Jumat, 20 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #22-3








Sebelumnya



* * *


Sudah terlalu banyak keajaiban yang menghampiri jiwa dan hidupnya. Alma sudah tak lagi berani bermimpi apa-apa. Termasuk bermimpi untuk berjumpa lagi dengan Alda. Mimpi terakhirnya tentang Alda masih melekat kuat dalam benak dan hatinya. Tak pernah pupus oleh guliran waktu. Bahwa Alda baik-baik saja di alamnya yang baru. Itu sudah lebih dari cukup baginya.

Tapi benar-benar berjumpa dengan Alda?

Tak henti-hentinya Alma mengerjapkan mata, meraba Alda, mengelus Alda, memastikan bahwa yang ada di hadapannya saat ini benar-benar Alda. Wajah Alda sedikit berubah. Sudah sedikit menua. Tapi tetap menyisakan garis-garis yang masih sangat dikenali Alma. Dipeluknya lagi perempuan itu.

“Kak..., bagaimana Kakak bisa sampai di sini?” bisiknya.

“Karena memang sudah seharusnya Kakak ada di sini, Al,” Alda balas berbisik. “Banyak yang masih bisa Kakak lakukan di sini. Lebih tepatnya di Bawono Kecik, tempat bagi jiwa-jiwa dan tubuh-tubuh yang memang sudah harus menutup kehidupannya di dunia, tapi masih punya tugas tertentu.”

Alma merasa bahwa tak perlu lagi banyak bertanya soal itu. Soal mengapa dan bagaimana. Jawabannya ia sudah tahu, bahwa Gusti sudah mengatur semuanya sesuai dengan lintasan takdir. Untuk saat ini, cukup ia tahu bahwa Alda baik-baik saja. Sama sekali tidak menderita lagi karena peristiwa yang mengharuskan mereka berpisah.

“Ayah dan Ibu baik-baik saja?” Alda mengelus rambut Alma.

“Ya,” Alma mengangguk. “Selalu mendoakan Kakak.”

“Doa yang selalu memberiku kekuatan lebih,” senyum Alda.

Kedua perempuan itu saling melepaskan pelukan. Menyadari bahwa mereka tak sendirian dalam ruangan itu. Ketika keduanya melihat ke sekeliling, ternyata Sentono, Winah, Paitun, Tirto, Kriswo, dan Randu sudah menyingkir entah ke mana. Yang tertinggal hanya Kresna, seorang laki-laki dengan wajah yang sangat teduh, dan sepasang anak kecil yang masih berusia di bawah lima dan tiga tahun. Alda menggapaikan tangan pada laki-laki itu. Setelahnya, ia kembali menatap Alma.

“Al, kenalkan, ini suami dan anak-anakku,” ujar Alda.

Alma dan laki-laki itu saling berjabat tangan. Demikian pula dengan Kresna. Mereka saling menyebutkan nama. Suami Alda itu Andez namanya. Seorang laki-laki gagah dengan sorot mata teduh dan senyum yang menenteramkan hati.

“Dite, Astia, kasih salam pada Bibi Alma dan Paman Kresna,” ucap Alda lembut.

Kedua anak kecil yang tampan dan cantik itu pun dengan patuh menyalami Alma dan Kresna. Alma segera memeluk kedua keponakannya itu. Yang laki-laki – Dite – sangat tampan, mirip sang ayah. Bermata bulat bening, hidung bangir, dan rambut ikal yang dipotong pendek rapi. Sedangkan yang perempuan – Astia – merupakan fotokopi Alma ketika berusia sama. Berpipi bulat kemerahan, berambut ikal kriwil sepanjang bahu, dengan bibir mungil berwarna merah muda. Bulu matanya sangat lentik menaungi sepasang mata cokelat muda. Cantik dan menggemaskan. Alma menciumi pipi keduanya dengan segenap rasa sayang.

Andez kemudian mengajak kedua anaknya keluar ke beranda belakang. Kresna mengikuti ketiganya. Membiarkan Alma dan Alda memiliki waktu mereka sendiri untuk kembali melepaskan rasa rindu. Kedua perempuan itu duduk di balai-balai. Saling menatap. Kesulitan untuk merangkai kata ungkapan kerinduan.

“Aku...,” bisik Alma, akhirnya. “Ah, Kak, kita punya adik, pasti Kakak sudah tahu.”

“Ya,” Alda mengangguk. “Secuil jiwa Janggo kesayanganmu saat masih di sini itu, kan?”

Alma tertawa kecil. Ditatapnya Alda dengan mata berbinar-binar.

“Anak-anakmu lucu sekali, Kak,” ujar Alma dengan ekspresi gemas. “Aku jadi ingat Alto saat masih seusia Dite dulu.”

Alda menanggapinya dengan senyum lebar. Tapi sejurus kemudian sang adik tertegun.

“Kak..., mm.... Apakah... Anak-anak akan... kembali ke... ‘atas’?”

Seketika Alda menggeleng.

“Mereka bisa tinggal bersamaku dan Mas Kresna,” lanjut Alma.

Alda kembali menggeleng. Dengan suara lirih, ia kemudian menjelaskan bahwa ia, Andez, dan kedua anak mereka sudah abadi adanya. Suatu saat bisa berpindah ke bawono lainnya sesuai kebutuhan. Tapi sama sekali tidak untuk kembali ke ‘atas’.

“Sekarang ceritakan padaku, bagaimana Kakak bertemu Mas Andez?” mata Alma berbinar-binar ketika mengungkapkan tanya itu.

Alda tertawa ringan sebelum menjawabnya, “Hmm.... Kami bersamaan dipanggil ke sini. Berangkat pada ‘gerbong’--,” jemari Alda membuat tanda kutip di udara, “--yang sama. Dan...., mungkin memang benar bahwa sesungguhnya kami sudah ditakdirkan untuk jadi belahan jiwa.”

“Ah...,” hanya itu yang Alda mampu ucapkan.

Membayangkannya saja sudah menimbulkan fantasi yang sangat indah dalam benaknya.

“Keikhlasan kalian adalah kunci kebahagiaan kami di sini, Al,” gumam Alda, lembut. “Aku sangat berterima kasih karena kalian sudah merelakan aku pergi menjemput takdir. Aku bahagia di Bawono Kecik, bersama Mas Andez dan anak-anak. Sama sekali tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Alma mengangguk-angguk. Tanpa diungkapkan pun, dengan jelas Alma bisa melihat kebahagiaan itu dalam aura kemilau yang dipancarkan wajah Alda. Digenggamnya tangan sang kakak.

“Aku minta doa restu Kakak,” ucapnya sungguh-sungguh, “supaya Mas Kresna dan aku bisa jadi cahaya terang bagi orang-orang di sekitar kami.”

“Pasti,” angguk Alda.

Malam itu, Kresna merelakan dirinya tidur sendirian dalam bilik yang semalam menjadi tempat istirahatnya bersama Alma. Alma dan Alda tidur berdua dalam bilik yang pagi tadi menjadi tempat rias, agar rindu mereka benar-benar tuntas diungkapkan. Sedangkan Andez dan anak-anak tidur di bilik lain.

* * *

Keesokan harinya, menjelang siang, rombongan dari Bawono Kinayung berpamitan. Jumlah mereka bertambah karena Paitun mengundang Alda sekeluarga untuk berkunjung ke Bawono Kinayung selama dua hari. Ia tahu bahwa belum cukup Alma dan Alda saling melepas rindu. Keluarga kecil itu pun menyambut undangan Paitun dengan senang hati.

Sentono dan Winah melepas mereka di pinggir sungai. Sebelum benar-benar meninggalkan Bawono Sayekti, Kresna menyempatkan diri meletakkan sebuah mahkota bunga kecil di atas makam adiknya. Matanya sempat mengaca, karena tak tahu kapan lagi bisa berziarah ke makam itu.

Di bawah keteduhan Bawono Sayekti, empat buah sampan meluncur beriringan membelah sungai untuk kembali ke Bawono Kinayung. Berkali-kali Alma menengok ke belakang, memastikan bahwa Alda masih bersama mereka. Sebetulnya ia tak perlu melakukan itu karena sampan Tirto ada tepat di belakang sampan Alda sekeluarga.

Paitun sempat mengambil banyak sekali kuncup daun pakis di sepanjang perjalanan itu. Melihat hal itu saja Kresna sudah bisa membayangkan kelezatan tumis pakis ala Bawono Kinayung. Membuat Paitun menahan senyumnya ketika menangkap gambaran itu dalam benak Kresna.

Melampaui waktu yang bergulir sepanjang perjalanan itu, sampailah mereka di Bawono Kinayung. Satu demi satu mereka turun dari sampan di dermaga kecil di belakang pondok Paitun. Janggo dan keluarganya segera berpamitan karena mereka harus istirahat. Malam nanti adalah waktu bagi ia dan Pinasti untuk melatih kembali ketiga anak mereka agar nantinya bisa menjadi penjaga yang tangguh bagi Bawono Kinayung.

Paitun membuka pintu belakang pondoknya lebar-lebar. Pun pintu bilik di seberang biliknya, agar Alda dan Andez bisa meletakkan semua barang bawaan mereka di situ.

Sesudahnya, Tirto mengajak Kresna, Andez, Dite, dan Astia untuk ikut bersamanya memancing. Agar Alma dan Alda kembali memiliki waktu berdua.

Alma membawa Alda ke tempat-tempat indah di Bawono Kinayung yang ia suka. Di tempat-tempat itulah keduanya menikmati keindahan Bawono Kinayung sambil kembali melepaskan kerinduan dan saling bertukar cerita. Hingga tiba senja hari, saat keduanya harus kembali lagi ke Pondok Paitun.

* * *

Pada ujung sebuah pertemuan, selalu ada perpisahan. Setelah menginap selama dua malam di Bawono Kinayung, Alda sekeluarga pun harus kembali ke Bawono Kecik menjelang siang hari itu. Alma memeluk erat kakaknya sebelum mereka berpisah tanpa tahu kapan lagi bisa bertemu.

“Baik-baiklah kalian di ‘atas’, ya, Al,” bisik Alda.

Alma hanya bisa mengangguk-angguk dengan tenggorokan terasa tercekat. Paitun bekerja keras menyerap dan membuang jauh-jauh kesedihan yang mengambang itu. Membuat perasaan Alma dan Alda jadi lebih ringan menghadapi perpisahan itu. Lebih mudah karena keduanya tahu bahwa keadaan sang saudara kandung sama-sama baik di dunia masing-masing.

Setelah memeluk kakaknya dan saling bertukar untaian kalung yang selama ini mereka pakai, Alda pun memeluk kedua keponakannya erat-erat. Diciuminya pipi kedua anak itu. Dan, kini sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah.

“Titip Kakak, ya, Mas,” bisik Alda sambil menjabat tangan Andez, tepat sebelum laki-laki tampan itu masuk ke dalam sampan, menyusul istri dan kedua anaknya.

“Jangan khawatir, Al,” senyum Andez. “Kamu juga, baik-baik di ‘atas’, ya?”

Alma mengangguk.

Sampan kecil itu mulai meluncur perlahan membelah sungai di belakang pondok Paitun, untuk kembali ke Bawono Kecik. Mereka saling melambaikan tangan, hingga sampan itu menghilang di belokan. Alma memeluk Paitun.

“Nini, terima kasih banyak atas semua hadiah ini,” gumamnya. “Aku bahagia sekali, Ni, mengetahui bahwa Kakak baik-baik saja, dan sudah ada yang menjaganya.”

Paitun balas memeluk dan menepuk-nepuk punggung Alma sambil tersenyum. Mereka kemudian beriringan masuk kembali ke dalam pondok.

Alma dan Kresna masih semalam lagi berada di Bawono Kinayung sebelum harus kembali ke ‘atas’. Sesuai janjinya, Paitun membekali keduanya dengan bibit pakis terbaik yang berhasil ditemukan Tirto. Juga dengan aneka hadiah titipan dari Sentono dan Winah, yang berasal dari para penghuni bawono lain saat perjamuan makan siang beberapa hari lalu.

Sama seperti ketika Sentini menjemput mereka, perempuan itu mengantar mereka kembali dengan cara yang sama. Ketika kabut putih menghilang dari beranda belakang pondoknya, Saijan pun menyambut kehadiran kembali sepasang pengantin baru itu di dunia ‘atas’.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)