Kamis, 21 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #8






Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #7


* * *


Steve mengerutkan keningnya sedetik ketika mobilnya berpapasan dengan mobil Rafael di depan pintu gerbang rumah. Rafael hanya membunyikan klakson dengan ringan, tanpa menurunkan kaca jendelanya. Steve memundurkan sedikit mobilnya sambil balas membunyikan klakson. Rafael pun berlalu begitu saja.

Seperti biasa, Steve menemukan mamanya sedang asyik dengan laptopnya di teras belakang. Steve mencium sekilas pipi mamanya.

“Rafa pulang?” tanya Steve tanpa basa-basi.

“Yup!” Lea mengangkat wajahnya. “Kangen sama ceweknya.”

Steve mengangkat alisnya. “Cewek mana?”

“Belum tahulah Mama, Steve. Dia nggak bicara banyak.”

“Anna?” mimik Steve terlihat khawatir.

Lea tergelak. “Bukan... Namanya Adita.”

“Oh...”

Lea seutuhnya menangkap ada nada lega yang luar biasa dalam suara singkat Steve. Dan dia tahu kenapa. Ditatapnya Steve baik-baik.

“Dengar, Steve,” ucap Lea tegas. “Sekali lagi Mama bilang, Anna gadis baik-baik. Jangan pernah kamu permainkan dia.”

“Iya, Ma, aku paham,” Steve merangkum kedua telapak tangan Lea, kemudian mencium punggung tangan itu dengan penuh cinta. “Dia pelabuhanku yang terakhir. Aku janji.”

“Ya, Mama dengar janjimu,” Lea mengangguk. “Jadi kalau sampai kamu bikin rusuh, kamu tahu berhadapan dengan siapa.”

Steve tersenyum. “Iya, Ma, aku tahu.”

Lea mengelus kepala Steve dengan sayang. Steve berdiri sesudahnya.

“Ma, nggak ada yang perlu dibeli di pet shop-kah?” tanyanya polos.

Lea tergelak seketika. Steve meringis lucu.

“Kalau mau pergi, pergi sajalah, nggak usah banyak alasan,” ucap Lea di sela tawanya. “Titip salam aja buat Anna ya?”

Steve mengangguk. Sebentar kemudian dia sudah menghilang ke kamarnya. Sambil bersiul-siul. Banyak bayangan indah berkelebat di benaknya. Membuat senyumnya makin lebar.

* * *

Adita masih membeku di sebelah Rafael. Setelah jalinan rumit itu sekilas muncul di benaknya, seketika itu juga dia merasa blank. Tak tahu harus bagaimana dan melakukan apa. Sebuah genggaman hangat mendarat di tangannya. Memberinya sedikit ketenangan.

“Dit...,” lirih suara Rafael. “Kita pacaran ya? Ingat, kita pacaran.”

Adita mengangguk.

“Profesional... Profesional...,” bisiknya, berusaha menenangkan hatinya sendiri.

“Jadi biarkan mulai sekarang aku berlaku sebagai pacarmu,” ucap Rafael dengan suara tenang.

“Maksudmu?”

“Di fiksi-fiksi, seorang gentleman membukakan pintu buat kekasihnya kan?”

Adita mengangguk.

“Nah, biarkan aku melakukan itu, dan bersikap mesralah padaku.”

Adita menatap Rafael. Seketika urat gelinya tergelitik melihat betapa serius dan tegangnya wajah Rafael. Dia melepas tawanya.

“Hahaha... Aku belum pernah pacaran. Mesra itu seperti apa? Hahaha...”

Rafael ikut terseret dalam tawa itu. “Seperti fiksi-fiksi.”

Seketika kebekuan mencair. Dan mereka saling menatap. Saling memahami secara natural harus berlaku seperti apa. Adita tersenyum. Rafael tersenyum, kemudian beranjak membukakan pintu mobil dari luar untuk Adita.

* * *

Setelah selesai melayani seorang pembeli, Anna menyempatkan diri untuk melongok sebentar keluar jendela pet shop-nya. Langit sudah gelap. Lampu jalan pun sudah menyala semua. Iseng dia keluar sambil meregangkan pinggangnya. Hm... Langit cerah, gumamnya dalam hati.

Dan entah magnet apa yang menyentuh perhatiannya hingga dia menatap ke seberang. Pintu ruko di seberang terbuka. Dengan sebuah mobil terparkir di depannya. Lampu dalam menyala. Neon box masih mati.

Anna teringat undangan yang diterimanya sendiri tadi pagi. Dan sedetik kemudian dia sudah melangkahkan kakinya menyeberangi jalan yang sedang agak sepi. Terdengar derai tawa ketika dia sampai di depan ruko itu. Seseorang keluar dan menyapanya ramah.

“Nyari Mbak Dita ya, Mbak? Ada di dalam, sama cowoknya. Masuk aja, Mbak...”

Anna mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dia melangkah agak ragu-ragu. Ada berbagai kesibukan di dalam ‘warung’ itu. Hm... Pasti persiapan, batin Anna. Belum lagi dia menemukan si pemilik warung, sebuah suara menyapanya.

“Halo, Mbak Anna!”

Anna menoleh dan tertegun. Sosok tinggi tegap berkaca mata itu mendatanginya dengan mengusung seulas senyum di bibirnya. Tampan. Anna enggan berkedip. Tak yakin dengan pemandangan yang ditangkap matanya.

“Warungnya belum buka, Mbak, baru besok.”

Anna tersentak. Sosok tampan itu sudah berdiri di depannya. Mengulurkan tangan kanan. Mengajaknya berjabat.

“Apa kabar?”

“Baik,” jawab Anna dengan suara setengah tercekat.

“Halo, Mbak,” Adita muncul dari belakang. “Aduh... malu saya, Mbak, masih berantakan begini.”

Anna memaksakan sebuah senyum.

“Saya baru tahu ini tadi kalau pet shop Mbak Anna langganan mama Mas Rafa,” Adita melebarkan senyumnya.

“Oh....” Anna menoleh ke arah Rafael.

Laki-laki itu tersenyum lebar. “Ya, Rafael.”

Adita mengangkat alisnya. Rafael menatapnya sambil masih tersenyum.

“Mbak Anna belum bisa bedain aku sama Steve,” jelas Rafael.

“Oh...,” Adita tertawa ringan

Anna tak tahu harus terus menerus tersenyum ataukah meringis. Terlalu banyak yang menghantam kesadarannya akhir-akhir ini.

Jauh di dalam hatinya, ada satu tatapan bening yang tak pernah ingin dia lupakan. Tatapan Rafael. Ketika pertama kali mereka berjumpa di pet shop beberapa minggu yang lalu. Kalau setelah itu ada lagi sosok lain bernama Steve, dia tak begitu peduli.

Wajahnya memang nyaris sama. Tapi tatapan itu, alangkah berbeda! Entah kenapa ada sesuatu yang menyejukkan jiwa ketika dia mendapat tatapan bening itu. Bukan tatapan sedikit nakal milik seorang Steve. Sebuah tatapan umum yang tak ada istimewanya.

“Mbak, maaf ya, kami belum siap menerima tamu.”

Suara Adita menyentakkan Anna dari selimut pikirannya sendiri. Ditatapnya Adita, tulus.

“Maaf, Mbak Dita, saya mengganggu. Saya tadi cuma ingin say hello. Tapi kelihatannya mengganggu banget ya?” sesal Anna.

“Enggak, Mbak,” jawab Adita cepat, “justru kami yang harus minta maaf karena belum bisa menyambut Mbak dengan layak. Tapi di sudut situ udah bisa dipakai duduk kok. Ayo, kita ke sana!”

Adita sudah menarik tangan Anna. Mau tak mau Anna menurut. Rafael yang sempat menghilang muncul lagi dengan sekantong plastik penuh berisi minuman kaleng. Ditaruhnya tiga kaleng minuman ringan di atas meja sebelum beranjak.

“Aku kasih anak-anak minuman dulu ya, Dit. Mbak Anna, silahkan ya...,” Rafael kemudian meninggalkan mereka.

“Mbak, makasih ya, udah dikunjungi,” Adita menatap Anna.

Anna tersenyum. “Makasih juga saya udah diundang.”

“Udah lama mama Mas Rafa jadi langganan Mbak?”

“Lumayan sih! What a great woman!

“Oh ya? Saya malah belum pernah ketemu,” Adita mengerjapkan matanya.

“Kok bisa?” Anna mengerutkan kening.

Adita meringis. “Belum waktunya. Mas Rafa sama saya juga masih baru kok.”

“Oh... Ketemu di mana sama Mas Rafael?”

“Di pesawat, waktu balik dari Surabaya.”

“Oh...”

Ketika seorang anak buah Adita dengan sopan minta waktu untuk bicara, Anna seperti mendapat durian runtuh. Dia punya kesempatan untuk mengedarkan pandangannya mengelilingi tempat itu. Bukan! Bukan untuk mengagumi atau menyelidik. Dia hanya ingin menemukan sosok itu.

Sosok yang sedang berdiri di sudut. Yang sesekali minum dari kaleng yang dipegangnya sambil mengobrol dan tertawa dengan beberapa anak buah Adita. Yang tak sekali pun menatap ke arahnya.

Membuat ada segores tipis yang menyebabkan nyeri dalam hati Anna. Entah nyeri untuk apa.

* * *

Bersambung ke episode selanjutnya : Rinai Renjana Ungu #9


8 komentar:

  1. “Di fiksi-fiksi, seorang gentleman membukakan pintu buat kekasihnya kan?”
    --------
    Itu cuma di fiksi......di dunia nyata apalagi dah jadi Bini buka pintu ndiriiiiii.......huaaaaa*nangis nobita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Ho'oh, Mbak Boss!
      Nuwus mampire yo...

      Hapus
  2. So romantic, seperti latar blog ini, sangat menyejukan hati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ganti template, Bu... Sesuai warna favorit.
      Makasih singgahnya ya...

      Hapus