Kamis, 02 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #5-1









Sebelumnya



* * *


Lima


Rafael tercenung di depan laptop. Semalaman ia memikirkan ide Sarah, yang diungkapkan gadis kecilnya itu kemarin menjelang sore.

Menulis surat. Email. Hmm....

Ia menyandarkan punggung. Bukan suatu hal yang sulit, sebenarnya. Kalau saja ia tahu apa yang akan ia tuliskan. Sayangnya, ia benar-benar tak tahu penjelasan seperti apa yang harus ia ungkapkan kepada Renata. Alasan ia tak bercerita tentang Adita kepada Renata? Itu pun ia tak tahu.

Hanya satu hal kecil yang dulu ia pikirkan, bahwa ia tak ingin Renata menertawakan kebodohannya karena pernah ‘menyewa’ Adita sebagai kekasih palsu. Hal kecil yang tentu saja tak perlu diikuti ‘hal besar’ tentang kisahnya dengan Adita. Toh, pada ujungnya mereka berpisah. Bahkan Adita lebih dulu menikah daripadanya.

Dihelanya napas panjang. Ia mengangkat wajah. Menoleh ke kiri, ke arah luar jendela kaca ruang kerjanya di kantor. Mendung yang menggayuti langit tampak begitu tebal dan gelap. Seolah siap menumpahkan tangisnya ke bumi. Cocok sekali dengan suasana hatinya yang sedang kelabu tua.

Pernikahannya dengan Renata masih seumur jagung. Belum lagi genap tiga tahun. Sepanjang waktu bersama yang sudah berlalu itu, baru kali ini mereka ‘ribut besar’. Ribut dalam hening. Yang pangkalnya terasa absurd. Pada satu sisi, ia heran dengan kecemburuan yang tampaknya kali ini begitu meledak dalam diri Renata. Tapi pada sisi lain, ia merasa wajar bila Renata marah karena kisah tentang ia dan Adita ‘terselip’ begitu saja. Tak terceritakan.

Tapi apakah memang harus semarah itu?

Ditatapnya layar laptop. Gambaran kebahagiaan keluarga kecilnya terpampang jelas di sana. Senyum Renata, senyum Sarah, senyum Steve, senyumnya. Kebahagiaan yang ia tak ingin menukarnya dengan apa pun yang ada di dunia ini.

Sejenak kemudian ia memutuskan untuk benar-benar mengikuti saran Sarah. Seraya berharap dan berdoa, agar penjelasannya nanti tidak justru menambah rumit keadaan. Maka, ia pun menegakkan punggung. Mengulurkan tangan dan menyentuh keyboard laptopnya. Seketika pantulan kebahagiaan itu menghilang dari layar. Berganti dengan halaman kosong word yang siap menampung setiap kata yang hendak dirangkainya.

* * *

Untung pekerjaannya sedang banyak, sehingga Renata tak perlu susah-susah menyingkirkan masalah pribadinya. Semuanya nyaris sempurna tertutup kesibukannya. Tapi pada saat ada jeda ketika semua tahap pekerjaannya sudah selesai, sementara tahap berikutnya belum dimulai, gangguan itu datang lagi.

Renata menopang pelipis dengan tangan kirinya. Pandangannya jatuh ke layar laptop. Baru saja beberapa detik lalu ia memeriksa email yang masuk di tengah waktu senggangnya yang tak banyak itu. Tatapannya langsung saja jatuh pada salah satu email yang terselip di tengah-tengah deretan yang belum dibukanya. Email dari Rafael.

Sejenak ia ragu, sebelum memutuskan untuk menunda membuka email yang itu. Dibukanya email-­email lain. Semuanya berurusan dengan pekerjaan. Ada yang perlu dibalasnya, ada juga yang hanya perlu dibahas di ruang rapat.

Selesai memeriksa dan membalas semua kiriman yang perlu, sekilas ia melirik sudut kanan bawah layar laptop. Lima belas menit lagi ada meeting umum. Ia kembali ke laman kotak masuk emailnya. Menimbang-nimbang apakah akan membuka email dari Rafael sekarang ataukah menundanya lagi. Tapi, ia teringat akan meeting yang harus dihadirinya beberapa menit lagi. Meeting yang butuh konsentrasi penuh karena akan membahas kemajuan kerja semua tim.

Ia tak ingin konsentrasi itu terganggu karena email dari Rafael yang entah apa isinya. Dugaannya, tentu tak jauh dari penjelasan yang sangat terlambat, pembelaan diri, dan sejenisnya. Diangkatnya bahu.

Itu bisa menunggu nanti, selesai meeting, putusnya.

* * *

“Mbak Tia, saya nggak ada jadwal lagi setelah ini, kan?” Rafael menatap sekretarisnya setelah usai menandatangani beberapa berkas.

“Tidak ada, Pak,” Tia menggeleng. “Jadwal Bapak masih longgar sampai akhir minggu depan.”

“Ya, sudah,” angguk Rafael. “Sarah pulang cepat hari ini, pukul setengah dua belas. Saya sudah janji mau jemput. Saya cabut dulu, ya, Mbak. Nanti nggak balik lagi. Tapi kalau ada apa-apa, cepat kabari saya.”

“Baik, Pak.”

Tia pun keluar dari ruang kerja Rafael setelah minta diri. Secepatnya Rafael merapikan meja. Setelah memasukkan laptop ke dalam tas, ia pun meraih ponsel dan memasukkannya ke saku kemeja. Di luar, sekali lagi ia berpamitan pada sekretarisnya.

Lift yang dimasukinya dalam kondisi kosong. Setelah pintu tertutup dan lift itu dirasanya mulai bergerak turun, ditatapnya pantulan dirinya di dinding lift. Sedikit buram, tapi masih cukup jelas. Dihelanya napas panjang.

Setelah berjuang hampir dua jam lamanya sejak jam kantor dimulai, akhirnya ia bisa menyelesaikan konsep email itu. Sudah dikirimkannya pula pada Renata. Harap-harap cemas akan seperti apa reaksi Renata. Tapi sepertinya ia memang masih harus menunggu. Ia tahu kesibukan Renata akhir-akhir ini. Selain pekerjaannya sendiri, Renata juga harus menangani pekerjaan yang ditinggalkan mendiang Lily. Yang bisa dilakukannya hanyalah bersabar.

Setelah menembus beberapa kemacetan kecil, Rafael pun tiba di depan pagar sekolah Sarah. Lagi-lagi ia hanya mendapat jatah parkir jauh dari pintu gerbang. Tengah ia berjalan ke arah gerbang, sayup-sayup telinganya mendengar alarm tanda berakhirnya jam pelajaran.

Ia sempat khawatir tadi. Menyadari bahwa ia berangkat untuk menjemput Sarah sudah agak mepet waktunya. Untung saja kemacetan lalu lintas yang sempat dihadapinya tak terlalu mengular. Tak lama menunggu di depan gerbang, gadis pra remaja yang ditunggunya itu pun muncul dengan wajah riang.

Diambilnya tangan sang papa, diciumnya dengan manis di bagian punggungnya. Rafael pun mengelus kepala Sarah dengan sebelah tangannya yang bebas.

“Sana, pamit dulu sama Mas Ndoko,” ujar Rafael, lembut.

“Aku sudah bilang padanya pas berangkat tadi,” jawab Sarah.

“Oh.... Ya, sudah. Ayo!”

Rafael merengkuh bahu putrinya ketika berjalan kembali ke mobil. Setelah memastikan sabuk pengaman Sarah sudah terpasang sempurna, barulah Rafael pelan-pelan melajukan mobilnya, tepat ketika hujan merinai.

“Langsung pulang, Pa?” celetuk Sarah.

“Enaknya gimana?” Rafael menoleh sekilas, balik bertanya.

“Makan dulu,” Sarah meringis lucu.

“Wah, bisa tekor ini Papa,” jawab Rafael, tergelak ringan.

Tapi diturutinya juga usulan sang putri. Setelah berunding singkat, ia pun membelokkan mobilnya ke mal terdekat. Mal yang terletak di tengah pusat perkantoran itu cukup penuh pada jam makan siang begini. Dengan susah payah, Rafael dan Sarah mendapat tempat duduk di sebuah food court.

“Kamu mau makan apa?” tawar Rafael.

“Mm...,” sejenak Sarah menatap berkeliling. Tak butuh waktu lama untuk menjatuhkan pilihan. “Gado-gado Mbak Astrid saja.”

“Ya, sudah,” angguk Rafael. “Tolong, Papa sekalian pesankan bakmi goreng seafood spesial di sebelahnya, di Ko Rudy.”

“Tambah pangsit goreng saus plum, ya, Pa?” Sarah meringis.

Rafael memutar kedua bola matanya dengan dramatis. “Gado-gado sama pangsit goreng, apa ya cocok?”

Sarah tertawa. “Buat dicemil, Papaaa....”

“Hehehe.... Ya, deh! Minumnya? Papa mau es cendol. Kamu?”

“Mm.... Aku es campur saja.”

“Wuih! Gado-gado sama es campur,” Rafael menggelengkan kepala. “Kamu ini kurus, tapi makannya banyak. Jangan-jangan cacingan?”

Sarah tergelak seketika. Seraya protes, dicubitnya lengan sang ayah, yang juga terbahak bersamanya.

“Ya, sudah, pesan sana!” usir Rafael. “Jangan lupa di counter minuman pesan air mineral yang setengah liter sebotol saja, nanti buat berdua.”

Sarah pun segera beranjak. Selesai memesan makanan dan minuman, ia pun kembali pada Rafael dan menyerahkan nota pembayaran. Ganti Rafael yang meninggalkan meja untuk membayar dan mengembalikan nota lunas pada counter makanan dan minuman. Sekitar enam menit kemudian, ia kembali. Sarah menatapnya.

“Gimana?” tanyanya dengan ekspresi serius. “Jadi email-nya?”

Rafael segera memahami arah pembicaraan putrinya. Ia pun balas menatap dan mengangguk.

“Sudah Papa kirim juga,” ujar Rafael.

“Terus?”

“Ya, tunggu dululah,” Rafael mengedikkan bahunya. “Kamu, kan, tahu sendiri, akhir-akhir ini Mama sedang sibuk banget.”

Sarah manggut-manggut. Rafael masih menatap putrinya. Setengah menerawang.

Sarah sudah menjelang remaja. Tampaknya tumbuh sebagai anak yang baik-baik saja. Di tengah kesibukannya, Rafael selalu memantau perkembangan Sarah. Ada banyak kekosongan yang seharusnya diisi oleh seorang ibu saat Sarah bertumbuh. Kendati Lea bisa menggantikannya, tapi tetap saja masih ada ruang-ruang kosong itu. Kehadiran Renata-lah yang membuatnya terisi penuh.

Betapa sayangnya Renata pada Sarah, Rafael tahu. Kehadiran Steve kecil sebagai buah cinta mereka tak pernah mengurangi rasa sayang Renata terhadap Sarah. Gadis kecilnya kini sudah tegak berdiri, tak lagi timpang karena tak memiliki ibu. Apalagi Renata juga selalu meluangkan waktu untuk memerhatikan, mendukung, dan menemani Sarah di tengah kesibukannya menikmati karier.

“Semalam aku pancing-pancing Mama.”

Suara lirih Sarah membuat lamunan Rafael terputus. Dikerjapkannya mata.

“Pancing gimana?” Rafael mengangkat alisnya.

“Ya, aku pancing soal marahan,” senyum Sarah. “Mama bilang nggak boleh lama-lama marahannya. Padahal sendirinya...,” gadis kecil itu meringis lucu.

Rafael menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Sahabat kecilnya ini rupanya masih belum ingin berhenti beraksi. Dihelanya napas panjang.

Yang bisa dilakukannya saat ini adalah bersama Sarah menikmati dengan rasa syukur minuman dan makanan yang sudah terhidang, dan...

... bersabar, lanjutnya dalam hati.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)