Jumat, 06 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #17-1








Sebelumnya



* * *


Tujuh Belas
Belahan Jiwa,
Belahan Raga


Alma berbaring diam di ranjangnya. Semua kejadian dan pembicaraan di antara ia, Wilujeng, dan Kresna menjelang siang tadi, berputar dan berputar terus dalam benaknya. Ada pertanyaan yang terjawab, tapi ada lebih banyak lagi pertanyaan baru yang muncul ke permukaan. Dihelanya napas panjang.




“Barangkali benar kita sudah pernah bertemu sebelum ini,” ucap Wilujeng, setengah menerawang. “Tapi entah di mana, dan bagaimana caranya. Ibu hanya...,” tatapan Wilujeng beralih pada Alma, “merasa dekat sekali denganmu.”

Alma tercenung. Sungguh, ia pun merasakan hal yang sama. Perasaan dekat, perasaan hangat, dan bersit-bersit rasa sayang. Hanya saja. Ia tak tahu bagaimana perasaan itu bisa muncul dalam hatinya.

“Mm... Kalau boleh tahu,” gumam Kresna, menatap Alma, “bagaimana kamu tahu nama Ibu?”

Seketika Alma menggeleng. “Aku tak tahu, Mas. Nama Ibu terlintas begitu saja dalam pikiranku.”

Kresna mengangguk samar. Paham seutuhnya akan perasaan itu.

“Dan Pinasti...,” ucap Alma kemudian, ragu-ragu. “Entah kenapa rasanya akrab sekali di telinga.”

Wilujeng dan Kresna saling menatap, sebelum Wilujeng kembali mengarahkan matanya pada Alma.

“Dulu, waktu Ibu diketahui hamil Pinpin, entah bagaimana Kresna dan Ibu menginginkan dan mengucapkan nama itu, Pinasti, bersamaan.”

“Oh...,” Alma mengangguk samar. “Dan lukisan-lukisan di sini...,” Alma menatap berkeliling. Selain lukisan padang bunga di seberangnya, ada juga lukisan padang rumput dan hutan bambu kuning di bagian lain dinding ruangan itu. “Siapa yang melukisnya?”

“Aku, Al,” jawab Kresna. “Mencoba menuangkan pemandangan yang kerap kali muncul dalam mimpiku ke dalam kanvas. Ada satu lagi lukisan danau dan ikan. Ada di apartemenku. Juga lukisan rembulan dan seekor anjing hutan berbulu cokelat kemerahan. Ada di kamar Pinpin. Dia suka sekali lukisan itu.”

Alma kian tercekat. Semua gambaran yang dituturkan Kresna, seolah muncul bagai kilasan film-film pendek yang berputar dalam benaknya.

“Kenapa, Nduk?” tanya Wilujeng halus.

Alma menghela napas panjang. Balas menatap Wilujeng.

“Semuanya... juga terasa akrab... bagi saya, Bu,” bisiknya.

Seketika tangan Wilujeng terulur. Menjangkau bahu Alma.

“Sama,” Wilujeng mengangguk. “Ibu pun merasakan hal yang sama.”

Alma menatap Kresna.

‘Apakah suatu kebetulan bila peristiwa Ibu menghilang, Mas Kresna juga, dan aku koma ada pada suatu titik yang bersinggungan?’

Kresna terlihat sedikit tersentak ketika Alma mengirimkan kalimat panjang itu ke dalam benaknya. Dengan kening berkerut, ia balas menatap Alma.

‘Kamu betul juga,’ Kresna mengangguk samar. Ia kemudian beralih menatap Wilujeng.

“Bu, Alma merasa bahwa kita bertiga pernah berada pada suatu waktu dan tempat yang sama. Entah kapan. Entah di mana.”

Wilujeng tersentak mendengar ucapan putranya.

“Nyai Sentini...,” gumamnya kemudian.

“Dan Pak Saijan,” timpal Kresna. “Bu, kupikir kita harus mendapatkan penjelasan darinya. Aku yakin, dia tahu sesuatu.”

Wilujeng mengangguk.

Dan, Alma tak akan pernah bisa melupakan bagaimana ekspresi Mahesa, Seta, dan Erika ketika Wilujeng dan Kresna secara saling melengkapi mengungkapkan dugaan mereka bertiga atas apa yang mungkin pernah terjadi. Yang tak pernah diduga...

“Saijan?” celetuk Erika tiba-tiba. “Yang punya toko bahan obat herbal di Sembilangan, Saruji?”

“Ya!” jawab Kresna seketika. “Kamu tahu?”

Erika mengangguk. “Ya. Dia pamanku. Satu-satunya adik Ibu. Konon, dia dulu pernah hilang juga di sekitar Gunung Nawonggo. Hampir satu tahun lamanya. Setelah kembali, dia jadi ahli obat herbal. Kalau ditanya dia dapat ilmu dari mana, dia mengaku tidak tahu. Jadi, dia hanya ‘tahu’ begitu saja.”

Terdengar beberapa desah napas panjang terhela. Wilujeng menatap Mahesa.

“Bagaimana ini, Yah?”

Mahesa tampak tercenung sejenak sebelum berucap dengan nada rendah, “Kalau memang penting sekali bagi kalian dan kita semua untuk mencari tahu, kenapa tidak? Menurutku, ini semua sangat aneh. Ajaib. Kalau aku tak mengalami sendiri, barangkali aku juga tak akan percaya.”

“Jadi?” Kresna memastikan.

“Bagaimana kalau besok kita ke sana? Menemui Pak Saijan itu, dan mencari tahu.”

Dan, Alma pun menurut ketika mereka memutuskan untuk sepagi mungkin berangkat ke Sembilangan, Saruji, besok. Toh, masih ada libur satu hari lagi.



Tanpa bisa ditahan, Alma menguap. Diliriknya sekilas jam dinding besar yang tergantung di tembok seberang ranjangnya. Hampir pukul sepuluh malam. Ia harus bangun pagi-pagi besok. Keluarga Mahesa akan menjemputnya pukul lima pagi agar mereka bisa sesegera mungkin tiba di Sembilangan, Saruji.

* * *

‘Al, kamu sudah siap? Kami sudah dekat indekosmu.’

Begitu suara lembut Kresna menggema dalam benaknya menjelang pukul lima pagi, Alma yang sudah siap sejak lima belas menit lalu buru-buru menyambar ransel kecilnya yang berisi seperangkat pakaian ganti, dompet, ponsel, dan sebotol air putih. Disempatkannya untuk menanggapi panggilan Kresna.

Di luar, ia berpapasan dengan penjaga rumah indekos yang baru saja selesai menyapu halaman. Pada perempuan berusia empat puluhan itu, Alma berpamitan hendak pergi bersama familinya dan akan kembali menjelang malam nanti. Perempuan itu mengangguk seraya membukakan pintu pagar yang masih tergembok rapi.

Begitu keluar dari halaman, sebuah SUV berwarna gelap meluncur pelan ke arahnya. Pintu samping kiri belakang terbuka. Mahesa keluar dari dalamnya sembari melipat jok yang di tepi.

"Ayo, Al," senyum Mahesa, menyilakan ia masuk.

Buru-buru Alma menuruti ucapan Mahesa dan menggumamkan terima kasih.

“Selamat pagi, Pak, Bu, Mas, Mbak, Pinpin,” sapanya sembari masuk dan duduk di sebelah Kresna, di jok belakang.

Balasan sapaan yang hangat pun segera menyambutnya. SUV yang dikemudikan Seta itu kembali meluncur membelah pagi yang masih temaram.

“Al, sudah sarapan?” tanya Wilujeng, memutar badannya sedikit ke arah belakang.

Gadis itu meringis malu. “Euh... Belum, Bu. Nggak sempat.”

Wilujeng tertawa kecil. Ia kemudian mengulurkan sebuah kotak plastik berwarna jingga pada Alma.

“Ini, sudah Ibu bawakan sarapan. Kamu makan dulu.”

Alma pun menerima kotak itu sembari mengucapkan terima kasih. Ia kemudian diam-diam menikmati sarapannya. Seporsi nasi goreng yang lezat sekali, bersama segala pelengkapnya. Sesekali ia tersenyum mendengar celoteh Pinpin yang duduk diapit Mahesa dan Wilujeng di jok tengah. Gadis kecil itu seolah punya energi ekstra untuk mengolah apa yang dilihat dan ada di sekitarnya jadi pembicaraan menarik.

‘Tidur nyenyak semalam?’

Sekilas Alma menoleh ke arah Kresna. Menggeleng samar.

‘Aku deg-degan melulu. Entahlah, Mas.’

‘Sama... Mm... Ini, untukmu.’

Seketika Alma berhenti mengunyah ketika sesuatu terulur tepat di depannya. Sebuah mahkota bunga warna-warni. Semburat hangat seketika terasa pada kedua belah pipinya. Sebelum ia menerima mahkota itu, Kresna sudah meletakkan mahkota itu di puncak kepalanya. Alma makin tersipu. Apalagi ketika tiba-tiba saja kepala Pinasti menyembul dari balik sandaran jok di depan mereka. Menatapnya dengan senyum menggemaskan mewarnai wajah imutnya.

“Bu, Yah, lihat, tuh! Kak Alma pakai mahkota yang sama kayak punyaku,” celetuknya lucu. “Cantiiik banget!”

Mahesa dan Wilujeng sama-sama menoleh ke belakang dan menanggapi ocehan Pinasti. Sekilas, Seta pun menatap ‘keributan’ dari arah belakang itu melalui spion tengah. Ia tersenyum lebar.

“Hmm... Senangnya yang dapat mahkota bunga...,” gumaman itu terdengar lirih dari arah samping kiri Seta.

“Mau?” balas Seta.

Erika terkikik geli. Tapi tak ada penolakan dalam suara tawa Erika.

“Nanti aku belajar dulu cara buatnya sama Kresna, ya?”

Erika kembali tertawa tertahan. Tanggapan serius Seta seketika membuat hatinya berbunga-bunga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)




Tidak ada komentar: