Rabu, 01 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #4-3









Sebelumnya



* * *



Seusai makan siang dengan Renata, Rafael memutuskan mampir sejenak saja ke kantornya untuk mengambil tas dan berpamitan pada sekretarisnya, sebelum membawa Steve pulang. Bayi montok itu masih juga terlelap ketika Rafael membaringkannya dalam baby car seat yang sudah ia atur ulang. Sesudah memastikan bahwa Steve aman dan nyaman, barulah Rafael meluncurkan mobilnya pelan-pelan meninggalkan basement Menara Daha.

Ia memutuskan untuk tidak langsung pulang, tapi mampir dulu ke sekolah Sarah. Sudah cukup lama ia tidak menyisihkan waktu untuk mengantar atau menjemput anak sulungnya itu. Membiarkan Sarah pergi dan pulang sekolah diantar mobil jemputan. Sesekali ia menyempatkan diri untuk mengantar atau menjemput Sarah.

Jam digital menunjukkan angka 13:54 ketika ia menepikan mobilnya di daerah depan sekolah Sarah. Tempat itu sudah penuh dengan antrean mobil penjemput. Terpaksa ia parkir cukup jauh dari gerbang sekolah. Setelah mematikan pendingin kabin dan mesin mobil, serta membuka jendela kiri depan, segera ia mengambil ponsel dari saku kemejanya untuk menghubungi sopir mobil jemputan Sarah, yang ia tak tahu parkir di mana.

“Halo, Mas Ndoko? Ini papanya Sarah, Mas.”

“Oh, iya. Gimana, Pak?” begitu sahutan dari seberang sana.

“Siang ini saya jemput Sarah, Mas. Nanti kalau anaknya keluar, tolong, dikasih tahu, ya? Saya tunggu di depan kedai bakso Ciamik.”

“Lho, jauh, Pak?”

“Iya, Mas, hehehe.... Agak telat ini tadi. Nggak apa-apa, saya masih bisa lihat ke arah gerbang.”

“Baik, Pak.”

“Terima kasih, Mas Ndoko, selamat siang.”

“Sama-sama, Pak. Selamat siang.”

Tepat ketika keduanya mengakhiri pembicaraan itu, terdengar sayup-sayup alarm tanda berakhirnya jam pelajaran berbunyi. Rafael sejenak menatap perjaka kecilnya yang masih juga terlelap dengan wajah damai. Pelan, tangannya terulur, mengelus kepala Steve dengan penuh rasa sayang.

Sepuluh menit kemudian, Sarah muncul dengan wajah lelah. Terlihat semringah ketika menemukan penjemputnya. Lebih ceria lagi ketika mendapati bahwa adik kecilnya ikut serta. Ia pun menyelinapkan tubuhnya di jok belakang. Setelah menerima kecupan hangat di kening dari sang ayah, gadis kecil itu pun mencium pipi bulat Steve dengan gemas. Bayi itu menggeliat sedikit, tapi matanya tetap terpejam.

“Kamu ini, Adik lagi bobok, digangguin,” gerutu Rafael sambil menghidupkan mesin mobil dan mulai melajukan mobil itu.

Sarah tergelak ringan. Tawa yang membuat Steve merasa terusik hingga terjaga dan mengerjapkan mata. Ia sudah hampir merengek, tapi tak jadi ketika mendapati ada ayah dan kakaknya ada di dekatnya. Sarah segera mencandai adiknya, sehingga suara tawa dan cekikikan bergantian memenuhi kabin mobil Rafael.

“Pa, makan bakso dulu, napa?” ujar Sarah beberapa saat kemudian, dengan nada aleman.

“Lha, tadi di depan kedai bakso bukannya minta, malah diam saja,” Rafael menanggapi.

“Di Ciamik?”

“Iya,” angguk Rafael.

“Kurang enak bakso di situ, Pa. Enakan yang di dekat rumah.”

“Oh.... Cak Blek?” Rafael memastikan.

“He eh,” Sarah mengangguk.

“Ya, sudah, tapi antar Adik dulu, ya? Kita nanti naik sepeda saja ke Cak Blek.”

“Siap, Komandan!”

Tawa Rafael pecah mendengar sahutan putri sulungnya.

Pukul tiga lewat sedikit, Rafael sudah meluncurkan mobilnya masuk ke garasi samping, kavling khusus untuk mobilnya dan Renata. Setelah mobil itu benar-benar berhenti, Sarah meloncat keluar dengan menyandang ransel di bahu kanan, membawa tas Rafael di tangan kiri, dan tas Steve di tangan kanan. Ia menolak ketika Rafael hendak mengambil alih salah satunya.

“Sudah.... Papa gendong Adik saja,” kilahnya sambil ngeloyor masuk ke dalam rumah.

Mendengar suara ‘berisik’ itu, Lea yang sedang sibuk di teras belakang dengan tiga ekor kucingnya, melongokkan kepala. Setelah meletakkan semua barang bawaannya di sofa ruang tengah, Sarah menemui neneknya.

“Aku pulang, Oma,” ucapnya sambil mencium punggung tangan kanan Lea.

Perempuan sepuh itu membalasnya dengan ciuman hangat di kening.

“Kayak dengar suara papamu?” gumam Lea.

Sarah tak perlu menjawab, karena yang ditanyakan sudah muncul juga di teras belakang. Laki-laki itu melakukan hal yang sama dengan putrinya. Melihat sang nenek, Steve segera mengulurkan tangan dan berpindah ke pelukan dan pangkuan Lea.

“Tadi jemput Sarah?” Lea menatap Rafael.

“Iya,” angguk Rafael. “Habis makan siang aku nggak ada kerjaan. Sekalian bawa pulang Steve, aku jemput Sarah.”

“Sudah bilang Mas Ndoko?” Lea mengangkat alis. “Kasihan kalau dia cari-cari Sarah nggak ketemu.”

“Sudah, dong, Ma,” Rafael tertawa ringan. Ia kemudian menatap Sarah. “Ayo, jadi, nggak?”

“Jadi, dong!” sahut Sarah seketika. “Aku ganti baju dulu.”

“Mau ke mana lagi?” sergah Lea.

“Itu, si Ucrit minta bakso,” Rafael kembali tertawa. “Yang di dekat sekolah katanya kurang enak. Enakan di Cak Blek.”

“Oh.... Mama mau kalau bakso Cak Blek. Bungkusin, ya?”

“Oke, Ma,” Rafael mengacungkan jempol sembari berbalik.

Sejenak kemudian ia dan Sarah kembali ke teras belakang untuk berpamitan pada Lea. Baju keduanya sudah berganti dengan celana pendek dan kaus oblong, dilengkapi topi. Siap mengayuh sepeda ke kedai bakso Cak Blek di ujung jalan utama, dekat dengan jalan raya, sekira tiga ratus meter jauhnya dari rumah.

* * *

“Pa, lagi berantem sama Mama, ya?” bisik Sarah ketika keduanya duduk menunggu bakso campur pilihan mereka diberi kuah.

Rafael tersentak mendengarnya. Untung kedai bakso itu sedang sepi. Hanya mereka berdua yang hendak makan di sana. Jamnya memang sedang tanggung. Ditatapnya Sarah.

“Kok, ngomong gitu?” Rafael balik berbisik.

“Biasanya, kan, orang berantem gitu. Diem-dieman,” bisik Sarah lagi. “Kayak Mama sama Papa beberapa hari ini.”

“Sok tahu,” Rafael mengerucutkan bibir, membuat Sarah nyengir jenaka.

Bisik-berbisik itu terjeda ketika seorang pramusaji datang menghidangkan pesanan mereka. Rafael mendongak sejenak.

“Minta dibungkus, ya, Mbak,” ucapnya. “Sepuluh porsi, kuah sama gorengannya dipisah.”

“Banyak banget?!” sela Sarah dengan mata terbelalak.

“Halah!” tukas Rafael. “Nanti lihat Oma sama Mama makan bakso di rumah, kamu pasti ngiler lagi.”

“Hahaha.... Iya, sih...,” Sarah tergelak.

“Belum lagi buat dibawa pulang Pak Mun, buat istri sama anak-anaknya.”

Pramusaji itu pun tersenyum lebar mendengar pembicaraan ayah-anak itu. Ketika perempuan berusia empat puluhan itu beranjak, Sarah kembali menatap Rafael.

“Enak, dicemberutin Mama?” bisik Sarah kembali, dengan ekspresi meledek.

Rafael tertawa di tengah rasa kesalnya. Diulurkannya tangan. Menjitak lembut kepala Sarah.

“Auw!” Sarah kembali berbisik dengan sedikit ekspresif.

“Iya, Mama ngambek,” jawab Rafael, akhirnya.

“Tuh, kan?” Sarah menyipitkan mata, dengan nada kemenangan memenuhi bisikannya. “Pasti Papa yang nakal.”

Rafael meringis. Ada kalanya, bicara berdua dengan Sarah seperti bicara dengan seorang sahabat. Dalam koridor sedikit kekanakan, pasti. Seperti saat ini.

“Iya, salah Papa, sih,” gumamnya kemudian.

Sarah manggut-manggut dengan rupa sok dewasa. Membuat Rafael geli. Tapi ditahannya juga ujung-ujung bibirnya agar tidak melebar. Betapa gadis kecilnya ini makin mirip dengan Renata!

“Mama nggak mau dengar penjelasan Papa,” lanjut Rafael, agar senyumnya tidak mekar tanpa guna. “Telanjur ngambek.”

“Jelasin saja lewat surat,” wajah Sarah terlihat sangat serius.

Rafael terbengong seketika. Sarah memutar kedua bola matanya dengan ekspresif, seolah ‘menghina kebodohan’ ayahnya. Rafael mencebikkan bibir sejenak kemudian.

“Ah, palingan juga nggak dibaca sama Mama,” gumamnya. Skeptis. “Disobek, diremas, dimasukin tong sampah.”

Ganti Sarah yang terbengong mendengar tanggapan ayahnya. Gadis kecil itu kemudian menepuk keningnya dengan sedikit dramatis.

O-em-ji, Papaaa...,” serunya dengan suara tertahan. “Astaga dragon! Papa ini direktur perusahaan yang sudah hi-tech! Masih kepikiran nulis surat pakai kertas??? Pakai email, Papaaa, email! Iya, kalau aku kapan hari waktu berantem sama Nuti, memang disuruh minta maaf sama Mama, nulis surat pakai kertas. Tapi ini, kan, Papa? Yang sama Mama buka email tiap hari?”

Sarah menggelengkan kepala dengan ekspresi jengkel hingga ke ubun-ubun. Rafael tertawa seketika. Menyadari ketotolannya.

Menjelaskan lewat email, ya? Hm.... Boleh juga!

Kembali ditatapnya Sarah, dengan serius.

“Anak Papa yang satu ini, cerdas banget, sih?” ujarnya, dengan nada memuji.

Seketika Sarah memasang tampang jemawa. Membuat Rafael ingin menjitaknya lagi. Pada saat-saat seperti ini, ekspresi jahil Sarah sungguh-sungguh membuatnya teringat pada almarhum Steve.

“Ya, jelas, dong! Sarah Sesotya Adibarata, gitu, loh!” Sarah menepuk dada.

Seketika, sang ayah menjitak lembut lagi kepalanya, seraya tergelak.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)