Kamis, 12 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #20-1









Sebelumnya



* * *



Dua Puluh
Mentari Jingga
di
Dunia Teduh


Alma dan Kresna menghela napas lega setelah seluruh rangkaian acara pernikahan mereka usai diselenggarakan. Dua bulan setelah Kresna menyandang gelar doktor, Kresna dan Alma pun sah menyandang status sebagai pasangan suami-istri.

Keluarga Taruno Purbowiyakso menyelenggarakan acara mantu secara besar-besaran. Sebagai pengusaha properti yang cukup besar skalanya, relasinya tentu sangat banyak. Acara resepsinya saja sampai dilakukan dalam tiga sesi karena terlalu banyak tamu yang harus diundang. Sabtu sore, Minggu siang, dan Minggu sore.

Tak cukup hanya sampai di situ. Akhir pekan berikutnya, giliran keluarga Mahesa Prabangkara yang mengangkat hajat ngundhuh mantu. Itu pun dilakukan dalam dua sesi. Sabtu sore dan Minggu siang. Tamunya pun tak kalah banyak. Hanya karena gedung yang mereka gunakan lebih besar daripada di Margiageng, maka resepsi bisa diadakan hanya dua kali saja.

Dua seri acara besar itu tentu saja sangat menguras tenaga sepasang pengantin baru. Tapi, keduanya sudah mengumpulkan cadangan energi untuk menikmati hari-hari madu.

Siapa yang bisa menolak paket premium liburan ke Maladewa yang diberikan sebagai kado pernikahan oleh Taruno dan Misty, berlanjut dengan paket yang sama ke Yunani yang diberikan oleh Mahesa dan Wilujeng, masing-masing selama sepuluh hari? Tentu saja Alma dan Kresna menerimanya dengan senang hati. Tapi ada yang jauh lebih menyenangkan daripada itu.

Melalui Saijan, Bawono Kinayung dan Bawono Sayekti berkenan menyampaikan undangan resmi bagi sang pengantin baru, untuk selama satu minggu penuh mengenang kembali hari-hari mereka di Bawono Kinayung. Bahkan Sentono dan Winah sudah berencana untuk menggelar pesta di Bawono Sayekti dengan mengundang para penghuni bawono lainnya. Bagaimanapun, awal kehidupan jiwa Alma yang merupakan titisan dari Pinasti, berasal dari Bawono Sayekti, tempat ia diselamatkan dan diberi kesempatan untuk melanjutkan hidup sebagai bayi Wilujeng.

“Aku nggak bisa membayangkan bagaimana perjalanan kita ke sana akan berlangsung,” bisik Alma, sekembalinya ia dan Kresna dari Yunani.

“Jangan dibayangkan,” Kresna balas berbisik. “Dijalani saja.”

Alma pun mengangguk seketika. Tak urung, jantungnya berdebar kencang. Ia memang belum mampu mengingat Bawono Kinayung secara utuh. Tapi ada sekilas-sekilas gambaran yang sesekali singgah dalam benaknya. Dan, gambaran-gambaran itu menimbulkan perasaan rindu tersendiri dalam hatinya.

Kepada seluruh keluarga besar, Alma dan Kresna mengatakan bahwa mereka menginginkan waktu pribadi selama kurang lebih sepuluh hari di apartemen Kresna, tanpa ingin diganggu. Tapi saat mengantarkan oleh-oleh dari Yunani pada suatu Sabtu pagi, Alma dan Kresna berterus terang pada Wilujeng bahwa mereka menerima undangan untuk berkunjung kembali ke Bawono Kinayung. Wilujeng menatap keduanya dengan mata berkaca.

“Jangan khawatir, Bu,” Alma menggenggam tangan Wilujeng. “Nanti coba kurayu Nini agar berkenan mengundang Ibu juga suatu saat nanti.”

Wilujeng hanya bisa menanggapi ucapan Alma dengan pelukan hangat dan juga harapan. Tentu saja ia juga merindukan Bawono Kinayung. Seandainya tahu tempatnya dan bisa datang berkunjung begitu saja, ia pasti akan sering-sering melakukannya.

“Lantas, bagaimana kalian nanti bisa sampai ke sana?” dengan halus Wilujeng melepaskan pelukannya.

Alma dan Kresna saling menatap. Kresna kemudian mengalihkan arah pandangannya pada Wilujeng.

“Kami diminta datang ke rumah Pak Saijan, Bu,” Kresna menjelaskan. “Dari sana, entah bagaimana kami nanti bisa masuk ke Bawono Kinayung.”

Wilujeng manggut-manggut. Saijan adalah satu-satunya penghubung mereka dengan Bawono Kinayung. Ia sudah beberapa kali menitipkan barang-barang untuk para penghuni Bawono Kinayung pada Saijan. Biasanya berupa baju baru dan berbagai bahan makanan. Selalu diterima para penghuni Bawono Kinayung secara lengkap dan utuh. Dan, Paitun sendiri selalu menyelinap masuk ke dalam mimpi Wilujeng untuk sekadar mengucapkan terima kasih. Atau kadang-kadang Wilujeng membuat janji untuk bertemu dengan Kriswo dan/atau Randu. Mereka akan bertemu di toko Saijan, dan diberi keleluasaan untuk sekadar mengobrol dan rujakan di pondok Saijan.

“Ibu mau menitipkan oleh-oleh?” tanya Kresna, membuat Wilujeng sedikit tersentak.

“Mau membawakan?” ia balik bertanya.

“Ya, maulah,” senyum Kresna. “Asal nggak satu truk banyaknya.”

Wilujeng dan Alma tergelak. Sepasang pengantin baru itu kemudian berpamitan. Saat itu hari Sabtu, Wilujeng hanya sendirian saja di rumah, karena – seperti biasa – Mahesa pergi memancing bersama Pinasti, yang kini sudah tumbuh menjadi seorang perawan sunti cantik berusia menjelang dua belas tahun.

“Besok pagi-pagi Ibu antarkan barang-barangnya ke apartemen kalian,” ucap Wilujeng ketika Kresna dan Alma berpamitan.

“Maaf, Bu, kami nggak bisa temani Ibu belanja,” sesal Kresna.

“Nggak apa-apa,” dengan ringan Wilujeng mengibaskan tangannya. “Kebetulan Ibu mau pergi belanja sama Erika. Nanti agak siang dia ke sini, jemput Ibu. Biar Seta jaga anak-anak sendirian.”

Kresna terkekeh ringan mendengar ucapan Wilujeng. Pasti Seta kerepotan sendiri menjaga sepasang balita berusia empat dan satu tahun yang sedang lasak-lasaknya. Wilujeng melambaikan tangan begitu Kresna meluncurkan mobilnya meninggalkan carport.

“Mau langsung pulang atau mampir ke mana dulu ini, Yang?” sekilas Kresna menoleh ke kiri.

“Langsung pulang saja, ya? Aku tadi dibawain pakis segar sama Ibu. Biar cepat kumasak buat makan siang kita.”

“Nanti masak nasinya dibanyakin, ya...,” Kresna nyengir sekilas.

Alma tergelak. Kresna memang mendadak jadi rakus kalau makan dengan tumis pakis, apa pun lauknya. Maka Alma pun mengangguk dengan ekspresi geli mewarnai wajahnya.

* * *

Dengan dibantu Randu, Paitun membenahi pondoknya, agar lebih layak digunakan oleh Alma dan Kresna nantinya. Dinding anyaman bambu yang sudah tua dan sedikit berantakan diganti dengan yang baru. Atap yang menaungi pondok itu diganti dengan jalinan daun kelapa kering yang baru pula. Pendeknya, bagaimana caranya agar pondok sederhana itu layak untuk dipakai beristirahat sepasang pengantin baru.

Sentini, dibantu Kriswo, juga merapikan salah satu bilik di pondoknya. Bilik itu nantinya akan digunakan oleh Paitun, yang memilih untuk ‘mengungsi’ sementara pondoknya dipakai oleh Alma dan Kresna.

Tirto sedang tak bisa diganggu gugat saat ini. Ia juga tengah sibuk membangun sebuah pondok baru di sebelah pondoknya. Pondok baru yang hanya tinggal dinaungi atap itu kecil saja. Asal cukup untuk Janggo, Pinasti, dan ketiga bayi mereka, supaya tak lagi berdesakan tidur di salah satu bilik kecil dalam pondok Tirto.

Tak ada gurat lelah dalam wajah mereka. Itu karena mereka terlalu bersemangat hendak bertemu lagi dengan dua orang yang hidupnya pernah disinggahkan selama beberapa saat di Bawono Kinayung.

“Alma nanti pasti senang sekali mendapat hadiah dari Paman Sentono dan Bibi Winah, Nyai,” celetuk Kriswo sambil mengibaskan selembar tikar pandan untuk melapisi balai-balai tempat Paitun akan tidur.

“Membayangkannya saja aku sudah merinding duluan,” timpal Sentini, tergelak ringan.

Mereka sudah tahu rencana Sentono dan Winah. Sebuah rencana yang membuat mereka makin bersemangat menyongsong kedatangan Alma dan Kresna. Terlebih soal ‘hadiah’ yang akan diberikan oleh Sentono dan Winah. ‘Hadiah’ khusus yang didatangkan dari Bawono Kecik.

Ketika urusan membereskan pondok sudah selesai, mereka yang ada di Bawono Kinayung tinggal menunggu bergulirnya detik demi detik menjelang pertemuan kembali dengan Alma dan Kresna. Pada saat yang tepat nanti, Sentini akan menjemput sendiri pasangan pengantin baru dari ‘atas’ itu.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)