudah mules-mules dari pagi.”

“Bunda kenapa nggak kasih tahu Ayah, sih?” sesal Dendy.

“Ya, kalau Bunda kasih tahu malah Ayah batal jemput anak-anak, kan, kasihan anak-anak, Yah.”

“Bunda ini...." Dendy menatapnya tanpa bisa mengucapkan apa-apa lagi.

“Bun, sakit banget, ya?” Sophie berlutut di samping tempat tidur sambil mengelus perut Diva.

“Nggak apa-apa, Phie. Bunda masih tahan. Nenekmu memang masih lama datangnya?”

“Nggak tahu, Bun.” Sophie cemberut. “Lagian kenapa juga Nenek malah ikut ke sini? Bikin repot aja.”

“Phie... Nggak boleh begitu,” tegur Diva halus.

“Bun, ke rumah sakit sekarang aja sudah, yuk,” ucap Dendy sambil meraih tas besar berisi perlengkapan yang memang sudah jauh hari mereka siapkan.

Melihat Diva masih tampak bimbang, Sophie segera menggenggam tangan kanan Diva.

“Bun, Bunda ke rumah sakit sama Ayah sekarang,” ucapnya tegas. “Addo sama Sophie di rumah, tunggu Nenek datang. Ya?”

Lama Diva menatap Sophie. Ada kesungguhan dan pengertian yang begitu besar dalam mata gadis muda itu. Ia kemudian mengangguk.

“Ya, sudah, Bunda berangkat,” ucap Diva. “Tapi janji, ya, Sophie sama Addo harus baik-baik sama Nenek.”

“Iya,” jawab Sophie dan Addo serempak.

“Kalau Nenek sudah datang Addo boleh nyusul ke rumah sakit nggak, Bun?” lanjut Addo.

“Ya, nanti Ayah urus, Do,” jawab Dendy. “Yang penting sekarang Ayah antar Bunda dulu, ya? Kalian baik-baik di rumah.”

Sophie dan Addo mengangguk patuh.

* * *

Rokayah menatap ke luar jendela. Pelan ia mendesah. Sebetulnya buat apa ikut ke Malang? Tanpa sadar ia menggeleng. Tapi perasaan kesepian itu menderanya begitu saja.

Sejujurnya ia harus mengakui bahwa istri baru Dendy itu mengurusi Sophie dan Dendy jauh lebih baik daripada Ainna. Sophie dan Addo, terutama Sophie, perangainya jauh berubah dari ketika Ainna masih ada dulu. Sekarang terlihat lebih dewasa dan bisa membimbing adiknya.

Sekali lagi Rokayah menatap ke luar jendela. Sesungguhnya perasaan gagal itu kental menghantuinya. Gagal jadi seorang istri. Gagal jadi seorang ibu. Gagal jadi seorang nenek.

Sikap dingin dan ego itu lebih menguasainya daripada keinginan untuk dekat dengan darah dagingnya sendiri. Dan, Ainna dibiarkannya meliar mendapatkan semua yang ia mau. Asal Ainna merasa senang. Tanpa berpikir panjang bahwa semua itu bisa menjerumuskan Ainna sendiri.

Rokayah untuk kesekian kalinya menghela napas panjang. Melepaskan rasa sesak yang menekan dadanya.

Lalu aku harus bagaimana disana? Rokayah mengerjapkan mata. 

Mendadak jadi orang yang hangat dan bersikap manis? Rokayah menggembungkan pipi.

Aku tidak bisa bersikap seperti itu, tidak biasa.

Begitu tenggelamnya Rokayah dalam alam pikirannya sendiri hingga tak menyadari bahwa sopirnya membanting stir dengan liar ke arah kiri. Yang tidak diketahuinya adalah mobilnya sudah dihajar sebuah truk yang nyelonong dari arah depan. Terdengar benturan keras dan teriakan panik sopirnya, tapi ia sendiri tak lagi sempat mengucapkan apa-apa.

Semuanya lalu gelap.

* * *

Diam-diam Sophie cemas juga karena sang Nenek tak juga datang. Addo sendiri sudah gelisah ingin menyusul bundanya ke rumah sakit. Melalui telepon ke pembantu di rumah sang Nenek diketahuinya sang Nenek sudah lama meninggalkan rumah, hanya berselang satu jam dari keberangkatannya tadi. Ketika ia menelepon ke ponsel sang Nenek, ada nada sambung tapi tak juga diangkat.

“Yah....” Sophie akhirnya menelepon ayahnya. “Nenek belum datang juga, padahal kata Mbak Tatik berangkatnya nggak lama sesudah kita.”

“Sophie sudah hubungi ponsel Nenek?” tanya Dendy dari seberang sana.

“Sudah, tapi nggak diangkat. Mana Addo ini ribut melulu ingin nyusul Bunda, Yah.”

“Hmm.... Ya, sudah, Ayah suruh Pak Atmo pulang, jemput Addo. Kalau kamu mau ikut juga, nggak apa-apa. Nanti biar Ayah telepon Nenek.”

“Bunda gimana, Yah?”

“Bunda nggak apa-apa. Dedek lahirnya masih lama. Kirim nomor Nenek, Phie, Ayah tunggu.”

Dendy menyudahi pembicaraannya dengan Sophie. Beberapa saat kemudian, masih melalui hubungan telepon, ia menyuruh Atmo pulang menjemput Sophie dan Addo. Diva menatapnya dengan cemas.

“Bu Rokayah belum datang, Yah?”

Dendy menggeleng. Dihapusnya keringat yang menitik di kening Diva.

“Perasaan Bunda, kok, nggak enak ya, Yah,,” gumam Diva.

“Sudah...,” tegur Dendy lembut. “Nggak usah mikirin yang lain.”

“Tapi, kan... Ad...duuuh...,” Diva merintih tertahan. “Kok, tambah mules, ya, Yah?”

“Iya, Bun,” ucap Dendy menenangkan. “Biar Dedek cepat lahir, ya? Bunda sabar, ya?”

Diva terdiam menahan sakit sambil mengangguk.

* * *



Tujuh


Dendy menyingkir sejenak beberapa saat setelah Sophie dan Addo datang. Dibiarkannya kedua anak itu menemani Diva. Ia mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Rokayah. Sekali, tak ada yang mengangkat. Dua kali, masih tetap sama. Dan, ia menghela napas lega ketika panggilan ketiga ada tanda-tanda terjawab.

Tapi napas leganya tak lagi terhela ketika mendengar jawaban dari seberang sana. Suara tegas seorang laki-laki yang mengaku sebagai seorang polisi dari daerah Pasuruan. Mengabarkan bahwa Rokayah mengalami kecelakaan lalu lintas dan sekarang sudah dibawa ke RSSA Malang. Begitu juga dengan jenazah sopirnya.

Dendy terduduk lemas. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana meneruskan kabar itu pada Diva dan anak-anak. Tapi waktu terus berjalan. Sekilas ia menatap arlojinya. Pukul delapan lewat sedikit. Perkiraan waktu lahir bayinya tinggal sekitar 2-3 jam lagi.

Meninggalkan Diva dalam kondisi seperti ini? Dendy menggelengkan kepala. Tapi membiarkan Rokayah mungkin terlunta-lunta di rumah sakit lain? Dendy kembali menggelengkan kepala. Pada akhirnya ia tak punya pilihan lain kecuali memberitahu Diva dan anak-anak soal itu. Pelan ia menyelinap masuk ke ruangan Diva.

“Nenek kecelakaan,” ucapnya kemudian, sehalus mungkin. “Mobilnya ditabrak truk.”

“Ya, Tuhan....” Diva mengucap dengan bibir bergetar. “Terus gimana dan di mana Bu Rokayah sekarang, Yah?”

“Sudah dibawa ke RSSA,” Dendy tertunduk.

“Ya, sudah Ayah ke sana dulu, urus Bu Rokayah,” ucap Diva, persis seperti yang diperkirakan Dendy.

Dendy menggeleng, “Aku nggak bisa meninggalkan Bunda dalam kondisi seperti ini.”

“Nggak bisa atau nggak mau?”

Hati Dendy runtuh melihat senyum di bibir pucat Diva. Ia mengangguk, “Nggak mau.”

“Kalau terjadi apa-apa yang nggak diinginkan pada Bu Rokayah, kita semua akan menyesal seumur hidup,” lanjut Diva.

Lama Dendy menatap Diva. Ketika ia hendak buka suara, tampaknya rasa sakit itu datang lagi. Diva tidak mengeluh, hanya memejamkan matanya. Sophie menyenggol lengan ayahnya.

“Sophie aja yang ke RSSA sama Pak Atmo,” celetuknya. “Ayah tetap di sini, nemenin Bunda.”

Dendy menoleh, menatap Sophie. Belum bisa mengambil keputusan.

“Nanti kalau ada apa-apa Sophie telepon Ayah, deh!” lanjut Sophie, tegas.

Dendy mengerjapkan mata. Melihat ketegasan Sophie sekejap Dendy sempat melupakan berapa sebenarnya umur Sophie.

“Yah, kita nggak punya pilihan lain!” Nada suara Sophie makin mendesak.

“Okelah.” Akhirnya Dendy memutuskan dengan berat hati. “Usahakan Nenek mendapat perawatan terbaik.” Dendy mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Ditariknya sebuah kartu debit dari dalamnya, dan diulurkannya pada Sophie. “Kalau perlu biaya gesek ini, Phie. Nanti Ayah kirim PIN-nya via SMS. Kalau admin sana perlu hal lain, cepat sambungkan dengan Ayah. Minta Pak Atmo masuk sama Sophie. Sophie jangan sendirian. Paham?”

Sophie mengangguk mantap. Ia menoleh ke arah Addo.

“Kamu mau di sini apa ikut Kakak, Do?”

Addo menjawab dengan cepat, “Aku ikut Kakak aja.”

Sesungguhnya Addo mulai merasa tidak tega melihat bunda kesayangannya tiap kali merasa kesakitan. Sophie menggandeng tangan Addo dan segera berlalu dari situ setelah berpamitan dan mencium pipi Diva.

Sambil berjalan menyusuri lorong rumah sakit, Sophie memencet-mencet ponsel Addo yang dipegangnya. Ponselnya sendiri entah bagaimana nasibnya. Masih tertinggal di Surabaya ataukah terbawa sang Nenek. Beberapa detik kemudian ia menempelkan ponsel itu ke telinganya.

Satu hal dilupakan Ayah, ucapnya dalam hati.

“Met malem, Om,” sapanya setelah terdengar jawaban dari seberang sana. “Om Octo bisa bantu Sophie nggak, ya?”

Kemudian secara ringkas ia menjelaskan keadaan yang sedang dihadapinya. Dan, ia tersenyum puas di ujung pembicaraan.

* * *

Octo sudah menunggu di depan UGD ketika Sophie, Addo, dan Atmo tiba. Ia kemudian mengajak mereka memutar masuk melalui lobi. Setelah menyuruh Atmo duduk saja menunggu, ia menggandeng Sophie dan Addo menjauh. Didudukkannya kedua anak itu di sofa lobi.

“Kalian tunggu dulu di sini, Om urus nenek kalian dulu, ya?”

Setelah hampir setengah jam berlalu, Octo kembali menemui kedua anak itu.

“Nenek kalian bisa dibilang nggak apa-apa,” ucap Octo. “Memang banyak mengalami benturan. Kaki kirinya patah dan tulang belakangnya ada yang retak. Tadi Om sudah urus operasi kakinya. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Sophie menghela napas lega. Ditatapnya Octo penuh rasa terima kasih. Tak lama kemudian ia menghubungi sang Ayah.

“Yah....”

“Phie, gimana Nenek?” suara Dendy terdengar penuh kekhawatiran.

“Nggak apa-apa, Yah. Ayah tenang saja. Aku tadi sambil jalan ke sini sempat minta bantuan Om Octo.”

“Ya, ampun...." Di seberang sana Dendy menepuk keningnya. “Gimana Ayah bisa lupa kalau ommu dinas di sana. Mana, Phie? Ayah mau bicara sama ommu.”

Sophie menyerahkan ponselnya ke adik ayahnya itu. Setelah pembicaraan selesai, Octo mengembalikan ponsel itu pada Sophie. Ditatapnya Sophie dan Addo bergantian.

“Ayah kalian titip pesan,” katanya. “Kalian pulang saja. Nenek kalian Om yang urus. Bunda kalian juga sudah dijaga Ayah. Atau kalau kalian mau nginep di rumah Om juga nggak apa-apa. Nanti Om teleponkan Tante.”

“Gimana, Do?” Sophie menyenggol lengan Addo.

Addo menguap sebelum menjawab, “Aku ikut Kakak aja.”

“Ya, sudah,” Sophie mengangkat bahu, ringan. Memutuskan. “Kita pulang.”

Tapi kemudian di tengah perjalanan Sophie mencolek bahu Atmo. “Pak, tolong, abis anterin Addo pulang, anterin aku balik ke RS-nya Bunda, ya?”

“Baik, Mbak.” Atmo mengangguk patuh.

“Eh! Kakak mau ke mana?” mata Addo langsung membulat.

“Ya, nungguin Dedek lahirlah, Do.”

“Aku ikut!”

“Kan, kamu ngantuk, Do,” ucap Sophie halus.

“Nggak! Nih!" Addo melebarkan matanya. “Nggak ngantuk, kan?”

Sophie tertawa lebar. Sedetik kemudian ia menganulir keputusan sebelumnya. “Ya, sudah, Pak, langsung ke tempat Bunda saja.”

* * *


 Delapan


Dendy menatap arlojinya sekilas. 12.37. Bayi perempuannya sudah lahir hampir sejam yang lalu. Cantik, sempurna, seperti bundanya. Membuat hidupnya terasa makin lengkap sebagai seorang ayah dan suami.

Baru sekarang terasa lelahnya. Ketika melihat Sophie dan Addo tidur berpelukan di sofa ruang tunggu, rasa haru muncul dalam hatinya. Ia mendekati kedua anak itu. Dengan lembut dibelainya kepala Sophie dan Addo. Rupanya sentuhan itu membuat keduanya terusik, dan secara hampir bersamaan keduanya membuka mata.

“Yah...,” gumam Sophie.

“Ya?” bisik Dendy. “Pulang, yuk!”

“Bunda gimana?” Sophie menegakkan badan sambil mengucek matanya. “Dedek?”

“Bunda nggak apa-apa. Tidur, capek. Dedek cantik, sempurna. Tapi besok pagi saja tengok lagi, ya? Ayah juga capek,” jawab Dendy.

Sophie dan Addo mengangguk berbarengan. Dendy merangkul keduanya di masing-masing sisi tubuh. Bertiga mereka meninggalkan rumah sakit itu.

* * *

Tak henti-hentinya Addo mengagumi makhluk mungil yang tampak begitu lelap dalam pelukan bundanya. Ketika ia menyusupkan jari telunjuknya ke dalam kepalan mungil sang adik, sebuah genggaman erat menyambut telunjuknya. Terasa hangat.

“Dedek...,” bisik Addo.

“Dedek cewek, nggak bisa main bola sama Abang. Abang nggak kecewa?” ujar Diva lirih.

“Enggak." Addo menggeleng mantap. “Kan, masih ada Ayah. Tapi nanti Addo ajarin Dedek biar jadi cewek perkasa yang pinter main bola. Boleh, ya, Bun?”

Hati Diva tersentuh melihat binar di mata Addo. Ia menggangguk sambil tersenyum, “Boleh....”

“Tapi...." Addo menatap Diva, tampak ragu. “Sudah ada Dedek, apa Bunda masih tetap sayang sama Kak Sophie dan Addo?”

Airmata Diva hampir runtuh karenanya. Dengan tangan kanannya yang bebas dipeluknya Addo dengan hangat.

“Sampai kapan pun Bunda tetap sayang Kak Sophie sama Addo,” jawab Diva dengan suara sedikit tercekat.


“Janji?”

“Janji,” jawab Diva, mengangguk mantap.

Addo memeluk erat Diva. “Addo sayang sama Bunda, sayang banget.”

“Bunda juga.” Diva menciumi rambut Addo yang beraroma segar shampo melon.

“Whoaaa.... Ada apa, nih, peluk-pelukan?” Sophie muncul dengan membawa kantong plastik di tangannya.

“Ini...,” jawab Diva. “Addo tanya, apa Bunda masih tetap sayang kalian walaupun sudah ada Dedek. Ya, tentu saja masihlah. Selamanya.”

“Hm...,” gumam Sophie sambil mengeluarkan kotak-kotak dari dalam kantong. “Kalau nggak sayang lagi, tinggal usir saja Bunda dari rumah. Gampang, kan? Hehehe....”

Diva tertawa mendengar nada canda dalam suara Sophie.

“Makan dulu, Do,” ujar Sophie. “Hati-hati, ya? Jangan sampai supnya tumpah.”

Tak lama kemudian Addo sudah asyik menikmati nasi, ayam goreng tepung, dan supnya. Sesekali tangannya mencomot kentang goreng dan mencocolkannya ke sambal. Sophie menatap adiknya sambil tersenyum.

“Kamu nggak makan sekalian, Phie?” tegur Diva halus. “Makan dulu, ‘gi!”

“Biar Addo duluan, Bun,” senyum Sophie.

Sophie mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipi halus adiknya. Ia tersenyum.

“Aku sudah lama ingin dedek cewek,” bisik Sophie. “Makasih, ya, Bun....”

Diva mengelus kepala Sophie. “Ingatkan nanti kalau Bunda kelupaan bersikap nggak adil sama kalian, ya, Nak?”

Sophie menggeleng. “Kayaknya nggak bakalan. Aku percaya Bunda nggak bakalan melakukannya.” Dikedipkannya sebelah mata.

Diva tertawa, membuat si kecil menggeliat dalam pelukannya. Diva menepuk-nepuk lembut paha si kecil.

“Eh, Bun,” Sophie menatap Diva ragu. “Nenek gimana dong, nantinya? Setelah keluar dari rumah sakit?”

“Ya, sementara biar tinggal di rumah kita dulu, Phie,” jawab Diva mantap. “Sambil menunggu pulih betul. Kasihan kalau langsung dipulangkan ke Surabaya.”

“Nggak gampang, lho, Bun, berhadapan sama Nenek.”

“Iya, Bunda tahu." Diva mengangguk. “Ayah tadi bilang sama Bunda, kayaknya mau sewa tenaga perawat khusus buat Nenek.”

“Ya, iyalah, Bun. Daripada Bunda kerepotan sendiri. Urus Dedek, urus Nenek. Kalau nanti sudah masuk sekolah lagi, kan, Sophie nggak bisa bantu banyak. Tapi semoga nyinyirnya Nenek berkurang, ya, Bun?”

“Amin...,” jawab Diva.

“Kak, makan dulu. Aku sudah selesai, nih!” celetuk Addo.

“Sana, Phie.” Diva menepuk lembut pipi Sophie.

Sophie mengangguk dan beranjak.

* * *

Pelan Rokayah mengerjapkan matanya. Ada banyak rasa sakit, ngilu bercampur rasa dingin, hampa. Juga aroma asing yang terasa begitu bersih. Kembali ia mengerjapkan mata.

“Bu.... Ibu sudah sadar?”

Rokayah mengerutkan kening. Sekejap seisi kepalanya serasa berputar dan ia mengeluh pendek.

“Kalau masih pusing merem saja dulu, Bu.”

Ketika pening itu berlalu, Rokayah kembali mencoba membuka matanya. Pertamanya adalah segala macam bayang buram mengumpul jadi satu. Tapi setelah beberapa kali mengerjapkan mata, fokusnya mulai kembali.

“Bu, jangan banyak bergerak dulu, ya?”

“Aku... kenapa?” Rokayah menatap laki-laki berjas putih itu, berbisik nyaris tak terdengar.

“Ibu mengalami kecelakaan. Sekarang dirawat di rumah sakit. Jangan khawatir, Bu. Ibu pasti segera pulih.”

Rokayah kembali mengerjapkan mata. Perasaan hampa itu kembali muncul. Seolah menelannya dalam kegelapan besar yang entah di mana ujung-pangkalnya. Ketika sebuah kesadaran muncul, ia nyaris berteriak panik. Tapi yang menggema hanya sebuah bisikan samar yang membuat laki-laki berjas putih itu tertegun sejenak.

“Aku... siapa?”

* * *



Sembilan


Amnesia...

Dendy mengusap wajahnya. Ditatapnya perempuan tua yang tengah tertidur lelap itu dengan berbagai perasaan teraduk jadi satu. Seorang Rokayah yang tidak amnesia saja sudah cukup merepotkan apalagi yang amnesia.

Dihelanya napas panjang dengan berat. Kapanpun ingatan itu bisa saja kembali. Tapi bisa juga tidak. Apa yang akan terjadi nanti? Dendy menggelengkan kepalanya perlahan. Tidak tahu. Ia sama sekali tak punya bayangan.

“Seandainya Nenek bisa jadi nenek yang menyenangkan, aku bakalan senang banget.”

Dendy tersentak mendengar gumaman itu. Ia menengok ke arah kiri dan mendapati Sophie tengah menatap ke arah sosok yang sedang terbaring itu dengan mata setengah menerawang. 

Nenek yang menyenangkan? Bisakah?

Sebuah gerakan menyentakkan Dendy kembali. Dan, begitu saja mata itu terbuka. Tanpa disadari, pelan Sophie merapat ke tubuh Dendy.

“Siapa?” Bisikan itu terdengar begitu putus asa, begitu menyayat.

Pelan Dendy mendekat, dengan Sophie masih menempel di sisinya.

“Dendy, Bu,” bisik Dendy lembut. “Anak Ibu.”

Ketika kalimat itu terucap begitu saja, Dendy sendiri sempat terhenyak sekejap. Anak Ibu? Ia menelan ludah. Dirasanya Sophie menyenggol tangannya, tapi Dendy diam saja.

Lalu tatapan Rokayah berlabuh pada wajah Sophie. Gadis itu itu memutuskan untuk lebih mendekat dan mengikuti ‘permainan’ ayahnya.

“Nek...,” bisik Sophie lembut. “Nenek lupa, ya, sama Sophie? Cucu Nenek.”

Rokayah mengedipkan matanya. Sebuah kekosongan yang gelap masih mengisi sebagian hatinya. Tapi senyum gadis muda yang mengaku cucunya itu pelan-pelan mulai menghangatkan hatinya. Sebuah genggaman terasa di tangannya. Rokayah membalas genggaman tangan itu. Beberapa detik kemudian ia kembali mengatupkan matanya.

Dendy terpaksa menurut ketika Sophie menarik paksa tangannya, hendak keluar ruangan. Di sebuah sudut mereka berhenti.

“Kalau Ayah mengaku anak Nenek, bukannya itu bagus?” celetuk Sophie.

“Maksudmu?”

Sophie agak jengkel juga mendengar tanggapan ayahnya yang terdengar agak ‘bodoh’ di telinganya.

“Ya, kan, kita bisa mengubah Nenek, Yah!" Suara Sophie terdengar bernafsu. “Nenek itu lagi kosong. Kalau kita isi sama banyak hal baik, kan, jadinya bagus.”

Dendy menatap putrinya dengan takjub. Pelan-pelan ia mulai bisa menangkap maksud Sophie.

“Jadi....”

Sophie menatap ayahnya dengan mata berbinar.

* * *

“Jadi, selama ini aku tinggal di rumahmu?”

Sophie menggeleng sambil menatap Rokayah, polos. Rokayah menatapnya, tak mengerti.

“Nenek tinggal di Surabaya sama ART Nenek,” jawab Sophie jujur sambil menyodorkan jeruk yang sudah dikupasnya bersih. “Namanya Mbak Tatik.”

Rokayah mengerutkan kening. "ART?"

"Asisten rumah tangga, Nek," jawab Sophie sabar. "Pembantu.'

“Oh.... Terus, gimana aku bisa sampai ke sini?”

“Bunda aku mau lahiran, Nek,” jawab Sophie lagi, tetap sabar. “Jadinya Nenek jalan ke sini. Kan, selama ini Nenek sayang banget sama bunda aku. Sayang banget sama Ayah, sama Addo, sama aku.”

Tuhan..., ampuni dosaku.... Sophie diam-diam mengucap doa dalam hati.

“Addo?” Rokayah kembali mengerutkan kening.

“Adik aku, Nek....” Sophie mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

Sebuah tablet. Setelah beberapa detik menyentuh-nyentuh layar tabletnya, disodorkannya tablet itu pada sang Nenek. Rokayah menerima dan menekuni tablet itu. Sophie kemudian pindah duduk di sebelah neneknya. Ia mulai menunjuk satu-satu wajah yang terpampang jelas pada layar tablet.

“Ini Ayah Dendy, anak Nenek. Ini Bunda Diva, menantu kesayangan Nenek, lagi gendong Baby Mimi yang baru lahir empat hari lalu. Ini Addo. Ini aku. Harusnya Nenek ada juga di foto ini, tapi....”

Sophie merasa hampir lumpuh ketika sebuah belaian terasa hangat di punggungnya. Nenek membelaiku? Sophie memejamkan mata. Dan, ketika belaian itu naik ke kepalanya, ke pangkal semua rambutnya, Sophie hampir saja lupa bernapas.

“Pantesan ibumu belum pernah jenguk Nenek, ya?” guman Rokayah.

“Iya, Bunda baru boleh keluar dari rumah sakit hari ini." Suara Sophie sedikit tercekat. “Tapi nanti kalau Nenek sudah boleh pulang pasti ketemu juga.”

Rokayah mengembalikan tablet itu pada Sophie. Ia memejamkan mata. Perlahan rasa hangat itu berkumpul dalam setiap ruang kosong hatinya. Mengusir rasa dingin yang entah kenapa menyelimutinya sejak pertama ia menyadari keberadaannya.

Hilang ingatan....

Rokayah menghela napas panjang. Tentunya kehilangan semua kenangan manis bersama semua manusia yang tersenyum dalam layar tablet tadi.

“Nek... Nenek istirahat dulu, ya?” ucap Sophie lembut. “Biar Nenek cepat sembuh. Biar cepet pulang ke rumah kita.”

Rokayah mengangguk lemah. Sesungguhnya rasa pusing mulai menyerang kepalanya.

Setelah dilihatnya sang nenek tertidur lelap, Sophie buru-buru melangkah keluar. Dadanya terasa sesak, entah kenapa. Tanpa bisa dicegah ia menubruk seseorang di depan pintu.

“Hei, Phie! Kenapa?”

Sophie mendongak. Ketika melihat siapa yang ditubruknya ia langsung memeluk orang itu. Menumpahkan airmata yang tidak bisa lagi ditahannya.

“Om...,” ucapnya di antara sesenggukannya.

Octo memeluk Sophie erat dan membiarkannya menumpahkan segala rasa yang menyesakkannya.

* * *



Sepuluh


“Om, kalau Nenek ingatannya kembali, terus jadi jahat lagi, gimana?”

Hati Octo benar-benar tersentuh melihat ekspresi Sophie yang sungguh memelas. Tapi ia tahu harus jujur.

“Ya, mau gimana lagi, Phie?" Octo membelai kepala Sophie. “Kalau itu watak asli nenekmu, ya, kemungkinan besar akan kembali seperti semula.”

Sophie tertunduk. “Tapi kalau harus diingatkan sekarang kasihan Nenek juga, Om. Kan, masih mendingan sementara tinggal di rumah daripada di Surabaya.”

“Semuanya butuh proses, Phie,” ucap Octo sabar. “Juga kembalinya ingatan nenekmu. Soal amnesia, semuanya serba nggak pasti. Bisa saja ingatan nenekmu cepat kembali begitu saja, bisa juga nanti entah kapan. Jadi sementara ini biar saja semuanya berjalan seperti yang kalian mau. Lagian apa juga salahnya jadi nenek yang baik-baik?”

Sophie menghela napas panjang. Ditatapnya Octo dengan senyum mulai terbit di wajahnya. Sepertinya semua akan berjalan baik-baik saja. Setidaknya ia sangat menginginkan hal itu terjadi.

* * *

Rokayah merasakan hangatnya genggaman laki-laki kecil yang berjalan di sebelah kursi rodanya itu. Sejak pertama kali bertemu dengan anak laki-laki itu, ia sudah merasa jatuh cinta. Anak laki-laki-laki itu nyaris sama persis dengan kakaknya. Manis, sopan, pintar, dan terlihat sangat menyayanginya. Pelan, digenggamnya lebih rapat jemari Addo, laki-laki kecil itu.

“Addo senang Nenek ikut pulang ke rumah Addo?” Rokayah menoleh, tersenyum.

“Banget!” Addo tersenyum lebar dengan wajah secerah mentari pagi. “Addo, kan, sayang Nenek.”

Hati Rokayah makin runtuh karenanya. Pun, ketika Dendy mengangkatnya dari kursi roda ke dalam mobil. Terasa sekali ada pancaran kasih sayang yang begitu besar dari seorang anak ke ibunya.

Ketika mobil mulai bergerak meninggalkan halaman rumah sakit, Rokayah menatap dengan sendu keluar jendela. Sepertinya banyak sekali ingatan manis tentang semua miliknya yang harus terhapus karena kecelakaan itu. Sayang sekali... Sungguh pun semuanya sudah terasa begitu lengkap, tapi masih ada kekosongan yang terasa menganga gelap di sudut hatinya. Ia kesulitan untuk menjabarkannya karena ia sendiri sama sekali tak punya bayangan kekosongan itu tentang apa.

Dari tempatnya duduk di sebelah Dendy, ia mendengar celoteh kedua anak itu, Sophie dan Addo, di jok belakangnya. Terdengar begitu akrab dan riang.

“Keberisikan, ya, Bu?”

Rokayah tersentak. Ia menoleh ke arah Dendy.

“Biar saja,” senyumnya. “Kedengarannya lucu, kok!”

Dendy seketika tercekat. Sama sekali bukan seorang Rokayah! Rokayah yang ‘asli’ sangat tidak menyukai keberisikan anak-anak, juga keberisikan kedua cucunya itu. Bagaimana mungkin? Betulkah sebegitu dahsyatnya amnesia itu mengubah seorang Rokayah?

“Istrimu... Nggak apa-apa kalau aku sementara ikut kamu, Den?”

Spontan Dendy menggeleng cepat. “Sama sekali enggak, Bu. Dia malah senang Ibu sementara tinggal di rumah. Dia sudah nggak punya ibu lagi. Makanya dia, kan, sayang sama Ibu.”

“Bayimu pasti lucu sekali, Den...,” desah Rokayah.

“Sebentar lagi juga ketemu,” senyum Dendy sambil menepuk lembut punggung tangan Rokayah.

Dan, ketika mobil yang mereka tumpangi berbelok masuk ke carport sebuah rumah, Rokayah merasa tak asing lagi dengan tempat itu. Ia mengerutkan kening, sejenak menikmati ketidakasingan itu. Ketika ia sudah duduk di atas kursi roda dan mulai didorong ke teras, pintu rumah terbuka.

“Bu....”

Seorang perempuan cantik hampir berlari menyambutnya, kemudian memeluknya erat. Lama. Membuat Rokayah kembali diliputi kehangatan luar biasa yang sangat membuatnya tenteram. Sepenuh hati ia membalas pelukan itu.

“Diva senang Ibu mulai pulih,” ucap perempuan itu. “Mimi pasti juga senang sekali berkenalan dengan neneknya.”

Bayi itu...

Rokayah kemudian tak henti mengagumi garis wajah bayi perempuan itu. Begitu halus, begitu manis, begitu cantik. Dan, entah untuk keberapa kalinya kehangatan menyelimuti hatinya dalam jangka waktu beberapa hari ini.

Sejenak kemudian ia menoleh ke arah Dendy. “Ada foto-foto yang bisa kulihat?”

Dendy langsung bertatapan dengan Diva. Beberapa detik keheningan menguasai ruangan itu hingga Dendy berucap lirih, “Ada, Bu, di laptop.” Terdengar begitu berat dan seolah dihimpit tekanan.

* * *

Benda itu sepertinya juga tak asing buatnya. Sekejap saja Rokayah sudah menguasainya dan sibuk mengamati foto-foto dalam salah satu file laptop itu. Banyak keceriaan yang ditemukannya di sana. Hanya saja ia menemukan satu keanehan.

Tak ada satu pun dirinya di sana.

“Aku nggak pernah ikut difoto?” celetuknya.

“Ibu nggak terlalu suka difoto,” jawab Dendy, terdengar sekenanya.

Rokayah mengerutkan kening. “Ada foto anak-anak waktu masih kecil, kan?”

“Ada....” Suara Dendy terdengar ragu-ragu.

Tapi dikliknya juga salah satu file. Rokayah kembali mengamati foto-foto itu. Ada banyak foto bayi, anak perempuan, dan anak laki-laki. Pun, ada satu wajah perempuan yang begitu sering muncul dalam foto itu. Sesekali ia menemukan juga wajah yang kelihatannya tak asing lagi. Wajahnya.

“Ini siapa?” Rokayah menunjuk sosok perempuan yang tengah menggendong bayi Addo.

“Itu... Ainna...,” jawab Dendy nyaris tak terdengar.

“Siapa?” Rokayah menoleh, menatap Dendy.

“Ainna,” ulang Dendy. “Mama Sophie dan Addo.”

“Maksudmu?” Rokayah membulatkan matanya.

“Ainna, Bu, dia mama Sophie dan Addo,” jawab Dendy. “Diva istri baruku.”

“Kalian bercerai?” suara Rokayah terdengar seperti menuntut penjelasan.

Dendy menggeleng. “Ainna meninggal empat tahun lalu. Bu. Aku baru setahun menikah dengan Diva. Anak-anak butuh ibu, dan Diva ibu yang baik buat anak-anak.”

Rokayah tak mau memungkiri itu. Dari banyak cerita yang diserapnya dari Sophie dan Addo sebelum ia pulang ke rumah itu, sedikit-sedikit ia bisa membayangkan seperti apa sosok Diva itu. Tapi seolah-olah ada alarm yang berdenting di kepalanya.

Entah sejak kapan berbunyinya. Entah untuk apa.

* * *



Sebelas


Hari-harinya di tempat itu sangat hangat dan indah. Entah kenapa Rokayah merasa bahwa ia belum pernah mengalami hal itu sebelumnya. Meskipun Dendy menyewa seorang perawat khusus untuknya, tapi Diva selalu meluangkan waktu untuk melayaninya di tengah kesibukan mengurus anak-anak. Dan, anak-anak itu, mereka adalah anak-anak paling manis yang pernah dirasanya.

Tak bosan tiap hari Diva menanyakan “Ibu mau makan apa hari ini?” sementara jawabannya adalah sama. Ia menggelengkan kepala karena belum mampu mengingat satu pun nama makanan yang mungkin pernah dikenalnya. Dan, Diva akan memilih sendiri menu yang selalu menggugah selera yang semuanya dimasaknya sendiri. Bukan makanan yang mewah. Hanya makanan biasa. Tapi rasanya sungguh istimewa.

Anak-anak manis itu tak hentinya berceloteh sepanjang hari. Sophie akan mendorong kursi rodanya ke ruang kerja Dendy yang penuh dengan segala macam buku, dan Addo akan menyodorkan buku-buku bergambar padanya. Dengan antusias pemuda kecil itu menunjuk gambar ini-itu yang mungkin bisa membantu ingatannya kembali.

Mereka akan tertawa bersama bertiga. Kadang-kadang Diva ikut bergabung dengan Mimi. Ia senang sekali menggendong bayi mungil itu. Sebuah rasa yang sepertinya belum pernah ia peroleh.

Kadang-kadang mereka membiarkannya sendirian di dalam ruang kerja Dendy. Ketika ia mencoba untuk menggali ingatannya melalui foto-foto yang pernah Dendy tunjukkan padanya. Tapi entah kenapa ketertarikannya selalu tertuju pada seraut wajah itu.

Ainna. Istri pertama Dendy.

Mengapa ada sesuatu di dasar hatinya yang mengepak seperti sayap kupu-kupu? Menimbulkan debar yang ia tak tahu muncul dari sudut yang mana.

Ada apa sebenarnya?

* * *

“Ibu, kok, belum tidur?”

Rokayah tersentak dari lamunannya. Layar laptop masih berkedip di depannya. Dendy baru saja pulang kerja dan bermaksud meletakkan tasnya di atas meja.

“Sudah malam, ya?” gumam Rokayah.

“Hampir jam sepuluh,” jawab Dendy.

“Kamu baru pulang?”

Dendy mengangguk, tersenyum. “Sudah sepi.”

“Den....”

"Ya, Bu?” Dendy membatalkan niatnya untuk keluar dari ruangan itu.

“Ainna... Kenapa dia meninggal?”

Dendy perlahan duduk di kursi di dekat Rokayah. “Kecelakaan, Bu. Bersama selingkuhannya. Laki-laki itu juga mati.”

“Selingkuh itu apa?”

“Punya pacar lagi, Bu.” jawab Dendy sabar.

“Oh...." Rokayah membundarkan mulutnya. “Anak-anak pasti sedih sekali.”

Tapi Dendy menggeleng. “Nggak terlalu juga. Ainna nggak dekat sama anak-anak. Dia seperti punya dunia sendiri, Bu.”

“Tapi kenapa Ibu merasa dekat dengan Ainna, ya?” gumam Rokayah. “Ah, perasaanku memang kacau.”

Sementara itu Dendy menatap Rokayah dengan jantung berdebar lebih kencang.

“Den, Ibu capek, mau tidur,” ucap Rokayah sambil menguap. “Antar Ibu ke kamar, ya?”

Dendy mengangguk sambil berdiri.

* * *

Jawaban tentang Ainna yang kemudian ia peroleh dari Sophie, Addo, dan Tini seragam dengan jawaban yang diberikan Dendy. Intinya, Ainna bukanlah istri dan ibu yang baik. Justru Diva, yang datang kemudian, yang berhasil memenuhi peran itu dengan sempurna. Bahkan setelah ia mempunyai bayi kecilnya sendiri. Perhatian dan rasa sayangnya pada Sophie dan Addo tak pernah berkurang sedikit pun.

Entah kenapa ia sangat ingin mendengar pendapat dari Diva soal Ainna. Ada dorongan yang tak bisa ia bendung dan kendalikan.

“Seperti apa Ainna yang kamu tahu, Div?”

Diva yang baru saja selesai menidurkan Mimi tersentak mendengar pertanyaan itu. Ditatapnya Rokayah dengan ragu. Tapi pandangan Rokayah seakan menuntut. Ia kemudian memutuskan untuk mendorong kursi roda Rokayah menuju ke teras samping.

“Nggak terlalu banyak, Bu,” jawab Diva sambil duduk di dekat Rokayah.

“Tapi kamu tahu sejarahnya dia punya pacar lagi yang meninggal bareng dia itu?” tatapan Rokayah terdengar menyelidik.

“Tahu, Bu,” Diva tertunduk. “Karena laki-laki itu suami saya.”

Rokayah ternganga menatap Diva. Seketika ia merasa bahwa kapasitas kepalanya sudah terlalu penuh dengan rangkaian cerita yang ia sendiri berkemauan untuk mengetahuinya.

Mendadak Rokayah merasa pening. Bersamaan dengan itu terdengar teriakan Sophie, “Buuun! Mimi nangiiis!”

* * *

Potongan-potongan mimpi itu terserak bagai puzzle yang Rokayah sendiri kesulitan untuk merangkainya. Ada banyak wajah Ainna di dalamnya. Rokayah makin kebingungan. Hingga ia ingat masih mempunyai satu tempat lagi untuk mencoba mengais kotak berisi potongan puzzle itu. Setidaknya ia ingat bahwa Sophie pernah mengatakan bahwa selama ini ia tinggal di Surabaya.

Dengan suara lirihnya pagi itu ia mengutarakan keinginannya pada Dendy, “Den, Ibu mau pulang.”

“Maksud Ibu?” Serta-merta Dendy meletakkan cangikir kopinya.

“Selama ini aku tidak tinggal di sini, kan?” Rokayah mengerjapkan matanya. “Aku punya rumah sendiri, kan?”

“Iya, tapi....”

“Ibu ingin pulang, Den.”

Dendy bertatapan dengan Diva.

Bagaimana ini? Mata Diva mengirimkan sinyal itu.

Kucoba untuk menundanya. Mata Dendy mengirimkan sinyal balasan. Ia kemudian kembali menatap Rokayah.

“Bu, gimana kalau dua-tiga hari lagi?” ucapnya hati-hati. “Kasih aku kesempatan untuk cari mobil buat Ibu. Mobil Ibu yang lama sudah nggak bisa dipakai lagi. Kalau sopir, sepertinya Atmo bisa ikut Ibu sementara waktu. Gimana, Bu?”

Rokayah tercenung sejenak. Sepertinya ia tak punya pilihan lain.

Berat rasanya harus bersiap meninggalkan kehangatan tempat itu. Tapi Rokayah merasa harus melakukannya agar ingatannya kembali. Sehingga ia tak lagi dihantui perasaan penasaran yang terasa tak berujung.

Ditatapnya Dendy. “Baik. Kamu aturlah, Den.”

* * *


  Dua Belas


Atmo membunyikan klakson di depan rumah besar bercat kuning gading itu. Tak berapa lama terlihat Tatik tergopoh-gopoh lari dari dalam rumah. Dengan cekatan perempuan itu kemudian membuka pintu pagar lebar-lebar. Atmo pun meluncurkan mobil hingga berhenti di carport.

Setelah menutup kembali pintu pagar, Tatik berbalik dan melangkah ragu-ragu mendekati Atmo yang tengah menurunkan kursi roda dari bagasi dan kemudian membantu Rokayah keluar dari mobil.

“Bu...,” sapa Tatik, tersenyum.

Rokayah mengerutkan keningnya, “Siapa?”

“Tatik, Bu, pembantu Ibu,” jawab Tatik.

Ia tak lagi heran dengan kondisi Rokayah yang kehilangan memorinya. Dendy sudah mengatakan padanya jauh hari, sejak pertama kali Rokayah mengalami kecelakaan. Juga kemarin ketika menyuruhnya bersiap menyambut kepulangan Rokayah. Pelan didorongnya kursi roda Rokayah, masuk ke dalam rumah.

Rokayah menatap setiap dinding dan semua perabot yang ada di sekelilingnya. Semua terasa hangat dan akrab. Tapi entah kenapa terasa tak sehangat suasana di rumah Dendy. Tatik mendorongnya ke teras samping.

“Ini tempat kesukaan Ibu,” celetuk Tatik.

“Kamu sudah berapa tahun ikut aku?” Rokayah menoleh ke arah Tatik.

“Sudah lama, Bu, ada dua puluh tahunan. Sejak saya lulus SD.”

“Oh...,” gumam Rokayah.

“Bu, saya urus Pak Atmo dulu, ya? Kalau butuh apa-apa Ibu tinggal teriak saja panggil saya.”

Sepeninggal Tatik, Rokayah termenung sendirian di teras samping. Perasaan kosong itu muncul lagi. Dingin. Hampa.

Hmm... Aku benar-benar tersingkir di sini hanya bersama pembantu dan sopir, gumam Rokayah sedih.

* * *

Dendy dan Diva saling menatap ketika melihat Sophie dan Addo tampak tak bersemangat menyuap makanan ke mulut mereka masing-masing. Celoteh keduanya seperti biasanya pun tak terdengar lagi.

“Kok, sepi amat, ya?” Dendy mencoba memecah keheningan itu dengan celetukannya.

Alih-alih menjawab, Sophie dan Addo hanya sekejap melirik acuh tak acuh padanya. Dendy dan Diva kembali saling menatap.

“Kangen sama Nenek, ya?” ucap Diva lirih.

Sophie dan Addo sama-sama mengangguk. Padahal baru juga tadi pagi Rokayah meninggalkan rumah itu. Tapi seharian ini sepertinya ada sesuatu yang kurang.

“Kalau Nenek ingat semuanya, terus kembali seperti biasanya, gimana, dong?” Sophie melanjutkan ucapannya dengan helaan napas panjang.

Dendy terdiam sejenak sebelum menjawab, “Ya sudah, mau gimana lagi? Sejak awal kita juga sudah salah bikin sandiwara yang enggak-enggak.”

Terdengar beberapa helaan napas panjang yang bersahutan.

“Tapi, kan, sebenernya Nenek itu baik,” ucap Addo. “Kita baikin kayak kemarin juga Nenek baik.”

“Itu karena Nenek nggak ingat apa-apa, Do,” tukas Sophie. “Coba kalau normal. Nenek, ya, gayanya tetap nenek sihir.”

“Mending Nenek nggak usah ingat lagi yang dulu-dulu,” gumam Addo.

Dan, semuanya seolah sepakat dengan gumaman Addo.

Rokayah memang justru jauh lebih menyenangkan saat amnesia. Berubah jadi Nenek impian bagi Sophie dan Addo, dan juga sosok ibu yang menyenangkan bagi Dendy dan Diva. Entah kenapa di saat normal justru sangat menyebalkan.

* * *

Rokayah duduk tercenung di depan cermin besar di dalam kamarnya. Ditatapnya bayangan dirinya sendiri pada cermin itu. Sosok tua yang sendirian dan kesepian.

Seperti itukah kehidupanku sebenarnya? gumam Rokayah sedih. Jauh dari orang-orang yang menyayangiku?

Saat itu Tatik masuk sambil membawa nampan berisi teh lemon. Diletakkannya cangkir teh lemon itu di meja di depan jendela.

“Tehnya, Bu,” ucap Tatik halus.

Rokayah mengangguk sedikit. Susah-payah ia memutar kursi rodanya.

“Tik,” ditatapnya Tatik. “Kenapa aku terpencil di sini sendirian?”

Tatik menatap Rokayah ragu-ragu. Tapi tatapan Rokayah yang menuntut jawaban memuatnya duduk di sofa kecil di depan cermin. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Rokayah.

“Ibu nggak suka keramaian,” jawab Tatik, jujur. “Anak-anak nggak pernah kerasan di sini. Ibu galak.”

Rokayah terbengong menatap Tatik. Aku? Galak pada anak-anak manis itu?

“Ibu juga nggak pernah suka sama Bu Diva,” lanjut Tatik. “Padahal Bu Diva itu baiiik sekali orangnya.”

Rokayah makin terbengong. Aku tidak suka Diva? Yang sudah menyayangiku sedemikian rupa? Meskipun ia tidak berada dalam kondisi normal tapi kelihatannya perasaannya belumlah mati. Ia bisa merasakan ketulusan Diva dalam segala kebaikan yang dilakukan perempuan itu padanya sepanjang ia tinggal di rumah Dendy.

“Non Sophie dan Gus Addo itu juga bukan anak-anak nakal." Ucapan Tatik seolah kembali merajam Rokayah tanpa ampun. “Sebenarnya semua sayang sama Ibu, cuma Ibu memang orangnya kaku. Sebetulnya Ibu itu juga baik. Makanya saya betah di sini sampai selama ini. Cuma kadang-kadang Ibu itu sinis gitu, padahal juga nggak ada apa-apa.”

Rokayah tercenung lama. Tapi sepotong nama itu mendesak keluar begitu saja. Dan ia mengucapkannya setengah menerawang. Tatik hampir tersedak mendengarnya.

“Kalau Ainna? Dia orangnya seperti apa?”

* * *



Tiga Belas


Ponsel yang bergetar di atas meja itu membuat Dendy mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Diraihnya benda itu dan keningnya langsung berkerut ketika melihat nama yang tertera di layar.

“Ya, Mbak Tatik? Ada apa?” tanyanya langsung.

“Aduh, Pak... ” Terdengar bisikan  bernada panik dari seberang sana. “Bu Sepuh tanya soal Mbak Ainna, saya harus jawab gimana?”

Dendy tercenung. Nampaknya sandiwara itu harus berakhir lebih cepat.

“Pak... Pak Dendy....”

“Ehm... Ya, Mbak. Sudahlah Mbak Tatik terserah mau ngomong apa,” Dendy segera memutuskan. “Kita mau bohong terus, nanti juga lama-lama terbongkar.”

“Jadi saya ngomong jujur saja, ya, Pak?” bisikan Tatik terdengar ingin memastikan.

“Iya, Mbak,” tegas Dendy. “Mbak jawab jujur saja apa yang Ibu tanyakan.”

“Baik kalau begitu, Pak.”

Dihelanya napas panjang begitu pembicaraan itu berakhir. Dendy menatap mendung yang menggantung di langit di luar jendela. Sudahlah, apa yang akan terjadi, terjadilah, ia memutuskan untuk menyerah.

* * *

Tatik tergopoh-gopoh kembali ke kamar Rokayah.

“Gosong beneran ayamnya?” tanya Rokayah.

“Hampir, Bu,” jawab Tatik. “Untung tadi ingat.”

“Terus?”

Tatik menatap Rokayah. “Mbak Ainna?”

Rokayah mengangguk.

“Ehm....” Tatik berdehem sebelum melanjutkan bicaranya. “Mbak Ainna itu persis Ibu. Kaku. Dingin. Sama anak-anak juga seperti itu. Makanya waktu Mbak Ainna meninggal, anak-anak juga nggak begitu kehilangan mamanya.”

“Kamu tahu Ainna selingkuh?”

Tatik menatap Rokayah. Putus asa. “Ibu benar-benar nggak ingat apa-apa?”

Rokayah menggeleng. Tatik menghela napas panjang.

“Saya tahu, Bu,” jawab Tatik dengan berat, tertunduk. “Ibu juga tahu.”

“Hah?” Rokayah menegakkan punggungnya. “Terus?”

“Mbak Ainna, kan, meninggalnya habis dari sini. Mengenalkan pacarnya itu sama Ibu. Sekalian bilang mau cerai dari Pak Dendy. Ibu marah, mengusir Mbak Ainna. Terus... Mobil Mbak Ainna terbalik di Purwodadi.”

Rokayah pusing seketika. Digapaikannya tangan pada Tatik.

“Aku mau tiduran,” bisiknya.

Dengan sigap Tatik membantu Rokayah mencapai tempat tidurnya dan berbaring di sana.

“Dia berani datang padaku?” gumam Rokayah dengan mata terpejam. “Beraninya...”

Tatik diam menatap Rokayah. Ia tahu tak perlu membeberkan fakta yang tak ditanyakan Rokayah. Ketika melihat Rokayah masih memejamkan matanya, pelan-pelan Tatik beringsut keluar, hendak menyiapkan makan siang Rokayah.

* * *

Dan, lagi-lagi rasa sunyi itu menghantam malam yang turun di sekeliling Rokayah. Dalam hening ia berbaring di atas kasur lebarnya. Matanya menjelajahi setiap sudut langit-langit. Berusaha merangkai puzzle yang masih tercecer sedemikian rupa.

Tiap kali ia mencoba memejamkan mata, tiap kali pula potongan-potongan puzzle tak beraturan menghujani ingatannya yang terkoyak. Sebagian besar tentang sepotong nama Ainna.

Rokayah mengerutkan kening. Ketika tatapannya berkeliling lagi, mendadak ia terpaku pada laci di bagian bawah lemari berukir itu. Susah-payah ia bangun dan dengan kursi rodanya mendekati laci itu.

Entah kenapa laci itu seolah memiliki magnet yang begitu kuat sehingga matanya tak mau lepas dari sana. Dilupakannya sengatan nyeri di punggungnya ketika mencoba membungkuk untuk menggapai laci itu.

Dan, ketika laci itu terbuka, semua puzzle yang bertebaran di penjuru benaknya terangkai begitu saja. Tumpukan album foto yang kemudian terbuka sudah menceritakan semuanya.

Laki-laki itu Herjuno, suaminya. Juga putrinya, Ainna.

Rokayah terhenyak. Anakku Ainna, bukan Dendy. Seketika kenyataan itu serasa melumpuhkan separuh otaknya. Dan, begitu saja kenangan terakhirnya bersama Ainna tergambar sempurna bagaikan film yang utuh berputar di depan matanya.

* * *

“Siapa laki-laki itu?” Rokayah mengerutkan keningnya.

“Pacarku, Bu,” jawab Ainna ringan.

“Kamu sudah gila!” sentak Rokayah.

“Aku sudah bosan dengan Mas Dendy. Datar.”

“Kamu memang anak ayahmu,” desis Rokayah. “Pengkhianat!”

“Bu!” Ainna menatapnya dengan tajam. “Sudah nggak ada yang bisa dipertahankan dalam pernikahanku. Sudah kubilang aku bosan dengan Mas Dendy. Orang, kok, nggak ada dinamis-dinamisnya.”

“Ingat anak-anakmu!” Rokayah melebarkan matanya.

“Punya anak itu merepotkan, Bu,” ucap Ainna, acuh tak acuh.

Rokayah tak lagi mampu berkata-kata. Apalagi mendengar ucapan Ainna selanjutnya.

“Aku akan segera menggugat cerai Mas Dendy. Ludy juga akan segera menceraikan istrinya. Lalu kami akan menikah.”

Semudah itu?

Rokayah menatap Ainna dengan kemarahan bertumpuk. Seutuhnya ia sudah gagal menjadikan Ainna sebagai perempuan baik-baik. Ainna justru terlihat makin liar dengan bertambahnya usia. Perasaan gagal itu pula yang membuatnya mengusir Ainna dengan murka.

“Sekarang, kamu keluar dari rumah ini!” suara Rokayah yang begitu menggelegar mengagetkan Ainna. “Dan, jangan pernah kembali lagi kemari dengan laki-laki itu!”

* * *

Selanjutnya memang Ainna-nya tak pernah kembali.

Rokayah menutup album itu dengan segenap airmata yang telah tertahan sekian tahun di balik ketegarannya sejak perasaan lara ditinggal Herjuno. Ia kini tak punya lagi alasan untuk menahannya.

Ia membiarkan saja aliran itu merangkum semua tangis yang dimiliki dan disembunyikannya selama bertahun-tahun. Apalagi ketika ia menyadari sebuah kenyataan yang menghantamnya kemudian.

Dendy sudah melakukan kebohongan yang begitu besar. Memberinya harapan yang hangat dan terasa begitu damai. Padahal kenyataannya, ia benar-benar sendirian.

* * *


Empat Belas


Kata ‘kenapa’ memenuhi benak Rokayah beberapa hari ini, sejak ia berhasil mengingat semuanya. Tapi ia berusaha menahan diri walaupun ada rasa sedih dan amarah datang silih berganti.

Di depan Tatik dan Atmo ia tetap bersikap bodoh seolah-olah ia masih kehilangan ingatan. Pelan-pelan ia menata hati. Apalagi ia menerima telepon dari cucu dan ‘anak’-nya tiap hari. Menanyakan apakah ia baik-baik saja.

Setiap pembicaraan jarak jauh melalui telepon itu sungguh menghangatkan hatinya. Ia jadi menunggu-nunggu waktu itu datang setiap harinya. Tapi di saat ia duduk sendirian dalam hening, kemarahan kembali menguasainya.

Kenapa harus berbohong?

Rokayah menatap cermin dan mendapati wajahnya tampak begitu letih menyimpan beban dan....

Rasa kangen? Ia menelan ludah. Benarkah? Apakah rasa hangat itu begitu mudahnya menggantikan perasaan kosong yang sudah dimilikinya sejak lama?

Ia pun sudah tak tahan lagi. Lewat tengah hari yang terasa begitu panas, ia memanggil Atmo.

“Mo, antar aku ke Malang. Sekarang juga.”

* * *

Yang ditujunya bukanlah rumah asri tempat Dendy dan keluarganya tinggal, tapi kantor Dendy. Dan, laki-laki itu tak bisa mengelak dari kedatangan Rokayah menjelang jam pulang.

“Kenapa, Den?”

Pertanyaan pendek Rokayah itu seketika membuat Dendy paham. Ingatan Rokayah sudah kembali. Sesuatu yang sesungguhnya ia takutkan tapi harus terjadi juga. Maka dengan meneguhkan hati ia balas menatap tatapan tajam Rokayah.

“Anak-anak sesungguhnya menyayangi Ibu,” jawab Dendy halus. “Ibu satu-satunya nenek yang mereka punya. Walaupun Ibu mungkin tidak menyayangi mereka, tapi Sophie dan terutama Addo, mereka sangat menginginkan nenek yang hangat.”

Rokayah tercenung. Diingatnya setiap tawa Sophie dan Addo ketika ia masih berada di bawah perawatan mereka. Perhatian Diva. Perhatian Dendy. Apa yang ia inginkan sesungguhnya?

“Ibu berubah ketika masih amnesia,” lanjut Dendy, terdengar sedih. “Ibu kehilangan sikap dingin dan berjarak Ibu. Ibu juga jadi lebih sabar menghadapi anak-anak. Nenek seperti itu yang diimpikan anak-anak. Dan, mereka cukup ketakutan kalau-kalau suatu saat ingatan Ibu kembali. Karena Ibu bisa saja kembali seperti semula. Anak-anak pasti akan merasa sangat kehilangan.”

Rokayah mengalihkan tatapannya, menerawang jauh keluar jendela kantor Dendy.

"Saya rasa waktunya memang harus tiba,” gumam Dendy. “Saya minta maaf atas semuanya, Bu. Minta maaf yang sebesar-besarnya. Tapi saya tidak bisa lagi melepas anak-anak saya masuk ke dalam kekecewaan seperti yang sudah banyak mereka alami ketika mamanya masih ada. Juga ketika mereka berada dekat Ibu. Itu sangat menyakiti anak-anak saya.”

Mata Rokayah yang membasah mengerjap beberapa kali. Pelan ia memutar kepala, menatap Dendy.

“Kalau aku datang sebagai Rokayah yang masih amnesia, apakah kamu masih akan menerimaku di rumahmu?”

Dendy duduk di kursi di depan Rokayah. Digenggamnya tangan Rokayah.

“Bu, saya tidak pernah menolak kehadiran Ibu di rumah,” ucapnya lembut. “Siapa pun dan bagaimana pun Ibu, Ibu tetap nenek anak-anak saya. Walaupun Ainna sudah tidak ada tapi pertalian darah itu tak bisa dihapuskan. Hanya saja sikap Ibu selama ini sudah membuat anak-anak apriori walaupun jauh dalam hati mereka sangat menyayangi Ibu. Saya harap Ibu masih bisa mengingat bagaimana sikap mereka ketika Ibu berubah.”

Rokayah balas menggenggam tangan Dendy. “Bantu aku kembali jadi seperti waktu aku amnesia, Den,” ucapnya lirih. “Kalian satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku tak mau kehilangan lagi.”

Dendy memeluk Rokayah dengan hangat. Rokayah bisa merasakan kehangatan itu kembali menyelimuti hatinya. Kehangatan yang terasa begitu tulus dan menenteramkan.

* * *

“Seraaang!” Addo mengarahkan ujung selang air yang dipegangnya pada Sophie.

Sophie terbahak sambil berlari menghindar. Sesekali ia menembakkan air melalui semprotan yang dipegangnya di ujung selang air yang lain. Tak butuh waktu lama kedua anak itu sudah basah kuyup. Juga rumput dan tanaman di sekitar mereka.

Tugas yang paling mereka sukai memang itu. Menyiram seluruh taman yang ada di depan rumah pada sore hari. Terutama bila seharian panas menyengat menghantam mereka. Bermain air di penghujung siang adalah hal yang paling mengasyikkan.

Diva duduk di teras sambil menggendong Mimi. Ia turut tertawa-tawa melihat ‘pertempuran’ Sophie dan Addo. Dibiarkannya kedua anak itu basah kuyup hingga Dendy datang. Dendy tak pernah mengharuskan anak-anak sudah rapi kalau ia pulang. Bahkan kadang-kadang sepulang kerja ia ikut juga bermain air bersama anak-anak.

Bunyi klakson membuat mereka menoleh. Addo segera berlari membuka gerendel pintu pagar dan membuka pintu itu lebar-lebar. Ketika melihat ada mobil lain di belakang mobil Dendy, ia pun berteriak-teriak ribut.

“Nenek! Nenek! Nenek datang! Kakak! Bunda! Nenek datang!”

Dari dalam mobilnya Rokayah menatap wajah ceria dengan tubuh basah kuyup itu. Seketika ia menyesali semua hal indah yang pernah bertahun-tahun ia lewatkan begitu saja. Dan, kini ia tak mau lagi kehilangan itu.

Tapi bisakah?

* * *



Lima Belas


Perjuangan Rokayah dimulai ketika ia berusaha jujur mengatakan bahwa ingatannya sudah kembali. Hal pertama yang dilihatnya adalah Sophie dan Addo tanpa sadar duduk saling merapatkan diri. Diva mendekap Mimi dengan lebih erat. Ia tersentak ketika mendapati bahwa ia seolah menjadi ancaman bagi orang-orang yang berada di sekitarnya. Sesuatu yang terjadi tanpa pernah disadarinya.

“Bantu aku berubah.” Ia meminta itu dengan tegas.

Semuanya mengangguk tanpa membantah. Rokayah mengeluh. Entah kapan suasana akan mencair.

* * *

Yang bisa dilakukannya adalah menjadi pendengar yang baik ketika makan malam tiba. Kemarin-kemarin ketika ia masih tinggal di situ dalam kondisi amnesia, makan malam adalah saat yang paling menyenangkan. Cerita keseharian Sophie dan Addo seolah tak ada habisnya.

Makan malam hari ini diawali dengan hening yang seolah tak semestinya. Rokayah mencoba mencairkannya dengan bertanya, “Sophie dan Addo sudah sekolah lagi, ya? Cerita, dong, pengalamannya sama Nenek.”

Sejenak Sophie dan Addo bertatapan sebelum Sophie memulai dengan ragu-ragu, “Mm....”

“Sophie punya temen baru yang awalnya nyebelin." Diva berusaha membantu. “Nah, itu ceritain sama Nenek.”

Wajah Sophie menjadi cerah. “Oh, ya! Itu, Nek... Jadi ceritanya aku tuh punya temen baru di kelas. Namanya.... bla... bla... bla...”

“Aku nggak punya temen baru, tapi aku punya guru baru." Addo menimpali begitu cerita Sophie selesai. “Cantiiik banget!”

Semua terbahak ketika Addo tiba di bagian ‘cantiiik banget’. Rokayah pun tersenyum lebar karenanya.

Di akhir hari, Rokayah mendapati kenyataan bahwa keberisikan cucu-cucunya ternyata merupakan hal yang indah. Dan, melihat bagaimana Dendy dan Diva melayani celotehan-celotehan itu dengan penuh semangat, Rokayah menyadari bahwa semua yang ada di rumah itu adalah potongan-potongan cinta yang terangkai dan saling mengisi. Sesuatu yang sebelumnya begitu jauh dari jangkauan hatinya.

* * *

“Anak-anak ke mana?” tanya Rokayah ketika berpapasan dengan Diva.

“Belajar, Bu,” jawab Diva. “Di kamar kerja ayahnya.”

Rokayah pun menjalankan kursi rodanya ke arah ruang kerja Dendy. Pintu yang terbuka sedikit membuatnya bisa mengintip kejadian di dalam. Dengan jelas didengarnya Addo bernyanyi-nyanyi entah melagukan apa. Sophie sendiri tekun membaca sesuatu dengan headphone besar terpasang di telinga. Rokayah mengernyitkan kening. Tapi sebelum ia bisa bereaksi, Diva sudah berbisik di belakangnya.

“Coba Ibu dengarkan dulu apa yang dinyanyikan Addo.”

Rokayah mencoba mencermati ‘lirik lagu’ yang dinyanyikan Addo. Ternyata adalah hafalan pelajaran IPS. Bukan lagu sembarangan yang tak tentu arahnya. Pelan Rokayah mengembangkan senyum. Setengah geli, setengah malu. Padahal tadi ia sudah akan menegur Addo yang belajar dengan cara yang sangat berisik. Rokayah pun memutar kursi rodanya, yang segera didorong oleh Diva.

“Addo punya cara belajar sendiri, Bu,” ucap Diva. “Sophie juga punya cara sendiri mengatasi keberisikan Addo. Makanya dia pasang headphone besar di telinganya, dengar lagu-lagu yang disukainya sambil belajar.”

Rokayah mengangguk-angguk. Betapa anak-anak itu berhasil mengatasi masalahnya sendiri tanpa perlu berkonflik!

* * *

Selalu ada hal baru yang ditemui Rokayah di rumah itu. Hal baru yang terkadang membuatnya ingin cerewet, tapi pengalaman yang sudah-sudah membuatnya mencermati dulu sebelum berkomentar. Hasilnya, tak perlu juga harus berkomentar setiap waktu.

Diva ternyata sangat berhasil mengendalikan Sophie dan Addo. Didukung dengan Dendy yang tak pernah punya keputusan kontra dengan Diva. Diva juga tak pernah marah-marah pada Sophie dan Addo. Teguran lembutnya jauh lebih mujarab daripada suara keras penuh kemarahan. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya pada Ainna dulu. Dan, ia yakin Ainna pun tak pernah melakukan itu pada anak-anaknya sendiri.

Pelan Rokayah menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia mendapati bahwa kehidupannya yang sekarang terasa jauh lebih santai dan lebih bisa ia nikmati. Tak ada lagi perasaan kosong dan hampa yang dulu sering dirasakannya. Semuanya digantikan dengan perasaan hangat dan semua ketakutannya akan perasaan sendirian perlahan menghilang.

Dan, telepon dari seseorang yang diterimanya sore tadi membuatnya memutuskan sesuatu. Ia tak tahu apakah keputusannya itu benar atau tidak. Maka ia mengutarakannya dengan sangat hati-hati pada Dendy sekeluarga.

“Tadi ada yang meneleponku,” ucap Rokayah. “Orang ini sudah beberapa kali menawar rumahku di Surabaya, tapi aku belum setuju. Sekarang sepertinya aku setuju dengan tawarannya.”

Semua menatap Rokayah dengan tatapan penuh tanya.

“Maksudku,” lanjut Rokayah, “aku jual saja rumahku, dan beli rumah kecil di sekitar sini. Supaya aku dekat dengan kalian. Itu juga kalau kalian masih mau menerima kehadiranku.”

“Kenapa nggak tinggal di sini saja, Bu?” Diva menanggapi dengan halus.

“Enggak, Div." Rokayah menggeleng tegas. “Kalian punya kehidupan sendiri, aku juga. Aku senang mendapati bahwa belum terlalu terlambat untuk mendapatkan apa yang sebenarnya sudah kumiliki. Keluarga. Kalian. Kadang-kadang anak-anak terlalu berisik, hehehe....” Rokayah terkekeh ringan. “Aku masih membutuhkan tempat sendiri yang cukup sepi tanpa harus kehilangan kehangatan kalian. Dan, anak-anak bisa sewaktu-waktu datang ke tempatku, kalau mau.”

Dendy dan Diva bertatapan. Sophie menggenggam tangan Rokayah.

“Aku pasti mau, Nek,” ucapnya dengan mata berbinar. “Kalau Nenek marah karena kuberisikin, tinggal aku lari pulang saja, kikikik....”

Rokayah ikut terkikik geli. Diusapnya kepala Sophie.

“Nggak usah jauh-jauh, sih, rumahnya," celetuk Addo. “Rumah di belakang kita, kan, kosong. Beli itu aja, Nek.”

“Lho!" tukas Sophie "Rumah udah jelek banget gitu?”

“Bukannya Nenek mau jual rumah di Surabaya yang guedeee itu?” Addo membelalakkan matanya. “Kan, duitnya bisa dipakai buat benerin rumah jelek itu.”

“Eh, Addo bener juga, lho,” ucap Rokayah. “Gimana, Den? Bener ada rumah yang dijual di belakang sini?”

“Ada, sih, Bu,” jawab Dendy. “Pas di belakang persis. Sudah lama banget ditawarkan, tapi nggak ada yang mau. Posisinya tusuk sate. Murah, sih, tapi renovasinya bisa lumayan.”

“Ah, tusuk sate....” Rokayah mengibaskan tangannya. “Bisa diakali dengan pindah arah pintu. Coba tanya berapa, Den. Boleh juga sepertinya.”

“Iya, Bu, secepatnya saya urus.”

“Nanti, kan, bisa dijebol tembok belakangnya, dipasang pintu. Jadi kalau Ibu mau ke sini atau kita mau ke sana nggak usah puter jauh,” ucap Diva dengan riang.

Rokayah tercenung sejenak. Semua sikap antusias Dendy sekeluarga terasa begitu keluar dari hati. Tulus. Dipenuhi keriangan yang murni. Masih banyak yang harus ia biasakan dalam bersikap. Sama sekali tak mudah untuk berubah jadi Nenek idaman. Ia masih harus membiasakan untuk mendengar, mengerti, dan menahan diri. Dan, keluarga ini mengajarinya begitu banyak hal.

“Nek....”

Rokayah tersentak. Addo sudah menggenggam tangannya.

“Kok, Nenek nangis?”

Serta-merta dipeluknya Addo. Airmatanya makin banyak meleleh tapi ia tak peduli.

Karena cinta putihmu, Nak, ucapnya dalam hati. Karena cinta putih yang kalian miliki....

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I

Ilustrasi : pixabay, dengan modifikasi.

12 komentar:

  1. Balasan
    1. Sumurnya? Hahaha...
      Makasih mampirnya, Mbak MM...

      Hapus
  2. selamat mbak Lis..udah berhasil mengenas kembali karya-karyanya dengan apik...enak dibaca..

    BalasHapus
  3. Saya banyak belajar dari gaya menulis mbak Lis yang nyantai tapi menyentuh hati. Menghibur dan menginspirasi. Sayangnya saya bukan pemilik PH. Cerita ini bagus lho kalo dijadikan FTV keluarga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah... eike jadi maluuu, Bu...
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus
  4. Uhuiii, ini tulisan yang bikin saya guling-guling, mo ngambil tema amnesia tapi udah keduluan sama Mbak Lizz :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ambil tema yang sama (amnesia) dengan jalan cerita beda kan sah-sah aja, mas Ryan... Hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  5. Menyentuh bingitt. Happy ending pula.
    Keren mbak Lis.

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Makasih banyak, Mbak Ani... Semoga nggak mengecewakan ya...

      Hapus