Senin, 11 Mei 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #4






Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #3


* * *


Hujan deras selalu membuat hati Lea was-was. Apalagi langit sudah gelap, dan Steve belum juga pulang. Lea menghela napas panjang.

Curahan hujan dari langit selalu menyentuh tepian trauma yang diam-diam disimpannya. Tentang sebuah kabar kelam. Ketika Piet dikabarkan mengalami kecelakaan mobil di tengah derasnya hujan. Dalam perjalanan pulang dari kantor Bogor. Dan nyawanya tak bisa diselamatkan.

Sudah hampir lima belas tahun. Tapi seolah semuanya baru terjadi kemarin. Ketika Piet dimakamkan diiringi tangisannya dan derai airmata kedua putra kembarnya. Membuatnya menyandang status janda sekaligus ahli waris perusahaan yang telah lama dirintis Piet.

Semuanya begitu tiba-tiba. Membuatnya banyak meraba dalam gelap untuk mempertahankan seluruh peninggalan Piet. Perusahaan beserta seluruh karyawan dan keluarganya. Agar semuanya tetap hidup. Terutama Rafael dan Steve.

Dan semua usahanya tak sia-sia. Kalau dia boleh bernapas lega, sekaranglah waktunya. Ketika Rafael memilih untuk memegang cabang di Bogor. Memaksa Steve tetap berada di Jakarta, dekat dengan sang mama.

Lea kembali menghela napas panjang. Dan napas panjang itu segera jadi hembusan kelegaan ketika dia mendengar bunyi klakson yang dikenalnya. Steve pulang. Bergegas Lea meninggalkan teras belakang dan melangkah ke arah garasi. Steve mematikan mesin mobil tepat ketika Lea muncul melalui pintu ke arah dapur.

“Malam sekali kamu pulangnya?” tegur Lea.

“Banjir, Ma, hujan deras begini.”

Seutuhnya Steve dapat mendengar ada kelegaan dalam suara mamanya. Diciumnya sekilas kedua pipi mamanya.

“Ponselmu low batt?”

Steve mengangguk. “Power bank-ku ketinggalan di laci meja.”

“Buruan mandi, terus makan.”

“Mama udah makan?”

Lea menggeleng. “Mama tunggu kamu.”

* * *

Steve menyentuh bahu mamanya. Lea yang sedang asyik membaca majalah setelah makan tersentak kaget. Dia menoleh.

“Mama belum tidur?”

Lea menggeleng. Ditatapnya Steve. “Mau ngomong sesuatu?”

Steve mengangguk, kemudian mengambil tempat tepat di sebelah mamanya. Direngkuhnya bahu mamanya dengan lengannya yang kekar.

“Ma...”

“Hm...”

“Aku rasa.... aku... aku suka sama Anna...”

Seketika Lea melepas kacamata bacanya dan menoleh cepat ke arah Steve.

“Kamu jangan main-main sama anak itu!” tegur Lea lugas. “Mama kenal dia. Dia gadis baik-baik. Mama nggak mau kamu permainkan dia!”

“Aku nggak akan mempermainkan dia, Ma. Dia...,” Steve menentang tatapan mamanya, “... lain...”

“Apanya yang lain?” kejar Lea.

Steve menghela napas panjang. “Ya lain... Lain sama gadis-gadis yang pernah kupacari. Entahlah, Ma. Perasaanku juga lain. Belum pernah aku merasa seperti ini.”

Apa yang dikhawatirkannya terjadi sudah! Lea menghela napas panjang. Steve masih menatapnya.

“Dengar ya, Steve,” Lea menatap baik-baik putranya. “Mama nggak peduli kamu mau pacaran dengan siapa pun. Gadis mana pun. Karena Mama tahu semua gadis yang pernah kamu pacari itu nggak ada yang bermutu, kecuali kecantikannya. Dan tertarik sama kamu cuma karena kamu tampan dan kaya. Tapi jangan Anna, Mama mohon...”

“Karena Anna lebih pantas buat Rafael?”

Lea melengak mendapati ada nada tajam dalam ucapan Steve.

Sejujurnya? Ya.

Lea terpekur.

Steve dan Rafael memang kembar. Identik. Dengan wajah dan postur tubuh nyaris serupa. Tapi entah kenapa sifat keduanya begitu bertolak belakang. Sejak kecil Rafael memang anteng dan nyaris seperti malaikat karena kebaikannya. Sedangkan Steve lebih mirip setan kecil. Dengan kebengalan yang membuat semua orang pusing. Tapi keduanya saling menyayangi, saling menjaga, saling melindungi.

Hingga suatu saat keduanya terjebak dalam rivalitas yang nyaris tak berujung.

Berawal dari seorang gadis bernama Mega. Yang disukai Rafael dan Steve. Tapi gadis manis itu lebih memilih Rafael. Kesalahan tak terampunkan di mata Steve. Membuatnya melampiaskan seluruh rasa sakit hatinya dengan memacari puluhan gadis, kemudian mencampakkannya begitu saja, tanpa sedikit pun rasa.

Rafael dan Mega yang merasa telah menyebabkan ‘mengamuknya’ Steve pada akhirnya tak mampu mempertahankan hubungan itu. Hubungan yang seharusnya terjalin rapi tanpa dihantui rasa bersalah. Mereka pun memutuskan untuk berpisah. Menimbulkan kesalahan baru di mata Steve. Tanpa Rafael tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Dan rivalitas itu berlanjut ketika sang Mama memutuskan untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan perusahaan pada si kembar setelah keduanya lulus kuliah. Sudah lama sang Mama menyiapkan Rafael untuk memegang kantor pusat di Jakarta. Sebuah posisi yang Rafael tahu sangat diinginkan Steve. Karena Steve malas tinggal di Bogor yang menurutnya terlalu sepi.

Dan dengan segala daya upayanya Rafael menggagalkan rencana mamanya itu. Membuatnya terlibat pembicaraan yang begitu dalam dengan mamanya.

“Ma, selama ini aku jarang menuntut sesuatu kan, dari Mama?”

Lea menatap Rafael dengan jantung berdebar. Entah kenapa sepertinya permintaan Rafael kali ini seolah menyangkut hidup dan mati.

“Sekarang aku ingin minta sesuatu dari Mama. Tolong, Ma, taruh aku di Bogor...”

Lea menangkap ada permohonan yang sarat dalam mata Rafael. Dan dia tak tahu harus menjawab apa.

“Kenapa?” hanya itu yang  bisa diucapkannya.

“Karena aku ingin di Bogor, Ma. Dan Steve lebih mampu pegang kantor Jakarta.”

“Bukan karena acara ‘penebusan dosa’?”

Rafael tertawa. Menutupi kata ‘iya’, jawaban jujurnya.

“Enggaklah, Ma. Gimana? Oke, Ma?”

“Ya nanti Mama pikirkan lagi.”

Dan selanjutnya dia harus mempercayai kepemimpinan Steve di kantor pusat. Membawa perusahaan itu makin besar. Membuatnya merasa lega karena mau meluluskan permintaan Rafael. Lagi-lagi Rafael. Tidak adilkah dia selama ini pada si kembar?

“Jadi benar? Karena Anna lebih pantas buat Rafael?”

Lea tersentak. Kalimat Steve membuatnya terlempar kembali ke masa sekarang. Dia mengangkat wajah. Ditatapnya Steve. “Kalau Mama bilang tidak, apakah kamu akan percaya?”

Steve kehilangan kata. Tak menyangka jawaban mamanya akan seperti itu.

“Steve, ini bukan tentang kamu atau Rafael,” ucap Lea tegas. “Ini tentang Anna. Dia bukan seperti gadis-gadismu yang lain. Dia lebih, segalanya. Kalau hanya untuk kamu campakkan nantinya, Mama nggak akan pernah memaafkan kamu.”

“Aku nggak akan mencampakkan dia, Ma,” Steve berlutut di depan mamanya. “Aku benar kan? Dia lain. Dia akan jadi pelabuhan terakhirku. Aku janji, Ma...”

“Tapi seandainya dia memilih Rafa, apakah kamu akan kembali meliar lagi, Steve?”

Steve tertunduk. Kalah untuk kedua kalinya? Sudah siapkah dia?

“Cinta nggak bisa dipaksakan, Steve,” Lea menepuk lembut punggung tangan Steve. “Cinta juga seharusnya nggak menanggung beban yang bukan kesalahannya. Kamu sudah dewasa. Mama harap kamu menyadari itu.”

Steve tercenung. Cinta juga yang membuatnya jadi jauh dengan Rafael. Cinta yang begitu buta. Ada setumpuk rasa kehilangan yang terkadang tak diakuinya. Membuatnya terbelit penyesalan yang membuatnya merasa jadi demikian kecil bila membandingkan diri dengan Rafael.

“Jadi, biarkan Anna memilih,” ucap Lea. “Dan hormatilah pilihan itu. Jangan seperti anak kecil.”

Ada sesuatu yang menohok perasaan Steve.

Rasanya, dia sudah kalah sebelum bertanding...


* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #5


7 komentar:

  1. Aduh, repot ya kalau mencintai gadis yang sama. Maklum, kembar suka kompak sih ya, lanjut bu...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru balesin komennya, Bu... Makasih atensinya ya...

      Hapus
  2. Lhoh! Kok wes chapter 4 seh? Sek aq ta'ngeroll sek yo mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah aq speechless ....... duduk manis aja wes tunggu chapter brktny

      Hapus