Senin, 18 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #7





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #6



* * *



“Kelihatannya Mas Rafa pulang, Bu,” Muntadi menghentikan mobil yang dikemudikannya di belakang mobil Rafael di garasi.

Lea melongok dari belakang sandaran jok Muntadi. “Wah, iya...,” gumamnya.

Bergegas Lea turun dan mencari anak kesayangannya itu. Di tangga dia berpapasan dengan Tunik.

“Rafael pulang?” tanyanya.

“Iya, Bu, baru aja. Lagi mandi kayaknya.”

“Tumben...”

“Kangen sama Ibu, ‘kali...,” Tunik mengedipkan sebelah mata.

Lea tertawa.

Tak berapa lama sosok yang ditunggunya muncul di teras belakang dengan wajah segar. Memberinya cium sekilas di pipi kanan. Lea menoleh.

“Tumben baru dua minggu pulang udah pulang lagi?”

“Lho... Jadi nggak boleh ya, aku numpang tidur di sini?” Rafael mengangkat alisnya.

Lea tertawa. “Nggak boleh, kalau tanpa alasan.”

“Kalau alasannya aku kangen sama Mama?”

“Bukan alasan,” Lea tertawa lagi.

“Kalau alasannya aku kangen cewekku?”

Tawa Lea seketika terhenti. Rafael duduk di depan Lea, berseberangan meja. Lea menatap Rafael lekat.

“Ada apa ini, Raf?”

“Ma, cewekku grand opening usaha barunya besok sore. Sebagai kekasih yang baik kan aku musti hadir. Nggak ada yang penting banget di kantor Bogor. Jadi siang tadi aku jalan ke sini. Besok pagi aku bantu-bantu dia. Tadi aku udah hubungi Pak Hartono. Dia bisa handle semuanya.”

“Sejak kapan?” tatapan Lea terlihat begitu menyelidik.

“Apanya, Ma?” Rafael mengambil sepotong nastar.

“Kalian pacaran.”

Alarm di kepala Rafael langsung berbunyi. Dia batal melahap nastar yang sudah ada di tangan.

Ternyata banyak hal yang harus dikarangnya bersama Adita. Sesuatu yang belum mereka matangkan. Yang harus diselesaikan secepatnya. Rafael menutupinya dengan senyum.

“Ma, aku belum bisa cerita apa-apa. Maaf, bukan maksudku mengesampingkan Mama. Tapi ada banyak hal yang aku rasa harus aku siapkan dulu sebelum aku bawa dia untuk kenalan sama Mama.”

“Bukan Anna?”

Rafael menggeleng. “Bukan, Ma.”



“Karena itu kamu nggak bisa memutuskan ketika Mama suruh kamu mendekati Anna?”

Rafael menghembuskan napas lega. Maafkan aku sudah membohongimu, Ma, batin Rafael setengah nelangsa. Tapi ditatapnya juga mamanya dengan mata bening, “Ya, Ma, karena aku udah punya Adita.”

“Hm... Jadi namanya Adita... Oke, Mama mengerti,” senyum Lea.

Rafael menghembuskan napas leganya lagi. Dia pindah duduk ke sebelah Lea.

“Nah, Ma, berhubung aku udah janji sama Dita untuk bantu dia, aku pergi dulu ya? Aku udah minta kunci cadangan sama Yu Tunik. Biar nggak repot kalau aku pulang kemaleman.”

Lea mengangguk.

* * *

Sambil mengemudi Rafael merangkai tiap detil yang harus dihafalnya dengan Adita. Detil yang harus senatural mungkin. Membuatnya cukup pusing karena harus merangkai jarak Bogor-Jakarta sekaligus.

Pada saat seperti ini, ada sebersit penyesalan yang muncul dalam benaknya. Mengapa harus berbohong? Mengapa harus memakai jasa pacar sewaan? Tapi semuanya sudah terjadi. Semuanya sudah terlanjur. Tak ada alasan untuk mundur. Dan rasanya memang harus menempuh cara ‘itu’ untuk mempersilahkan Steve mendekati Anna.

Adita sudah siap ketika Rafael menghentikan mobil di depan rumah mungil itu. Yang Rafael tahu, Adita dan Velma, adiknya, hanya tinggal berdua. Yatim piatu sejak empat tahun yang lalu. Dan melihat keadaan Adita, mau tak mau Rafael harus menindas habis rasa bersalahnya akibat terbelit sandiwara yang diciptakannya sendiri.



“Mau langsung ke warungku apa mau ke mana dulu?” senyum Adita.

“Langsung aja ya? Sambil kita ngobrol dikit di jalan.”

Adita mengangguk dan duduk nyaman di samping Rafael. Rafael pun mulai melajukan mobilnya.

“Tadi aku sudah bilang Mama kalau kita pacaran,” celetuk Rafael.

“Secepat itu?” Adita terperanjat.

“Aku nggak punya alasan lagi untuk menutupi kepulanganku di hari Kamis kayak gini.”

Bibir Adita membundar tanpa suara.

“Tapi udah aku menghindar dikit dengan bilang bahwa aku belum bisa cerita apa-apa,” sambung Rafael. “Kita belum mengarang cerita tentang bagaimana kita bertemu.”

“Mas pernah pergi ke luar kota akhir-akhir ini?” tanya Adita.

“Mm... Beberapa minggu lalu, ke Surabaya.”

“Ya udah, kita ketemu di pesawat,” ujar Adita ringan. “Kebetulan aku juga pernah ke Surabaya minggu-minggu terakhir sebelum aku kena PHK.”

Sesederhana itu?

Rafael melirik Adita sekilas. “Detilnya?”

“Ya... Macam fiksi-fiksi itulah... Duduk sebelahan, ngobrol, nyambung, tukar kontak, chatting, sesekali ketemuan, gitu-gitulah...”

Rafael tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Brilyan....”

Adita ikut tertawa. “Terlalu fiksi ya?”

Rafael terbahak lagi. “Enggak... Bagus kok! Ya udah, bisa dipakai.”

Adita meringis lucu. “By the way, memangnya Mas Rafa udah tahu lokasi warungku?”

“Belum,” jawab Rafael bodoh.

“Terus kita mau ke mana ini?” Adita melebarkan senyumnya

“Ya ke warungmu, tinggal sebut alamat aja kan?” Rafael menahan senyumnya.

“Arahnya berlawanan.”

Mereka terbahak lagi.

Entah kenapa, Rafael merasa hari-harinya terasa lebih ceria sekarang. Bertahun mencoba menghindar dari sosok berjenis kelamin perempuan selain mamanya, tapi ternyata ada warna lain yang disematkan sosok berjenis kelamin perempuan itu pada sebagian harinya. Warna yang lebih cerah. Membuat hari dan hatinya terasa lebih ringan.

“Belok kanan di depan itu, Mas,” suara lembut Adita menyentakkan kesadaran Rafael.

Dan Rafael hampir tersedak ketika Adita menyuruhnya menghentikan mobil di depan sebuah ruko. Dia menoleh ke seberang. Seketika tangannya mencekal lengan kanan Adita yang sudah hampir keluar dari mobil.

“Dit...”

Adita sedikit terhempas kembali ke tempat duduknya. Ditolehnya Rafael dengan heran. Rafael menatapnya. Sulit diartikan.

“Ya?” tanya Adita.

“Aku pernah menceritakan padamu tentang gadis itu kan?”

Adita mengangguk.

“Namanya Anna,” ucap Rafael dengan suara berat. “Dia pemilik pet shop di seberang itu.”

Adita terhenyak. Mendadak sebuah jalinan rumit muncul di benaknya. Membuatnya terdiam membeku di sebelah Rafael. Entah kenapa.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #8


6 komentar:

  1. wah seru, jangan2 raf malah naksir adita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Enaknya gimana yaaa... Hehehe...
      Makasih singgahnya ya, Bu Fabina...

      Hapus
  2. Eh.....Tunik kok ikut Lea? Nggak kerasan jadi ARTnya Swandini? Hihi....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh. Habis ikut Lea, ikut Swandini, balik lagi ikut Lea... Ruwet, hihihi...
      Nuwus mampire yo, Mbak Boss...

      Hapus