Sebelumnya
* * *
Langit sudah menggelap sempurna. Bimbim menguap sambil duduk di sebuah bangku beton. Sejenak kemudian ia meregangkan punggung dengan mendorong kedua telapak tangan yang jemarinya saling bertaut tinggi-tinggi ke atas. Tatapannya tetap terarah pada sebuah food truck berwarna dasar kuning dengan variasi warna merah dan hijau yang cukup mencolok mata, yang berdiri kukuh tak jauh darinya.
Pemuda itu mengulum senyum. Itu food truck keempat mereka. Ia dan Ernest. Sejauh ini, tiga food truck mereka yang pertama sudah memberikan hasil yang lebih dari lumayan. Terbukti mereka bisa mengembangkan lagi usaha mereka jadi sebuah kafe berkonsep warteg di belakang kampus, dan sebuah lagi food truck yang keempat. Walaupun tak menafikan kenyataan bahwa semua bumbu dan cara pengolahan menu yang tersedia di usaha boga mereka murni berasal dari ibunya, tapi tetap saja kerja kerasnya dan Ernest ikut membuat usaha mereka bisa bertahan, bahkan berkembang.
Sejauh ini pula, ia dan Ernest masih mampu menyelaraskan ide dan kemauan. Ernest seorang pekerja keras. Sama seperti dirinya. Terlahir dari keluarga berada tidak membuat mereka biasa berpangku tangan dan mengharapkan segala sesuatu jatuh begitu saja dari langit.
Sudah lebih dari dua puluh tahun ia mengenal Ernest. Sudah lebih dari cukup untuk memantapkan hati bahwa ia bisa bekerja sama dengan Ernest untuk memulai usaha itu lima tahun yang lalu, saat mereka masih duduk di pertengahan bangku kuliah. Pun mereka punya keinginan yang sama. Lepas dari bayang-bayang nama besar orang tua. Ayahnya adalah salah seorang pejabat tinggi sebuah bank swasta terbesar di Indonesia, dan ibunya memiliki usaha katering ternama yang sudah melebarkan sayap ke bidang wedding and event organizer. Ayah Ernest adalah seorang pemilik perusahaan properti terkemuka dengan proyek hingga ke luar Jawa, sedangkan ibunya memiliki bisnis jual-beli barang antik dan beberapa SPBU di Jabodetabek.
Walaupun lain jurusan, mereka berdua masih bisa saling menjaga persahabatan dan kerja sama itu dengan sangat baik. Modal awal usaha mereka memang berasal dari orang tua. Tapi sifatnya pinjaman tanpa bunga, sehingga mereka WAJIB mengembalikan pinjaman itu dalam jangka waktu lima tahun. Bahkan orang tua mereka tak mau main-main. Surat perjanjian utang-piutang itu ditandatangani di depan seorang pengacara terkenal. Teman ayah Ernest.
Setahun pertama, usaha mereka di taman boga terbuka di daerah Jakarta Selatan masih dalam kondisi babak belur. Masih mencari pasar dan pola pelayanan yang pas. Saling menyalahkan? Tidak! Mereka berdua justru bahu-membahu mengentaskan usaha dari belitan berbagai masalah.
Tahun kedua, kondisi mereka membaik. Rasa dan pelayanan yang terjaga prima, serta harga yang bersahabat membuat mereka berhasil mengumpulkan langganan, bahkan ada yang sampai pada tahap fanatik. Membuat mereka berpikir untuk melebarkan sayap. Layanan pesan-antar mulai mereka buka. Memudahkan pelanggan untuk menikmati aneka makanan yang mereka sediakan. Tak puas dengan sampai di titik itu, mereka mulai memikirkan pengembangan berikutnya.
Awal tahun ketiga, food truck kedua mereka hadir di Depok. Hasil yang mereka dapat sama menggembirakannya dengan yang ada di Jakarta Selatan. Membuat mereka mulai mengambil ancang-ancang untuk membuat food truck berikutnya, yang kemudian mereka parkirkan di Jakarta Barat.
Memasuki pertengahan tahun keempat, setelah berhasil membayar lunas pinjaman mereka sebelum jatuh tempo, ada celah yang terbuka lebar untuk mengusung konsep food truck di Jakarta Barat. Setelah menghitung dengan teliti semua ‘harta benda’ mereka, termasuk menjual mobil pribadi masing-masing dan menggantinya dengan motor, hadirlah food truck ketiga.
‘Mulai dari nol’ justru membuat mereka membabi buta. Dalam jangka waktu hampir satu tahun sejak diluncurkannya food truck ketiga, modal mereka sudah kembali. Mengembalikan kemewahan yang sempat terenggut dengan membeli mobil baru? Tidak. Mereka justru menyambar tawaran untuk membuka kafe di belakang kampus mereka. Kawasan yang termasuk daerah emas bagi usaha boga. Kali ini modal terasa agak mepet. Terpaksa mereka meminjam modal lagi dari orang tua. Sejarah tanda tangan surat utang di depan pengacara pun terulang. Tapi mereka tidak gentar. Naluri bisnis mulai terasah. Dan, mereka berhasil lagi.
Memasuki bulan kedelapan berjalan-dengan-mulusnya kafe “Warteg Erbim Jaya” mereka, modal sudah kembali. Sudah bisa membayar lunas pinjaman sebelum jatuh tempo, sebenarnya. Tapi, alih-alih melunasi pinjaman yang kali ini dipersingkat jatuh temponya menjadi tiga tahun, mereka justru meluncurkan food truck keempat di sini, di Serpong.
Sambil menyiapkan segala sesuatunya di Serpong, mereka memutuskan untuk sementara waktu mengatakan ‘cukup!’. Harus menahan diri dan membatasi ekspansi berikutnya. Lebih memilih untuk fokus terhadap peremajaan sarana dan melunasi pinjaman. Melihat grafik pendapatan yang terus naik, keduanya optimis bisa segera terbebas dari belenggu utang, dan mulai memikirkan diri sendiri.
Menurut rencana, kawasan pusat jajan di Serpong ini akan dibuka secara resmi awal bulan depan, sepuluh hari lagi. Konsepnya hampir sama dengan yang ada di Jakarta Barat, karena pengembangnya pun sama, yaitu menata food truck berseling dengan warung-warung tenda. Hampir seluruh kavling sudah mulai didandani penyewa masing-masing. Seluruhnya ada delapan food truck yang sudah terdaftar dan mendapatkan posisi, serta sekitar dua puluhan warung tenda. Enam food truck aneka bentuk dan warna sudah terparkir di tempat masing-masing. Pun tenda-tenda yang lain.
Uniknya, tak akan ada acara berebut pelanggan karena makanan yang akan mereka jual semuanya berbeda. Pengalaman itu sudah mereka berdua dapatkan di Jakarta Barat, sehingga langsung ‘bermata hijau’ ketika ada tawaran untuk membuka lapak di Serpong.
Bimbim mengerjapkan mata dan menggeliat sekali lagi. Si perfeksionis Ernest masih sibuk di samping food truck mereka. Sedang bicara ini-itu dengan seorang staf bernama Eko yang akan diserahi tanggung jawab harian untuk mengurus food truck. Eko, teman satu angkatan Ernest di fakultas ekonomi jurusan manajemen bisnis, sudah ‘ikut’ mereka sejak pembukaan food truck pertama. Sudah cukup mumpuni untuk menjadi seorang penanggung jawab. Apalagi kinerjanya sangat prima. Pun terlihat sangat nyaman dengan posisinya yang tak pernah dianggap sebagai bawahan, melainkan seorang rekan kerja. Hal sederhana yang membuat staf mereka rata-rata tetap loyal selama bertahun-tahun.
Menjelang pukul delapan malam, pembicaraan antara Ernest dan Eko akhirnya tuntas juga. Bimbim menghela napas lega ketika melihat keduanya datang menghampiri. Kemudian, dengan beriringan mereka meninggalkan tempat itu. Eko sendirian meluncur di atas motornya, Ernest dan Bimbim berboncengan di atas motor Bimbim.
* * *
Dua kepala melongok dari teras ketika Ernest membuka pintu pagar. Ia kemudian menyuruh Bimbim singgah dulu. Bimbim pun menyambutnya dengan senang hati. Apalagi ketika tatapannya jatuh ke teras. Dalam temaram cahaya lampu, ia masih bisa mengenali sosok Ingrid dengan baik.
“Langsung dari Serpong?” sambut Bian begitu Bimbim mencium punggung tangan kanannya dengan sikap takzim.
“Iya, Om.”
“Gimana? Beres?”
“Sudah siap untuk buka, Om. Tinggal tunggu waktunya saja.”
“Duduk dulu,” ujar Bian. Laki-laki itu kemudian menoleh ke arah putri bungsunya. Berucap lembut, “Bikin minum buat Mas Bimbim, In.”
“Eh, nggak usah, Om,” Bimbim buru-buru menolak. Dialihkannya tatapan. “Nggak usah, In.”
“Bener?” Ingrid memastikan.
“Iya, bener,” Bimbim mengangguk.
“Kamu temani Mas Bim, In. Papa mau cek ponsel dulu,” tanpa bisa dicegah, Bian mengundurkan diri dan masuk ke dalam rumah.
Mau tak mau, Ingrid kembali duduk. Sementara Ernest sudah sejak tadi menghilang lebih dulu dengan alasan, “Kebelet pipis.” Bimbim pun mengambil tempat di sofa tunggal seberang Ingrid.
“Sudah hampir beres TA-mu?” senyum Bimbim.
Ingrid mengangguk. “Sedikit lagi.”
“Lusa nonton, yuk, In,” ajak Bimbim tiba-tiba. “Malam mingguan. Refreshing.”
“Horor?” dalam temaram cahaya lampu teras, mata Ingrid terlihat berbinar.
Bimbim mengangguk. Kebetulan ada film horor yang review-nya sangat bagus sedang diputar di bioskop langganan mereka.
“Mas yang bayarin?”
Bimbim tergelak. Apa pun yang kamu minta, Nona Cantik.... Ia mengangguk tegas.
“Kayak biasanya enggak saja,” ia kemudian berlagak menggerutu.
Ingrid pun tertawa riang.
“Yang midnight, ya?” matanya masih berbinar-binar ketika menatap Bimbim.
“Wohooo... Siapa takut? Kamu latihan menari sorenya, ya?”
Ingrid mengangguk. “Yup. Bubarnya sekitar pukul tujuh.”
“Oke, nanti aku antar, aku jemput, terus kita malam mingguan.”
“Haseeek!”
Bimbim suka sekali melihat ekspresi Ingrid yang seperti ini. Sikap Ingrid selalu polos dan alami. Terkadang jahil juga. Gadis jelita itu tak pernah sedikit pun jaim di hadapannya. Mungkin karena mereka sudah lama saling mengenal. Bahkan sejak Ingrid masih balita.
Keduanya kemudian asyik mengobrol. Hingga tak terasa waktu sudah merambat hingga menjelang pukul dua belas malam. Ditandai dengan lewatnya mobil patroli keamanan kompleks di jalan depan rumah Ingrid. Ernest sudah tidak lagi mengurusi sahabatnya itu. Barangkali juga sudah terkapar di bawah pengaruh alam mimpi di kamarnya.
Bimbim kemudian berpamitan. Ia meringis sekilas ketika mengikuti Ingrid masuk dan menemukan Bian terlelap di sofa ruang tengah.
“Ya, sudah, pamitkan sama Om, ya?” bisiknya.
Ingrid mengangguk.
Beberapa saat kemudian Bimbim sudah meluncurkan motor matiknya keluar meninggalkan carport rumah Ingrid. Rumahnya tak jauh. Ada di kompleks yang sama. Hanya berbeda blok saja. Sepertinya malam ini ia akan tidur nyenyak dan bermimpi indah. Senyum manis Ingrid seolah masih menempel erat di pelupuk matanya.
Ia tidak tahu sejak kapan ‘menyukai’ Ingrid. Sepertinya sejak gadis itu mulai mekar dan beranjak remaja. Di matanya, Ingrid adalah segalanya yang ia inginkan untuk dimiliki sebagai seorang kekasih. Sayangnya, Ingrid ‘masih kecil’.
Ketika ia mencoba untuk menunggu dengan sabar, ia sudah terlambat. Dari Ernest ia tahu, seorang pemuda sudah memenjarakan hati Ingrid. Hanya saja Ingrid bertepuk sebelah tangan, karena pemuda yang ia tahu bernama Ken itu, tak sedikit pun pernah memalingkan tatapan secara istimewa kepada Ingrid.
Diam-diam, ia pun turut merasakan sakitnya. Tapi ia masih ingin menunggu hingga Ingrid benar-benar bisa lepas dari cengkeraman kenangan tentang seorang Ken. Kapan? Ia tidak tahu. Ia hanya berharap kali ini ia tidak terlambat lagi. Karena ia tahu, bukan cuma Ernest yang getol mendekatkannya pada Ingrid, tapi Erwin juga.
Ia pun tahu, ‘saingan’-nya punya kualitas yang tidak main-main. Syailendra Bintang Norman. Anak seorang ahli waris perusahaan berskala raksasa. Saat ini pun sudah dipercaya untuk menjadi nahkoda salah satu anak perusahaan yang bergerak di bidang produksi dan distribusi berbagai macam alat kedokteran. Sebuah anak perusahaan yang skalanya tak bisa dibilang kecil.
Terkadang, ia merasa diri kecil karenanya. Ia hanya seorang pemuda yang sedang berjuang untuk berdiri tegak dan menata masa depannya sendiri. Jauh bila dibandingkan dengan Endra. Hanya saja ia masih tetap berharap, agar kali ini Tuhan sedikit berbaik hati padanya tentang Ingrid, dan ia masih bisa berlapang hati menjalani hubungan tanpa status ini.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 🙏🙏🙏
HapusDungaren komene ga ditutup? Iki critoe arek enom iki. Sakbarakane nyonyahku. Pantesan nyonyah auwanteng ae lek es moco blogmu wkkkkkkkk
BalasHapusJempol ae es seng ake ��
Ho'oh, lali nutup 🤣🤣🤣
HapusTumben komenmu lempeng, Nyut? Mendem obat tah? 🤣🤣🤣
Ken lama kembali yaaa??? Di cerita ini....
BalasHapusDi cerita apa ya yang ada Ken nya??? Nyari blm ketemu soalnya.???
Ketemu di tahun 2014 bulan April...... Ceritanya nih Tante Lulu n Onkle First yaaa....
HapusVersi Ken pergi kemana, belum nemu atau blm publikasi yaaakkkk????!!!!!!
Bisa baca lagi bab 1, Mbak. Ada link ke cerita yang jadi ide awal cerbung ini. Plus ada keterangan tentang Ken.
Hapus