Sabtu, 14 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #20-3









 Sebelumnya



* * *

“Aku ingin melihat matahari terbenam,” Alma menoleh ke arah Kresna sambil mereka berjalan kembali ke pondok, setelah membaringkan Klepon dan Cenil di pembaringan masing-masing.

“Pamit dulu pada Nini,” Kresna menanggapi dengan suara lembut. “Sekalian kita ambil kamera.”

Alma mengangguk dengan senyum manis mewarnai wajahnya. Ketika mereka sampai di depan pondok Paitun, terlihat perempuan itu keluar dari pondok sambil menenteng sebuah buntalan. Terkesan hendak pergi.

“Lho, Ni? Mau ke mana?” Alma mengerutkann kening.

Paitun terkekeh ringan sebelum memberi jawaban, “Hehehe... Aku mau mengungsi sementara waktu ke pondok Nyai Sentini.”

“Kok, ngungsi, Ni?” timpal Kresna.

“Iya...,” jawab Paitun, sabar. “Pengantin baru butuh ruang sendiri, kan? Jadi, pakailah pondokku sementara kalian di sini. Sebebas-bebasnya.”

Alma dan Kresna saling menatap. Saling menemukan perasaan tak enak di hati.

“Ayolah...,” ujar Paitun lagi, dengan nada membujuk. “Kami yang mengundang kalian untuk datang ke sini. Sudah kami atur sedemikian rupa supaya kalian nyaman di sini. Nikmati saja semuanya. Seadanya.”

Alma dan Kresna berbarengan mengucapkan terima kasih. Mereka pun minta izin untuk menikmati matahari terbenam. Paitun mengangguk tanpa banyak komentar.

Sepeninggal Paitun, Alma dan Kresna masuk ke dalam pondok. Barang-barang pribadi mereka sudah disimpan dengan rapi oleh Tirto di bilik depan yang memang ukurannya paling besar. Sementara Kresna menyiapkan kamera beserta tripod, Alma menyingkir sejenak sedikit ke arah belakang.

Kedua pintu bilik yang mengapit lorong menuju ke dapur tertutup rapat. Pintu yang kiri adalah pintu bilik Paitun. Sedangkan yang kanan adalah pintu bilik yang pernah belasan tahun ditempatinya bersama Wilujeng. Pelan, tangan Alma terulur, menjangkau handel pintu dan memutarnya.

Pintu itu terbuka ketika Alma mendorongnya dengan halus. Ruang itu tampak begitu kosong ketika ia melongok ke dalam. Rak-rak berisi buku yang memenuhi sisi-sisi dinding sudah tak ada. Buku-buku itu sudah lama berpindah ke tangannya secara bertahap. Bilik itu kini hanya terisi sebuah balai-balai bambu dengan kasur tergulung rapi, sepasang meja-kursi, dan lemari kayu sederhana.

Pelan-pelan, mata Alma mengaca. Seandainya Wilujeng juga ada di sini bersamanya, tentu perempuan itu akan sangat bahagia. Bilik itu masih menyisakan kehangatan yang sama dengan yang bisa diingatnya. Samar, hidungnya masih bisa mencium aroma Wilujeng.

Buru-buru dihapusnya air mata yang menggenang ketika mendengar pintu bilik di depan terbuka dan tertutup kembali. Toh, kehidupannya kini di ‘atas’ sana tak pernah jauh lagi dari Wilujeng. Pun, ia juga masih punya seorang ibu dan ayah yang sangat menyayanginya, Ia menoleh dan mendapati Kresna sudah berdiri di belakangnya. Laki-laki itu meremas lembut bahu kanannya.

“Aku benar-benar berharap Ibu bisa sejenak kembali ke sini seperti kita,” gumam Kresna. “Mungkin hanya bersamamu.”

Alma mengangguk. “Coba nanti aku mintakan kesempatan itu pada Nini.”

Ia kemudian menutup pintu bilik itu. Bersama Kresna, ditinggalkannya pondok untuk menuju ke bukit di belakang pondok.

Seperti dulu, keduanya menyeberangi sungai kecil dibelakang pondok. Kresna menyibakkan dedaunan keladi seperti yang pernah dilakukan Alma. Sebuah jalan setapak yang sedikit menanjak menyambut mereka.

Mereka tiba di puncak bukit saat matahari masih beberapa derajat di atas titik terbenam. Kresna segera menyiapkan kamera dan tripodnya. Dengan latar belakang matahari jingga yang sedang bersiap untuk menyembunyikan diri di balik cakrawala, Alma dan Kresna mengabadikan kebersamaan mereka. Pun mengambil gambar pemandangan indah danau yang penuh dengan teratai mekar di bawah sana. Setelah merasa cukup, Kresna membenahi kembali perlengkapan memotretnya.

Di puncak bukit itu, tepat di depan dinding transparan yang membatasi dunia tempat mereka berada dengan dunia ‘luar’, keduanya pun duduk berdampingan, saling menggenggam tangan. Dalam hening menikmati detik demi detik matahari jingga terlelap meninggalkan remang.

“Persis seperti lukisanmu, Mas,” bisik Alma, merebahkan kepalanya di bahu kanan Kresna.

“Ya,” Kresna balas berbisik. “Seperti inilah salah satu mimpi yang pernah muncul membungai tidurku. Membuatku gatal untuk mengabadikannya jadi lukisan.”

Mentari jingga itu kini sudah seutuhnya menarik selimut di balik garis batas danau teratai dengan langit. Langit kian temaram. Alma dan Kresna pun berdiri bersamaan. Hendak kembali ke pondok Paitun.

Keduanya kemudian menyusuri jalan setapak. Menembus pekat yang mulai menyelimuti ruang di bawah naungan pepohohan besar di sisi kiri dan kanan, hingga sampai di tepi sungai. Suara dengking Janggo menyambut kehadiran keduanya begitu Kresna menyibakkan gerombolan daun keladi.

‘Ha! Aku baru saja mau menyusul kalian,’ ucap Janggo. ‘Sudah gelap begini.’

Alma tergelak ringan. Gelap tak pernah membuatnya takut. Apalagi gelap di sini. Gelap yang ada di bawah kuasa perlindungan para penghuni Bawono Kinayung.

‘Ada pesan dari Nini,’ ujar Janggo lagi. ‘Setelah mandi nanti, ditunggu di rumah Nyai untuk makan malam bersama.’

‘Baiklah, Janggo,’ senyum Alma. ‘Sampai ketemu nanti, ya.’

Sepeninggal Janggo, Alma dan Kresna bergegas masuk ke dalam pondok, yang ternyata sudah cukup terang dengan cahaya beberapa lentera minyak. Sebelum masuk ke dalam bilik yang gelap, Kresna mengambil salah satu lentera untuk menerangi bilik. Mereka butuh mengambil baju sebelum mandi.

Seusai mandi, mereka pun menuruti pesan Janggo agar ke rumah Sentini. Di pondok mungil itu, penghuni Bawono Kinayung lainnya sudah menunggu kedatangan mereka. Kehangatan serupa siang tadi saat makan bersama kini terulang lagi.

Di atas sebuah meja di dapur pondok Sentini sudah terhampar aneka jenis makanan. Tampak ada sebakul besar nasi merah yang masih mengepulkan asap tipis, satu nampan penuh berisi ikan bakar yang aromanya sungguh menggiurkan, secobek besar sambal, dan satu baskom berisi sayuran rebus dan juga mentimun segar. Selain itu ada juga nyiru kecil yang penuh dengan potongan semangka kuning tanpa biji.

“Ini ikan bakarnya pasti Paman yang buat,” Alma menatap Tirto dengan mata berbinar.

Laki-laki tinggi besar yang tak pernah sedikit pun terlihat lebih tua itu tertawa lebar. Untuk urusan ikan bakar, memang ia jagonya di Bawono Kinayung. Racikannya selalu pas, menyelimuti daging ikan yang masih sangat segar ketika mulai diolah.

Sambil bercakap, mereka semua sibuk menikmati makanan. Kresna sudah tidak malu-malu lagi untuk menambah porsi makannya. Paitun terlihat senang sekali dengan ketidakcanggungan Kresna. Laki-laki itu memang tak terlalu banyak bicara. Tapi dilihat dari sikapnya, tampak sekali bahwa ia menikmati suasana Bawono Kinayung yang pernah singgah selama beberapa saat dalam hidupnya.

Janggo dan keluarganya tak terlihat. Membuat Kresna mempertanyakan keberadaan keluarga ajak itu pada Tirto.

“Janggo dan Pinasti sedang melatih anak-anak untuk mengenal lorong-lorong di sini,” jawab Tirto. “Tenang saja, mereka sudah makan kenyang sebelum berangkat.”

Seusai makan, mereka masih melanjutkan obrolan di beranda depan pondok Sentini. Paitun tertawa melihat beberapa kali Alma menguap.

“Kalau sudah mengantuk, istirahatlah dulu,” ucapnya. “Besok masih ada waktu untuk kembali menjelajahi tempat-tempat yang tersimpan dalam hati kalian. Abadikanlah sesuka kalian.”

Maka, Alma pun mengajak Kresna pulang ke pondok Paitun. Saat meninggalkan pondok tadi, keduanya sengaja tidak memakai alas kaki. Hendak membiarkan pasir halus di sepanjang jalan yang ada di Bawono Kinayung menyapa mereka.

“Aku beruntung sekali menjadi belahan jiwamu,” gumam Kresna, mengeratkan rengkuhan tangannya di sekeliling bahu Alma. “Bisa menikmati keindahan yang tak sembarang orang boleh mengalaminya.”

“Aku lebih beruntung lagi menjadi belahan jiwa Mas,” Alma menengok sekilas. “Karena itu artinya aku tidak akan kehilangan Ibu Wilujeng. Dan... juga pangeranku yang ahli membuat mahkota bunga.”

Kresna tergelak ringan. Lalu teringat sesuatu.

“Ah, sejak kembali dari Yunani aku belum membuatkanmu mahkota bunga lagi,” celetuk Kresna.

“Kan, sudah ada yang abadi?” Alma ikut tergelak. “Bisa gundul semua rumpun bunga kalau Mas buatkan mahkota untukku tiap hari.”

“Besok setelah dari danau, bagaimana kalau kita ke padang bunga?” Kresna membuka pintu pondok.

“Boleh...,” Alma tersenyum lebar. “Dan, itu artinya aku akan mendapat mahkota bunga lagi?”

“Ya,” Kresna mengangguk tegas. “Seperti apa pun yang kamu mau.”

“Oh...,” Alma memeluk pinggang Kresna sambil melangkah masuk ke pondok. "Terima kasih...."

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)