Jumat, 15 Mei 2015

[Cerpen Stripping] When Will You Marry Me? #3







* * *


Gracia terduduk mendengar nada putus dari seberang sana. Ditatapnya ponsel dengan sinar mata kosong. Erid tak menjawab pertanyaannya. Bahkan hubungan telepon itu putus begitu saja.

Apakah Mas Erid terlalu kaget sampai dia pingsan?

Gracia menelan ludah.

Tapi aku nggak dengar bunyi ‘gedebuk’ atau apa pun...

Diangkatnya wajah dan ditatapnya cermin. Lama. Terpantul di sana bayangan dirinya. Terlihat sudah makin menua. Bukan lagi gadis usia 20-an yang masih segar dan patut diperjuangkan. Sementara Erid terlihat makin menarik dan matang di usianya yang menjelang 40 tahun. Membuat gadis dan perempuan matang normal manapun akan meliriknya bila berpapasan atau bertatap muka.

Mungkin dia tak menemukan kata yang tepat untuk menolakku...

Gracia menghela napas panjang.

Ya, Tuhan... Apa yang sudah kulakukan? Terjatuh sebelum melompat ke kapal yang baru?

Tiba-tiba saja matanya terasa menghangat. Perlahan sebuah perasaan sesal memenuhi hatinya.

Mungkin memang seharusnya aku tak perlu memikirkan sebuah pernikahan. Ini gila! Betul-betul gila!

Gracia mengusap airmatanya.

Ah, sudahlah... Cukup sekali aku berbuat bodoh seperti ini. Tak akan ada pernikahan. Tak akan pernah ada!

Ia beranjak dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Udara yang dingin menusuk di tengah derai hujan membuatnya menarik selimut hingga menutupi dagunya.

* * *

Entah berapa lama ia terseret ke alam mimpi hingga bunyi nyaring ponsel membuatnya terjaga. Setengah gelagapan ia meraih benda yang tergeletak di sisi bantalnya itu. Matanya segera menyipit melihat siapa yang meneleponnya lewat tengah malam begini.

“Ya, Mas?” ucapnya dengan suara serak.

“Grace, bukain pintu pagar dong...”

“Hah?” Gracia langsung terduduk dengan kepala pening.

Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan nyawanya yang sebagian masih tersangkut di alam mimpi. Ketika ia sudah benar-benar tersadar, buru-buru disingkapnya tirai jendela kamar. Samar-samar ia melihat mobil Erid ada di depan pagar di bawah sana.

Astagaaa... Gracia menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Sedetik kemudian ia sudah berlari, bahkan nyaris terbang, dari lantai atas ke lantai bawah. Dalam kegelapan ruang tengah dicarinya kunci pintu dan gembok pagar di laci bufet. Ketemu. Rencengan kunci itu sempat terjatuh karena kegugupannya. Tak lupa ia menyambar sebuah payung besar dari tempat payung di sisi bufet.

Erid sudah menunggu di bawah payungnya di depan pintu pagar ketika Gracia membuka pintu dan berlari keluar. Senyum lega terlihat terkembang di bibirnya.

“Mas, apa-apaan hujan-hujan lewat tengah malam begini?” seru Gracia, dengan tangan gemetar berusaha membuka gembok pagar.

“Ada yang menyanyaiku, kapan aku mau menikah dengannya,” seru Erid pula, mengalahkan deru hujan. “Kalau bisa sekarang, kulakukan sekarang, Grace!”

Gracia hanya bisa menatap bening di mata Erid tanpa sanggup mengatakan apa-apa.

“Kamu akan membiarkan kita semalaman kedinginan di tengah hujan begini?” Erid menyambungnya dengan tawa.

Gracia segera menarik tangan Erid dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Ia mendudukkan Erid di sebuah kursi di depan meja dapur dan mulai membuat dua mug coklat hangat. Ketika ia berbalik, didapatinya Erid tengah berlutut dengan sebuah kotak cincin yang terbuka di tangannya. Sebuah cincin berlian besar tampak berkilauan di dalam kotak mungil itu.

“Grace, will you marry me?” Erid mengucapkan kalimat itu dengan kerlip bintang memenuhi matanya.

Gracia buru-buru meletakkan mug yang dipegangnya sebelum benda itu terjatuh tanpa terkendali. Ia menatap Erid, menangis dan tertawa sekaligus. Dan di bawah tatapan memohon yang dikirimkan mata Erid, Gracia pun mengangguk.

Erid berdiri sambil menarik cincin itu dari kotaknya. Diraihnya tangan kiri Gracia. Disematkannya cincin itu ke jari manis Gracia. Diraihnya tangan kanan Gracia dan disatukannya dengan tangan kiri dalam genggamannya. Dikecupnya jemari kedua tangan Gracia. Terakhir, ditatapnya Gracia dengan penuh cinta.

“Aku mencintaimu,” bisik Erid. “Selalu mencintaimu. Kemarin, kini, nanti...”

Dan Gracia pun tenggelam dalam pelukan Erid.

* * *

Nino menikmati kopi Sabtu paginya sambil membaca berita-berita terkini dari tabletnya. Ia mengangkat wajah mendengar pertanyaan Utik.

“Bapak mau nasi goreng atau sandwich, Pak?”

“Terserah kamulah, Tik...,” jawab Nino sambil menatap tabletnya kembali.

Beberapa saat kemudian aroma lezat tumisan bumbu nasi goreng mengelus syaraf penciuman Nino. Ketika sudut matanya menangkap kelebatan kehadiran Utik, ia mengangkat wajah kembali. Utik menghidangkan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi dan irisan mentimun itu dengan senyum yang terlihat sangat cerah. Nino kemudian mengambil sesendok nasi goreng dan memasukkannya ke dalam mulut. Sedetik kemudian ditatapnya Utik.

“Kok lain rasanya nasi gorengmu pagi ini?”

“Kenapa, Pak?” Utik menatap Nino dengan wajah berubah jadi khawatir. “Nggak enak ya? Keasinan? Atau malah kurang garam?”

“Enggaaak... Enak kok! Malah jauh lebih enak daripada biasanya.”

“Hm...,” Utik tersenyum jahil. “Itu karena saya masaknya dengan hati berbunga-bunga, Pak. Dan pasti nasi goreng saya jadi lebih enak lagi kalau Bapak makannya sambil lihat ini...”

Nino menatap Utik yang sibuk mengeluarkan ponsel dari dalam saku kulotnya. Utik mengutak-atik ponsel itu sejenak sebelum menyodorkannya pada Nino. Nino pun menerimanya dengan heran.

Yang terpampang di depan matanya kemudian adalah foto-foto yang terlihat cukup jelas dan jernih. Tampaknya ponsel buatan China milik Utik ini mutunya cukup bagus. Nino ternganga ketika foto-foto itu bergiliran tampil dalam mode slide show.

Erid duduk di kursi dapur dengan posisi Gracia tengah membelakanginya. Erid mengeluarkan sesuatu dari saku celana pendeknya. Erid berlutut sambil bersiap menyodorkan benda yang diambilnya dari saku celana. Erid masih berlutut ketika Gracia berbalik. Entah apa yang diucapkannya hingga Gracia meletakkan mug-mug yang dipegangnya di atas meja. Gracia menutup mulut dengan kedua telapak tangannya. Gracia tampak menunduk sedikit. Erid berdiri. Erid memegang tangan kiri Gracia. Erid menyematkan sebentuk cincin ke jari manis kiri Gracia. Erid meraih tangan kanan Gracia. Erid membawa kedua tangan Gracia itu ke bibirnya. Erid dan Gracia saling menatap. Keduanya berpelukan.

Nino masih menatap layar ponsel Utik yang kemudian menggelap. Ia tersentak ketika sentuhan Utik mampir di bahunya.

“Pak...,” bisik Utik. “Bapak nggak apa-apa?”

Nino menatap Utik. “Ini apa, Tik? Kapan?”

“Pak Erid melamar Mbak Grace,” jawab Utik dengan mata berbinar. “Semalam. Dan Mbak Grace menerimanya.”

“Hah?” Nino terjingkat kaget. “Yang bener?”

“Bener, Pak!” Utik mengangguk menegaskan. “Lihat saja, Mbak Grace masih pakai daster batik yang dipakai dari kemarin sore. Pak Erid cuma pakai kaos oblong dan celana pendek.”

“Malam jam berapa?”

“Sudah lewat jam 12 malam, Pak...,” Utik menerima kembali ponselnya yang disodorkan Nino. “Saya terbangun karena dengar suara kunci serenceng itu jatuh. Saya kira maling. Nggak tahunya Mbak Grace. Mau bukain pintu buat Pak Erid. Pas hujan deras itu, Pak. Terus... ya itu...,” Utik nyengir. “Saya fotoin saja. Bisa buat kenang-kenangan Mbak Grace sama Pak Erid.”

“Kirim ke tab-ku foto-fotonya itu, Tik!” Nino tertawa mendengar nada jahil dalam suara Utik.

Utik mengacungkan jempolnya. “Siap, Pak! Saya nyuci dulu sambil kirim fotonya ya? Bapak sarapan saja dulu.”

Nino kembali menikmati nasi gorengnya. Betul, nasi goreng enak itu terasa lebih enak lagi sekarang. Masih ada sisa rasa tak percaya dalam hati Nino. Grace menerima lamaran Erid? Ia menggeleng-gelengkan kepala. Yang bisa dilakukannya sekarang hanya menghabiskan sarapannya dan menunggu Gracia bangun.

* * *

Suara klakson khas tukang donat keliling itu membuat Gracia membuka mata. Sambil menguap dilihatnya sekilas jam dinding. Pukul 7.30. Gracia menguap sekali lagi.

Ketika hendak menyingkap selimut, sesuatu yang mengganjal di sela-sela jemari tangan kirinya membuat gerakannya itu terhenti. Gracia menatapnya. Cincin bermata berlian itu masih tersemat di jari manisnya.

Jadi semuanya bukan cuma mimpi?

Gracia mengangkat tangan kirinya. Menikmati kilau mata cincin itu. Pelan bibirnya mengukir senyum. Sejenak kemudian ia sudah melompat masuk ke kamar mandi.

Kurang lebih 15 menit kemudian ia sudah wangi dan kelihatan segar dengan T-shirt krem dan celana selutut coklat tuanya. Rambut sepunggungnya diikatnya tinggi-tinggi. Ketika ia turun, didapatinya sang ayah baru saja selesai sarapan.

“Tiiik!” Gracia berseru sambil duduk di sebelah ayahnya.

“Utik lagi nyuci,” gumam Nino sambil asyik menatap tabletnya. “Kalau mau sarapan, bikin saja sendiri. Anak perawan kok bangunnya siang amat?”

“Hehehe...,” Gracia nyengir. “Hari libur ini sih, Yah... Kopinya masih ada nggak?” Gracia menunjuk cangkir kopi Nino.

Nino meraih cangkir kopinya. Alih-alih memberikannya pada Gracia, ia malah meneguknya sampai habis. Ia kemudian memiringkan sedikit cangkir itu, berlagak seolah mengintip isinya.

“Yaaah... Habis...,” ucapnya jahil.

“Pelit banget!” gerutu Gracia sambil beranjak ke dapur, diiringi derai tawa Nino.

Sejenak kemudian Gracia kembali lagi membawa secangkir kopi dan sebuah piring kecil berisi setangkup roti tawar isi sarikaya. Ia kembali duduk di sebelah Nino yang masih asyik dengan tabletnya.

“Ada berita menarik apa, Yah?” Gracia menyeruput kopinya.

“Ini lho...,” jawab Nino, terkesan sambil lalu. “Ada yang baru dilamar. Kelihatannya sih darurat, tapi cincinnya bagus banget.”

Gracia mengerutkan kening. Ia menyipitkan mata, menatap Nino dengan curiga.

“Maksudnya?”

Nino mengangkat wajahnya. Menatap polos. “Apanya yang maksudnya?”

“Eh, enggak...,” Gracia menghindar dari tatapan Nino, berusaha sibuk dengan rotinya.

“Lucu ‘kali ya,” gumam Nino. “Lamaran, yang perempuan pakai daster batik, yang laki-laki pakai celana pendek dan T-shirt. Nggak ribet.”

Gracia menghentikan acara mengunyahnya. Ditatapnya Nino. Yang ditatap kelihatan masih sibuk dengan tabletnya.

“Mana kejadiannya pas hujan deras,” lanjut Nino. “Sudah lewat tengah malam lagi! Romantis...”

Gracia menutupi mulutnya sekarang. Menutupi senyum malunya yang tiba-tiba saja terkembang. Wajahnya tampak merona merah, dipenuhi ekspresi tersipu.

“Nggak usah nyindir-nyindir juga, ‘kali...,” cetusnya.

“Maksudnya?” Nino kembali menatap Gracia, berusaha mempertahankan wajah polosnya. “Nyindir siapa?”

Mbuh ah!” Gracia mengelak.

Wong Ayah lagi lihat foto-foto ini lho...,” Nino mengulurkan tabletnya pada Gracia.

Gracia kemudian terbelalak menatap layar tablet ayahnya. Pelan-pelan tangan kirinya menutupi mulutnya yang ternganga. Kilatan mata berlian itu pun tertangkap oleh mata Nino.

“Cincinmu bagus. Kapan belinya?”

“Astagaaa...,” Gracia menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. “Ini candid banget sih!”

Tawa Nino pecah karenanya. Begitu pula Gracia.

“Ini kerjaan siapa sih?” Gracia menutupi rasa malunya dengan menggerutu seperti itu. “Utik pasti!”

“Nggak penting,” Nino meraih bahu Gracia. “Selamat ya?” bisiknya kemudian. “Kamu masih punya waktu untuk menyiapkan diri dan memantapkan hati.”

Gracia memeluk Nino. “Aku mantap. Hanya saja masih takut. Takut gagal.”

“Tidak akan gagal,” bisik Nino. “Kalau kamu dan Erid sepakat untuk menyingkirkan semua benih kegagalan itu, maka semuanya akan baik-baik saja. Percaya sama Ayah.”

“Makasih, Yah...”

Nino mencium sepenuh hati rambut wangi putri kesayangannya.

* * *

Erid menatap arlojinya, pukul 15.30. Semua tugasnya sudah selesai. Dia tidak praktek sore ini. Diraihnya ponsel. Iseng dibukanya file foto hasil jepretan Utik yang dikirimkan Gracia dua hari yang lalu. Ketika mengamati lagi foto-foto itu, bibirnya segera mengulas senyum dikulum.

Grace... Calon pengantinku... Setidaknya hubungan ini sudah melangkah satu tapak lagi ke depan.

Dihelanya napas panjang. Ia sudah lama mengenal calon ayah mertuanya. Tapi calon ibu mertuanya?

Erid menyandarkan punggungnya. Mungkin Gracia tak akan pernah menyetujui maksudnya ingin mengenal calon ibu mertuanya lebih jauh. Masih ada dinding yang begitu tinggi dipertahankan Gracia. Antara Gracia dan ibunya sendiri.

Tapi Erid tak bisa begitu saja mengabaikan perempuan itu. Bagaimana pun Gracia adalah putri perempuan itu. Seperti apa pun kelamnya sejarah yang pernah tertoreh.

Maka ia pun membulatkan tekadnya untuk menemui perempuan itu sejam kemudian. Dengan menenteng kantong plastik besar berisi beberapa batang coklat, aneka snack, dan dua kotak besar es krim, ia muncul di rumah Ilyan.

“Eh, Mas Erid!” Vita menyambutnya dengan wajah cerah.

“Anak-anak mana?”

“Ada... lagi main di belakang.”

Erid mengulurkan kantong plastik itu pada Vita. Vita menerimanya dengan wajah terlihat sungkan.

“Pasti kalau ke sini repot-repot begini,” ujar Vita.

“Halah...,” Erid terkekeh. “Kayak sama orang lain saja, Mbak...”

Vita melebarkan senyumnya. “Ayo masuk, Mas. Oh iya, selamat ya, buat yang kemarin itu .”

“Oh... Hehehe...,” Erid terlihat sedikit tersipu. “Makasih, Mbak Vit. Mm... Ibu ada?”

Vita menatap Erid. “Ibu?”

Erid mengangguk. “Ibu masih di sini kan?”

“Masih...,” Vita buru-buru mengangguk. “Mas Erid mau ketemu Ibu?”

Erid mengangguk lagi. Ia kemudian duduk di ruang tamu rumah mungil itu sementara nyonya rumahnya menghilang ke dalam. Tak lama, perempuan itu muncul. Perempuan yang ingin ditemui Erid. Menatap Erid ragu-ragu. Erid bangkit dari duduknya.

“Selamat sore, Bu,” Erid menyapa sopan, menyalami Hanny.

“Sore... Mas Erid ya?”

“Betul, Bu. Apa kabar?”

“Baik,” Hanny mengangguk, tersenyum. “Silakan duduk.”

“Terima kasih. Begini, Bu. Maksud kedatangan saya ke sini, saya ingin ngobrol dengan Ibu. Soal Grace. Ibu ada waktu?”

Hanny menatap Erid sejenak, sebelum mengangguk.

* * *

Hanny menatap laki-laki yang sibuk memesan menu di depannya itu. Raut wajah laki-laki tampan itu terlihat begitu tenang dan menyiratkan kesabaran. Setelah urusannya selesai, laki-laki itu mengucapkan terima kasih pada waiter, dan mengalihkan tatapannya pada Hanny.

“Terima kasih karena Ibu bersedia meluangkan waktu untuk mengobrol sore ini,” ucap Erid, masih terkesan formal.

“Sama-sama,” Hanny mengangguk sambil tersenyum.

“Mm... Saya kekasih Gracia, putri Ibu. Sekarang status saya sudah meningkat jadi calon suami karena Grace sudah menerima lamaran saya empat hari yang lalu. Lamaran resmi memang belum kami lakukan karena masih menunggu satu-satunya kakak saya bisa pulang ke sini untuk melamar Grace pada Ayah. Kakak saya tinggal di Belanda, ikut suaminya tugas di kedubes kita di sana. Orangtua kami sudah tidak ada, jadi Kakak yang akan mewakili almarhum orangtua untuk melamar Grace secara resmi. Dan di sini...”

Ucapan Erid terhenti sejenak ketika waiter membawakan pesanan minuman mereka. Setelah waiter itu pergi, Erid pun melanjutkan ucapannya.

“Saya sudah sangat mengenal Ayah, Bu. Delapan tahun saya pacaran dengan Grace. Ayah selalu menerima kehadiran saya dengan tangan terbuka. Sama seperti Ayah menerima kehadiran Mbak Vita dalam kehidupan Ilyan. Saya membutuhkan restu Ibu, walaupun mungkin Grace sendiri memandang semua itu tak penting. Tapi bagaimanapun, buat saya, Ibu tetap ibu Grace yang harus saya hormati juga. Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dari Ibu, hingga saat ini saya belum berhasil mengubah sikap dan pandangannya terhadap Ibu.”

Hanny tercenung lama. Hingga waiter datang lagi mengantarkan makanan yang sudah dipesan Erid. Ditunggunya hingga waiter itu pergi.

“Mas Erid,” ucap Hanny kemudian, lirih. “Saya mengucapkan terima kasih karena Mas Erid masih bersedia menganggap saya ada. Seandainya tidak pun, saya akan terima dengan lapang dada. Saya menyadari posisi saya di mata Ilyan dan Grace, terutama Grace. Ilyan, meskipun laki-laki, sejak kecil memang sudah lebih lunak dan permisif daripada Grace. Ilyan mirip ayahnya, dan Grace sendiri mirip saya. Saya memahami itu. Saya hanya bisa berdoa dan berharap, Grace dan Ilyan seteguh ayahnya, tidak tertular ketidaksetiaan yang pernah saya lakukan. Tapi perasaan saya bilang, Ilyan dan Grace memang anak-anak dari ayahnya yang seteguh itu memegang kesetiaan.”

“Saya tidak pernah mencemaskan itu, Bu,” senyum Erid. “Selama delapan tahun ini saya sudah menikmati kesetiaan Grace. Sekaligus ketakutannya untuk melangkah menuju ke masa depan bersama saya. Tapi sejak awal saya percaya Grace memang diciptakan Tuhan untuk saya. Karena itu saya siap menunggunya sampai kapan pun hingga dia bersedia untuk saling mengikatkan diri bersama saya dalam sebuah pernikahan. Dan saat ini, Tuhan sudah mengabulkan doa saya.”

“Saya menambah kesalahan itu dengan pernah tidak menyetujui pilihan Ilyan,” Hanny menunduk menatap piringnya. “Tapi saya sudah menyadari bahwa sikap saya itu salah. Vita sangat baik. Dan dia adalah perempuan yang tepat buat Ilyan. Dan Anda, Mas Erid...,” Hanny mengangkat wajahnya, menatap Erid, dalam, “berjanjilah pada saya untuk menjaga Grace baik-baik. Tolong jangan sakiti hatinya seperti saya sudah menyakiti hati seluruh keluarga saya.”

“Saya berjanji, Bu,” ucap Erid mantap.

Hanny tersenyum dengan telaga bening mulai mengembang di matanya.

* * *

Bersambung ke : When Will You Marry Me? #4

Gambar : www.orori.com



4 komentar:

  1. Waw.... Nice Post Mak Lis

    #Beneran jadi mupeng pengen balik ke blog pribadi. hahahaha :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo, Mbak Imas... Tak'tunggu tulisan baru di blognya...
      Makasih mampirnnya ya...

      Hapus