Minggu, 01 Juli 2018

[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #15-3








Sebelumnya



* * *



Kresna masuk tanpa suara, dan menutup pintu di belakang punggungnya. Suasana penuh dengung bak gumaman ribuan lebah dalam ruangan itu berangsur senyap. Sekilas menatap seisi kelas sambil mengucapkan salam, yang segera disambut kor balasan dari seluruh mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelas.

“Presensinya sudah sampai di mana?” tanyanya dengan suara bersahabat, seraya bibirnya mengulas senyum

Seorang mahasiswa yang duduk di posisi tengah mengangkat tangan kanannya.

Kresna meraih boardmarker, sembari berucap, “Boleh saya pinjam sebentar?”

Sambil menunggu map presensi sampai di tangan, dituliskannya sesuatu pada whiteboard. Nama yang selama ini disandangnya dengan kebanggaan penuh.
 

Mahakresna Prabangkara, S.E., M.M. (Kresna)


Tulisannya sangat rapi dan terbaca dengan mudah, bahkan dari deretan paling belakang. Lalu ia berbalik, bersamaan dengan map presensi mendarat di atas meja.

“Seperti Anda lihat di papan, perkenalkan, saya Kresna, dosen pengampu mata kuliah Pengantar Bisnis untuk semester gasal ini,” ia mulai memperkenalkan diri. “Saya ucapkan selamat bergabung di sini, di kampus kita tercinta. Semoga hingga semester berakhir nanti, kita bisa bekerja sama dengan baik. Oke, sebelum kuliah dimulai, saya ingin mengenal Anda satu per satu.”

Tanggapan berupa dengung-dengung tak jelas diabaikannya dengan meraih map di atas meja. Satu demi satu, nama-nama yang tertera pada lembar presensi dibacanya. Ada wawancara sekejap dengan sang pemilik nama. Semua itu disertai keramahan dan senyum yang tak lekang dari bibir sang dosen.

Terakhir...

“Zervia Almandine Garnet Purbowiyakso?”

Seorang gadis manis berambut hitam kriwil, yang menjuntai indah membingkai wajahnya, mengangkat tangan. Kresna menjatuhkan tatapan padanya. Gadis itu pun balas menatap. Seketika ia terkesiap. Terlebih ketika bibir gadis itu mengulas senyum samar. Entah bagaimana, Kresna bisa menangkap senyum itu secara utuh. Senyum yang masih sama.

Mata bening itu... Senyum samar itu...

Lalu, waktu pun membeku.

* * *

Tanpa bisa dicegah, Paitun, Nyai Sentini, Tirto, Kriswo, dan Randu bersorak girang ketika adegan pertemuan Kresna dan Alma terpampang pada salah satu dinding pondok Nyai Sentini. Pinasti dan Janggo yang duduk manis di dekat Tirto pun mendengking riang.

Tepat ketika Kresna dan Alma terlihat bertatapan di ‘layar’, Nyai Sentini menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya.

* * *

‘Kamu...’

Tanpa kedip Kresna menatap gadis itu di tengah bekuan waktu. Gadis itu menyingkirkan senyum samarnya. Menggantinya dengan seulas senyum yang lebih lebar. Melanjutkan percakapan dalam hening itu.

‘Nama saya Alma. Senang sekali bertemu dengan Anda, Pak Kresna.’

‘Oh... Jadi namamu Alma?’

‘Ya. Dan apakah... Bapak juga mengalami mimpi yang sama?’

Kresna mengangguk. ‘Nyaris tiap malam sejak beberapa tahun lalu.’

‘Oh...’

‘Kamu juga?’

‘Ya. Apakah... Bapak tahu sesuatu tentang rangkaian mahkota bunga?’

‘Ya! Aku selalu membuatkannya untuk gadis dalam mimpiku itu! Jadi, kamu melihat juga hal yang sama?’

Alma mengangguk dengan binar memenuhi matanya. Debar-debar liar makin memenuhi dada Kresna.

‘Jadi... benar, kamu gadis itu. Yang sudah kutunggu selama beberapa tahun ini... Senang sekali bertemu denganmu!’

Keduanya tersentak ketika mendengar bunyi guntur di kejauhan. Seketika keduanya memahami bahwa suara guntur sayup-sayup itu adalah alarm bagi mereka. Kresna buru-buru meraih tasnya dan menyobek kertas dari dalam notes di tasnya. Dengan cepat, ia menuliskan sesuatu. Lalu, diulurkannya kertas itu pada Alma.

“Ini nomor kontakku,” ucapnya dengan suara biasa. “Rasanya kesempatan kita makin sempit sebelum waktu mencair kembali.”

Secepatnya Alma menerima dan menyelipkan kertas itu ke dalam saku celana jeans-nya sambil menggumamkan terima kasih. Kemudian ia kembali menegakkan tubuh. Kresna pun menatap kembali lembaran presensi di tangannya.

Dan, begitu saja waktu kembali mencair. Atmosfer di sekitar mereka kembali bergerak secara bebas.

“Nama panggilanmu?”

“Alma, Pak.”

“Hm... Almandine garnet itu setahu saya sejenis batu permata,” gumam Kresna.

“Betul, Pak,” Alma mengangguk.

"Nama yang bagus," senyum Kresna, membuat  Alma sedikit tersipu.

Laki-laki itu pun menutup map presensi di tangannya. Sejenak ia mengedarkan tatapan ke seluruh penjuru kelas.

“Oke, silakan presensi diedarkan kembali. Sekarang kita perkenalan mata kuliah dulu, ya.”

Selanjutnya Kresna mulai membahas garis besar mata kuliah yang diampunya, termasuk buku dan literatur yang akan mereka gunakan, bentuk tugas yang biasa ia berikan, serta sistem kuis dan tes yang biasa ia pakai untuk menguji kemampuan para mahasiswanya. Seisi kelas menyimak dengan baik. Sebagian karena menikmati cara penyampaian Kresna yang menarik dan cukup mudah untuk dimengerti, sebagian lagi karena terpesona pada sosoknya yang memang cukup ‘mengguncang dunia’. Apalagi diselingi dengan tanya-jawab yang sebagian besar terdengar ‘kurang bermutu’, yang tetap dijawab oleh sang dosen dengan sangat sabar. Waktu dua jam kuliah yang panjangnya 100 menit pun tak terasa berlalu.

“Oke, kuliah hari ini kita akhiri sampai di sini,” Kresna mengakhiri pertemuan itu. “Sampai bertemu lagi Senin depan.”

“Pak Kresna,” Arian, sang ketua kelas, mengangkat tangan.

“Ya?”

“Maaf, Pak, bisakah kami mendapatkan nomor kontak Bapak? Barangkali sewaktu-waktu kami perlukan untuk kepentingan mata kuliah yang Bapak ajarkan.”

“Sudah ada di papan daftar dosen. Ada di lobi Gedung C.”

“Oh, baik, Pak. Terima kasih.”

“Tapi saya cuma terima kontakan untuk kepentingan kuliah saja, ya,” senyum Kresna melebar. “Tidak untuk hal lain.”

Seketika dengung bagai suara sekompi lebah memenuhi ruangan itu. Kresna tersenyum simpul. Sekali lagi ia mengucapkan salam, kemudian berlalu.

* * *

Kantin Fakultas Ekonomi yang luas dan masih sedikit sepi itu nyaris setengahnya dijejali mahasiswa baru yang sibuk mencari cemilan. Seperti biasa, para mahasiswa lama masih ogah-ogahan masuk kuliah pada minggu-minggu pertama seperti ini. Pun beberapa dosen, walaupun dosen yang rajin juga tetap ada.

“Setelah lihat Pak Kresna, langsung lewat, deh, Sadewa,” bisik Riska sambil menyedot minuman ringannya.

Bersama Alma, gadis itu ‘mojok’ di depan meja untuk berdua di sebuah sudut. Alma sendiri, dengan sikap acuh tak acuh, asyik menikmati roti bakar isi telur dan tuna dengan segala pelengkapnya, ditemani segelas besar es teh.

“Ish! Lu, Wil, kayaknya susaaah banget diajak ngerumpi soal cowok!” gerutu Riska.

Alma menoleh sekilas.

“Terus, gue harus koprol sambil sorak-sorak cihui, gitu?” gadis berambut ikal kriwil itu nyengir.

Riska mencibir. Sebetulnya, sejak dimulainya masa orientasi beberapa minggu lalu, ia sudah merasa tertarik pada Sadewa. Pemuda berkulit cokelat gelap itu tidak terlalu tampan, tapi manis sekali. Senyumnya selalu semringah. Menampakkan deretan gigi putih rata bak bintang iklan pasta gigi. Sikapnya pun ramah dan cukup sopan. Pendeknya, lumayan menarik. Sayangnya, dilihat dari sisi manapun, sudah terlihat sekali bahwa Sadewa gencar menggebet Alma.

Padahal...

“Lu tahu, nggak? Sadewa itu suka sama lu!”

Kalimat yang diucapkan Alma dengan nada lirih itu seketika membuat Riska, yang tengah asyik menyedot minumannya, tersedak. Gadis manis itu melotot ke arah sang sahabat setelah terbatuk beberapa kali.

“Gila, lu, Wil! Nggak kira-kira lu ngerjain gue!” gerutunya.

“Siapa yang ngerjain?” timpal Alma, tetap dengan sikap santai. “Tanya Binno kalau nggak percaya.”

“Kok, Binno, sih?” Riska terlihat masih tidak terima.

“Ya, iyalah! Dia, kan, satu indekos sama Binno.”

Bibir Riska membundar seketika. Jadi...

“Tapi beneran dia suka sama gue?” selidiknya.

“Ya, iyalah!” Alma meyakinkan lagi. “Dia, kan, deketin gue cuma niat mau bikin lu jealous.”

“Terus, lu bilang, gitu, sama dia, kalau gue juga suka sama dia?” mata Riska membundar lagi.

“Ya, enggaklah...,” Alma mengibaskan tangan kanannya. “Gini-gini, gue mana tega, sih, jatuhin sohib sendiri?”

Riska terdiam. Jadi Sadewa... Aw... Sebersit kehangatan bersemburat menjalari pipi Riska.

“Terus, gue harus gimana, Wil?”

Hening.

“Wil?”

Tetap hening. Seketika Riska mengalihkan tatapan dari mangkuk mi ayam yang sedari tadi ditekuninya. Didapatinya sang sahabat tengah terpaku menatap ke satu titik. Ia pun mengikuti arah tatapan Alma. Detik itu pula, ia ikut terpaku.

Di depan meja untuk berdua yang letaknya agak di sudut tengah kantin, Kresna duduk bersama seorang gadis kecil berbaju lucu yang mengenakan mahkota bunga di puncak kepalanya. Keduanya tampak mengobrol sambil tertawa-tawa. Terlihat sangat akrab. Sekaligus indah.

* * *



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


2 komentar: