Minggu, 19 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #9-2









Sebelumnya



* * *

Rafael membiarkan air dingin dari pancuran di atas kepala mengaliri seluruh tubuhnya. Terasa sangat segar dan melarutkan segala resahnya. Resah yang timbul karena berbagai rasa yang berlarian secara acak dalam benak.

Sesungguhnya, ada sedikit rasa senang menyelinap dalam hati ketika menjumpai kemarahan Renata. Kemarahan yang dipicu oleh rasa cemburu. Renata cemburu, itu artinya Renata mencintainya. Bagi dirinya, betapa besar artinya mendapatkan cinta dari seorang perempuan semandiri Renata. Perempuan yang bisa menerimanya secara utuh dalam satu paket lengkap bersama Lea dan Sarah.

Dan, aku sudah menyakitinya sedemikian rupa...

... walaupun ia sama sekali tak bermaksud seperti itu. Rafael meringis. Menyadari bahwa saat ini penyesalanlah yang menggunung dalam hati. Kekacauan yang ditimbulkannya sudah membuat kehidupannya bersama Renata berguncang. Tapi pengertian Renata yang timbul setelah hatinya mendingin berhasil menyelamatkan mereka dari guncangan itu. Membuatnya merasa lega luar biasa.

Dan kini, dengan setulus hati ia membiarkan kebesaran hati Renata membimbingnya. Kebesaran hati untuk menerima undangan Nugra dan membiarkan ia bertemu Adita dalam suasana terbuka.

Apa lagi yang kurang?

Rafael memejamkan mata.

“... Karena itu, jangan pernah berani menyakiti hatinya lagi! ...”

Kali ini, suara tegas ibunyalah yang terngiang di telinga.

Setelah membilas bersih semua busa sampo dan sabun yang menempel di tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, Rafael pun menutup aliran pancuran. Setelah mengeringkan tubuh dengan sehelai handuk besar, Rafael pun mengenakan boxer brief dan kaus singletnya. Dengan rambut masih setengah basah, ia keluar dari kamar mandi.

Tatapannya langsung jatuh pada sosok Renata yang sudah selesai berdandan. Dari depan cermin besar di pintu lemari, Renata berbalik. Seketika Rafael ternganga melihat penampilan istrinya itu. Baru sadar ketika suara lembut Renata menegurnya.

* * *

Sarah sudah selesai berdandan cantik. Dikenakannya blus berbunga-bunga kecil berwarna-warni cerah bernuansa oranye dan celana jeans biru gelap. Rambut sebahunya yang bermodel bob dibiarkan terurai, dihiasi bando yang sewarna dengan blusnya. Ia sudah menyiapkan pula sepasang sepatu sandal cantik kesukaannya yang terbuat dari bahan jeans berwarna biru pudar, tapi belum dipakainya.

Ia kemudian membantu Renata mendandani Steve. Terlihat sekali bahwa gadis kecil itu sangat menyayangi adik bayinya. Pun Steve, sangat menurut ‘diapakan saja’ oleh sang kakak. Renata tersenyum lebar menatap keduanya.

“Kak, jagain Adik dulu, ya?” ujar Renata setelah Steve rapi. “Mama mau dandan dulu, biar nggak kalah cantik sama Kak Sarah,” Renata mencolek ujung hidung bangir Sarah.

Sarah segera meraih dan menurunkan adiknya yang sedang senang-senangnya berjalan. Dengan sabar, dituntunnya bayi tampan itu keluar dari kamar. Renata pun beranjak. Rafael masih ada di kamar mandi ketika ia masuk ke kamar utama. Segera saja ia duduk dan asyik mendandani wajahnya di depan meja rias.

Ia tak suka berdandan berlebihan. Tapi entah kenapa, sore ini ia ingin terlihat lebih cantik daripada biasanya melalui rona warna natural bernuansa merah bata. Bulu mata yang aslinya sudah lentik, kini lebih dilentikkan lagi dengan penjepit, kemudian dilapisi maskara bening. Pun alis asli yang sehari-hari sudah rapi dan berbentuk cukup sempurna, hanya disikat saja, tanpa disentuh apa pun lagi. Bibir dan pipinya tak luput dari sapuan perona berwarna senada pemulas kelopak mata. Rambutnya yang bermodel sama dengan Sarah pun cukup dipertahankan kerapiannya dengan sebuah bando hitam. Seutuhnya, ia terlihat sangat segar dan cantik. Apalagi setelah ia mengganti kaus oblong dan celana pendeknya dengan sehelai gaun cantik.

Dengan rasa puas, ia menatap pantulan dirinya melalui cermin besar yang menempel di pintu lemari. Gaun batiknya bermotif sekar jagad, berwarna dasar merah bata, dihiasi prada, berpotongan A-line dengan panjang tepat selutut. Seutuhnya ia terlihat sederhana, tapi cukup pantas untuk menghadiri undangan makan malam tak resmi. Apalagi gaun batik itu membuatnya penampilannya jadi terkesan sangat elegan.

Ketika ia berbalik untuk menyiapkan isi tas tangannya, tatapannya bertemu dengan tatapan Rafael yang baru keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu terlihat tak mampu berkedip. Bahkan mulutnya ternganga, sebelum Renata menegurnya dengan nada canda yang kental.

“Ish! Mandi lama banget! Memangnya luluran segala?”

Rafael tersadar. Ia segera mengerjapkan mata, tapi masih tetap menjatuhkan tatapannya kepada Renata.

“Istriku mana?” Rafael menyipitkan mata.

Renata terbengong sejenak.

“Hayo, malaikat cantik, kamu sembunyikan di mana istriku?” ucap Rafael lagi.

Seketika Renata tergelak. Di balik sosok Rafael yang pendiam dan hampir selalu terlihat serius, sesungguhnya tersembunyi sikap kocak yang terkadang tak masuk akal. Bahkan terkadang terasa cenderung polos dan dungu. Membuat Renata sering merasa gemas karenanya.

Rafael pun tersenyum lebar. Untuk kesekian kalinya, sejak pertama melihat sosok Renata, ia jatuh cinta lagi dan lagi terhadap perempuan itu.

“Tuh, sudah kupilihkan baju,” Renata menunjuk ke satu arah.

Sehelai pantalon hitam dan kemeja lengan pendek polos yang sewarna dengan gaun Renata terhampar rapi di atas ranjang. Rafael mendekatinya.

“Wah, kebanting bener aku sore ini,” gumamnya.

“Maksud lo?” Renata membelalakkan mata indahnya. Alisnya terangkat tinggi.

Rafael terkekeh.

“Aku seperti sopir yang mengawal sesosok malaikat,” Rafael nyengir.

Ah, tahukah kamu, bahwa dirimu adalah sopir tertampan yang aku pernah punya? Dalam hati Renata nyengir.

“Rayuan gombalmu nggak laku sore ini,” gerutunya kemudian.

Rafael terkekeh lagi. Apalagi ketika melihat bibir Renata mengerucut dengan raut wajah sedikit tersipu. Menggemaskan!

Dengan cepat, Rafael berganti baju. Sesungguhnya, warna kemeja yang dikenakannya membuat dirinya terlihat jauh lebih tampan. Terlihat begitu ‘pas’ dengan warna kulitnya yang tidak begitu gelap.

Karenanya aku takut kehilangan dirimu....

Renata menatap pantulan diri Rafael di cermin. Ia mengerjapkan mata. Mengalihkan tatapannya ketika dipergoki Rafael. Selalu begitu. Tatapan Rafael masih saja membuat jantungnya berdetak lebih cepat dan iramanya terasa berlompatan tak keruan.

Yang ia terkadang tidak tahu, sesungguhnya Rafael juga merasakan hal yang sama dengan dirinya.

* * *

Sekilas, Nugra menatap jam dinding di atas televisi di ruang tengah. Ia duduk santai di sana. Siap untuk menerima tamu. Adita masih berdandan, sedangkan Gwen bermain dengan Muffin di teras depan. Nugra menyandarkan punggung dan meluruskan tungkainya. Menghela napas panjang.

Sesungguhnya, ia masih juga belum mengerti kenapa begitu ‘berani’ mengundang Renata sekeluarga untuk makan malam bersama di sini. Di rumahnya. Bentengnya yang hangat. Saat mengirimkan pesan pada Renata, ia hanya berharap tak akan ada lagi pertemuan ‘sembunyi-sembunyi’ antara istrinya dan suami Renata. Jalan satu-satunya yang terpikirkan saat itu, hanyalah mempertemukan saja mereka dalam lingkup keluarga sebagai teman lama.

Ia cukup mengenal Adita. Perempuan yang dinikahinya sekitar enam tahun yang lalu itu bukanlah sosok yang bisa dikekang. Lagipula, ia dulu sudah berjanji pada diri sendiri, bahwa kelak bila menikah, ia akan memberikan kebebasan kepada belahan jiwanya untuk tetap mengembangkan diri. Seperti pola yang diserapnya dari keluarga. Ayahnya seorang hakim, sedangkan ibunya seorang dosen yang bahkan sudah bergelar profesor dan pernah menjadi rektor sebuah universitas negeri ternama.

Adita sendiri sebenarnya juga cukup ‘tahu diri’. Selalu tahu batas. Sehingga masa enam tahun dan beberapa belas bulan sebelumnya itu berlalu dengan ‘aman-aman saja’. Hanya saja, dari cerita yang pernah diungkapkan Adita tentang masa lalu bersama Rafael, Nugra bisa melihat bagaimana citra ‘agung’ Rafael di mata Adita. Apalagi setelah melihatnya sendiri. Ia bisa menangkap dengan jelas kharisma yang dipancarkan oleh seorang Rafael. Kharisma yang membuatnya jadi merasa ‘kecil’ bila berhadapan dengan Rafael. Perasaan yang membuat bara cemburunya muncul nyaris tanpa terkendali.

Sekali lagi, dihelanya napas panjang. Matanya mengerjap ketika Adita muncul. Sore ini, perempuan tercintanya itu berdandan minimalis. Hanya merapikan rambut dengan mengikatnya di belakang seperti ekor kuda, membedaki sedikit wajahnya, dan memulas bibirnya tipis-tipis saja dengahn lipstik berwarna oranye, yang membuat wajah berkulit sawo matangnya terlihat lebih cerah.

“Gwen mana?” Adita menjatuhkan diri di sebelah Nugra.

Belum sempat laki-laki itu menjawab, Gwen sudah berlari masuk. Meninggalkan Muffin yang menyalak di teras.

“Ada mobil berhenti di depan, Pa,” lapor Gwen. “Teman Papa, bukan?”

Nugra pun segera berdiri dan beranjak. Ketika ia mencapai pintu ruang tamu, dilihatnya Renata sudah turun dari mobil, menggendong seorang bayi montok dan tampan. Muffin berlari menyongsong dengan menggoyangkan ekornya. Terlihat cukup bersahabat.

“Eh, tuh, Steve, ada anjing kecil!” seru Renata. “Lucu, ya?”

Nugra buru-buru menyambutnya. Pun Adita, yang ternyata mengekor di belakang. Pintu pagar sudah dibukanya lebar-lebar sedari tadi.

“Mobilnya langsung dimasukkan saja, Mbak,” ujar Nugra.

Renata berbalik, memberitahu Rafael. Laki-laki itu menurut, dan meluncurkan mobilnya masuk ke carport. Beberapa menit kemudian mereka sudah saling berjabat tangan. Bahkan dengan manisnya Sarah mengulurkan sebuah tas kertas kepada Adita.

“Ini ada titipan dari Oma, Tante,” ucapnya dalam senyum. “Oma bikin sendiri, lho!”

“Owh.... Repot-repot saja,” sambut Adita sambil menerima tas kertas berisi beberapa toples aneka kue kering itu. “Sampaikan terima kasih banyak kepada Oma, ya?”

Sarah mengangguk. Masih dalam senyumnya. Nugra pun segera menggiring tamu-tamunya masuk.

* * *

“Benar, tidak apa-apa?” Renata memastikan sekali lagi.

Rafael mengangguk. Ia mulai meluncurkan mobilnya meninggalkan garasi. Didengarnya Renata menghela napas panjang.

“Ketika aku memutuskan untuk meminangmu,” ujar Rafael dengan suara rendah, “aku sudah siap untuk meninggalkan masa lalu. Semua sudah selesai. Halaman sudah kututup. Pun selembar kenangan masa laluku dengan Adita. Kalaupun ada pertemuan lagi, baik disengaja maupun tidak, tak akan menggoyahkan keputusanku itu, Ren. Kamu kuncup mawarku. Berharap bisa menjagamu hingga mekar utuh, menikmati masa indah itu bersamamu, dan kelak menua tetap bersamamu.”

Renata mengangguk samar.

“Aku tak mau kita bernasib sama dengan—,” Rafael mengubah suara rendahnya jadi bisikan, “—Steve dan Anna.”

Renata kembali mengangguk. Paham seutuhnya. Sepenggal kisah kehidupan Rafael yang menyangkut Steve dan Anna memang berwarna kelabu tua. Nyaris kelam. Ia sendiri pernah bertekad, bahwa siapa pun yang akan menjadi pasangan hidupnya kelak, ia harus bisa berbahagia bersamanya. Mencari kebahagiaan itu di dalam.

Sejauh ini, ia sudah bisa mewujudkannya bersama Rafael. Pelan-pelan, ia berusaha merajut kembali selembar kepercayaannya terhadap Rafael yang beberapa waktu lalu sedikit terkoyak.

Mereka akhirnya sampai di tujuan. Sejenak saling bertatapan saat Rafael sudah menepikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah yang halaman depannya cukup rimbun oleh aneka tanaman.

“Siap?” bisik Renata.

“Bersamamu, aku siap menghadapi apa pun.”

Renata mengangguk. “Bagus!”

Ia pun turun sambil menggendong Steve yang sedari tadi duduk manis di pangkuannya.

* * *

Acara makan malam bersama itu berlangsung santai dan cukup menyenangkan. Rafael dengan segenap hati meminta maaf atas keruwetan yang belum lama terjadi. Nugra pun mengungkapkan pengertiannya. Setelah itu, Rafael bisa meleburkan diri dalam aneka topik pembicaraan yang digelindingkan Nugra. Pun Adita dan Renata. Sesekali mereka melibatkan pula Gwen dan Sarah. Benar-benar seperti kawan lama.

Ketika tak ada lagi yang harus disembunyikan, semua hal yang ada di depan menjadi lebih melegakan. Itu yang dirasakan Adita. Sehingga ia bisa bersikap lebih lepas dan meninggalkan begitu saja lembar kehidupan yang pernah ditulisnya secara cukup singkat bersama Rafael, jauh-jauh di belakang, dan tak hendak menengoknya lagi.

Renata pun sudah kembali bersikap bersahabat. Sama seperti selama Adita mengenalnya secara profesional beberapa waktu lalu. Itu memberikan kelegaan yang lain baginya.

Ia dan Nugra banyak berbincang semalam. Nugra mengungkapkan secara panjang lebar bahwa ia masih tetap boleh berteman dengan siapa pun termasuk Rafael. Tapi Nugra tak akan memaafkannya bila ia mencoba main api di belakang. Dan, sesadar-sadarnya, ia berjanji untuk tidak akan pernah mengkhianati kepercayaan dan kelonggaran yang sudah diberikan Nugra padanya.

* * *

Selama jamuan makan malam itu, di tengah-tengah obrolan mereka, Renata beberapa kali memergoki Nugra dan Adita saling menatap dengan pendar penuh cinta memenuhi mata keduanya. Jauh di lubuk hati, ia merasa lega. Lega sekali! Pun ketika menemukan pendar yang sama bermain di mata Rafael ketika menatapnya.

Sepertinya, ia tak perlu lagi mengkhawatirkan apa-apa. Baik logika maupun perasaannya kali ini mengalir dalam satu haluan, bahwa lembar kenangan masa lalu Rafael dan Adita benar-benar sudah selesai. Rafael dan Adita sendiri yang berkeinginan untuk menyelesaikannya.

Ia teringat akan ucapan Lea semalam. Saat keduanya mengobrol di teras belakang. Membiarkan Rafael menikmati waktu bertiga dengan anak-anak.

“Pada dasarnya, isi kepala Rafael dan mendiang Steve sangat bertolak belakang, Ren. Kalau Steve, dia memang suka mencoba hal-hal baru tanpa lebih dulu memikirkan apa akibatnya. Sementara Rafael, dia selalu berpikir dan memperhitungkan risikonya dengan cermat. Perusahaan berkembang jauh lebih pesat di tangan Rafael. Padahal bisa dibilang dia bekerja sendirian.

“Mama yakin, kejadian ini akan diingat Rafael seumur hidup. Dan, Mama berani jamin, dia tak akan sembrono main api lagi dalam bentuk apa pun, dengan siapa pun. Mata kepala dan mata hati Mama sudah bisa melihat, bahwa kamulah cinta terbesar Rafael. Kamu terlalu berharga untuk dia tukar dengan kesenangan sesaat dalam bentuk apa pun, dengan risiko akan kehilangan kamu.

“Terima kasih karena kamu sudah bersedia mengikatkan diri dalam kehidupan kami, Ren. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi malaikat penjaga Rafael dan Sarah.”

Hingga detik ini pun, hangatnya genggaman tangan Lea rasanya masih tertinggal di kedua telapak tangan Renata.

“Nanti saya promosikan Savannah, terutama Mbak Renata, pada teman-teman saya.”

Suara berat Nugra mengembalikan perhatian Renata.

“Tapi kalau Mbak Renata jadi tambah sibuk karena kebanjiran klien, jangan salahkan saya, ya, Mas Rafa?” sambung Nugra.

“Wah, coba-coba cuci tangan, nih!” tawa Rafael pun berderai.

“Eh, Pa,” telunjuk kanan Adita mencolek lengan Nugra, membuat Nugra menatapnya. “Mbak Livi sudah mau daftar, lho! Dia sudah lihat kafe terbaruku, dan langsung ngiler dengan interiornya.”

“Nah, itu!” Nugra mengalihkan tatapannya pada Renata. Menjelaskan. “Mbak Livi itu istri abang sepupu saya, sudah ancang-ancang mau buka cabang kafe. Mau ekspansi ke dekat toko baru saya di Tangsel. Daerahnya memang menjanjikan, kan. Sambar saja, Mbak Renata!”

Renata tergelak ringan.

“Mbak Olivia dengan Mbak Livi sama, nggak? Yang mengelola kafe di Tebet?” tanya Renata di ujung tawanya.

“Iya, betul!” jawab Nugra dengan nada antusias.

“Oh, kalau Mbak Olivia yang itu, kemarin siang sudah hubungi saya,” lanjut Renata. “Mau saya alihkan ke tim lain yang lebihn longgar kerjaannya, dia nggak mau. Maunya saya yang tangani. Terpaksa, deh, ambil nomor antrean.”

Semua tergelak.

Suasana hangat di sekeliling meja makan itu berakhir menjelang pukul sembilan. Gwen sudah terlihat lelah dan mengantuk, walaupun masih tetap duduk manis. Sama sekali tidak rewel ataupun bertingkah macam-macam. Sementara Steve, sudah lama terlelap dalam dekapan Renata. Maka, Rafael pun mengambil inisiatif untuk berpamitan setelah mengucapkan terima kasih atas nama keluarga.

Sambil menggenggam tangan Adita ketika menjabatnya, Renata berbisik, “Harus ada kunjungan balasan ke rumah kami. Mama pasti senang sekali bertemu lagi dengan Mbak Adita.”

Adita terlihat sedikit ternganga, Ia mengerjapkan mata.

“Apa sebaiknya....”

Renata langsung memotong ucapan bernada ragu itu, “Saya nggak terima penolakan, lho....”

Adita tersenyum lebar mendengar nada canda yang kental dalam suara Renata. Ia pun mengangguk.

“Nanti coba kita cari waktu luang, ya?” Renata melebarkan senyumnya.

Adita kembali mengangguk.

* * *

“Mbak Renata sudah merencanakan mau balas mengundang kita,” ucap Adita sambil pelan-pelan menutup pintu kamar Gwen dari luar. “Tapi belum jelas waktunya.”

“Hmm...,” Nugra merengkuh bahunya. Menariknya dengan lembut ke arah kamar utama. “Ya, nanti kita usahakan datang.”

Adita mendongak, menatap Nugra.

“Terima kasih karena sudah kembali memercayaiku,” bisiknya.

“Karena kamu memang pantas untuk dipercaya,” Nugra balas berbisik.

Adita mengerjapkan matanya yang mendadak saja basah.

Selama menikah dengan Nugra, ia tak pernah mengkhawatirkan apa-apa. Nugra-nya memang tak setampan Rafael. Tapi justru itu yang membuatnya merasa ‘aman’. Apalagi Nugra memang bukan laki-laki yang hobi main api. Nugra-nya sangat simpel. Tidak suka neko-neko. Fokus menata kehidupan mereka bertiga sebaik-baiknya. Betul-betul mengedepankan kebahagiaannya dan Gwen.

Dan aku... benar-benar tak berhak meminta lebih.

Ia membalas rengkuhan Nugra dengan melingkarkan tangan kanannya di sekeliling pinggang Nugra yang lebar. Sejenak, keduanya berhenti di depan pintu kamar utama.

“Jam berapa ini?” bisik Nugra.

“Sepuluhan.”

“Tahu gejrot kayaknya masih ada di taman depan. Yuk! Mumpung Gwen sudah tidur.”

“Astaga...,” Adita mencubit lembut perut Nugra. “Ini gentong kapan penuhnya, ya?”

Nugra tergelak.

Beberapa menit kemudian, ia sudah meluncurkan motor sport 600 cc-nya keluar dari garasi. Adita menempel erat dipunggungnya. Melingkarkan kedua lengannya di sekeliling pinggang Nugra.

Ketika motor itu terus melaju membelah jalanan kompleks di bawah langit malam, Adita menempelkan pipinya ke punggung Nugra. Terasa hangat dan menenteramkan hati. Pada saat seperti itu, rasa syukur mengalir deras dari dalam hatinya. Rasa yang terkadang terlupa. Yang saat ini didaraskannya dengan sepenuh hati.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

Dengan selesainya cerbung ini, selesai juga trilogi kisah "LIFT" (Rafael-Renata), "RINAI RENJANA UNGU" (Steve-Anna-Rafael-Adita), dan "KUNCUP MAWAR DAN SELEMBAR KENANGAN" (Renata-Rafael-Adita-Nugra). Utang lunas, yak! Nanti hari Senin, 27 Agustus 2018, kita coba berselancar lagi di cerbung baru.
FiksiLizz libur dulu seminggu, yak!

Terima kasih atas semua support, kritik, saran, dan kunjungan atas blog FiksiLizz. Semoga ke depannya, FiksiLizz tidak lagi terlalu mengecewakan para pengunjung dan pembaca.

Oh, ya, barangkali ada saran dari pembaca, kira-kira cerbung mana (yang pernah tayang di FiksiLizz) yang masih bisa dituliskan kelanjutannya? Silakan meluncur ke kolom komen di bawah, yak. Bisa juga melalui kolom komentar share link di halaman FiksiLizz di fb. Boleh juga japri via messenger, atau messenger halaman FiksiLizz di fb, atau WA, atau email. Ditunggu sampai hari Rabu, 22 Agustus 2018 pukul 23.59.

Sekali lagi, terima kasih!

Salam hangat,
Lizz.

6 komentar:

  1. Gae o crito fantasi neh nya. Seng ciamik soro koyok prawan iko lho sak hurunge judul iki. Tapi nyeret o Domi neh cekno tamba ciamik soro pol wkkkkkkkkkk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yo'iii... Tak'simpene sek usulmu yo, Nyut. Tingkiyuuu... 🙏

      Hapus
  2. Balasan
    1. Terima kasih banyak, Pak Subur... 🙏🙏🙏

      Hapus
  3. Cerito sing no peternakan kae lho antara dokter hewan dan dokter umum no peternakan.. Opo kae judule sepertiga pagi po opo kae

    BalasHapus