Kamis, 14 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #5





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #4


* * *




“Kamu jadi pulang?”

“Ya, Ma, langsung dari kantor.”

“Jangan terlalu malam ya?”

“Enggak, aku mau cabut jam 3.”

“Eh, Raf...”

“Ya, Ma?”

“Tolong kamu mampir ke pet shop langganan Mama itu ya? Beli cat food.”

“Kenapa nggak suruh Pak Mun aja sih, Ma?”

“Lho, Pak Mun kan antar Steve ke bandara.”

“Oh... Ya sudah, nanti aku mampir ke sana.”

“Oke! Jangan ngebut ya...”

“Iya, Ma.”

Rafael menutup teleponnya sambil menggaruk kening.

Mampir ke pet shop itu lagi? Bertemu dengan gadis itu lagi? Bisa jadi akan mengulang sejarah yang sama itu lagi?

Diam-diam Rafael mengutuki hatinya. Kenapa juga harus ada getar-getar tersembunyi terhadap gadis itu? Getar yang tak pernah muncul lagi sejak perpisahannya dengan Mega.

Dulu Mega. Sekarang Anna. Apakah harus mengulangi lagi sejarah hitam itu?

Rafael menghembuskan napasnya keras-keras. Dia menatap ke luar jendela. Pada gumpalan awan yang berarak di langit di luar sana. Sekejap kemudian dia meraih koran hari ini yang tergeletak di sudut meja kerjanya.

Tanpa minat dibukanya koran itu. Lembar demi lembar. Berita politik, lewat. Kabar dunia, lewat. Gosip artis, lewat. Laporan dugaan korupsi, lewat. Iklan, le....

Mendadak mata Rafael bulat menatap iklan kecil di sudut kanan atas lembaran koran. Dengan takjub ditekuninya membaca iklan itu.

ANDA LAKI-LAKI BAIK-BAIK?
MEMBUTUHKAN TEMAN KENCAN BOHONGAN?
NO SEX, NO DRINK, NO CHECK IN
JABODETABEK
TARIF NEGO
HUBUNGI 099912345678
TANPA PERANTARA

Rafael ternganga. Sesuatu mendadak berkelebat di benaknya. Sesuatu seperti kembang api yang meledak tanpa bisa dicegah. Membuatnya buta sesaat.

Diliriknya arloji. 11.32. Mengikuti impuls, disentuhnya dengan hati-hati angka pada ponselnya. 0-9-9-9-1-2-3-4-5-6-7-8. Kemudian ditempelkannya ponsel itu ke telinga.

* * *

Anna mengangkat wajahnya begitu bel berdenting. Seorang laki-laki tinggi tegap melangkah masuk.

Deja vu!

Laki-laki itu tersenyum ke arahnya. Mengangguk ringan.

“Halo!” sapa Anna ramah. “Apa kabar?”

“Baik,” jawab Rafael. “Belum tutup ya?”

“Belumlah... Kami buka sampai jam sembilan malam tiap harinya. Butuh sesuatu?”

Rafael mengangguk. “Cat food, titipan Mama.”

“Oh... Tunggu sebentar ya?”

Anna dengan cekatan mengambil beberapa bungkus cat food dengan merk yang biasa dibeli Bu Lea.

“Apa lagi?” tanya Anna dari kejauhan.

“Sudah, itu saja,” jawab Rafael sambil beranjak ke meja kasir.

Sebelum Anna menanyakan jenis pembayaran, Rafael sudah menyodorkan sejumlah uang tunai. Sejenak kemudian urusan pembayaran itu selesai. Anna memberikan kembalian sambil menyorongkan tas kertas berisi belanjaan Rafael.

“Daripada saya penasaran,” ucap Anna malu-malu, “ Anda Rafael atau Steve ya?”

Rafael tertawa ringan. Dicobanya untuk menggoda Anna. “Kalau Rafael kenapa? Kalau Steve kenapa?”

Anna tersenyum malu. “Ya enggak apa-apa. Cuma nggak enak aja kalau nggak tahu lagi berhadapan dengan siapa.”

“Rafael.”

“Oh... Oke, Mas Rafael, makasih sudah belanja di sini...,” ucap Anna manis.

“Sama-sama.”

“Mm... Nggak ngobrol dulu?”

Rafael melihat arlojinya. “Saya dari Bogor langsung mampir ke sini, Mbak Anna, belum pulang. Lagian saya ada janji dengan seseorang. Mungkin lain kali kita punya kesempatan untuk ngobrol ya?”

Anna mengangguk sambil tersenyum. Sebenarnya senyum itu dipamerkannya untuk menutupi rasa kecewa. Rasa kecewa? Atau rasa ditolak? Anna menghela napas panjang setelah pintu tertutup dan sosok Rafael menghilang di baliknya.

* * *

Pelan-pelan Rafael menyesap secangkir Ying-Yang Americano-nya dengan nikmat. Diedarkannya pandangan ke seluruh penjuru cafe. Hm... Bagus juga selera perempuan itu. Setelah meletakkan cangkir, dia mulai memotong ujung Plum Pie-nya. Baru seperempat potong Plum Pie berpindah ke perutnya, sebuah suara lembut menyapa.

“Selamat malam...”

Rafael menoleh.

“Bapak Rafael?”

Rafael berdiri dan menyalami penyapanya. “Malam, Mbak Adita?”

Perempuan itu mengangguk.

“Apa kabar, Mbak?”

“Baik, Pak.”

“Silahkan duduk.”

Perempuan itu mengambil tempat di seberang Rafael. Sekilas Rafael mengamatinya. Tidak terlalu cantik. Tapi sangat manis. Berpenampilan rapi. Keseluruhannya terlihat cukup elegan.

“Mau pesan apa?”

“Oh... Sudah tadi, tinggal diantar ke sini.”

“Oke...” Rafael mulai kehilangan kata-kata. “So...

Adita menatap Rafael sambil tersenyum. “Jadi kapan Bapak mau mulai?”

“Jangan panggil Bapak,” sergah Rafael. “Panggil saja Rafael, Rafa...”

“Oke,” angguk Adita, terlihat agak ragu-ragu.

“Jadi Anda sedang free?”

Adita kembali mengangguk. “Saya nggak akan mengambil dua job sekaligus. Itu sudah aturan tak tertulis dari saya sendiri.”

“Kalau boleh tahu, kenapa Anda butuh job ini?”

Adita menatap Rafael. Sepertinya laki-laki ini memang laki-laki baik-baik, pikirnya. Setelah menimbang sejenak, dia pun menjawab, “Adik saya butuh uang untuk pengobatannya. Saya dulunya karyawan kontrak dan baru diberhentikan minggu lalu. Kontrak saya habis. Saya nggak mau jadi pelacur. Dan terpikir untuk membuat iklan itu. Siapa tahu ada yang membutuhkan jasa saya. Dan Anda menelepon.”

“Jadi saya customer pertama Anda?”

Adita mengangguk.

Rafael menatap Adita. Ada kejujuran berlayar yakin dalam mata perempuan itu.

“Oke,” putus Rafael. “Saya bersedia membayar sesuai permintaan Anda. Besok kita tanda tangani surat perjanjian. Gimana?”

Deal.

Dan malam itu hampir habis dengan berbagai perbincangan yang cukup mencengangkan Rafael. Perempuan ini cerdas, nilai Rafael.

“Mm... Coba tulis surat lamaran. Ada posisi kosong di kantor. Di Bogor,” ucap Rafael.

Tapi Adita menggeleng. “Makasih, tapi saya tetap harus profesional. Saya akan cari kerjaan di tempat lain. Kalau seandainya saya sudah dapat kerjaan walau kontrak kita belum selesai, saya akan tetap membantu Anda.”

Rafael mengangkat alisnya. Adita mengedipkan matanya sambil tertawa.

“Saya serius,” ucap Adita di tengah tawanya.

Rafael mengangguk sambil tersenyum, “Ya, saya percaya.”

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #6

4 komentar:

  1. Seperti membaca cerita baru saja, nicr post mbak

    BalasHapus
  2. Perasaan dulu namanya Vedita? Kapan selametane ganti jeneng?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wis malem Jumat minggu wingi, huehehe...
      Nuwus, Mbak Boss...

      Hapus