Sabtu, 18 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #9-1









Sebelumnya



* * *

Sembilan


Sesungguhnya, jantung Adita berdebar dengan irama yang tak jelas. Bahkan terkadang ia khawatir jantungnya akan melompat keluar dari tubuh saking liarnya berontak. Ia sudah berharap Renata menolak undangan Nugra, supaya ia tak bertemu lagi dengan Rafael.

Tapi nyatanya?


Jawaban Renata datang menjelang senja, setelah siangnya Nugra mengirim pesan. Perempuan itu menyambut undangan makan malam dari Nugra. Akan datang lengkap bersama keluarganya, minus sang ibu mertua, yang sudah punya acara sendiri bersama kelompok arisan sosialitanya. Adita sama sekali tak memahami apa yang ada dalam kepala Renata.

Padahal....

Ingatannya berputar kembali pada peristiwa dalam kantor Nugra di bakal toko baru suaminya itu, tiga hari yang lalu.



Suasana jadi hening sesaat setelah Adita menuntaskan penjelasan dan permintaan maafnya. Nugra masih terdiam di tempat duduknya. Renata-lah yang pertama mencoba bereaksi. Ditatapnya Adita dengan sedikit tajam.

“Saya pribadi,” ujar Renata, dengan suara masih terdengar sedikit dingin, mencoba mengungkapkan semua ganjalan yang masih bersarang dalam hatinya, “sebetulnya percaya pada suami saya. Tapi terkadang mata saya juga bisa mempengaruhi otak untuk berprasangka. Jujur, sebelum pertemuan pertama antara Mbak dan Mas Rafael di kafe Mbak setelah saya memulai proyek dengan Pak Nugra, Mas Rafael sa-ma se-ka-li be-lum per-nah mengungkapkan kepada saya keberadaan Mbak dalam kehidupan masa lalunya.

“Ketika dia menjelaskan dan meminta maaf, saya anggap masalah selesai. Sialnya, beberapa hari kemudian, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri pertemuan Mbak dengan Mas Rafael. Saya tidak tahu sebelumnya soal pertemuan itu. Dalam kondisi kepala saya masih panas, saya hubungi Pak Nugra. Saya masih berpikir, barangkali hanya saya yang belum tahu. Mungkin Mas Rafa belum sempat bilang. Mungkin Pak Nugra sebagai suami Mbak sudah tahu. Tapi... ternyata Pak Nugra juga sama tidak tahunya seperti saya.

“Yang pertama, keberadaan Mbak sengaja disembunyikan oleh Mas Rafa. Pada akhirnya saya memang tahu, tapi itu karena tepergok duluan. Apa pun alasannya, itu adalah hal yang kurang tepat. Ini salah Mas Rafa. Saya nggak tahu bagaimana dengan Mbak dan Pak Nugra. Tapi kalau dari awal Mas Rafa sudah jujur, sama sekali nggak masalah buat saya. Dia sebut semua nama mantannya – kecuali nama Mbak – saya oke-oke saja. Saya nggak cemburu, kok. Karena tahu di awal dan semuanya sudah selesai secara tuntas.

“Yang kedua, pertemuan Mbak dengan Mas Rafa ternyata di luar sepengetahuan pasangan masing-masing. Padahal pernah ada cerita indah jauh sebelumnya, yang – sekali lagi, sialnya – pernah tersembunyi dari saya. Dan, rangkaian kejadiannya belum lama berselang dari yang pertama. Saya belum sepenuhnya ‘dingin’. Wajar, kan, kalau saya panas lagi? Cemburu? Karenanya saya nggak bisa berpikir jernih.”

Renata menarik napas panjang sejenak. Ganti menatap Nugra.

“Pak Nugra, saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas keteledoran saya. Seharusnya saya mencari titik terang dulu sebelum menghubungi Bapak. Seperti apa pun perasaan saya, sepanas apa pun kepala saya saat itu, tetap saja bukan pembenaran atas keteledoran saya. Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Saya sama sekali tak bermaksud meruwetkan urusan rumah tangga Bapak dan Mbak Adita. Itu benar-benar keteledoran saya yang mungkin tak termaafkan.”

Nugra tersenyum samar. Ia mengangguk maklum.

“Tidak apa-apa, Mbak Renata,” senyumnya melebar. “Saya memahami seutuhnya. Lagipula saya anggap pemberitahuan Mbak itu adalah sebagai upaya Mbak untuk mencari titik terang dari apa yang Mbak sudah lihat secara langsung. Mewakili Adita, saya juga minta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian beberapa hari lalu itu.”

Renata pun mengangguk. Secara tersirat, ia sudah memaafkan Adita.

Tak lama kemudian, Renata berpamitan. Dengan halus, ia menolak tawaran untuk makan siang bersama di sebuah rumah makan dekat lokasi proyek.

Sepeninggal Renata, Nugra menatap Adita, dengan sorot mata sukar diartikan. Tapi Adita masih melihat ada sedikit bara dan luka di sana, di dalam telaga kelam mata Nugra.

“Dia sangat profesional, sekaligus cukup sabar,” ucap Nugra, dengan nada penuh tekanan. “Mau coba-coba main api di belakangku, silakan. Asal jangan mencoba untuk meruntuhkan rumah tangga orang lain. Semua hal besar diawali dengan hal kecil, kan? Kalau kalian – kamu dan Rafael – tidak bisa mengendalikan diri, barangkali aku dan Mbak Renata masih bisa survive. Tapi anak-anak?”

Adita tertunduk dalam. Cukup lama mereka saling mengheningkan diri, sebelum ia memantapkan hati untuk mendongak. Kembali menatap Nugra.

“Tak akan pernah ada pertemuan lagi. Dengannya, atau siapa pun,” bisiknya. “Aku janji.”

Nugra menghela napas panjang. Kali ini, tatapannya melembut.

“Aku sama sekali tak pernah membatasi pergaulanmu,” suaranya juga terdengar menghangat. “Apa pun, selama kamu lakukan di depanku, nggak masalah. Kita sudah dewasa, sudah mampu mengendalikan diri. Itu saja harapanku.”

Adita mengangguk tanpa kata. Nugra menegakkan punggungnya. Masih ditatapnya Adita.

“Sudah siang ini,” ujarnya seraya berdiri. “Ayo, makan dulu. Pakai mobilmu saja. Setelah itu kita langsung pulang. Aku cari Gwen dulu, sekalian bilang Yunan supaya nanti bawakan pulang mobilku.”

Adita mengangguk. Napasnya terhela dan terembus lega begitu Nugra keluar ruangan. Setidaknya, keruwetan ini berhasil diatasi dengan cukup baik.

Tapi ternyata kelegaannya belum bisa sepenuhnya ia nikmati. Saat mereka pulang setelah makan siang, Nugra menggumam sembari menyetir dengan santai.

“Aku tadi kirim pesan ke Mbak Renata, aku undang dia dan keluarganya makan malam di rumah kita Sabtu besok. Tapi belum dia jawab.”

Seketika seperti ada batu besar menyumbat saluran pernapasan Adita.



Ia mengerjapkan mata.

Bahkan sampai detik ini pun aku masih kesulitan bernapas dan berpikir jernih.

Dihelanya napas panjang untuk sekadar mengurangi rasa sesak dalam dada. Untung, ia masih bisa mengandalkan Rusni untuk urusan memasak menu jamuan. Jadi, ia tak perlu memesan menu dari luar. Semua sudah beres di tangan Rusni.

Urusan menata peralatan makan di meja pun sudah dibereskan Nugra. Diselesaikan dengan dibantu Gwen, di tengah canda riang keduanya. Pada satu detik, ketika ia memeriksa ulang tata meja makan, tatapannya bertemu dengan tatapan Nugra. Hanya sekilas, tapi ia betul-betul menangkap pesan Nugra seutuhnya.

‘Aku mencintaimu....’

Sekejap, wajahnya terasa menghangat. Ia kembali menatap meja makan. Benar-benar sudah beres. Diangkatnya wajah. Gwen sudah cantik dalam balutan kaus cantik berwarna oranye susu dan rok mini jeans biru klasik yang sudah pasti dipilihnya sendiri. Nugra juga terlihat tampan dengan kaus polo berwarna biru gelap dan celana jeans yang berwarna sedikit muda.

“Sudah beres ini,” celetuk Nugra. “Dandan dulu, sana!”

Dengan kedua tangan kukuhnya, dipegangnya kedua bahu Adita. Didorongnya dengan lembut istrinya itu ke arah kamar. Mata Adita kembali mengerjap.

Apakah aku berhak meminta lebih daripada ini?

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)