Selasa, 31 Juli 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #4-2









Sebelumnya



* * *

Renata mendekap Steve yang tengah asyik menyusu padanya di tengah nyamannya nursing room lantai dua gedung Menara Daha. Bayi berpipi bulat itu terlihat mengantuk. Renata tak hendak mengusiknya. Sambil bersandar dan memeluk erat Steve, ia menatap wajah Steve yang seutuhnya mewarisi tampannya wajah sang ayah.
  

Pada saat seperti itu, tanpa bisa dicegah lagi terngiang kembali percakapannya dengan Rafael saat menikmati makan siang beberapa belas menit lalu. Lebih tepatnya, apa yang sudah diucapkan Rafael, karena ia hanya menanggapinya dengan keheningan. Tidak terlalu dalam juga karena mereka pun sibuk melayani celoteh Steve.


“Aku minta maaf atas kejadian beberapa hari lalu,” gumam Rafael di tengah hiruk pikuk Warung Mak Cempluk yang ada di sudut food court lantai dua Menara Daha.

Renata mendengar, tapi tak menanggapinya. Ia sibuk menyuapi Steve dengan potongan-potongan kecil buah melon. Rafael sendiri tahu Renata mendengar gumamannya. Maka ia pun meneruskan. Masih dengan suara rendah.

“Jujur, aku tak tahu kenapa tak bercerita tentang Adita padamu. Yang jelas, semua sudah selesai. Kamu tahu sendiri, kami sudah punya keluarga masing-masing. Kita juga hidup bahagia selama ini.”

Tapi Renata masih juga merasa tak puas. Entah di bagian mana. Di telinganya, penjelasan Rafael hanyalah sekadarnya saja. Dan, rasa ‘selama ini Rafael sudah tak jujur kepadanya’ itu lebih mendominasi. Dihelanya napas panjang.

“Mimik, Mama...,” mendadak Steve berucap dengan suara kecilnya.

Tanpa berkata apa pun, Renata berdiri dengan menggendong Steve. Meraih pula tas kain berwarna coklat susu bergambar beruang lucu yang berisi semua perlengkapan Steve. Disandangnya tas itu di bahu kanan sebelum melenggang pergi meninggalkan Rafael, menuju ke nursing room. Masih dalam hening.


Dihelanya napas panjang. Steve tampaknya sudah benar-benar terlelap kini. Ketika ia mulai membenahi bajunya, bayi itu masih juga memejamkan mata. Untung ia tadi sudah mengganti popok Steve sebelum mulai menyusui. Membuatnya bisa segera menyerahkan Steve pada Rafael, untuk kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Rafael masih duduk di tempat semula ketika ia keluar dari nursing room. Dengan gerakan hati-hati, diserahkannya Steve pada Rafael, setelah lebih dulu mencium pipi bayi kesayangannya itu. Rafael menatapnya.

“Ren, kita harus bicara,” ujarnya dengan suara halus.

Renata balas menatapnya. Terlihat kesal.

“Seharusnya sudah sejak dulu,” desis Renata, menyipitkan mata.

Lalu, ia pun kembali meninggalkan Rafael. Diburunya lift dengan langkah cepat. Waktu istirahat hanya tersisa lima menit lagi. Tampaknya agak sedikit terlambat untuk mencapai ruang kerjanya. Tapi tak apa. Siang ini dia memang harus keluar untuk bertemu dengan Nugra di toko laki-laki itu, untuk membicarakan kelanjutan proyek mereka.

Satu hal yang ia harapkan, Adita tak ada di sana untuk menemani sang suami. Ia tak mau konsentrasinya terganggu, karena ia masih punya beberapa proyek lagi yang harus dikerjakan sesuai jadwal.

* * *

Renata menghela napas lega ketika desain rancangannya begitu saja disetujui Nugra. Benar-benar tanpa sedikit pun catatan. Jadi, Renata tak perlu susah-susah membuat perbaikannya. Terlihat sekali bahwa Nugra seutuhnya menyukai desain itu, apalagi anggaran yang dimilikinya cukup untuk mewujudkannya. Bahkan masih tersisa cukup banyak anggaran untuk hal tak terduga. Pun, Renata sudah melengkapi presentasinya dengan gambar bangun ruang tiga dimensi dalam kondisi sudah lengkap ‘terisi’. Membuat Nugra bisa membayangkan akan seperti apa toko ketiganya kelak.

“Kalau dari Bapak sudah ACC, saya tinggal rapatkan dengan tim kerja saya,” ucap Renata sebelum menutup laptopnya. “Biar secepatnya kami kerjakan.”

“Ya, saya ACC, Mbak,” Nugra mengangguk mantap.

Renata kemudian menyodorkan surat persetujuan desain yang sudah disiapkannya. Dengan ringan, Nugra pun menggoreskan tanda tangan. Kemudian, sambil menutup map bersampul plastik bening berwarna oranye muda itu, Nugra menatap Renata. Terlihat serius.

“Maaf, Mbak, boleh saya bertanya?” ucapnya, terdengar ragu-ragu.

“Ya, Pak?” Renata balas menatap Nugra.

“Mm.... Sebelumnya, saya minta maaf. Kalau Mbak Renata nggak berkenan untuk menjawab pertanyaan saya, skip saja.”

“Oke,” Renata tersenyum. Mencoba menutupi debar liar yang mendadak saja menyerang jantungnya.

“Mm.... Sudah berapa lama Mbak menikah dengan Mas Rafael?”

Renata sudah menduga bahwa pertanyaan Nugra bersifat pribadi. Sama sekali tidak menyangkut pekerjaan.

“Jalan tiga tahun. Masih bayi banget, Pak,” ia kembali tersenyum.

“Oh...,” Nugra mengangguk. “Bertemu di mana?”

“Kantor kami satu gedung,” Renata masih bersedia menjawabnya dengan ramah. “Sering bertemu di lift. Pun, saya bersama tim pernah menggarap interior rumah barunya. Rumah yang akhirnya kami tempati sekarang. Bapak sendiri, bagaimana bisa bertemu dengan Mbak Adita?”

Senyum Nugra merekah seketika. Wajahnya terlihat berseri.

“Saya pelanggan salah satu cabang kedainya,” jawab Nugra dengan suara ceria. “Dari perut, naik ke hati.”

“Oh...,” Renata mengulas senyum ketika menanggapi jawaban Nugra.

“Tapi Mbak Renata nggak cemburu dengan masa lalu mereka, kan?”

Suara ringan Nugra mendadak saja terasa menohok ulu hati Renata. Tapi tetap berusaha menutupi kesakitan itu dengan tawa dan suara ringan.

“Kenapa harus cemburu?” Renata sedikit tergelak. “Atau jangan-jangan...., justru Bapak yang cemburu?”

“Ya,” wajah Nugra mendadak saja terlihat serius. Membuat tenggorokan Renata seketika terasa pahit.

“Terkadang saya masih merasa pernikahan kami cuma sekadar pelarian saja baginya,” lanjut Nugra, dengan suara rendah. Menundukkan sedikit kepalanya. “Pelarian dari patah hati karena sudah mengundurkan diri dari hubungannya dengan Mas Rafael.”

“Kenapa?” tanya Renata cepat. Terlalu cepat.

Nugra mengerutkan kening. Kembali ditatapnya Renata.

“Mbak tidak tahu ceritanya?” tanya Nugra.

Renata hampir tersedak. Astaga! Pertanyaanku salah! Tapi secepatnya ia menguasai diri.

“Maksud saya,” jelasnya kemudian, dengan nada diplomatis, “saya, kan, hanya tahu kisahnya dari sisi Mas Rafael saja. Selebihnya dari pihak Mbak Adita, saya tidak tahu.”

Padahal aku memang benar-benar tidak tahu apa-apa, lanjutnya dalam hati. Dengan sedikit perasaan nelangsa.

“Oh...,” Nugra mengangguk sedikit. “Adita hanya ingin memberi kesempatan pada Mas Rafael untuk kembali pada cintanya. Sesederhana itu. Walaupun efeknya sungguh tidak sederhana bagi Adita.”

Soal perasaan Rafael terhadap Anna, itu Renata sudah tahu. Tapi soal keterlibatan seorang perempuan bernama Adita dalam kehidupan Rafael, itu yang bagi Renata masih benar-benar gelap.

Apa sebaiknya aku dengar saja ceritanya dari Mas Rafael?

Renata menggigit bibir.

Tapi apakah aku benar-benar sudah siap?

Dikerjapkannya mata.

Buat apa sebenarnya dia menyembunyikan episode itu dariku?

Dihelanya napas panjang. Dan, ditatapnya Nugra.

“Apa pun yang telah terjadi di masa lalu, semoga tidak menghantui masa kini dan masa depan kita bersama keluarga masing-masing, Pak,” ucapnya, halus.

Ah.... Seandainya memang benar seperti itu, lanjut hatinya, masih diliputi perasaan nelangsa.

“Saya harap begitu,” angguk Nugra, balik menatap Renata. “Saya juga berharap Mbak tidak terpengaruh dengan apa yang saya rasakan.”

Renata meringis dalam hati. Menyadari bahwa ia sudah terjebak ironi karena ketertutupan Rafael akan episode itu. Ia harus berlagak baik-baik saja di depan Nugra, semata karena ia tak ingin mengumbar aib ‘perang dingin’ yang telah dilancarkannya terhadap Rafael, di hadapan Nugra, seorang laki-laki yang belum lama dikenalnya. Seorang klien pula.

Tak ingin berlama lagi di tempat itu, Renata pun segera berpamitan. Ia berjanji akan menghubungi Nugra lagi bila timnya sudah siap untuk mulai menata toko baru Nugra.

“Saya targetkan Senin sepuluh hari lagi sudah bisa dimulai, Pak,” ucap Renata, optimis.

Nugra pun menyambut janji itu dengan gembira.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)