Selasa, 28 Agustus 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #2-1









Sebelumnya



* * *


Dua


Ingrid buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya ketika merasakan benda itu bergetar. Ada sebuah pesan yang masuk melalui WhatsApp, dari nomor tanpa nama, dengan gambar profil sebuah meja kerja yang tampak cukup rapi. Ingrid mengerutkan kening ketika membaca pesan itu.

‘In, masih lama?’

Ia segera membalasnya, ‘Ini siapa, ya?’

Sebuah jawaban singkat diperolehnya beberapa detik kemudian. ‘Endra.’

Ingrid mengerucutkan bibirnya. Oh.... Balasnya, ‘Memangnya kenapa, Mas?’

‘Aku disuruh Erwin jemput kamu.’

Ingrid melebarkan mata. ‘Lha, Abang ke mana?’

‘Masih di bengkel. Antre, katanya.’

Ingrid menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Pasti Abang tadi ke mana-mana dulu. Huh!

Hari ini memang jadwalnya untuk servis rutin mobil mungilnya. Awalnya, ia berencana untuk ke bengkel setelah selesai dengan urusan di perpustakaan kampus. Tapi Erwin, salah satu abangnya, 'berbaik hati' untuk membawakan mobilnya ke bengkel, dengan catatan akan mengantarnya ke kampus dan nanti menjemputnya lagi. Ternyata....

‘Mas Endra ada di mana sekarang?’

‘Di depan perpus.’

Ingrid kembali mengerucutkan bibirnya. ‘Ya, deh, aku keluar sekarang.’

‘Kalau belum selesai gpp aku tunggu.’

‘Sudah, kok, sudah selesai.’

Tanpa menunggu balasan dari Endra, Ingrid mengantongi lagi ponselnya, merapikan buku-buku yang ada di depannya, dan memasukkannya dalam keranjang di ujung meja. Ditinggalkannya ruangan hening itu tanpa suara. Sampai di dekat pintu keluar, ia berhenti sejenak. Membuka bungkus sebuah permen, dan membuang bekas bungkus itu ke tempat sampah di dekat pintu.

Begitu membuka pintu kaca lobi perpustakaan pusat, ia melihat Endra duduk manis di bawah sebuah pohon rindang di pelataran perpustakaan. Seperti ada magnet yang menarik perhatian Endra, pemuda berpostur ramping itu mengalihkan tatapan dari layar ponselnya begitu Ingrid datang menghampiri.

“Halo!” sapa Endra dengan senyum tipis menghiasi wajahnya, sembari memasukkan ponsel ke saku kemeja.

“Hai!” Ingrid pun membalas sapaan itu. “Malah jadi ngerepotin Mas Endra,” lanjut Ingrid, sedikit berbasa-basi.

“Enggak...,” Endra berdiri. “Kebetulan aku lagi di sini. Urusan tesis.”

“Oh....”

“Kamu mau langsung pulang atau masih mau ke fakultasmu?”

“Mau ke rumah Kak Erma. Kangen sama Cipluk.”

“Oh...,” Endra menyambungnya dengan tawa.

Ganteng bangeeet.... Ingrid sedikit kehilangan kendali diri.

“Yuk, aku antar!” Endra mengulurkan tangan, menghela bahu kiri Ingrid dengan halus. “Tapi jalan dulu ke pasca, ya? Motorku parkir di sana.”

Ingrid mengangguk sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Keduanya kemudian berjalan bersisian menuju area parkir kompleks pasca sarjana yang ada tepat di sebelah perpustakaan pusat. Sesekali Endra saling menyapa dengan kenalannya yang kebetulan berpapasan.

“Mm.... mampir ke kantin dulu, keberatan, nggak?”

Ucapan Endra yang begitu tiba-tiba itu sempat membuat Ingrid hampir tersedak permen yang masih dikulumnya. Ia menoleh. Sedikit mendongak. Menemukan Endra tengah menatapnya sambil meringis lucu.

“Aku lapar,” lanjut Endra, dengan ekspresi sedikit memelas.

Ingrid tertawa melihatnya.

“Memangnya tadi belum sarapan?”

Endra menjawabnya dengan gelengan kepala. Ingrid pun mengangguk. Sesungguhnya, ransum sarapannya tadi berupa setangkup roti tawar berisi telur ceplok, dua helai daun selada, masing-masing seiris tomat dan mentimun, ditambah sedikit semprotan mayonnaise dan saus sambal, dan segelas susu coklat, sudah tak ada bekasnya lagi di dalam perut.

Pantas.... Ingrid tersenyum dalam hati begitu menatap sekilas jam dinding besar yang tergantung dalam salah satu kantin pasca sarjana. Sudah hampir pukul sebelas.

“Mau makan apa, In?” tanya Endra sambil menyodorkan buku menu.

“Ini aku ditraktir, atau BDD[1]?” Ingrid balik bertanya dengan wajah jahil.

Endra tertawa melihatnya.

“Aku yang bayarin,” jawabnya kemudian. “Memang ada bedanya?”

“Adaaa...,” Ingrid ikut tertawa. “Kalau ditraktir aku pesannya banyak, kalau BDD aku pesannya irit.”

“Astaga...,” Endra berlagak menggelengkan kepala dengan wajah disetel prihatin.

Ingrid makin tergelak. Endra menyodorkan sebundel kertas nota.

“Mas mau makan apa?” Ingrid siap menuliskan semua pesanan mereka.

“Mm.... Enaknya apa, ya?” Endra malah balik bertanya.

Ingrid nyengir. “Aku, sih, maunya gado-gado. Tapi di sini porsinya besar. Takut nggak habis.”

“Nggak apa-apa, nanti aku yang habisin,” sahut Endra cepat.

Ingrid mendongak sedikit. Wajah Endra yang duduk di seberangnya terlihat serius. Pun tatapannya. Mengisyaratkan ia tak main-main dengan sahutannya baru saja. Ingrid pun kembali menunduk. Menuliskan ‘1 gado-gado lontong pedas sedang’ di lembar nota.

“Aku mau ayam cabe hijau saja, deh!” celetuk Endra kemudian. “Yang level dua.”

Dengan patuh Ingrid menuliskan pesanan Endra.

“Mau pakai nasi putih atau nasi merah?” Ingrid mendongak lagi.

“Nasi merah.”

“Wuidiiih.... Sadar makanan sehat juga ternyataaa...,” ledek Ingrid.

Endra terkekeh.

“Minumnya?” Ingrid menunduk lagi, menuliskan ‘1 es doger’ dan ‘1 air mineral’ di nota.

“Es teler sama air mineral.”

Ingrid pun mencoret angka 1 di depan tulisan ‘air mineral'. Menggantinya dengan angka 2.

“Sebenarnya siang-siang panas gini enak makan rujak buah, ya, Mas?’ gumamnya iseng, sembari menuliskan ‘1 es teler’. “Sayangnya, porsinya besar juga.”

“Pesan, dah!”

Untuk kesekian kalinya Ingrid mendongak. Endra menatapnya. Kembali berekspresi serius.

“Satu saja buat berdua?” Ingrid memastikan.

Endra mengangguk. Lalu tambahnya, “Nanti kalau kurang, gampang. Kita pesan lagi.”

Ingrid pun menuruti ucapan Endra. Setelah itu, ia menyerahkan nota pada Endra untuk dibawa ke kasir. Diam-diam, Ingrid mengamati punggung tegap Endra yang bergerak menjauh.

Sesungguhnya, ia sudah paham tentang ‘akal-akalan’ Erwin menyuruh Endra menjemputnya. Ingrid sendiri sudah cukup pusing dengan ulah abang-abangnya. Ia bungsu dari empat bersaudara. Punya dua abang dan seorang kakak yang berusia dua puluh lima tahun. Tiga tahun lebih tua daripadanya. Kembar tiga. Ernest, Erwin, dan Erma.

Erma sudah menikah dua tahun lalu. Sudah menempati rumah sendiri. Setelah kuliahnya selesai, ia memilih untuk tidak berkarier ‘ikut orang’, melainkan mengembangkan usaha online shop pernak-pernik perca batik yang sudah dirintisnya sejak jaman masih awal kuliah. Dari mulai mengerjakan sendiri, hingga kini berhasil punya enam pegawai tetap dan beberapa tenaga lepas yang direkrutnya saat pesanan membanjir.

Hania, salah seorang teman ibu mereka, punya butik khusus batik yang tertarik dengan karya Erma. Dipesannya beberapa item pernak-pernik untuk dijual di butik. Dari situlah, Erma bertemu dengan Rakai, putra tunggal pasangan Hania dan Agustan. Hubungan keduanya serius, dan segera menuju ke gerbang pernikahan setahun kemudian. Saat ini sudah punya seorang buah cinta yang cantik dan mungil berpipi bulat bernama Inez. Sayangnya, Ingrid – satu-satunya bibi yang dimiliki Inez – dengan ‘semena-mena’ mengubah nama cantik itu menjadi ‘Cipluk’.

Kalau Erma tidak terlalu peduli dengan siapa si adik nanti berpacaran, tidak demikian dengan Ernest dan Erwin. Kedua abang ‘yang baik’ ini bersaing untuk mendekatkan si bungsu pada sahabat-sahabat mereka. Belakangan ini, usaha itu mengerucut pada dua nama. Endra, sahabat Erwin sejak SMP. Dan Bimbim, sahabat Ernest sejak TK.

Keduanya memang pemuda-pemuda yang cukup menarik, dengan masa depan yang sudah bisa diprediksi akan dinaungi langit cerah. Endra saat ini sedang menyelesaikan jenjang magister di bidang teknik industri. Sudah cukup lama mulai meniti karier di salah satu anak perusahaan Eternal Corp.. Sebuah perusahaan keluarga ternama yang cukup menggurita.

Bimbim diketahui Ingrid belum memiliki keinginan untuk melanjutkan studi ke jenjang magister. Tapi bersama Ernest, Bimbim sudah memiliki tiga buah food truck yang tersebar di Depok dan Jakarta, dan sebuah kafe berkonsep warteg di daerah belakang kampus. Bahkan kini keduanya sedang menyiapkan food truck keempat untuk ditempatkan di Serpong.

Pengelolaan usaha di bidang boga itu bekerja sama dengan ibu Bimbim yang memiliki sebuah usaha katering ternama berskala besar. Ernest memilih untuk memulai usahanya sendiri bersama Bimbim sambil meneruskan pendidikannya di jenjang magister bisnis. Tidak seperti Erwin yang lebih tertarik untuk meneruskan usaha ayah mereka di bidang properti, sambil meneruskan pendidikannya untuk meraih gelar master di bidang arsitektur.

Dan, Ingrid? Sejujurnya ia merasa nyaman untuk berinteraksi dengan keduanya. Baik Endra maupun Bimbim selalu bersikap baik padanya. Entah murni dari hati, ataukah sekadar pencitraan karena tak mau terkena bogem mentah Ernest dan Erwin, Ingrid tidak tahu. Yang jelas, ia bagai memiliki empat orang abang yang selalu siap jadi penggawa-penggawa setianya.

Ingrid buru-buru mengalihkan tatapan ke arah lain ketika Endra terlihat sudah hendak berbalik. Ia menunduk. Berlagak asyik menekuni buku menu kantin bersama itu. Ia baru mengangkat wajah kembali ketika Endra sudah duduk di seberangnya.

“Kamu mau pulang jam berapa dari rumah Erma?” Endra menatapnya.

Kening Ingrid berkerut sedikit.

“Wah, nggak tahu,” gumamnya. “Biasanya sampai sore.”

“Ya, sudah. Nanti pulang kantor, aku jemput.”

“Eh, nggak usah!” Ingrid buru-buru menolak. “Biar Abang yang jemput aku. Enak saja dia mengalihkan tanggung jawab ke orang lain. Kalau dia nggak mau, aku masih bisa, kok, naik taksi.”

Endra menatapnya. Cukup lama. Membuat Ingrid jadi sedikit salah tingkah.

“Kok, masih juga dianggap orang lain, ya?” Endra menggumam.

Ingrid terdiam sejenak. Serba salah.

“Eh, bukan begitu maksudku...,” elaknya kemudian.

Endra mengulas senyum. Mengibaskan tangan kanannya di depan wajah.

“Sudah, lupakan,” ujarnya dengan suara ringan. “Yang penting sekarang kita ‘isi bensin’ dulu penuh-penuh. Biar bisa mikir jernih. Soalnya, aku ada meeting di kantor pusat pukul dua nanti.”

Ingrid manggut-manggut. Rupanya Endra sudah melihat ada pramusaji yang mengantar pesanan mereka dari arah belakang Ingrid. Beberapa saat kemudian, keduanya sudah asyik menyantap makan siang mereka sambil bercakap.

Pada satu titik waktu, Endra menggumam, “Kalau Bimbim lihat kamu makan bareng sama aku begini, dia marah, nggak?”

Seketika Ingrid terbengong.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :

[1] BDD = bayar dhewe-dhewe; bayar sendiri-sendiri.