Jumat, 31 Agustus 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #3-1









Sebelumnya



* * *


Tiga


Alih-alih menurunkan dan meninggalkan Ingrid di depan gerbang Sanggar Tari Pancarwengi, Bimbim justru membelokkan mobil Ingrid yang dikemudikannya ke halaman luas sanggar itu. Mereka belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi dilihat dari jajaran mobil dan motor yang ada di salah satu area, Bimbim bisa mengira-ngira di mana ia bisa parkir. Ingrid menoleh, menatapnya.

“Jadi? Mau nungguin?”

Bimbim menoleh sekilas sembari mematikan mesin mobil.

“Ya, iyalah,” jawabnya. “Daripada aku dijadikan tersangka pembawa kabur mobilmu.”

Ingrid tertawa sambil membuka pintu mobil.

Bimbim tadi datang ke rumah untuk menjemputnya, dengan mengendarai motor matik. Ingrid sebetulnya tidak keberatan mereka pergi dengan berboncengan motor. Bian-lah yang keberatan. Apalagi keduanya akan pergi sampai lewat tengah malam. Ingrid memilih untuk mengalah dan menuruti permintaan ayahnya untuk naik mobil saja. Daripada izin untuk menonton film midnight dicabut.

Sore ini tidak jadi ada latihan menari di sanggarnya. Sebagai gantinya, diadakan pertemuan gabungan para penanggung jawab pentas di Perth. Tempatnya di Sanggar Tari Pancarwengi. Semula, para personel dari Sanggar Tari Cipta Kencana akan berkumpul dulu di markas. Tapi Ingrid yang rumahnya lebih dekat dengan Pancarwengi minta izin untuk langsung ke tujuan.

Sekilas, Ingrid melihat mobil operasional Cipta Kencana sudah parkir di halaman Pancarwengi. Ditariknya napas lega. Setidaknya ia tidak datang sendirian di tempat itu. Belum terlambat juga, karena resminya pertemuan akan diadakan sekitar lima belas menit lagi.

“Mas Bim mau tunggu di sini atau di mana?” tanyanya sebelum keluar.

“Di sini saja, ya?” Bimbim menatapnya.

“Oke,” Ingrid mengangguk.

Benar saja! Cindra, Lulu, Fritz, dan tiga orang personel lagi dari Cipta Kencana sudah duduk bersama sekumpulan orang lainnya di salah satu pendopo kecil. Sanggar yang luas itu memiliki tiga buah pendopo. Satu besar, berada di tengah, diapit dua pendopo yang berukuran lebih kecil. Cindra melambaikan tangan melihat kehadirannya.

Cindra kemudian memperkenalkan Ingrid pada semua yang hadir di sana. Sambutan dari mereka sangat ramah. Membuat Ingrid bisa duduk dengan perasaan nyaman di antara Cindra, dan pemimpin Pancarwengi – seorang perempuan cantik berusia awal empat puluhan bernama Wulan.

“Bapak ke mana, Bu?” bisiknya pada Cindra.

“Masih ada perlu,” Cindra balas berbisik. “Nanti nyusul. Kamu sendirian?”

“Enggak,” geleng Ingrid. “Diantar sama teman Bang Ernest.”

“Bilang saja itu pacarmu,” goda Cindra.

Ingrid hanya bisa nyengir, dan menjerit dalam hati. Aduh, Ibuuu! Masa nggak tahu, sih, kalau aku sudah lama terkiwir-kiwir pada anak bungsumuuu?

Pertemuan itu resmi dibuka sesuai jadwal yang sudah disepakati. Suasananya santai saja. Lesehan membentuk lingkaran kecil. Secara aklamasi, Cindra yang jauh lebih senior daripada Wulan diangkat menjadi kepala rombongan. Kemudian lebih ditegaskan lagi siapa-siapa saja yang jadi penanggung jawab tiap seksi. Ditetapkan pula duta rombongan dari masing-masing sanggar. Duta utama dari Cipta Kencana adalah Ingrid dan Satya. Sedangkan dari Pancarwengi adalah Kamala – putri sulung Wulan yang baru kelas dua SMA – dan satu lagi bernama Andru. Yang terakhir ini hanya namanya saja yang disebut karena pemiliknya belum hadir.

Tengah asyik membahas koreografi, Damar menyelinap hadir. Terpaksa ada jeda saat Cindra memperkenalkan suami tercintanya itu. Beberapa menit kemudian ada jeda lagi. Kali ini yang bernama Andru-lah yang muncul. Ganti Wulan yang memperkenalkannya.

Sejak awal matanya menangkap kehadiran pemuda berusia sebaya dengannya itu, Ingrid sudah mulai sesak napas. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Sesaat. Hanya sepersekian detik, tapi hati Ingrid serasa dilanda badai.

Sosok bernama Andru itu nyaris serupa dengan Ken. Tidak mirip seratus persen, tapi seutuhnya Ingrid bisa melihat sosok Ken ada dalam diri pemuda itu. Ternyata bukan ia saja yang merasakan kemiripan itu. Cindra pun juga.

“Lho, anak itu, kok, kayak kembar sama Ken, ya, Pa?” bisik Cindra pada Damar yang duduk tepat di belakang Ingrid.

Tadi siapa namanya? Oh, iya, Andru. Duuuh.... Kerennyaaa....

Ingrid mulai sulit untuk fokus. Beberapa isi pertemuan hanya menempel sehuruf-sehuruf saja dalam benaknya. Diam-diam ia menarik napas lega ketika pertemuan usai. Tapi mereka belum membubarkan diri, karena ternyata masih ada kudapan yang disediakan tuan dan nyonya rumah. Kalau tadi, sepanjang pertemuan, hanya ada tiga macam keripik, kacang telur, dan teh hangat, kali ini berpiring-piring kue basah aneka rupa terhidang di hadapan mereka. Pun tambahan teh dan kopi bagi yang menghendaki. Pada kesempatan itu, mereka saling mengenal lebih dekat di luar ‘forum resmi’.

Ingrid yang enggan pindah dari sebelah Cindra mau tak mau mengikuti obrolan dua petinggi sanggar itu. Dari situ ia tahu bahwa Wulan merupakan generasi kedua pemilik sanggar. Ibu dan ayahnya masih aktif menari, tapi sudah menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan sanggar padanya. Kisah hidupnya nyaris sama dengan Cindra. Sama-sama bertemu pasangan di sanggar tari. Wulan dan Rahardian bertemu di Pancarwengi, sedangkan Cindra dan Damar di sebuah padepokan di Jogja. Wulan bersama suaminya bertahan menjaga dan membesarkan Pancarwengi, sedangkan Cindra dan Damar memutuskan untuk hijrah dari Jogja ke Jakarta dan mendirikan sanggar sendiri.

“Senang, ya, Jeng, sudah bisa menyiapkan generasi penerus,” celetuk Cindra. “Anak saya dua, laki-laki semua. Yang bungsu dulu juga aktif di sanggar. Tapi sudah pasif sejak masuk SMA. Apalagi sekarang kuliah di luar. Entah gimana nasib sanggar saya nanti.”

“Tapi, kan, generasi mudanya masih banyak, Mbak,” Wulan menanggapi.

“Iya, sih...,” Cindra mengangguk. “Ini salah satunya,” Cindra mengelus bahu Ingrid.

“Hehehe.... Mbok dipek mantu[1],” Wulan meringis.

“Maunya, sih, gitu. Tapi....,” Cindra menggantung kalimatnya. Malah menutupnya dengan gelak ringan.

Ingrid langsung merasa hatinya makin retak dan remuk.

Oh.... Jadi emaknya ingin, tapi anaknya ogah?

Samar, dihelanya napas panjang.

Baiklah....

Dicobanya untuk mengalihkan perhatian pada hal lain. Hal yang seketika mengembalikan remukan hatinya ke bentuk semula. Itu karena Andru tiba-tiba saja menghampiri mereka. Pemuda gagah dan tampan itu berjongkok di dekat Wulan.

“Permisi, maaf ganggu,” ucapnya dengan nada sopan dan halus. “Tante, aku pamit dulu, ya. Mau jemput Mama sama Papa di bandara.”

“Oh, ya,” Wulan membalas jabat tangan pemuda itu. “Salam buat mama-papamu, ya.”

Pemuda itu tak lupa mengangguk sopan pada Cindra dan Ingrid. Setelah ia menjauh, Wulan berujar, “Papa Andru itu sepupu saya. Sudah lama dia gabung di sini. Bisa saya andalkan untuk regenerasi. Mendampingi Mala dan Kana kelak.”

Cindra manggut-manggut.

Pertemuan itu mereka akhiri menjelang pukul setengah delapan. Ingrid hampir saja melupakan keberadaan Bimbim kalau saja Fritz tidak menawarinya untuk pulang bersama menggunakan mobil operasional Cipta Kencana. Ketika ia membuka pintu kiri depan mobilnya, ditemukannya Bimbim sedang terlelap di jok pengemudi yang sandarannya direbahkan ke belakang.

Sejenak, Ingrid menatap pemuda itu. Tak tahu harus berbuat apa. Dalam remang pantulan cahaya lampu taman yang masuk melalui kaca depan, ia bisa melihat gurat keletihan pada wajah Bimbim.

Seutuhnya ia paham. Belakangan ini baik Bimbim maupun abangnya sibuk sekali mempersiapkan food truck terbaru mereka. Saking sibuknya, sempat juga terjadi keributan kecil antara Ernest dengan Sierra, kekasih Ernest.

Sierra merasa diabaikan. Selama ini ia sudah cukup maklum dengan kesibukan Ernest. Tapi belakangan ini kesibukan Ernest dirasanya sudah keterlaluan. Bagi Ernest, solusinya cuma satu. Meredakan amarah Sierra dengan lebih meluangkan waktu untuk gadis itu. Karenanya, ada sebagian pekerjaan yang terpaksa dipindahtangankan kepada Bimbim, yang lebih ‘bebas’ statusnya. Bimbim seutuhnya memahami situasi yang dihadapi Ernest. Diambilalihnya tugas itu tanpa banyak cakap. Akibatnya....

Ingrid masih menatap Bimbim dengan bimbang. Menunggu sampai Bimbim terbangun, lha, ini lahan orang lain. Tapi kalau membangunkan secara paksa, kok, kasihan juga. Akhirnya, Ingrid hanya bisa menyelinap masuk ke dalam mobil, dan menutup pintu pelan-pelan.

* * *

Tiba-tiba saja Bimbim terjaga. Samar, telinganya menangkap ada bunyi pintu mobil yang dibuka dan ditutup kembali. Pun guncangan halus di sekitarnya. Ketika ia membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah langit-langit rendah yang agak asing di matanya. Ketika kesadarannya pelan-pelan mengumpul kembali, ia menyadari bahwa itu adalah langit-langit sebuah mobil.

Seketika ia tersentak dan menegakkan punggung. Pada saat itu ekor matanya menangkap ada sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang, di sebelah kirinya, ia menoleh cepat. Mendapati Ingrid menatapnya dengan wajah menyiratkan rasa bersalah.

“Wah, Mas Bimbim jadi terbangun,” ucap Ingrid lirih.

Bimbim makin tersadar. Ingatannya makin mengumpul. Bahwa ia tadi mengantar Ingrid untuk urusan pentas, menunggu gadis itu hingga urusannya selesai, dan....

“Aku ketiduran,” Bimbim meringis sekilas.

Ia kemudian buru-buru mengembalikan posisi sandaran jok. Setelah itu tangannya meraih kunci dan memutarnya. Tapi tangan kanan Ingrid keburu terulur. Menyentuh lengan kirinya.

“Kalau Mas Bimbim masih ngantuk, gimana kalau aku saja yang menyetir?” Ingrid mengusulkan dengan nada halus.

Bimbim terdiam sejenak. Berpikir, sekaligus mengusir rasa kantuknya yang masih tersisa. Ia kemudian menggeleng.

“Sudah hilang, kok, ngantuknya,” ia berkilah.

“Bener?”

“Bener!” ia berusaha meyakinkan Ingrid.

“Nih, giginya diganjel kue dulu,” Ingrid mengulurkan bungkusan plastik bening berisi risoles dan sus isi vla.

Ngembat dari mana?” Bimbim menerima bungkusan itu, mengeluarkan isinya, dan melahapnya sampai habis dalam empat kali gigit.

Ingrid tergelak. “Sempat nyolong tadi.”

Ia menyodorkan lagi sesuatu. Kali ini air mineral dalam gelas plastik. Bimbim menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Setelah minuman itu habis, barulah ia melanjutkan niatnya menyalakan mesin mobil. Beberapa saat kemudian, mobil mungil itu sudah meluncur meninggalkan halaman Sanggar Tari Pancarwengi.

“Makan dulu, ya, In,” ujar Bimbim. “Kamu mau makan di mana?”

“Ini kita jadi mau nonton, kan?” Ingrid malah balik bertanya.

“Ya, iyalah. Kan, tadi sudah dapat lampu hijau dari Om.”

“Mm....”

Ingrid kemudian menyebutkan nama sebuah kafe yang buka sampai dini hari di dekat bioskop tempat mereka berencana menonton. Tanpa banyak kata, Bimbim pun menyetujuinya.

Di bawah siraman cahaya lampu merkuri yang berderet di sepanjang jalan, mereka bercakap tentang banyak hal. Bimbim menceritakan perkembangan proses pembukaan food truck terbarunya dan Ernest, yang didengarkan Ingrid dengan sungguh-sungguh. Pun ketika Ingrid ganti bercerita tentang pertemuannya tadi, Bimbim pun mendengarkannya dengan serius. Tentu saja Ingrid skip tentang Andru. Ia masih ingin menyimpan hal itu untuk dirinya sendiri.

Keduanya menikmati sisa hari Sabtu itu dengan riang. Suasana kafe yang asyik menambah rasa riang itu. Juga tiket bioskop yang ternyata sudah dipesan Bimbim, memberi akses bagi keduanya untuk duduk di posisi yang paling nyaman untuk menonton pada jadwal tengah malam. Tak lupa Bimbim membeli pop corn karamel dalam satu kemasan terbesar dan dua botol air mineral.

Ketegangan menonton film horor itu sama sekali tak mengurangi keriangan mereka. Bimbim tersenyum lebar ketika film itu sudah usai, dan mereka berjalan meninggalkan bisokop menuju ke tempat parkir, tapi Ingrid masih juga sibuk membahas betapa kerennya film itu tadi. Seutuhnya, ia menyetujui pembahasan Ingrid. Apalagi ia memang sama dengan Ingrid. Penyuka film horor dan thriller.

“Sabtu depan nonton lagi, yuk!” celetuk Bimbim sebelum menyalakan mesin mobil.

“Idih! Jadi ketagihan,” sambut Ingrid dengan nada meledek.

Bimbim tertawa panjang. Ingrid pun tersenyum lebar.

“Yang thriller perang antar galaksi di ekstra tadi saja, tuh, Mas,” ujarnya kemudian.

“Boleh.... Boleh.... Kayaknya bagus juga. Midnight lagi?” Bimbim menanggapinya dengan antusias. “Dikasih izin nggak, kira-kira?

“Yup. Kalau keluarnya sama Mas Bimbim, pasti dikasih izinlah sama Mama dan Papa.”

Entah kenapa, Bimbim senang sekali mendengar ucapan Ingrid.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

[1] Mbok dipek mantu = diambil jadi menantu (saja).