Rabu, 15 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #7-3









Sebelumnya



* * *


Di sela-sela kesibukan mempersiapkan pembukaan toko barunya, selalu saja ada waktu senggang. Membuat Nugra cukup sering terseret dalam lamunannya soal Adita. Sejujurnya ia sudah mulai lelah menghindari relasi hangat dengan Adita. Ia merindukan kehidupannya sebelum ini. Sebelum terjadi pertemuan tak sengaja antara Adita dan Rafael, disusul pertemuan disengaja yang hingga detik ini masih juga tak diungkapkan Adita.

Lalu, sebetulnya itu maunya apa?

Nugra menatap jauh melampaui partisi one way yang membatasi ruang kantornya dengan toko. Dari sela-sela rak yang masih kosong, Nugra dapat melihat Renata bersama beberapa anggota timnya tengah sibuk menuntaskan kerja mereka. Nugra mengerucutkan bibir. Menghela napas panjang.

Ia tak tahu kondisi terkini rumah tangga perempuan itu. Apakah serupa dengannya? Sejujurnya ia ingin tahu, tapi terlalu rikuh untuk bertanya. Selama mengenal perempuan itu, pertemuan langsung mereka hanya diisi pembahasan profesional. Hanya sekali ada relasi yang sifatnya cukup pribadi, yaitu saat Renata mengirim pesan padanya soal Adita dan Rafael. Sebelum dan sesudah itu, tak pernah lagi. Tapi sedikit banyak ia bisa menduga, dari raut wajah Renata saat sempat bertemu tadi, sepertinya mereka menghadapi keruwetan yang sama.

Sambil menggeleng samar, ia kemudian berdiri dan keluar dari ruang kantornya. Sekejap, ia menatap berkeliling ruangan bakal tokonya. Sudah sangat rapi. Tinggal membersihkan beberapa bagian dan mengisinya saja.

“Bagaimana, Pak?”

Ia menoleh. Renata sudah berdiri di dekatnya. Ia tersenyum.

“Ini benar-benar...,” Nugra sedikit kesulitan menemukan kata yang pas, kecuali, “... sangat sangat sangat memuaskan, Mbak Renata.”

“Haha.... Terima kasih banyak. Saya anggap itu sebagai pujian,” sahut Renata, setelah tertawa kecil.

Nugra tersenyum lebar.

“Saya pastikan pekerjaan kami selesai hari ini, Pak,” lanjut Renata. “Bapak bisa cek dulu. Kalau menurut Bapak masih ada yang kurang, bisa kami benahi lagi.”

Nugra menggeleng. “Sepertinya enggak, Mbak. Sudah lebih dari cukup. Ah! Kenapa nggak dari dulu saya gunakan jasa desainer interior untuk toko-toko saya, ya? Kalau sekarang-sekarang mau mengubah interior, harus menutupnya dulu. Bisa rugi saya!”

“Hehehe.... Saya lihat toko Bapak di Jagakarsa, penataannya sudah sangat baik, kok. Kesannya lega dan terang. Apalagi ada sudut khusus untuk proyek putri Bapak. Itu bagus sekali!”

“Sebetulnya saya juga mau bikin sudut seperti itu di sini. Tapi belum ada barangnya. Yang di Jagakarsa saja masih kewalahan untuk memenuhi permintaan. Mau saya ambilkan tanaman saya sendiri, itu namanya, kan, menipu. Walaupun tujuannya untuk sumbangan.”

Renata manggut-manggut mendengar penuturan Nugra. Pada detik itu, Nugra memberanikan diri untuk bertanya kepada Renata. Walaupun diliputi perasaan rikuh yang luar biasa. Suaranya pun terdengar sangat ragu-ragu.

“Maaf, Mbak Renata.... Mm.... Apakah.... Mbak dan suami Mbak.... baik-baik saja?”

Nugra mengerjapkan mata ketika Renata balas menatapnya cukup lama. Renata kemudian menghela napas panjang, dan menggeleng samar.

“Saya ada waktu untuk membicarakan hal itu,” ucap Nugra lagi, lirih.

Sejenak Renata menatap arlojinya. Masih pukul sepuluh. Ditatapnya lagi Nugra.

“Ya, saya sebetulnya juga ingin membicarakannya juga. Tapi jadwal saya mepet hari ini. Siang ini juga saya harus masukkan laporan ke Boss. Setelah itu saya harus ketemu klien di Cideng. Barangkali besok pagi? Saya masih harus memastikan semua beres di sini.”

“Oh, baik, baik, Mbak,” Nugra mengangguk. “Saya tunggu Mbak di sini besok.”

“Baiklah,” Renata mengangguk. Berusaha untuk tersenyum.

Tak lama kemudian, perempuan itu berpamitan. Setelah Renata tak tampak lagi, Nugra kembali masuk ke ruang kantornya. Tercenung sangat lama.

* * *

Sudah menjelang malam saat Nugra meluncurkan mobilnya masuk ke garasi. Suasana rumah sudah sepi.

“Ibu lagi ngeloni Mbak Gwen,” lapor Rusti tanpa diminta, ketika ia keluar dari mobil.

Nugra mengangguk tanpa berkomentar. Ia kemudian masuk ke rumah, meninggalkan Rusti yang harus menggembok pintu pagar dan mengunci pintu garasi. Tanpa suara, ia menyelinap masuk ke dalam kamar, langsung ke kamar mandi.

Dinginnya air yang memancar dari shower membuatnya sedikit menggigil. Tapi kemudian rasa dingin itu berganti jadi kesegaran yang membalutnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Meluruhkan segala keletihannya setelah berkegiatan sepanjang hari tadi.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, dilihatnya Adita sudah ada juga dalam kamar. Tengah membersihkan wajahnya.

“Besok Mas ke Tangsel lagi?” tanya Adita.

“Ya,” Nugra mengangguk samar. “Cek finishing.”

“Cepat juga kerjanya Mbak Renata, ya?” gumam Adita.

Nugra memilih untuk tak menanggapinya. Setelah memakai kaus oblong tipis kesukaannya, ia pun menjangkau handel pintu.

“Sudah makan?”

Nugra menghentikan gerakannya sejenak. Menjawab singkat, “Sudah,” sebelum meneruskan niatnya keluar dari kamar itu.

Ia kemudian melangkah ke kamar Gwen. Pelan-pelan, tanpa suara, dibukanya pintu kamar putri tunggalnya itu. Ia menyelinap masuk dan mendekati ranjang Gwen. Gadis kecilnya sudah terlelap dalam pelukan hangat selimut bergambar kartun sayuran kesukaannya.

Diulasnya senyum tipis sambil mengulurkan tangan, mengusap lembut kepala sang putri. Sedetik kemudian, dikecupnya hangat kening Gwen. Gerakan itu membuat sang putri kecil sedikit terusik. Gwen bergerak sedikit, tapi tetap terlelap. Nugra menatapnya sambil menghela napas panjang.

Penyelesaian tata ruang toko barunya benar-benar maju satu minggu dari jadwal. Semula, ia merencanakan untuk segera memulai proses membuka toko begitu tokonya siap. Tapi melihat wajah damai putri kecilnya saat ini, ia buru-buru meralat rencananya.

Sudah beberapa minggu lamanya ia sibuk. Walaupun masih bisa menyisihkan waktu luang untuk Gwen, tapi tetap saja ada rasa kehilangan. Kali ini, ada waktu luang cukup banyak setelah tata ruang toko selesai dikerjakan, sebelum disiapkan isinya. Urusan gudang dan stok barang kering sudah beres. Tinggal barang segar saja yang harus disiapkan mendekati hari H pembukaan toko.

Diciumnya kening Gwen sekali lagi.

Lusa dan beberapa hari sesudahnya, Papa punya banyak waktu untukmu, Nak.... Kita bersenang-senang, ya?

* * *

Setelah Steve terlelap, Renata menutup pintu kamar bayi itu pelan-pelan. Pintu kamar Sarah di seberangnya terbuka lebar. Telinganya menangkap ada dengungan-dengungan pembicaraan dari dalam sana. Tanpa suara, ia membawa langkahnya ke samping kusen pintu kamar Sarah. Menempelkan badannya di dinding. Mencoba untuk menguping.

“Papa, tuh, nyebelin tauk, Oma....”

“Kenapa memangnya?”

“Masa nakalin Mama melulu? Kalau Mama marahnya lama, terus pergi bawa Steve, aku, kan, jadi nggak punya Mama lagi. Nggak punya adik juga. Harusnya Oma marahin Papa, dong, biar nggak nakal melulu.”

Terdengar kekeh ringan Lea.

“Oma sudah marahin Papa. Tenang saja! Kalau masih nakal juga, nanti Oma jewer telinganya. Sampai panjang!”

Kali ini, kikik geli Sarah menggema lirih.

“Sudah, Oma keluar dulu, ya? Kamu tunggu Mama selesai ngelonin Steve. Selamat tidur....”

Sebelum mendengar jawaban Sarah, Renata berjingkat menjauh dari samping kusen pintu kamar Sarah. Ia berlagak baru saja menutup pintu kamar Steve. Tepat saat itu, Lea keluar. Tatapan kedua perempuan itun bersirobok sejenak, diikuti senyum yang terulas.

“Sarah sudah tidur, Ma?” tanya Renata dengan suara lirih.

“Belum,” Lea menggeleng. “Kalau belum dikeloni mamanya, mana mau dia merem?”

Senyum keduanya sama-sama melebar. Lea pun beranjak. Tapi sebelum kakinya sempat melangkah, suara lirih Renata membuatnya terhenti.

“Ma, kapan Mama ada waktu?”

“Kapan saja bisa? Kenapa?”

“Aku mau ngobrol sama Mama.”

“Boleh...,” Lea mengangguk. “Setelah ini juga boleh, kalau kamu belum mengantuk.”

“Mm.... Baiklah. Aku keloni Sarah dulu, ya, Ma.”

Lea mengangguk.

* * *

Tempat favorit Lea adalah teras yang menghadap ke arah taman kecil di belakang. Tempat itu cukup terlindung dari terpaan angin malam. Ke sanalah Renata mencari Lea. Benar saja, ibu mertuanya itu ditemukannya tengah menyesap minuman dalam cangkir. Lea menoleh ketika Renata menyapanya dengan suara halus. Sang menantu pun segera mengambil posisi nyaman tepat di sebelah kiri sang ibu mertua.

“Tuh, sudah Mama buatkan cokelat hangat,” Lea menunjuk ke arah cangkir yang ada di sebelah cangkirnya.

Dengan sangat tulus, Renata pun mengucapkan terima kasih. Hening sejenak sebelum suara lirih Renata menggema lembut di telinga Lea.

“Aku lagi marah sama Mas Rafa, Ma,” akunya, jujur. “Aku merasa.... sudah nggak lagi jadi bagian yang penting dalam hidup Mas Rafa. Buktinya, ada yang dia sembunyikan dari aku. Seandainya dia terus terang dari awal, nggak akan jadi apa-apa buatku. Mm.... Sepertinya Mama sudah tahu apa yang kubicarakan ini.”

“Ya, Mama sudah tahu,” Lea meraih tangan menantunya. Menggenggam kedua telapak tangan Renata dengan hangat.

“Rafa sudah cerita sama Mama,” lanjut Lea. “Jangankan kamu, Mama saja marah padanya. Mama bilang dia bodoh. Dan, Mama sependapat denganmu, bahwa seharusnya dia sejak awal membuka semua lembar kehidupannya di masa lalu. Berterus terang soal apa pun padamu. Jujur, Mama kaget waktu dia cerita sama Mama. Mama kira kamu sudah tahu tentang semua masa lalunya. Mama kira dia sudah ceritakan semuanya padamu. Ternyata...,” Lea mengedikkan bahunya.

Renata menghela napas panjang. Ibu mertuanya tidak menimpakan kesalahan padanya. Itu membuatnya sedikit lega.

“Aku pikir-pikir, sedikit keterlaluan memang, kemarahanku itu, Ma,” Renata tertunduk. “Tapi bukankah hal besar selalu berawal dari hal kecil? Seandainya dia ngomong dulu, sekadar ngomong saja, pastinya aku nggak akan semarah ini. Aku semacam merasa... ditelikung, dikhianati, diselingkuhi, atau apalah namanya. Walaupun mungkin belum sejauh itu.”

“Dan, itu terjadi hanya beberapa hari setelah kamu tahu kenyataan bahwa Rafa pernah berpacaran dengan Adita, yang Rafa belum pernah sedikit pun menceritakannya padamu?”

“Ya,” Renata mengangguk.

“Mama mengerti perasaanmu,” Lea menepuk lembut punggung tangan Renata yang masih digenggamnya. “Kalau Mama jadi kamu, pasti juga merasakan hal yang sama.”

Renata mengangguk samar.

“Masalahnya....,” Lea berhenti sejenak. “... Sampai kapan mau marahan terus? Kasihan anak-anak.”

“Iya. Aku pun berpikir tentang itu, Ma. Cuma, aku bawaannya sebal melulu tiap kali lihat Mas Rafa. Kebayang lagi gimana asyiknya dia ngobrol sama mantannya itu. Sampai nggak tahu aku ada di tempat yang sama,” Renata mengerucutkan bibirnya.

“Mama rasa, sih, kamu perlu tahu juga apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Lea dengan nada sangat berhati-hati. “Dan, Mama rasa pula, Rafa sudah kapok. Nggak akan lagi-lagi melakukannya.”

Renata terdiam. Berusaha merenungkan ucapan ibu mertuanya. Sedikit banyak, ia pun merasakan hal yang sama. Bahwa Rafael bukanlah laki-laki petualang yang hobi mencoba-coba hal yang menyerempet bahaya.

“Ya, sudah, Ma,” Renata balas menggenggam tangan Lea. “Aku sudah sedikit lega bisa curhat sama Mama.”

“Masih mau tidur di kamar Steve?”

Renata tertawa sedikit ketika mendengar nada menggoda dalam suara Lea. Ia kemudian menggeleng.

“Aku pegal-pegal beberapa hari tidur di sofa sempit begitu,” akunya, meringis ringan.

Lea pun tertawa.

Just take your time, Ren,” ujarnya kemudian. “Akan tiba saatnya kemarahanmu menyurut. Pada saat itu, akan lebih baik bagimu untuk mendengarkan penjelasan Rafa.”

“Ya, Ma,” Renata mengangguk patuh. “Terima kasih banyak.”

Kedua perempuan itu berpelukan. Masih meneruskan sedikit lagi obrolan mereka sambil menikmati coklat hangat yang sudah sedikit dingin. Tanpa tahu bahwa yang dibicarakan sedari tadi menguping dari balik dinding. Tersenyum samar sebelum beranjak tanpa suara.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)