Sebelumnya
* * *
Renata tidak kembali lagi ke kantor setelah menyelesaikan urusan dengan klien di daerah Cideng. Jamnya tanggung sekali. Pukul 3.21 menjelang sore hari. Maka ia memutuskan untuk menghabiskan waktu di Kafe Cherie, yang ada di sebelah gedung Menara Daha. Seorang pramusaji menyambutnya dengan ramah ketika ia membuka pintu kaca.
“Masih ada tempat buat satu orang, Mbak?” tanyanya.
“Ada, Bu, di teras belakang, menghadap ke taman. Mau?”
Renata pun segera mengangguk. Pramusaji itu mengantarnya hingga ke tempat yang dimaksud. Sebuah sofa empuk di depan meja pendek, tepat menghadap ke air terjun mini di taman belakang kafe. Ia mengeluarkan laptop setelah memesan minuman dan makanan kecil. Dicobanya untuk mulai mereka ulang keinginan klien yang baru saja ditemuinya siang tadi.
Tapi, sulit. Karena konsentrasinya tak kunjung mengumpul pada titik fokus yang diinginkannya. Ia justru terseret pada sepotong lamunan tentang apa yang dialaminya semalam, saat mengantarkan Sarah ke dalam lelapnya.
“Ma.... Mama lagi marahan sama Papa, ya?”
Bisikan Sarah itu sempat membuat gerakan Renata menebarkan helaian selimut di atas tubuh Sarah terhenti sedetik. Tapi secepatnya ia menguasai diri. Ditatapnya Sarah dengan senyum tipis terulas di bibir.
“Iya,” jawabnya kemudian. Jujur. “Karena Papa sudah nggak jujur sama Mama.”
Sarah mengerutkan kening. Sejenak kemudian ia berbisik lagi.
“Aku juga pernah dibohongi soal papa-mamaku, kan? Tapi waktu itu Oma bilang cuma tunggu waktu yang tepat saja untuk kasih tahu aku. Apa semacam itu, Ma?”
“Mm...,” Renata berpikir sejenak. Lalu jawabnya, “Bukan semacam itu. Kamu ingat, nggak, soal Yongki beberapa hari lalu?”
Sarah mengerutkan kening. “Yongki? Yongki ngapain?”
“Yang katamu hilangin penghapus barumu,” jawab Renata, sabar.
Sarah terbengong sejenak, sebelum akhirnya mengangguk.
“Oh, ya, ya!”
“Nah, Yongki sudah pernah hilangin penghapusmu,” Renata mencoba menjelaskan sesederhana mungkin analogi itu. “Sudah minta maaf, memang. Sudah menggantinya pula. Tapi beberapa hari kemudian, Yongki menyembunyikan salah satu buku PR-mu. Kamu lihat sendiri kejadiannya, pas Yongki ambil bukumu. Tapi Yongki pura-pura polos. Baru mau mengaku setelah ada temanmu, yang juga lihat Yongki ambil bukumu, bilang padanya bahwa kamu lihat Yongki ‘mencuri’--,” Renata membuat tanda petik di udara dengan kedua telunjuk tangannya, “—bukumu. Lalu kamu marah sama Yongki. Seperti itu gambarannya, anak manis,” Renata mencolek ujung hidung Sarah. “Padahal baru beberapa hari sebelumnya dia bersalah dan sudah kamu maafkan, kan? Ternyata sekarang Yongki-nya malah berbuat tidak jujur. Kalau dibiarkan, Yongki bisa nakal-nakal lagi lain waktu, kan?”
“Oh...,” gadis kecil itu mengangguk-angguk dengan sikap jemawa. “Kalau begitu, memang benar Papa yang nakal. Pantas saja Mama marah lagi.”
Sarah menguap. Renata tersenyum sambil melingkarkan lengannya di tubuh atas Sarah. Seandainya masalahnya sesederhana itu, Nak.... Renata mengerjapkan matanya. Dengan lembut dibelainya poni yang jatuh di kening Sarah. Gadis kecil itu sudah mengatupkan mata, dan napasnya pun terlihat mulai teratur.
Lamunannya terputus ketika pramusaji datang dengan membawakan pesanannya. Baru saja hendak mulai menyesap air jahe hangat dalam cangkir, sebuah suara berat menyapanya.
“Mbak Ren.... Selamat sore!”
Ia menoleh. Didapatinya seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri tak jauh darinya. Menatapnya sambil tersenyum.
“Hei, Mas Driya!” ia balas menyapa dengan riang.
“Boleh ganggu sebentar?”
“Hayuuuk!” Renata buru-buru mengangguk.
Laki-laki itu segera menarik sebuah ottoman dari bawah meja sebelah. Ia kemudian menduduki ottoman itu, di seberang Renata. Ia adalah seorang kepala cabang sebuah kantor pengembang properti yang berpusat di Surabaya. Kantornya ada di Menara Daha juga, lantai tujuh belas. Demi kepraktisan karena belum memiliki tim penata interior sendiri, beberapa kali ia menggunakan jasa Savannah and Co. untuk menata interior contoh-contoh rumah, unit apartemen, dan unit kantor yang dibangun perusahaannya. Kebanyakan, Renata yang mengerjakannya.
“Mbak, lagi banyak job-nya ya?”
“Iya, sih,” Renata mengangguk. “Tapi tim lain ada yang lagi senggang, kok. Datang saja ke kantor.”
“Buat pribadi, sih...,” Driya tersenyum lebar. “Kan, lagi persiapan.”
“Waaah.... Mau married?” Renata menanggapi dengan mata berbinar-binar.
“Hehehe..., iya,” Driya terlihat malu-malu.
“Dengan mbak-mbak dari MemoLine itu? Siapa namanya?”
“Yussi,” Driya nyengir.
“Ah, ya! Mbak Yussi. Buru-buru, nggak?”
“Dibilang buru-buru, sih, enggak, Mbak. Tapi, ya, nggak bisa nunggu kelamaan juga. Mau kami, sih, Mbak Ren sendiri yang menangani.”
“Kira-kira dua minggu lagi aku sudah senggang. Kelamaan?”
“Eh, enggak itu!” wajah Driya bertambah cerah. “Boleh aku daftar, Mbak.”
“Hehehe...,” Renata terkekeh. “Aku jadwalin, deh!”
“Ini nanti sekalian ngomong bertiga sama Yussi, Mbak Ren keberatan, nggak? Sudah janjian dia bubaran kantor mau ketemu di sini.”
“Oh, boleh... Boleh...,” Renata mengangguk dengan ekspresi antusias. “Buat teman, apa, sih, yang enggak?”
Driya tertawa. “Tapi nggak harga teman, lho, ya, Mbak. Aku nggak mau, lho! Kita nego profesional saja.”
Renata terkekeh lagi. Tak menjawab. Sambil menunggu calon istri Driya, keduanya kemudian mengobrolkan banyak hal. Terutama tentang rumah baru Driya di daerah Pondok Gede, dekat dengan rumah dinas yang masih ditempatinya hingga detik ini. Dengan santai, Renata mencoret-coret buku catatannya. Mencoba menangkap keinginan Driya yang disarikannya dari obrolan itu.
Pembicaraan mereka bertambah ramai dengan hadirnya Yussi. Sekali lagi, keinginan pasangan itu untuk menggunakan jasa Renata makin mengerucut. Dengan senang hati Renata menyanggupi. Terlihat sekali aura bahagia mewarnai rona wajah Driya dan Yussi. Membuat Renata teringat kembali akan pengalamannya menata sendiri rumah yang kelak akan ia tempati sebagai Nyonya Renata Adibarata.
Sampai pada titik ini, ingatannya kembali terseret pada masalahnya dengan Rafael. Padahal, kehadiran Driya dan kemudian Yussi sudah berhasil menariknya keluar dari kelam pikirannya.
Sambil menyesap air jahe yang sudah mulai kehilangan suhu hangatnya, Renata menatap kembali catatannya. Setengah menerawang.
“Wah, sudah sore banget ini!”
Renata tersentak dan mengangkat wajah. Dilihatnya Driya tengah menatap arloji.
“Sudah hampir pukul enam,” ujar Driya lagi, menatap Renata. “Nggak berasa, ya? Asyik banget kita ngobrol. Mbak nunggu Mas Rafael?”
Renata menggeleng. “Aku bawa mobil sendiri. Soalnya hari ini tadi kelilingan.”
“Oh....” Driya kemudian menatap Yussi. “Pamitan dulu, yuk!”
Renata kemudian menjabat tangan keduanya. Setelah Driya dan Yussi meninggalkannya sendirian lagi, ia segera menghabiskan makanan dan minumannya, sembari memasukkan laptop dan alat tulisnya ke dalam tas.
Seandainya tidak rindu pada anak-anaknya, rasanya ia agak malas untuk pulang. Seutuhnya ia paham bahwa tak patut ia menyimpan perasaan itu. Hanya saja, ia belum tahu bagaimana cara untuk menyingkirkannya. Pekerjaan adalah satu-satunya tempat untuk
melarikan diri. Ketika ia mencurahkan segala perhatian dan benaknya untuk
pekerjaan yang ia harus selesaikan, maka masalah rumah tangganya seolah menguap
tanpa bekas. Tapi ketika waktunya sudah habis untuk pekerjaannya hari itu, rasa
sesak muncul lagi.
Apa
aku memang harus mendengarkan penjelasannya?
Renata mengerjapkan mata sembari meraih kunci
mobilnya yang tergeletak di atas meja. Ia pun berdiri dan beranjak.
Mungkin
nanti.... Kalau dia masih
bersedia menjelaskannya padaku.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)