Sebelumnya
* * *
Sejenak Lea menghentikan langkahnya di depan pintu ruang baca yang tertutup rapat. Beberapa menit lalu ia terjaga, merasa haus, dan beranjak keluar dari kamar untuk mengambil segelas air minum di dapur. Ketika melintas di depan ruang baca, ia mendengar ada pembicaraan dalam suara rendah yang sayup-sayup sampai ke telinganya. Sepertinya bukan pembicaraan biasa. Membuatnya memutuskan untuk berhenti sejenak dan menguping. Apalagi diingatnya, tadi sore Renata pulang dari kantor dengan wajah lelah dan keruh.
“Ren, sekali lagi aku mohon, dengarkan penjelasanku.”
“Dan, sekali lagi kukatakan, ti-dak per-lu!” terdengar suara Renata penuh tekanan. “Aku ada kerjaan. Kalau Mas tak mau keluar dari ruangan ini, aku yang keluar!”
Hening sejenak. Lea pun cepat-cepat menjauh. Keputusannya sangat tepat. Karena beberapa detik setelah kakinya menapak lantai dapur, pintu ruang baca terbuka dan tertutup dengan sedikit terhempas. Terdengar langkah kaki sedikit menghentak, menjauh, naik ke lantai atas. Terdengar pintu terbuka lagi. Pelan-pelan. Lea pun melongokkan kepalanya. Dilihatnya Rafael berdiri termangu di ambang pintu ruang baca.
“Ada apa?” Lea sudah tak tahan lagi untuk menyembunyikan pertanyaannya.
Rafael menoleh, mendapati ibunya berdiri di depan dapur dengan tangan menggenggam segelas air. Ia menggeleng samar. Lea menghampirinya.
“Masalah yang tempo hari belum selesai?” bisik Lea.
Rafael menghela napas panjang. Kembali menggeleng samar. Lea pun mengajaknya duduk di sofa. Laki-laki itu menurut.
“Mama sebetulnya tak mau ikut campur,” gumam Lea. “Tapi kalau begini terus keadaan kalian, kasihan anak-anak. Sekarang bilang pada Mama, ada apa, Raf?”
Rafael terdiam beberapa menit sebelum mulai bercerita. Tentang pertemuan kembalinya dengan Adita. Tentang Adita yang beberapa waktu lalu jadi klien Renata. Tentang suami Adita yang saat ini ganti menjadi klien Renata. Tentang kesengajaannya menyembunyikan masa lalu bersama Adita. Tentang tepergoknya kisah masa lalu itu oleh Renata.
Sampai di sini Lea mengangkat tangan kanannya. Membuat Rafael menghentikan ceritanya sejenak.
“Jadi, kamu sama sekali belum pernah bercerita pada Renata soal kamu dan Adita, sebelum Renata tahu dengan sendirinya?” Lea menatapnya, tak percaya.
“Belum, Ma,” jawab Rafael, lebih mirip desahan.
Lea menghela napas panjang. Menggeleng dengan wajah kesal.
“Oke, lanjutkan!” ujarnya.
Rafael pun melanjutkan ceritanya. Tentang kemarahan Renata soal itu. Tentang permintaan maafnya yang sudah diterima Renata. Tentang pesan Adita. Tentang dorongan hatinya untuk menyetujui permintaan Adita agar mereka bertemu, sekadar meluruskan apa yang sempat bengkok di masa lalu. Tentang acara makan siangnya bersama Adita. Tentang celetukan Satya bahwa Renata ternyata melihat pertemuan itu dengan mata kepala sendiri.
“Harusnya aku lebih dulu memberitahunya,” Rafael berbisik penuh penyesalan. Tertunduk.
“Dan, kamu tidak melakukannya?” hampir saja Lea menambah volume suaranya. Terlihat sekali perempuan itu jengkel dengan kelakuan anaknya.
Sambil menelan ludah, Rafael menggeleng. Seketika Lea menghempaskan punggungnya ke sandaran sofa.
“Bodoh!” desisnya. “Astaga, Rafael Adibarata!” dengan kelopak mata terangkat dua ratus persen lebih tinggi daripada biasanya, Lea menyebut nama lengkap anak laki-lakinya itu. Tanda bahwa kemarahannya mulai memuncak. “Kamu bodoh! Bodoh sekali! Apa yang kamu pikirkan, coba?!”
Rafael menghela napas panjang. Masih tertunduk dalam-dalam. Seingatnya, Lea tak pernah sekasar itu mengatakan ia atau Steve bodoh. Sebodoh apa pun yang ia atau Steve memang pernah lakukan. Dan, kini ia mendengar Lea ‘terpaksa’ mengucapkannya. Ia merasa bahwa kemarahan ibunya memang pada tempatnya. Melihat kemarahan Renata, mendadak saja ia memang merasa bodoh. Sebodoh-bodohnya. Maksimal. Karena seharusnya ia bisa meluangkan beberapa detik saja dari waktunya untuk mengabari Renata sebelum mengadakan pertemuan dengan Adita.
“Pantas saja Renata semarah itu!” lanjut Lea. Masih setengah mendesis. Menahan kemarahannya. “Kamu ini bikin malu Mama saja! Apa kurangnya Renata, coba? Bahkan tanpa syarat, dia bersedia menerima Sarah. Menyayanginya sepenuh hati. Kurang apa dia, Raf? Kurang apa?!”
“Ma, aku hanya sekadar meluruskan benang yang pernah kusut antara Adita dan aku,” Rafael memberanikan diri mengangkat wajah. Mencoba menjelaskan. Lebih tepatnya, membela diri. “Dan, semuanya sudah selesai. Sudah tak ada lagi ganjalan. Aku terima alasannya tak bisa melanjutkan hubungan denganku. Dia terima usahaku untuk mencarinya kembali walaupun sudah terlambat. Dia dan aku sudah sama-sama berkeluarga. Sama-sama sudah memahami bahwa kami tidak berjodoh. Kami menyadari betul hal itu. Tak akan ada pertemuan lagi, Ma. Tak akan ada.”
Lea menggeleng beberapa kali. Wajahnya masih terlihat tak puas. Ditatapnya Rafael.
“Bisa, kan, kalian saling menjelaskan itu tanpa pertemuan?” tukasnya lagi. “Apalagi pertemuan yang istrimu tidak tidak tahu, dan entah apakah suami Adita itu tahu.”
Rafael tak bisa menjawab. Ia tertunduk lagi. Berkali-kali menghela napas panjang.
“Mama bukannya tidak suka dengan Adita,” ujar Lea lagi. “Mama bisa pahami alasannya mengundurkan diri dari kehidupan kita. Dan itu, seharusnya sudah selesai. Sudah lama selesai. Setelah dia menikahi suaminya, dan kamu menikahi Renata!
“Hidup berjalan ke depan, Raf. Bukan mundur. Mama berterima kasih sekali kepada Renata karena bersedia masuk dalam kehidupan kita. Tak pernah mudah bagi Renata untuk tiba-tiba saja jadi seorang ibu bagi anak berusia tujuh tahun, jadi menantu Mama yang sering ceriwis ini, kemudian jadi ibu pula bagi Steve, dan masih juga menyeimbangkan semua itu dengan kariernya. Dia berhasil melakukan itu tanpa cela! Tapi lihat apa balasanmu?” Lea kembali menggelengkan kepala. Masih dengan wajah gusar.
Rafael mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kelalaian ‘kecil’-nya ternyata membawa akibat sangat besar. Dan sungguh, ia sangat menyesalinya.
“Saran Mama,” Lea mulai menurunkan tekanan suaranya, “biarkan Renata dingin dulu. Setiap penjelasanmu, apalagi yang tanpa sengaja kamu bumbui dengan usaha untuk membela diri, masih akan menambah luka hatinya. Yang jelas, kamu bersalah. Titik. Perkara dia juga bersalah karena belum mau memahami apa yang sebenarnya terjadi, itu masalah lain. Kamu sendiri, juga harus memaklumi kemarahannya. Dia cemburu. Karena dia mencintaimu. Kalau kamu belum juga bisa memahami perasaannya, coba tempatkan dirimu sendiri dalam posisinya. Paham?”
“Paham, Ma,” Rafael mengangguk lemah.
Lea mengembuskan napas keras-keras.
“Padahal, Mama sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak akan pernah mencampuri urusan rumah tangga kalian,” gumam Lea, seolah bicara pada dirinya sendiri. “Haaah.... Sudah, Raf, Mama mau lanjut tidur lagi. Semoga kemarahan Renata cepat menguap. Seandainya tak secepat yang Mama harapkan, setidaknya Mama paham alasannya. Dan, Mama tak akan menyalahkan Renata.”
Hingga ibunya kembali ke kamar, Rafael masih terduduk diam di sofa.
* * *
Renata termangu menatap layar laptop. Wajah-wajah yang tersenyum melalui screen saver seolah-olah menari-nari di depan matanya.
Mereka keluarga yang bahagia. Rafael adalah anak, ayah, dan suami yang baik. Mampu menjadi salah satu sumber cahaya dan kebahagiaan hidupnya. Ia dan Rafael mampu saling mengisi, menghargai, dan memercayai. Karena itu ia sangat menghormati Rafael, di luar rasa cinta yang memenuhi hati.
Dari penggalan-penggalan cerita yang pernah diungkapkan Lea, ia tahu bahwa Rafael tidaklah sebandel sang saudara kembar. Sejak kecil, Rafael selalu bersikap jauh lebih dewasa daripada mendiang Steve. Pacarnya tidak terlalu banyak. Lea sama sekali tak pernah menyebut nama-nama mereka. Rafael sendiri yang pernah menceritakan tentang itu. Tentu saja minus penyebutan nama Adita. Hubungan-hubungan manis itu selalu berakhir dengan baik. Kebanyakan karena menemukan ketidakcocokan. Bukan karena Rafael gemar mendua. Apalagi setelah Rafael ketiban tanggung jawab untuk jadi seorang ayah bagi Sarah. Ayah yang harus bisa menjadi contoh yang baik bagi anak gadisnya.
Sesungguhnya, ia tahu bahwa Rafael tak akan menodai rasa percaya itu. Rafael-nya tak semudah itu bisa goyah. Tapi kenyataan bahwa Rafael telah menyembunyikan lembaran masa lalu yang cukup penting itu, masih juga jadi ganjalan dalam hati Renata. Rafael sudah meminta maaf, dan ia memaafkannya. Seharusnya sudah selesai tanpa tambahan apa-apa lagi.
Tapi nyatanya?
Renata menggeleng samar. Ia masih ingat betul pesan dari Nugra yang masuk beberapa puluh menit lalu. Satu pesan yang belum dibaca, dan satu pesan baru.
‘Oh, jadi Mbak melihat sendiri kejadiannya? Baiklah, terima kasih banyak atas informasinya. Saat ini Adita belum pulang. Coba, nanti saya tunggu penjelasannya. Kalau ada perkembangan, nanti saya hubungi lagi Mbak Renata. Selamat sore.’
‘Mbak Renata, selamat malam. Saya berharap Mbak sudah mendapat penjelasan dari suami Mbak. Adita sendiri tak mengatakan apa-apa tentang peristiwa tadi siang. Padahal sudah saya pancing-pancing. Saya hanya bisa berharap, kita semua baik-baik saja. Berharap pula kekhawatiran kita tidak terbukti. Selamat beristirahat, Mbak Renata. Tuhan berkati.’
Renata mengerjapkan mata.
Jadi dia memutuskan untuk menyembunyikan hal itu dari suaminya, ya? Baiklah!
Dihelanya napas panjang. Rasa kesal karena ‘telah dilangkahi’ itu muncul lagi. Apa pun yang hendak dijelaskan Rafael, apakah masih penting? Sementara hal itu, acara makan siang bersama dengan Adita, sudah telanjur terjadi tanpa sepengetahuannya dan Nugra sebagai pasangan masing-masing?
Semua hal besar berawal dari hal kecil, Renata menggeram dalam hati. Juga sebuah perselingkuhan. Awalnya adalah sebuah pertemuan. Selanjutnya?
Dengan gerakan kesal, Renata mematikan laptopnya. Ditutupnya benda itu sebelum disingkirkannya ke kolong ranjang Steve. Ia sudah memutuskan untuk tidur di kamar Steve malam ini. Dengan setengah hati, ditatanya sofa di seberang ranjang mungil Steve. Walaupun sedikit sempit, tapi terasa cukup nyaman untuk membaringkan tubuhnya yang letih.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)