Rabu, 13 Mei 2015

[Cerpen Stripping] When Will You Marry Me? #2








* * *

Will you marry me, Grace?”

Gracia menatap jutaan bintang yang tak hentinya bergantian berkelip dalam mata Erid. Gema suara lembut Erid seolah berdentam menghantam gendang telinganya. Menimbulkan rasa nyeri luar biasa yang merambat hingga ke hatinya.


Dan kilauan cincin berlian yang disodorkan Erid itu seolah menggodanya untuk mengangguk dan mengatakan ‘ya’. Tapi kilasan-kilasan peristiwa masa lalu yang berebutan berputar di dalam kepalanya seakan menahan gerakan kepala, mulut, dan hatinya.

Bagaimana bila suatu saat nanti ia akan melakukan kesalahan yang sama? Mengkhianati Erid? Atau bahkan mengalami kesakitan yang sama? Dikhianati Erid?

Maka ia hanya bisa membeku. Menatap Erid dengan putus asa. Dengan jutaan potongan kenangan masih bermain dengan bebas di dalam kepalanya.

“Grace...”

Ada suara yang lain seolah mengambang di sekitarnya. Lirih. Sangat lirih. Seolah mengerang. Dan ia mendengarnya sekali lagi.

“Grace...”

Ayah!

Dan begitu saja Gracia terjaga. Ia mengerjap. Langit-langit putih segera tertangkap oleh matanya. Juga samar bau higienis yang menyergap indera penciumannya.

Ayah!

Gracia tersentak dan terduduk seketika. Kepalanya terasa pening. Tapi ia masih bisa menyadari ia ada di mana.

“Mbak...”

Sebuah tangan menahan lengannya. Vita. Mata Gracia mengerjap lagi. Ketika ia melayangkan pandangan ke arah bed, sebentuk bayangan yang kini sudah bangit dari duduknya di sebelah bed terlihat kian jernih. Seolah memerangkapnya pada sesutu yang sama sekali tidak ia harapkan.

Lalu tatapan mereka bertemu. Membentuk rangkaian peristiwa yang masih utuh terekam dalam benak Gracia. Semuanya yang sebenarnya ingin ia lupakan seumur hidupnya. Pengkhianatan ibunya. Luka ayahnya.

Sebuah tikaman rasa sakit pelan-pelan mengoyak hatinya dari sudut ke sudut. Dari tepi ke tepi. Membuat otaknya lumpuh hingga tak mampu memikirkan apa-apa lagi.

Dibiarkannya Vita memeluknya erat. Dicobanya untuk menghela setiap desah napas yang dimilikinya. Ketika kesadarannya nyaris pulih, dilihatnya tatapan ayahnya. Dengan seluruh luka dan rasa sakit yang tak lagi bisa disembunyikan Hatinya seketika memberontak.

“Mau apa ke sini?”

Suara Gracia kemudian menggema begitu saja. Hanya berupa desisan, tertahan, tapi terdengar sangat tajam. Mengoyak kesadaran Hanny. Dan ia hanya bisa tertunduk diam. Seolah pasrah untuk menanti penghakiman. Tapi yang ada kemudian hanyalah hening yang panjang.

Ingin rasanya Gracia menghamburkan semua kemarahan yang terpendam selama belasan tahun. Tapi terlalu besarnya kemarahan itu justru mengunci semua kemampuan verbalnya. Ia hanya menatap Hanny dengan mata menyala.

“Keluar!” bisik Grace lagi. “Keluar!”

“Grace...,” bisik Nino.

Gracia mengalihkan pandangannya. Tatapannya kemudian jatuh pada wajah Nino. Pelan ia mendekat. Dengan mata terasa mulai menghangat.

Vita melihat semua itu dengan sejuta rasa bersalah memenuhi hatinya. Tanpa menunggu lama ia pun menggandeng tangan Hanny dan setengah menyeretnya keluar dari ruangan itu. Lalu keduanya duduk di sebuah bangku yang menghadap ke taman rumah sakit.

“Maaf saya terpaksa membawa Ibu keluar,” ucap Vita lirih. “Saya sudah berjanji pada Mas Erid. Tapi kelihatannya saya tidak bisa menjaga janji itu.”

Hanny hanya diam. Menatap keindahan taman dengan sorot mata kosong.

* * *

“Sakit, Yah?” Gracia mengusap pipi Nino.

Nino menggeleng.

Keduanya lalu saling menatap. Nino dan Gracia. Berbagi rasa sakit yang sama. Rasa sakit yang saling bersembunyi selama bertahun-tahun. Dan sorot mata Nino yang penuh luka makin mengiris hati Gracia. Tanpa bisa dicegah. Pelan ia merebahkan kepalanya di samping tubuh Nino.

“Seharusnya aku jaga Ayah,” sesal Gracia dengan airmata mulai mengalir.

“Kamu lelah, Grace,” Nino membelai kepala Gracia. “Kata Erid, kamu begadang semalaman.”

“Aku mengkhawatirkan Ayah,” bisik Gracia sambil mengangkat lagi kepalanya. Menatap Nino. “Selama ini Ayah nggak pernah sakit berat. Tahu-tahu harus operasi. Darurat lagi!”

“Ayah tidak apa-apa,” Nino tersenyum.

“Ya, aku tahu,” Gracia menghapus airmatanya.

“Grace, apa yang kamu rasakan?”

Seketika Gracia memahami maksud ayahnya. Ia tercenung.

Benci? Rasanya sisa benci itu sudah tak ada lagi. Kemarahan? Rasanya kalau ibunya itu tidak menampakkan wajahnya lagi, kemarahan itu akan berlalu begitu saja. Tapi kenapa semuanya masih menimbulkan rasa sakit yang sama?

Pelan Gracia menggelengkan kepala. Ditatapnya Nino.

“Aku tidak tahu, Yah,” ucapnya kemudian, patah. “Aku hanya...,” ia tertunduk, “... aku enggan melihatnya lagi.”

Nino menghela napas panjang. Sebuah rasa yang sama. Ketika semuanya menjadi hambar dan hampa. Enggan rasanya melihat lagi kehadiran sumber kekacauan itu.

Ia tak pernah lupa bagaimana rasa sakit itu bertahun-tahun membelitnya. Pengkhianatan Hanny adalah hal yang sangat luar biasa mengoyak hatinya. Belum lagi ketika ia pernah dipaksa untuk berpisah dengan Ilyan dan Gracia. Ada belasan tahun penebusan setelahnya, ketika Ilyan dan Gracia kembali ke pelukannya. Tapi entahlah, semuanya tak pernah lagi terasa sama.

“Yah, sudahlah,” gumam Gracia kemudian. “Ayah butuh istirahat supaya cepat pulih. Jangan mikir apa-apa lagi ya?”

Dan Nino bisa melihat betapa lelahnya wajah Gracia. Begitu sarat beban. Ia tak mau menambah beban itu. Maka ia pun mengangguk dan mulai memejamkan mata. Berusaha abai terhadap rasa nyeri yang mulai dirasakannya.

* * *

Gracia memutuskan untuk beranjak sejenak ketika dilihatnya napas ayahnya mulai teratur. Ia merasa butuh kesegaran. Apa yang baru saja terjadi seolah mimpi buruk yang memerangkapnya.

Ketika ia melihat ayahnya tetap terlelap ketika ia keluar dari kamar mandi seusai membasuh wajah, ia kemudian memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Pelan-pelan ia menutup pintu dan dilihatnya Vita tengah duduk di kursi panjang di seberang pintu sambil memangku Oryza. Florian duduk manis di sebelah Vita.

Gracia dan Vita bertatapan. Dan segera saja Gracia menemukan sorot penyesalan keluar dari tatapan mata Vita. Ia mendekat.

“Mbak kalau mau marah, marah saja sama aku,” ucap Vita lirih, pasrah.

“Ilyan mana?” Gracia duduk di sebelah Vita.

“Mengantar Ibu pulang. Nanti balik ke sini lagi.”

Gracia mengambil alih Oryza yang mengulurkan tangan padanya. Diciuminya pipi bulat Oryza.

“Memangnya kamu yang punya inisiatif membawa dia ke sini?” tanya Gracia, terkesan sambil lalu.

“Enggak sih...”

“Aku tahu dia yang memaksamu. Sudahlah, Vit. Nggak apa-apa.”

“Aku jadi merasa nggak enak sama Mbak, sama Ayah.”

“Sst... Sudahlah. Ayah nggak apa-apa kok. Eh, kamu bisa jagain Ayah dulu, Vit? Aku lapar. Mau ke kantin.”

“Bisa,” Vita mengangguk cepat.

“Oryza sama Flo ikut Tante yuk! Cari makanan. Mau?”

Oryza langsung mengangguk, sementara Florian sempat menatap Vita sejenak.

“Flo boleh ikut, asal nggak nakal, oke?” senyum Vita. “Kasihan Tante Grace capek.”

Florian pun mengangguk mantap dengan wajah ceria.

* * *

“Sampai kapan Bunda akan terus menyakiti Ayah dan Grace?” suara dingin Ilyan menggema dalam kabin mobil itu. “Bisa-bisanya datang ke rumah sakit. Bunda ini maunya apa sih?!”

“Aku masih istri ayahmu, Ilyan,” bisik Hanny.

“Istri?” Ilyan mendengus. “Ke mana saja Bunda selama 20 tahun ini? Status itu kosong. Nggak ada isinya,” tandas Ilyan. “Dan kalau sampai Grace marah pada Vita karena sudah membawa Bunda ke rumah sakit, aku nggak akan pernah memaafkan Bunda lagi.”

Hanny tertunduk kelu. Betapa sudah tidak berartinya ia dalam kehidupan Ilyan, Gracia, dan mungkin Nino sekarang. Tapi kerinduan itu mengalahkan semua rasa malu.

Ilyan menghentikan mobilnya di depan rumah. Sekilas diliriknya Hanny.

“Aku langsung balik ke rumah sakit. Bunda jangan ke mana-mana.”

Hanny hanya bisa mengangguk mendengar ucapan dingin Ilyan.

* * *

Dengan sabar Gracia menyuapkan potongan-potongan kecil pizza sayuran pada Oryza dan mendengarkan celoteh Florian tentang teman-temannya, guru-gurunya, sekolah TK-nya. Sesekali ia menimpali celoteh Florian dan mereka tertawa karenanya.

Semuanya itu tak luput dari mata Erid yang sedang mengantri untuk membayar makan siangnya. Menimbulkan getaran hati dan letupan perasaan yang Erid tak bisa mencegah dan mengendalikannya. Ketika selesai membayar, Erid pun membawa nampannya ke meja yang diduduki Gracia, Florian, dan Oryza.

“Halo!” sapanya dengan senyum lebar.

“Hai!” senyum Gracia menyambutnya.

“Ayah sama siapa?”

“Ada Vita.”

Erid mengecup ringan kepala Florian dan pipi Oryza. Kedua anak itu kemudian sibuk berebut perhatian Erid. Gracia tertawa karenanya.

“Biarkan Om Erid makan dulu dong...,” ucapnya kemudian.

Orang-orang yang tidak tahu sepertinya akan melihat mereka sebagai keluarga utuh yang berbahagia. Seorang ayah yang hangat, seorang ibu yang penuh perhatian, dan sepasang anak manis yang menyenangkan.

Erid bukannya tak merasakan hal itu juga. Banyak debar tak terungkapkan memenuhi hatinya saat ini. Ada keletihan sedikit menggantung di wajah Gracia. Dan ia sungguh ingin mengambil alih semua itu.

“Setelah ini kuantar kamu pulang, Grace,” ucap Erid. “Kamu butuh istirahat. Aku nggak mau kamu ikut jatuh sakit juga.”

Gracia tak punya alasan untuk membantah. Ia sempat terlelap sejenak tadi. Tapi rasanya tak cukup untuk menebus segala rasa letih yang terkumpul sejak semalam.

“Sebaiknya anak-anak kubawa pulang saja,” gumam Gracia. “Toh di sini nggak boleh masuk kamar.”

“Anak-anak ingin bertemu kakeknya,” tukas Erid lembut. “Sepertinya bisa jadi hiburan juga buat Ayah. Nanti aku kasih dispensasi. Kan penyakit Ayah juga bukan penyakit menular.”

“Hm... Ya terserahlah...,” Gracia merasa terlalu letih untuk mendebat.

* * *

Utik menatap perempuan yang berdiri di depannya itu dengan ragu-ragu. Perempuan itu mencari Bapak. Ia takut salah bila mengijinkan perempuan itu masuk, tapi ucapan perempuan itu menyentuh hatinya.

“Saya Ibu Hanny, istri Pak Nino, bundanya Ilyan dan Grace. Boleh saya masuk? Saya ingin bertemu Bapak.”

Kalau penipu bagaimana? Utik menatap resah. Di seluruh penjuru rumah, tak ada satu pun foto perempuan yang mengaku bernama Ibu Hanny itu. Sedikit-sedikit ia tahu bahwa Bapak sudah berpisah dengan Ibu, tapi selebihnya gelap buatnya.

“Tolonglah, Mbak...”

Utik tersentak. Ditatapnya kembali perempuan itu. Ketika ia mengamati lebih dekat dan lebih teliti lagi, samar ia menemukan sorot mata Mas Ilyan dan garis bibir Mbak Grace dalam wajah perempuan itu.

“Ibu tunggu dulu,” putusnya kemudian, sambil membuka gembok pagar. “Saya panggilkan Bapak.”

“Bapak sudah pulih?” tanya perempuan itu.

“Belum terlalu.”

Dan Hanny harus terima ketika ART itu menyuruhnya duduk di kursi teras sebelum menghilang ke dalam rumah. Samar, ia mendengar pintu dikunci dari dalam. Pelan-pelan dihelanya napas panjang.

Hanny menatap taman di depan rumah. Sudah berubah banyak. Begitu juga dengan bentuk depan rumah itu. Entah dalamnya, Hanny tak sanggup mengira-ira.

Rasa nyeri itu seolah menikam hatinya lagi. Bercampur penyesalan yang rasanya tak akan pernah habis. Bagaimana bisa aku meninggalkan semua keindahan ini? Diam-diam ia tergugu.

* * *

“Pak, ada tamu, cari Bapak,” Utik berucap pelan sambil melongokkan kepalanya dari balik pintu kamar Nino.

“Siapa?” Nino mengangkat wajah dari tablet yang tengah ditekuninya.

“Mm... Ibu Hanny,” suara Utik terdengar ragu-ragu. Sejujurnya ia agak mengkeret ketika melihat perubahan di wajah Nino.

Pelan-pelan Nino menurunkan kakinya dari atas ranjang. Utik buru-buru membantu Nino.

“Saya bisa suruh pergi kalau Bapak memang nggak mau ketemu tamunya,” ucap Utik cepat.

“Nggak apa-apa, Tik.”

Nino melangkah tertatih ditopang Utik. Masih ada sisa rasa nyeri pada luka bekas operasinya sepuluh hari yang lalu. Ia sempat tersenyum ketika tahu di mana Utik menyuruh tamu itu menunggu. Pun ketika Utik membuka kunci pintu depan.

“Saya tunggu di sini ya, Pak?” bisik Utik. “Saya nggak akan jauh-jauh dari Bapak.”

“Jangan nguping!”

Utik nyengir ketika mendengar ada nada canda dalam suara Nino.

* * *

“Kita nggak sempat bicara beberapa hari yang lalu,” ucap Hanny, setengah bergumam.

“Memangnya masih ada yang perlu dibicarakan?”

Hanny tertunduk mendengar suara datar Nino. Betapa susahnya memulai komunikasi yang sudah terputus sekian lamanya!

“Mas, aku minta maaf, atas semua yang sudah terjadi,” desah Hanny, akhirnya.

“Aku sudah memaafkanmu,” suara Nino masih terdengar datar. “Juga anak-anak. Karena itu Ilyan mau menerimamu di rumahnya.”

“Grace...”

“Apa lagi yang kamu harapkan dari Grace?” suara Nino sudah tak sedatar tadi. Ada emosi yang mulai terpancing di dalamnya. “Setelah kamu menyakitinya sedemikian rupa? Tidak apa-apa kalau kamu menghancurkan aku, Han, tapi Ilyan? Grace? Terutama Grace! Pernah tidak, kamu bayangkan akibat dari perbuatanmu kelak pada anak-anak? Ilyan sudah bisa menata hati dan hidupnya. Tapi Grace? Masih melajang di usia 35. Menggantung pacar yang sanggup berada di sampingnya selama bertahun-tahun. Ketakutan mendengar kata pernikahan. Kamu pikir bagaimana rasanya aku melihat semua itu selama bertahun-tahun? Sakit, Han...”

Hanny kian tertunduk dengan lidah kelu.

Forgive, but not forget,” Nino menurunkan nada suaranya. “Aku sudah berusaha menerima semua yang terjadi. Ketika kamu mencari kesempurnaan dan merasa berhak untuk mendapatkannya, maka kamu pun mengejar kesempurnaan itu dengan melupakan dan meninggalkan semua berkat luar biasa yang sudah kamu miliki. Semua sudah terjadi, Han. Waktu tidak bisa diputar ulang. Tidak ada U turn dalam rute yang sudah kita tempuh.”

“Aku menyesali semuanya,” bisik Hanny. “Kesempurnaan itu semu, Mas. Aku tahu aku tak bisa memperbaiki sejarah. Tapi setidaknya beri aku kesempatan untuk menebusnya.”

“Dengan cara apa?” Nino menyipitkan matanya.  “Kembali kemari? Lebih dari setengah dari usia pernikahan kita aku lalui hanya bersama anak-anak, Han. Tanpa dirimu. Aku tak sanggup lagi bila harus menyesuaikan diri dengan kehadiranmu. Aku sudah terlalu lelah. Aku hanya ingin menikmati masa tuaku dengan melihat kebahagiaan Ilyan dan Grace. Aku tidak ingin apa-apa lagi. Tugasku mengantar Ilyan sudah selesai. Tinggal Grace. Dan kamu tak perlu menebus apa-apa untuk itu. Tak perlu mengacaukan lagi ketenangan dan hidup Grace, Han, aku mohon.”

Seutuhnya Hanny sudah merasa kalah. Hancur. Lumat. Mungkin memang itulah medali yang harus diterimanya setelah apa yang pernah terjadi. Maka dibiarkannya airmatanya mengalir. Hingga ia meninggalkan tempat itu.

* * *

Hening itu menyatu dengan suara samar gemercik hujan di luar sana. Gracia menyandarkan kepalanya pada kedua lengan yang ditangkupkannya di atas meja kerja.

Dulu ruangan itu adalah ruang kerja ayahnya. Ruang belajarnya bersama Ilyan juga. Ruangan yang disesaki oleh rak-rak penuh dengan buku. Ruangan yang selalu terasa hangat. Ruangan yang selalu membuatnya merasa tenang dan nyaman.

Lalu mendadak saja pembicaraannya dengan Utik sore tadi seolah terngiang di telinga Gracia.

“Di mana sih, Mbak, cari laki-laki kayak Pak Erid? Setianya itu lho... Sama kayak Bapak.”

Gracia sempat terhenyak. Ditatapnya Utik yang tengah asyik mengaduk kuah soto di dalam panci.

“Kamu sudah kebelet mau nikah, Tik?” Gracia mencoba untuk tersenyum.

“Hehehe...,” Utik terkekeh. Sekilas ia mengalihkan tatapannya pada Gracia. “Calonnya saja belum ada, Mbak.”

“Nikah itu nggak gampang, Tik,” gumam Gracia.

“Atau Mbak Grace takut mengalami pisahan kayak Bapak sama Ibu?”

Utik merasa tatapan Gracia menghujamnya. Tapi ia pantang menyerah.

“Nasib orang itu beda-beda, Mbak,” lanjutnya. “Maaf kalau saya lancang. Tapi saya kasihan lihat Bapak. Bapak itu ingin Mbak menikah sama Pak Erid. Pak Erid juga kelihatan sayang banget sama Mbak. Perkara pisahan, kalau memang Mbak Grace sama Pak Erid nggak mau pisahan ya sudah to, cari caranya biar nggak pisahan. Kan enak to?”

Gracia hendak membuka mulut. Membantah. Tapi ia memutuskan untuik mengambil jeda sejenak sebelum marah pada kelancangan Utik. Dan makin direnungkannya ucapan Utik, terasa makin benar ucapan itu.

Notifikasi Whatsapp yang berbunyi cukup nyaring itu mengagetkan Gracia. Ia buru-buru menegakkan kepala dan meraih ponselnya.

Perasaanku bilang kamu belum tidur.

Gracia tersenyum membaca kalimat pertama dalam pesan yang masuk itu. Ia melanjutkan membaca.

Aku juga belum tidur. Karena memikirkanmu. Merindukanmu. Apakah kamu merasakan rinduku ini sampai padamu detik ini?

Ada yang terasa hangat dalam hati Gracia. Kehangatan yang sama dengan semua kehangatan yang dirasakannya setiap kali menerima pesan cinta yang hampir tak pernah putus dikirimkan oleh Erid.

“Kalau memang Mbak Grace sama Pak Erid nggak mau pisahan ya sudah to, cari caranya biar nggak pisahan. Kan enak to?”

Mendadak suara Utik terngiang lagi.

Betulkah semudah itu? Gracia menatap ponselnya lagi. Lalu diketikannya sesuatu.

Apakah rinduku juga telah sampai padamu detik ini? Ataukah kerinduan kita bertemu di tengah jalan dan mereka sekarang tengah berdansa bersama?

Gracia menyentuh kotak Send. Lalu ia beranjak meninggalkan ruangan itu.

* * *

Gracia menemukan ayahnya masih menonton televisi ketika ia menutup pintu ruang kerja. Pelan disentuhnya bahu ayahnya.

“Yah... Belum tidur?”

Nino menoleh. Tersenyum. Kemudian menggeleng. Gracia duduk begitu saja di atas karpet. Tepat di sebelah kaki Nino. Direbahkannya kepala di pangkuan Nino. Sebuah kebiasaan yang sudah dimilikinya sedari kecil. Sebuah kebiasaan yang selalu memberinya ketenangan, rasa nyaman, dan kehangatan. Otomatis tangan Nino membelai kepala Gracia.

“Ada apa, Grace?” suara Nino terdengar begitu lembut. Seperti biasa.

“Entahlah,” desah Gracia. “Aku hanya merasa hidupku berjalan di atas rel yang kurang benar belakangan ini.”

Dan dengan sabar Nino menunggu kelanjutannya.

“Seperti apa sebenarnya pernikahan itu, Yah?”

Seketika seperti ada yang menggores hati Nino. Mendengar nada bicara Gracia seolah ia tengah berhadapan dengan seorang gadis kecil, bukan dengan perempuan matang berusia 35 tahun. Ada yang terasa hangat di mata Nino.

“Pernikahan itu seperti sebuah kapal di tengah lautan lepas, Nak,” jawab Nino, lirih. “Kadang-kadang berlayar di lautan yang tenang. Kadang-kadang menghadapi badai. Kadang-kadang sepanjang hari disinari matahari dan gemerlap bintang. Kadang-kadang menemukan harta karun. Kadang-kadang berpapasan dengan perompak. Semua kemungkinan baik dan buruk bisa terjadi. Dan nasib kapal yang satu dan kapal yang lain tidak selalu sama.”

Gracia mengangkat wajahnya.

“Ayah tahu sudah pernah gagal mengendalikan kapal pernikahan Ayah,” Nino menatap Gracia dengan mata mengaca. “Ada pendamping nahkoda yang memutuskan untuk pergi dengan membawa semua penumpang yang Ayah miliki. Tapi suatu saat penumpang-penumpang itu kembali. Dan Ayah kembali mengendalikan kapal itu agar penumpang-penumpangnya menemukan kapal baru untuk perjalanan selanjutnya. Salah seorang penumpang sudah menemukan kapal baru. Yang seorang lagi, sampai kapan pun Ayah akan mengantarnya untuk menemukan kapal baru. Sebetulnya kapal yang baru ini sudah ada di depan mata. Hanya saja penumpang yang satu ini masih ragu-ragu untuk melompat ke dalamnya.”

Gracia tak sanggup lagi menahan airmatanya. Ia bangkit dan memeluk ayahnya erat.

“Penumpang yang ini masih ketakutan, Yah,” bisiknya tersendat.

“Jangan paksakan diri untuk melompat kalau memang belum siap,” ucap Nino di telinga Gracia. “Kesalahan nahkoda yang satu ini adalah terlalu cepat memberangkatkan kapal sebelum semuanya benar-benar siap. Ketika harus berhadapan dengan badai, terlalu cepat menyerah karena merasa sudah tidak dapat mempertahankan apa-apa lagi.”

“Maksud Ayah?” Gracia menatap Nino.

Nino mengehela napas panjang sebelum menjawab. “Mungkin bundamu memang bersalah karena berpaling pada orang lain. Tapi Ayah juga punya andil dalam hal ini. Ayah dan Bunda dulu sudah berpacaran cukup lama, Grace. Hingga kami masuk ke dalam zona nyaman dan tidak lagi merasa perlu untuk mencoba menjalin hubungan dengan orang lain. Masa itu berujung pada usia yang terus bertambah. Ketika bundamu mendesak Ayah untuk menikahinya, Ayah tidak melihat alasan lain untuk menolak, kendati perasaan Ayah sebetulnya belum mantap. Ayah sendiri tidak tahu apa alasannya. Bukan ketakutan sepertimu, Nak. Hanya belum mantap. Belum sreg. Mungkin itu naluri. Dan Ayah mengabaikannya.”

Gracia tercenung lama. Sesuatu yang selama ini ia atau Ilyan tak pernah tahu.

“Ayah tidak mau menambah kesalahan, Grace. Karena itu Ayah tak pernah mau berpikir untuk mencari pendamping baru. Ayah hanya ingin menaati hukum agama kita dan tidak mau menambah dosa lagi. Dan satu hal yang harus kamu tahu, Grace, kamu dan Ilyan tak pernah menjadi bagian dari kesalahan itu. Kalian adalah karunia terbesar yang pernah Ayah terima. Sampai kapan pun.”

Dan Gracia pun tersedu dalam pelukan Nino. Melarutkan segala resah dan luka yang dimilikinya. Dan pelukan hangat ayahnya itu terasa melunturkan sedikit demi sedikit semua sisa ketakutan yang masih ada.

* * *

Malam kian larut dengan hujan yang kian deras turun disertai bunyi guntur di kejauhan. Erid menutup laptopnya sambil menggeliat. Tepat saat itu tatapan matanya jatuh pada seraut wajah cantik Gracia yang terbingkai indah di atas meja kerjanya. Diraihnya bingkai itu.

Grace...

Erid menelusurkan jemarinya pada keseluruhan gambaran wajah Gracia.

Sampai kapan pun aku akan menunggu Tuhan mengabulkan doaku. Walau aku harus kehilangan lebih banyak waktu. Sampai kamu siap, Grace. Sampai kamu betul-betul siap untuk kurengkuh selamanya.

Bunyi ponsel melemparkan Erid kembali ke alam nyata. Diraihnya benda itu. Ia mengerutkan kening ketika melihat siapa yang meneleponnya menjelang tengah malam seperti ini.

“Halo? Grace?”

Hanya ada hening.

“Grace?”

Terdengar helaan napas sebelum Erid mendengar suara yang bergetar itu dari seberang sana.

“Mas...”

“Ya, Grace sayang, ada apa? Kamu baik-baik saja? Ayah?”

“When will you marry me?”

Ponsel itu hampir saja terjatuh dari tangan Erid. Apa yang baru saja didengarnya betul-betul tak bisa dipercayainya.

“Mas...”

“Katakan sekali lagi,” emosi Erid terasa hampir meluap.

“When will you marry me?”

Tanpa menjawab pertanyaan itu, Erid segera menyambar kunci mobilnya.

* * *

Bersambung ke : When Will You Marry Me? #3

Gambar : www.cincinemasputih.com

6 komentar:

  1. Nice post mbak, salam dari. Kota karang [kupang]

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah... Pak Subur kelilingan terus... Makasih mampirnya ya, Pak...

      Hapus
  2. Erid langsung bawa penghulu ngkali..... wkwkwkwkwk

    BalasHapus