Sebelumnya
* * *
Tujuh
‘Renata melihat kita makan siang di Lounge Ex beberapa hari lalu. Dia marah padaku sampai detik ini. Tak sedikit pun memberi kesempatan padaku untuk menjelaskannya. Aku harus bagaimana?’
Ponsel di tangan Adita hampir saja meluncur jatuh. Sekali lagi, dibacanya rangkaian kata yang terpampang di layar ponselnya itu.
Jadi...?
Terjawab sudah pertanyaannya. Kalau Renata tahu, ada kemungkinan Nugra juga sudah tahu. Paling apes, Renata memberitahu Nugra. Karena Nugra tahu, sementara ia masih juga bungkam soal acara makan siangnya bersama Rafael, maka pastilah itu yang membuat Nugra selama beberapa hari ini kehilangan sikap hangatnya.
Maka, ia mencoba untuk mengingat-ingat lagi, sejak kapan sikap datar Nugra mulai muncul. Dan, ia pun terhenyak. Ingatannya menyimpul pada sikap Nugra saat ia pulang dari mengunjungi beberapa kedainya. Saat Gwen dibawa menginap oleh istri sepupu Nugra. Saat setelah siangnya ia makan bersama Rafael di Lounge Ex.
Astaga.... Apa yang sudah kulakukan?
Seketika ia menyesali keputusannya untuk menyembunyikan hal itu dari Nugra. Ia sama sekali tak berpikir bahwa secepatnya Nugra bisa tahu hal itu.
Renata melihatku bersama Mas Rafael? Kapan?
Lagi-lagi ia terhenyak. Ia dan Rafael memang begitu asyik mengobrol siang itu. Tak peduli keadaan sekeliling. Apalagi Rafael mengatakan bahwa Renata saat itu sedang keluar dari Menara Daha, menengok proyek Nugra nun jauh di Tangerang Selatan. Pun berpikir bahwa ‘kami, toh, hanya makan siang bersama, tak melakukan apa-apa’.
Sembari menggeleng samar, ia pun menatap kembali layar ponselnya. Dengan jemari sedikit gemetar, diketikannya sesuatu.
‘Kelihatannya Mas Nugra juga sudah tahu. Aku memang sengaja tak berterus terang padanya. Dia pun tak bertanya apa-apa. Tapi sikapnya belakangan dingin padaku. Kuingat-ingat, dia seperti itu sejak sore setelah siangnya kita makan di Lounge Ex. Apakah mungkin Mbak Renata memberitahu Mas Nugra?’
Balasannya ia terima tak lama kemudian.
‘Bisa jadi, Dit.’
Adita kembali terhenyak.
Seandainya aku langsung berterus terang padanya, mungkin tidak akan jadi begini ujungnya.
Diusapnya wajah dengan resah.
Dan, seandainya Mas Rafael lebih dulu memberi tahu Renata, mungkin.... Ah!
Adita menepuk pahanya dengan gemas. Terlalu banyak berpikir tentang ‘seandainya’. Semua ‘seandainya’ yang sudah terlalu lambat untuk diingat di depan dan dijadikan nyata.
* * *
Semua jalan masih tertutup rapat. Buntu. Membuat Rafael merasa nelangsa memikirkannya.
Walaupun masih tinggal di bawah atap yang sama, Renata benar-benar memutus semua akses komunikasi dengannya. Renata berangkat ke kantor membawa mobil sendiri. Selalu lebih pagi daripada Rafael. Terkadang pulang tepat waktu. Terkadang sedikit lebih lambat. Ritmenya seperti biasa, tergantung pekerjaannya. Sampai di rumah, waktunya benar-benar dihabiskan untuk anak-anak. Tidur pun masih juga di kamar Steve hingga semalam. Kemarin, hari Minggu, mengajak jalan Sarah dan Steve untuk berbelanja di mal. Hanya bertiga saja. Sarah sepertinya memahami raut wajah Renata. Tidak mencoba untuk ‘merayu’ Renata agar Rafael bisa ikut serta.
Lea sama sekali tak berniat membantu. Tapi seutuhnya Rafael memahami alasan ibunya itu. Tak mau ikut campur. Itu adalah salah satu prinsip Lea yang tak bisa diganggu gugat dengan cara apa pun.
Diusapnya wajah dengan kedua telapak tangannya. Sekilas, diliriknya jam dinding di seberang meja. Menjelang pukul satu siang. Ketika ia keluar dari ruang kerjanya, Tia belum kembali dari istirahat makan siang. Ia memutuskan untuk menunggu sejenak sampai Tia kembali, sembari menelepon sopir mobil jemputan Sarah.
Ia selesai menelepon Ndoko tepat saat Tia muncul. Ditatapnya sekretarisnya itu.
“Mbak Tia, saya cabut dulu, ya? Nggak ada agenda penting lagi, kan?”
“Baik, Pak,” Tia mengangguk. “Iya, belum ada jadwal lagi. Bapak terakhir banyak waktu luang nanti hari Rabu. Kamis dan seterusnya, jadwal Bapak mulai penuh lagi.”
“Oke, deh,” senyum Rafael. “Mau jemput Sarah dulu, nih!”
Ia kemudian berpamitan dan keluar dari kantornya. Dari lantai lima belas tempatnya mulai turun dan sedikit melamun, hanya ia seorang yang berada dalam lift. Diangkatnya wajah ketika pintu lift membuka di lantai sebelas. Seketika jantungnya berdebar lebih kencang ketika melihat siapa yang masuk.
“Hai,” sapanya, ragu-ragu.
Hening. Tak ada jawaban. Dihelanya napas panjang. Renata berdiri sejauh mungkin dari dirinya. Nyaris tepat di sudut dekat tombol lift.
“Mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Cideng.”
Jawaban itu pendek saja, tapi membuat Rafael sedikit lega. Ketika ia hendak membuka mulut lagi, pintu lift lebih dulu terbuka di lantai enam. Serombongan karyawan berseragam sebuah bank yang kantornya ada di lantai dasar Menara Daha menyerbu masuk. Membuatnya kehilangan kesempatan untuk membuka percakapan lagi dengan Renata.
Pintu lift terbuka lagi di lantai empat. Masuk dua orang lagi. Di lantai dasar, serombongan karyawan bank keluar dari dalam lift. Menyisakan ia, Renata, dan dua orang yang masuk belakangan. Tujuan mereka berempat rupanya sama. Basement Menara Daha. Begitu pintu lift terbuka pada tujuan terakhir, secepatnya Renata menyelinapkan diri keluar di antara para pengantre yang hendak masuk ke dalam lift, melangkah cepat, dan menghilang di antara deretan mobil. Rafael menghela napas panjang ketika kehilangan jejak Renata.
Ia kemudian meneruskan niatnya untuk masuk ke mobilnya sendiri, meluncurkannya keluar dari basement, dan melajukannya ke arah sekolah Sarah. Beberapa kemacetan membuatnya sedikit terlambat. Suasana di depan sekolah putri sulungnya itu sudah mulai lengang ketika ia sampai. Begitu ia menepikan mobil sedikit melampaui pintu gerbang, yang dijemputnya sudah muncul dari arah pos satpam. Dibukanya pintu mobil dari dalam.
“Maaf, Papa terlambat, sayang,” ucap Rafael begitu Sarah masuk ke dalam mobil.
Dihadiahinya sang putri sebuah kecupan hangat di kening.
“Woles, Pa...,” senyum Sarah melebar. “Lagian enak nunggu di pos satpam. Aku dikasih pisang goreng sama Pak Khatam.”
“Kamu mau?”
“Ya, maulah,” Sarah terkekeh. “Enak, kok. Masih hangat. Manis lagi!”
“Wah, kamu ngurangin jatah snack mereka saja,” Rafael berlagak menggerutu.
Sarah terkekeh lagi. Ia kemudian mengusulkan untuk nanti mampir dulu ke sebuah toko kue di dekat rumah mereka. Hendak membeli sekotak bolu gulung untuk ditinggalkannya di pos satpam esok pagi. Rafael pun segera menyetujuinya tanpa banyak komentar.
Setelah membeli bolu gulung yang diinginkan Sarah, Rafael kembali melajukan mobilnya, dan berhenti lagi di depan sebuah kedai bakso, tak jauh dari toko kue. Ia menoleh pada Sarah.
“Papa tadi belum makan siang,” ucapnya sembari mematikan mesin mobil. “Mampir makan dulu, ya? Mau?”
Sarah mengerutkan kening dengan sikap sedikit jemawa. Ditatapnya sang ayah.
“Bakso Cak Blek? Gimana aku bisa nolak?” ujarnya sambil mengedikkan bahu dan menengadahkan kedua telapak tangan.
Seketika Rafael tertawa sambil menepuk lembut puncak kepala Sarah. Keduanya bergandengan tangan masuk ke kedai bakso Cak Blek. Sekejap setelah duduk menunggu pesanan pilihan mereka dibubuhi kuah, Rafael seperti dilanda deja vu. Beberapa hari lalu ia juga melalui hal yang nyaris sama, di tempat yang sama, dengan orang yang sama, sedang menghadapi masalah yang serupa pula.
“Papa berantem lagi sama Mama, ya?”
Bisikan itu membuat Rafael tersentak. Ditatapnya Sarah dengan sorot mata yang sukar diartikan.
“Kenapa lagi?” Sarah kembali berbisik.
“Papa bikin salah lagi terhadap Mama,” jawab Rafael, akhirnya, dengan suara berbisik pula.
Seketika Sarah memutar kedua bola matanya dengan ekspresi sebal.
“Kenapa lagi, sih, Pa?” bisikan Sarah mulai bernada keluhan. “Ingat, ya, Pa, aku nggak mau kehilangan Mama dan Steve.”
“Kok, kamu ngomong gitu?” Rafael mengerutkan kening.
“Ya, iyalah. Kayak Mischa, tuh, temenku. Dia pernah cerita, papa-mamanya berantem melulu. Sekarang malah dia cuma tinggal sama mamanya. Papanya nggak pernah pulang lagi. Jangan-jangan, kalau Papa nakalin Mama melulu, Mama juga pergi bawa Steve. Jangan sampai kejadianlah, Pa. Jangan nakalin Mama lagi.”
Seketika Rafael terhenyak.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)