Jumat, 03 Agustus 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #5-2









Sebelumnya



* * *


Meeting yang diseling dengan istirahat makan siang tadi berlangsung cukup alot. Dimulai beberapa menit lewat dari pukul sepuluh, baru selesai selewat pukul tiga. Renata kembali ke ruang kerjanya. Setelah meletakkan laptop baik-baik di atas meja kerja, ia menghempaskan tubuh ke sofa. Diembuskannya napas panjang.

Kerja timnya lolos evaluasi. Begitu juga satu tim lainnya di bawah komando Satya. Tapi sayangnya tidak dengan dua tim yang lain lagi. Yang pertama karena kliennya plin-plan, yang kedua karena ada keterlambatan pengiriman material dari pemasok. Dua-duanya membuat jadwal kerja jadi berantakan, berimbas pada jadwal berikutnya yang sudah telanjur menempel ketat. Memaksa Donny mengambil keputusan untuk turun tangan secara langsung. Tidak bisa mengharapkan Renata atau Satya, karena masing-masing juga dikejar tenggat waktu pekerjaan mereka sendiri.

Setelah dirasa keletihannya luruh sedikit, Renata bangkit dan melangkah ke meja kerjanya dan duduk di kursi. Menghadap laptop yang masih tertutup. Berakhirnya jam kantor kurang dari tiga puluh menit lagi. Pekerjaannya sudah selesai untuk tanggungan hari ini. Yang bisa dilakukannya adalah menunggu hingga pukul empat tepat datang, sehingga ia bisa ngacir pulang tanpa membawa lemburan.

Ah, seandainya aku tadi nggak bawa mobil sendiri..., sesalnya dalam hati. Pasti enak tinggal duduk manis, sudah ada yang menyopiri. Sayangnya....

Mendadak ia tersentak kaget. Teringat pada email yang ia tunda untuk dibaca. Malas membuka kembali laptop, ia meraba ke dalam saku blazer, kemudian menarik keluar ponsel pintarnya. Bermaksud membuka email lewat ponsel saja. Sejenak kemudian ia sudah asyik menelusuri kalimat demi kalimat yang terangkai dalam email yang dikirimkan Rafael.


‘Renata sayang,
Tolong kamu baca baik-baik email ini dari awal sampai akhir. Aku sungguh-sungguh menyesali apa yang terjadi pada kita belakangan ini. Dan, aku benar-benar ingin memperbaikinya hingga kita kembali seperti biasanya.
Aku tahu, aku salah besar sudah ‘menyembunyikan’ soal Adita padamu. Mengapa? Aku sendiri tak tahu alasannya. Karenanya, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Aku ingin menjelaskan, bahwa sudah sepuluh tahun lamanya aku tak pernah lagi bertemu Adita. Sudah tak berpengaruh lagi pada kehidupanku saat ini. Ya, dulu kami memang pernah begitu dekat. Berpacaran.
Aku kenal Adita karena saat itu aku membaca iklan pacar sewaan yang dipasang Adita. Dari situ aku mencoba untuk menyewanya, agar hubungan Steve dan Anna berjalan mulus. ...’


Tanpa disadari, mulut Renata ternganga. Seandainya tidak sedang jengkel dengan Rafael, tentu saat ini ia sudah tertawa terbahak-bahak.

Pacar sewaan? Astaga.... Segitunya!

Sambil menggelengkan kepala, dibacanya kembali email itu.


‘... Seperti yang kamu tahu, aku pernah mencintai Anna, begitu juga sebaliknya. Tapi Steve lebih membutuhkan Anna. Apalagi setelah mereka ‘terpeleset’, dan bayi dalam perut Anna itu butuh ayahnya.
Pada awalnya, hubungan profesional Adita dan aku berjalan mulus. Dia butuh uang, aku butuh pacar sewaan. Simbiosis mutualisme. Dia pakai uang dariku untuk merintis sebuah kedai yang ia inginkan untuk modal hidup. Steve dan Anna percaya, sampai suatu hari Steve menemukan surat perjanjian antara Adita dan aku yang kusimpan di laci meja kerjaku di Bogor. Dia membacanya dan marah sekali. Itu terjadi pada saat yang hampir bersamaan dengan diketahuinya kehamilan Anna. Pernikahan antara Steve dan Anna harus tetap berlangsung. Pada saat yang sama, aku sudah merasa nyaman dengan kehadiran Adita di sampingku. Maka, kami memutuskan hubungan profesional itu dan melanjutkannya berdasarkan hati.
Sayangnya, perasan yang Anna dan aku pernah simpan masih juga jadi perkara buat Steve. Walaupun aku jarang pulang, tetap saja Steve cemburu. Apalagi mereka, kan, masih tinggal bersama Mama di rumah lama. Akibatnya Steve dan Anna jadi sering bertengkar. Apalagi Steve kambuh lagi kesukaannya dugem. Sampai suatu ketika dia pulang dalam kondisi mabuk dan mengalami kecelakaan. Mobilnya ngebut, menabrak pembatas jalan tol dalam kota, dan terbalik. Steve nggak selamat. Itu semua berat buat Anna. Buatku dan Mama juga.
Pada saat yang sama, Adita ‘berpamitan’. Dia tahu betul bagaimana sesungguhnya perasaanku dan Anna. Dia bilang, selesaikan saja dulu semuanya.
Aku setuju, karena di samping harus tetap tegar menopang Mama dan Anna, aku juga harus sendirian mengurus perusahaan peninggalan Papa yang skalanya makin besar. Semua itu butuh seluruh waktu, tenaga, dan konsentrasi yang aku punya. Pasti hubunganku dengan Adita akan keteter juga. ...’


Renata mengerjapkan matanya yang mulai berair beberapa kali. Ia ingat apa yang pernah diungkapkan Nugra padanya.

Jadi memang seperti itu kejadiannya....

Sambil menghela napas panjang, ditekuninya kembali email itu.


‘... Yang tak pernah kami harapkan terjadi juga. Kondisi Anna terus menurun setelah Steve meninggal. Sekitar tiga bulan jarak antara kematian Steve dengan kelahiran Sarah. Aku tahu, ada perasaan menyesal yang begitu besar ditanggung Anna atas meninggalnya Steve. Dia pernah bilang padaku, seandainya dia bisa bersabar sedikiiit saja menghadapi Steve.
Dan, seperti yang kamu tahu, kami kehilangan Anna juga. Mas Jemmy menyerahkan sepenuhnya pengasuhan Sarah padaku dan Mama.
Kehadiran Sarah benar-benar membuatku ‘lupa’ pada Adita. Jujur, aku pernah mencoba mencarinya. Tapi terlambat. Dia sudah menikah. Dengan siapa, aku tak tahu. Kabar itu pun aku tahu dari adiknya, yang memegang kendali kedai ketan di seberang pet shop yang dulu dikelola Anna. Lalu, aku menganggap semuanya antara aku dan Adita selesai. Sudah sepuluh tahun lamanya, Ren.
Di tengah kesibukanku mengendalikan perusahaan dan jadi ayah untuk Sarah, aku mencoba untuk menjalin hubungan dengan beberapa perempuan. Cerita ini kamu sudah tahu, kan? Semuanya gagal, dan aku pun bertemu denganmu.
Ren, sejak tiga tahun lalu, hingga kini, hingga nanti, selamanya, kamulah duniaku. Aku sudah lupa bagaimana rasanya mencintai Mega, Anna, dan Adita. Yang selalu ada dalam kepala dan hatiku adalah cintaku padamu. Mungkin kamu menganggapku sedang menggombal. Tak apa. Yang jelas, aku paham apa yang kurasakan.
Aku tak mau membuatmu makin marah. Hanya saja karena kita sama-sama ada di Jakarta, pasti suatu saat yang lain lagi, entah kapan, akan ada pertemuan kembali dengan Adita. Seperti beberapa hari yang lalu. Tiba-tiba saja. Sama sekali tak pernah kubayangkan. Tapi tolong, jangan lagi marah padaku. Aku nggak pernah sengaja ingin bertemu dengannya. Membayangkannya pun tidak. Tapi mungkin memang harus seperti ini jalannya, supaya ‘kebusukanku’ terkuak.
Sekali lagi, sedalam-dalamnya, setulus-tulusnya, aku mohon maaf padamu, Ren. Apa pun alasannya, seutuhnya adalah salahku karena tak pernah menceritakan tentang Adita dan aku padamu, sementara seluruh kisah hidupmu sudah kuketahui tanpa satu pun tersembunyi.
Aku mencintaimu, Ren. Sangat. Aku sama sekali tak ingin kerikil atau batu berupa masa laluku bersama Adita mengganggu jalannya pernikahan kita. Semuanya sudah selesai.
Kalau masih ada yang mengganjal hatimu tentang diriku, katakan saja padaku, Ren. Dengan senang hati aku akan memperbaikinya.
Semoga yang kutulis ini bisa membuka sedikiiit pintu maafmu untukku.

Selalu mencintaimu,
Rafael Adibarata.’


Setetes air mata jatuh pada layar ponsel Renata. Setelah mengusap tetesan itu, disusutnya genangan bening di kedua matanya. Tak ada pembelaan diri yang berlebihan dalam penjelasan panjang Rafael. Rafael-nya yang lembut. Rafael-nya yang sabar. Rafael-nya yang lebih suka mengalah. Rafael-nya yang rendah hati. Rafael-nya yang selalu berusaha untuk jujur. Dan, cerita yang belum terungkap itu pun kini sudah ia dapatkan.

Lalu apa lagi?

Renata menghela napas panjang saat menatap layar ponselnya yang sudah kosong menghitam. Merasakan bahwa kemarahannya sudah habis menguap. Lalu, ia teringat pembicaraannya dengan Sarah semalam, saat memeluk gadis kecilnya itu hingga terlelap, seperti biasanya.


“Ma, aku lagi marahan sama Yongki,” celetuk Sarah tiba-tiba.

“Lho? Kenapa?” Renata menanggapinya dengan penuh perhatian.

“Habisnya, kemarin Yongki hilangin penghapusku,” suara Sarah penuh nada mengadu.

“Dia minta maaf, nggak?”

“Iya, sih.... Tapi aku, kan, sebal. Penghapusku yang bentuk nanas itu, Ma. Kan, bagus! Masih baru juga.”

“Lho, perasaan pas kamu kerjain PR tadi, penghapusmu ada? Yang nanas itu?”

“Ya, kan, sudah diganti sama Yongki tadi,” kilah Sarah.

“Nah, itu? Sudah diganti pula. Kenapa Sarah masih marah sama Yongki?”

“Nggak tahu,” Sarah menggeleng. “Masih jengkel saja.”

“Nggak boleh gitu, ah!” Renata mengelus pipi Sarah. “Marah jangan lama-lama.”

“Iya, deh.... Tapi Mama juga, dong? Jangan lama-lama marah sama Papa.”

Sederet kalimat yang diucapkan dengan nada sangat polos, yang membuatnya tercenung lama.


Renata menghela napas panjang. Rupanya mata hati Sarah bisa melihat ada ketidakberesan relasi antara ia dan Rafael beberapa hari belakangan ini.

Hmm.... Memang gampang menasehati anak. Tapi untuk diri sendiri?

Renata meringis malu dalam hati. Tepat saat itu alarm yang menandakan pukul empat tepat menggema lembut di luar ruang kerjanya. Ia pun bersiap untuk pulang. Sesungguhnya, ia sudah sangat merindukan Rafael-nya.

Dalam perjalanan pulang, ia menyempatkan diri mampir ke Lovely Patisserie. Dipilihnya aneka kue enak dan indah kesukaan Sarah, Rafael, dan Lea. Tambahan khusus untuk Rafael, dipilihnya satu loyang kecil red velvet dengan taburan kacang almond panggang dan keju. Ia minta agar red velvet itu dikemas sendiri.

”Mau pakai kartu, Mbak?” perempuan muda bertubuh mungil seperti dirinya, yang sejak tadi melayaninya dengan ramah, menawarkan sambil tersenyum.

Sejenak Renata menatap perempuan yang tidak berseragam seperti pramusaji lainnya. Ia menimbang-nimbang sejenak.

“Mm.... Boleh, deh,” putusnya kemudian.

Perempuan muda itu menyodorkan beberapa kartu mungil kosongan beraneka warna dan bentuk. Renata akhirnya memilih salah satu. Kartu putih berbentuk hati dengan tepian berhias gambar kuntum-kuntum mawar berwarna merah yang di-emboss. Dengan cepat ia menuliskan sesuatu pada permukaan kartu itu.

Sesudah beres, ia keluar dari Lovely Patisserie dengan menenteng dua tas kertas. Wajahnya tampak cerah. Sejenak kemudian mobil kecilnya sudah kembali meluncur membelah jalan, di bawah langit senja yang kian kelam.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)