Senin, 06 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #6-1









Sebelumnya



* * *


Enam


Nugra mulai bisa bernapas lega kini. Penataan toko barunya sudah mulai berwujud. Persis seperti desain Renata yang sudah disetujui dan sangat disukainya.

Ruang toko yang bentuknya memanjang ke belakang itu dulunya bekas kafe. Ukurannya 25x40 meter dengan atap cukup tinggi, tanpa ditutup plafon. Renata memutuskan untuk mempertahankan konsep langit-langit model industrial itu. Dieksposnya tampilan tekstur atap beserta semua elemen penyusunnya melalui permainan warna.

Bagian dalam atap galvalum yang menaungi ruangan itu dicat warna putih, sama seperti semua bidang dinding dalam. Besi-besi pembentuk kerangka atap dicat warna hijau lumut. Kap-kap lampu yang menggantung dari atap itu, semuanya berwarna oranye wortel. Semua itu menimbulkan kesan terang, lega, bersih, dan segar yang menyebar ke seluruh sudut ruangan.

Renata juga mempertahankan bentuk depan bangunan itu. Bagian tengah bidang ditutup dinding kaca sedikit gelap dan dua daun pintu geser yang arah bukanya berhadapan, setinggi dua setengah meter. Logo dan nama Organikita terpampang besar-besar tepat di bagian atas pintu. Sisa bidang dinding masing-masing lima meter di kiri dan kanan ditutup tembok setinggi satu meter dengan jendela kaca setinggi satu setengah meter tepat di atasnya, sebelum ada lagi tembok hingga mencapai atap. Tembok bawah ditutup dengan cat hijau lumut, sewarna kerangka atap, tembok atas ditutup warna oranye wortel, dan semua kusen ditutup warna putih. Sama seperti dinding dalam, bagian luar dinding toko itu dihiasi gambar aneka jenis sayur dengan warna-warni cerah dalam model kartun menggemaskan.

“Besok pagi hingga siang, jadwal kita adalah pembersihan total, Pak,” ucap Renata. “Sekitar pukul dua, sebagian perabot besar akan tiba di sini. Akan langsung kami tata. Sisanya akan datang bertahap selama tiga hari.”

“Wah,” Nugra menggeleng dengan rupa takjub. “Berarti bisa saya percepat pembukaan toko ini, ya? Toh, gudang dan segala penunjangnya sudah siap.”

“Sangat bisa, Pak,” angguk Renata, tersenyum.

“Cepat sekali, lho, kerja tim Mbak,” ujar Nugra, dengan nada memuji. “Bisa maju seminggu dari jadwal.”

“Karena sama sekali tidak ada perubahan di tengah-tengah penggarapan, Pak,” timpal Renata. “Kadang-kadang ada klien yang berubah pendapat saat proyek tengah dikerjakan. Minta penambahan atau pengurangan ini-itu. Otomatis berpengaruh terhadap ketepatan jadwal.”

“Sejak awal saya sudah cocok banget sama desain yang Mbak buat,” senyum Nugra melebar. “Benar-benar seperti ini yang saya maksud. Apalagi Mbak berhasil memainkan plafon los seperti itu. Saya jadi nggak perlu susah-susah bikin plafon dulu.”

“Lebih irit pula!” Renata tertawa.

“Nah, itu!” Nugra ikut tertawa. “Biaya seminimal mungkin, hasilnya semaksimal mungkin. Bisa mengganggukah hal seperti itu, Mbak?”

“Oh, sama sekali tidak, Pak,” Renata menggeleng. “Sudah biasa, kok. Bisa diatur. Karena biaya rendah tidak berarti murahan. Prinsipnya seperti itu.”

Keduanya masih bercakap sejenak lagi sebelum Nugra minta diri. Tak lama kemudian, Renata pun berpamitan pada mandor proyek itu. Begitu keluar dari ruangan, sebuah ojek online berhenti di dekatnya. Renata mengerutkan kening ketika melihat siapa yang turun dari jok belakang ojek itu.

“Hai, Mbak!” laki-laki itu nyengir setelah menyelesaikan urusan pembayaran.

“Lho, kok, kamu bisa nyampai sini?” Renata tertawa ringan.

“Proyekku, kan, dekat sini,” jawab Satya. “Di belakang situ,” Satya menunjuk ke satu arah. Ini Mbak Ren mau ke mana?”

“Balik ke kantor. Ada janji jam tiga sama klien.”

“Wah.... Untung nggak selisihan!” wajah Satya tampak lega. “Aku nebeng, ya, Mbak?”

“Lha, kamu tadi ke sini naik apa?” Renata menatap Satya dengan rupa heran.

“Aku ngojek juga tadi,” sahut Satya, tertawa.

“Astaga...,” sejenak Renata menutup mulut dengan tangan kanannya. “Jauh banget, Sat!”

“Lagi ingin ngojek saja, Mbak,” Satya terkekeh lagi sambil meminta kunci mobil yang dipegang Renata.

Mereka kemudian melangkah ke arah mobil Renata yang parkir tak jauh dari situ.

Menjelang pukul dua, mereka tiba di Menara Daha. Seperti yang sudah mereka rencanakan sambil jalan baru saja, mereka mampir makan dulu sebelum benar-benar kembali ke kantor. Jarak Tangerang Selatan ke Cempaka Putih cukup jauh. Baik Renata maupun Satya tak mau ambil risiko mampir makan dulu di tengah perjalanan karena bisa terlambat kembali ke kantor. Bagi Satya tak apa-apa karena ia sedikit senggang hari ini, tapi tidak dengan Renata. Oleh karenanya, mereka berdua memutuskan untuk menikmati makan siang di Menara Daha saja bila waktunya memungkinkan.

“Ke Lounge Ex saja, Mbak,” Satya mengusulkan. “Aku traktir, deh!”

“Wuidih...,” Renata tertawa ringan sambil berjalan dengan langkah cepat menuju ke lift. “Dalam rangka apa, nih?”

“Bayar utang nebeng,” Satya tergelak.

“Aku nggak nagih, lho!” Renata terkikik geli.

Beberapa menit kemudian keduanya sudah duduk di dalam Lounge Ex yang nyaman. Suasana di restoran yang terletak di lantai enam Menara Daha itu memang tidak pernah seramai deretan kantin di lantai dua maupun lantai tiga. Walaupun penuh, tetap saja sedikit lebih hening. Apalagi saat ini, ketika suasana jauh lebih lengang karena jam makan siang sudah lewat. Walaupun masih juga ada beberapa orang di sana. Termasuk....

Mendadak saja Renata beberapa kali mengerjapkan mata. Pada satu detik tatapannya jatuh ke salah satu sudut Lounge Ex. Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang ia harapkan sebagai salah lihat. Tapi bukan. Apa yang dilihatnya benar-benar tidak berubah.

Di sudut dekat jendela kaca, di depan meja untuk berdua, ada sepasang manusia tengah duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja. Tengah asyik bercakap tanpa peduli sekeliling. Ia tak akan jadi sepeduli itu seandainya kedua orang itu bukan....

Mas Rafael? Adita?

Kembali dikerjapkannya mata. Sosok-sosok itu tetap tak berubah. Tetap sosok Rafael yang sangat dikenalnya, dan juga sosok Adita yang belum dilupakannya.

“Ada apa, Mbak?” tanya Satya dengan suara lirih, begitu menyadari bahwa Renata mendadak saja tidak menanggapi celotehnya baru saja.

Laki-laki berusia tiga puluh tahun itu mengikuti arah pandang Renata. Seketika ia berusaha memahami.

“Oh, Mas Rafa?” bisiknya. “Lagi sama klien?”

Tapi Renata menggeleng. Satya mengerutkan keningnya.

“Bukan klien,” jawab Renata dengan suara lirih namun lugas. Terkesan dingin. “Dia bekas klienku. Sekarang suaminyalah yang jadi klienku. Yang tadi proyeknya aku garap. Dan..., dia mantan Mas Rafa.”

Seketika bibir Satya terkatup. Renata menghela napas panjang. Perempuan itu kemudian mengalihkan tatapannya begitu pesanan mereka datang. Berusaha tak peduli terhadap apa yang ada di sudut. Satya hanya bisa ikut terdiam, karena benar-benar tak tahu harus mengucapkan apa.

Pun hingga mereka berdua kembali ke kantor di lantai sebelas dengan menggunakan lift, setelah menyelesaikan makan siang dengan sedikit terburu-buru. Renata tetap hening. Dan, Satya pun 'menghormati' keheningan Renata itu dengan berusaha untuk tidak cerewet berkomentar. Apalagi, hingga keduanya meninggalkan Lounge Ex, Rafael dan Adita masih ada di sudut sana.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)