Selasa, 24 Juli 2018

[Cerbung] Kuncup Mawar dan Selembar Kenangan #2-1









Sebelumnya



* * *


Dua


Sabtu pagi yang cerah. Adita bangun dengan semangat yang baru. Seolah-olah ia memiliki kekuatan lebih untuk melenting secepatnya dari ranjang yang masih sangat hangat, dan secepatnya memeriksa Gwen. Nugra terlihat masih terlelap dengan wajah damai, membuat Adita terpaksa pelan-pelan turun dari ranjang agar tidak mengganggu tidur Nugra.

Ketika ia melongok ke kamar Gwen sesudah cuci muka dan gosok gigi, ternyata anak itu sudah bangun, tapi entah di mana ia sekarang. Kamarnya kosong. Tempat tidurnya belum kembali ditutup bed cover, tapi kondisinya sudah cukup rapi. Bantal dan guling sudah tersusun, sprei terlihat sudah dilicinkan, dan selimut sudah terlipat. Hasil kerja yang cukup memuaskan dari seorang anak berusia lima tahun. Adita pun masuk dan lebih merapikan ranjang Gwen, kemudian menutupnya dengan bed cover berwarna ceria bercorak aneka sayuran, semotif dengan perangkat spreinya.

Lalu, ia turun ke lantai bawah. Di anak tangga terbawah, tatapannya jatuh menembus partisi kaca yang membatasi ruang dalam mereka dengan kebun kecil di bagian belakang. Pintu kaca sudah terbuka lebar, mengembuskan hawa sejuk dalam ruang keluarga dan ruang makan. Gwen ada di sana, di kebun belakang yang nyaris penuh menampung tanaman hidroponik milik Nugra dan Gwen. Gadis kecil itu sedang sibuk melakukan sesuatu. Sebelum Adita sempat menghampirinya, sebuah sapaan membuatnya menoleh.

“Pagi, Bu....”

“Pagi juga, Rus,” senyum manisnya terkembang ketika membalas sapaan Rusni, asisten rumah tangga mereka. “Itu Gwen sudah lama bangunnya?”

“Lumayan, Bu,” Rusni tersenyum lebar. “Nggak lama dari saya bangun, Mbak Gwen bangun juga. Langsung sibuk sama tanamannya.”

Dari tempatnya berdiri, Adita bisa melihat bahwa si kecil Gwen tengah sibuk di depan sebuah kotak besar ditemani Muffin, anjing beagle kesayangan mereka. Ia mengerutkan kening. Sepertinya ada kotak semaian benih tanaman baru.

“Lagi?” tunjuknya.

Rusni mengangguk. “Kemarin dibelikan Bapak.”

“Oh...,” Adita manggut-manggut.

Ia meneruskan langkahnya ke selasar yang juga berfungsi sebagai teras belakang. Gwen tak akan menyadari kehadiran ibunya kalau saja Muffin tidak berlari menyambut Adita sambil menguik dan menggoyangkan ekor dengan riang.

“Hai, Muffin!” Adita mengangkat dan menggendong Muffin.

Gwen menoleh dan matanya berbinar riang menatap Adita. Dihampirinya sang ibu. Semalam, ketika Adita dan Nugra pulang, Gwen sudah terlelap. Setelah meninggalkan kedai Adita, keduanya memang tak langsung pulang, melainkan mampir dulu ke sebuah area food trucks untuk menikmati kencan dadakan dan makan malam kedua.

“Pagi, sayang,” Adita mencium kening Gwen sambil duduk di kursi rotan panjang dan memangku Muffin.

“Pagi, Ma,” Gwen duduk di samping Adita. Menggelendot manja pada sang ibu.

“Dikasih benih tanaman apa lagi sama Papa?” Adita mencolek ujung hidung mungil Gwen.

“Kayak biasa, Ma.”

“Wuidiiih... Tambah banyak tanamanmu, Gwen. Berarti kamu bisa menyumbang lebih banyak lagi buat sekolah, ya?”

Gwen mengangguk dengan wajah riang.

Ia bersekolah di sebuah TK yang pemiliknya mendirikan juga TK non-reguler untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu. Banyak donatur yang berasal dari orang tua anak yang bersekolah di TK reguler, termasuk Adita. Tapi, sudah beberapa minggu belakangan ini, Gwen bisa juga menyumbang atas namanya sendiri, dengan uangnya sendiri. Berasal dari penjualan panen sayuran hidroponik yang diurusnya sendiri pula.

Sama seperti ayahnya, Gwen juga suka bercocok tanam. Sejak Gwen berusia empat tahun, Nugra sudah memberinya kelengkapan untuk bercocok tanam secara hidroponik. Nugra mengajarinya menyemai, memindahkan bibit baru, sekaligus cara memelihara. Semuanya itu dilakukan di kebun belakang mereka yang hanya seluas empat puluh meter persegi. Bahkan, seiring dengan meningkatnya kemampuan Gwen memelihara aneka sayuran hidroponik, ia kini memiliki petak yang lebih luas daripada milik ayahnya di kebun kecil itu. Sesekali Nugra mengajaknya menengok kebun mereka di daerah Puncak, sekaligus Nugra memonitor petani-petani rekanan yang selama ini hasil panennya diserap oleh toko Nugra.

Dan, ide untuk menjual hasil panen Gwen itu berasal dari hobi lain Gwen. Salah satu hobi Gwen, selain menggambar dan bercocok tanam seperti Nugra, adalah ikut melayani pembeli di toko bahan pangan organik milik ayahnya. Dengan ramah ia ikut menanyakan, “Ada yang bisa dibantu, Tante, Om, Kak, Oma, Opa?” Membuat para pelanggan selalu belanja dengan hati riang saat Gwen ada di sana.

Ada sepasang kakek-nenek berusia tujuh puluhan yang selalu datang pada hari Sabtu. Namanya Mira dan Andri. Dengan sabar keduanya menunggu Gwen melayani mereka. Tak masalah bila waktu yang diperlukannya untuk berbelanja jadi dua kali lebih lama karena diselingi berbagai obrolan menarik. Seringkali keduanya memberi ‘tips’ berupa beberapa kotak coklat produksi perusahaan mereka sendiri pada Gwen. Dan, gadis kecil yang baik hati itu hanya menyisihkan satu kotak saja untuknya sendiri, kemudian membagikan sisanya pada para pegawai toko ayahnya.

Suatu hari, Gwen melarang Mira untuk meraih sebungkus selada keriting dari rak. Sebagai gantinya, Gwen menyodorkan sebungkus selada keriting segar dan seplastik tomat besar merah mengilat yang terlihat sungguh menggemaskan, yang diambilnya dari atas meja kasir di dekat mereka.

“Yang ini saja, Oma,” ujar Gwen lagi. “Ini Gwen tanam sendiri di rumah. Hidroponik. Baru cabut tadi pagi sebelum berangkat ke sini. Tomatnya juga baru petik. Buat Oma. Nggak usah bayar. Gwen memang mau kasih buat Oma. Nanti minggu depan kayaknya Gwen panen caisim dan bayam merah. Oma mau?”

“Wah...,” Mira kehilangan kata. Ditatapnya Nugra, yang selalu mengawasi putrinya.

“Sedang belajar berbagi, Bu,” ucap Nugra, diiringi seulas senyum.

“Hm...,” Mira kembali menatap Gwen. “Kalau begitu, sayur panenan Gwen akan tetap Oma bayar. Uangnya bisa Gwen kasih ke orang yang membutuhkan. Gimana?”

Gwen menoleh ke arah ayahnya. Laki-laki tinggi besar itu tertawa ringan.

“Terserah kamu,” ujarnya.

“Mm....,” gadis kecil itu pun berpikir sejenak.

Sejak saat itu, Nugra memberi Gwen sebuah sudut khusus dalam toko untuk ‘menjual’ hasil panennya pada hari Rabu dan Sabtu. Ada catatan pada sebuah papan tulis hitam yang terpampang di sudut itu. 



Sayuran segar yang terpajang di sudut itu selalu cepat habis walaupun harganya lebih tinggi. Membuat Gwen lebih bersemangat lagi untuk terus bercocok tanam secara hidroponik dan berbagi.

Adita merengkuh Gwen ke dalam dekapan sebelah tangannya. Keduanya melanjutkan obrolan dengan topik ‘seharian kemarin Gwen ngapain saja?’.

Kemarin, seusai mengantar Gwen ke sekolah TK-nya, Adita memang tidak lagi bertemu Gwen hingga pagi ini. Hanya sempat menelepon dua kali, saat jam makan siang dan pada jam Gwen seharusnya sudah mandi sore. Itu karena ia sangat sibuk dengan persiapan pembukaan kedai barunya. Tapi ia benar-benar tak perlu khawatir. Status Nugra sebagai wirausahawan membuat laki-laki itu bisa mengurus Gwen dengan baik saat Adita sangat sibuk. Demikian pula sebaliknya. Mereka bisa mengatur waktu dengan bebas agar Gwen bisa tetap jadi pusat dunia mereka. Membuat gadis cilik itu tak pernah merasakan kekurangan perhatian kedua orang tua walaupun mereka cukup sibuk.

Tengah asyik bertukar cerita sambil tertawa-tawa, sebuah kecupan ringan mendadak singgah ke puncak kepala Adita dan Gwen. Keduanya menoleh, mendapati Nugra muncul dengan wajah sudah segar. Belum mandi, tapi sudah cuci muka dan gosok gigi.

“Kamu sudah tidur semalam waktu Mama-Papa pulang,” ucap Nugra setelah membalas ucapan selamat pagi anak-istrinya. Dihempaskannya tubuh besarnya di sebelah Gwen.

Untung kursi rotan ini kuat, Adita mendadak tersenyum lebar dalam hati.

“Jadi nganggur, deh, es krim dan pop corn-nya,” lanjut Nugra.

“Tapi tadi kulihat es krimnya baik-baik saja di freezer,” tukas Gwen, tertawa. “Juga pop corn karamelnya, masih bobok bareng-bareng di toples besar.”

Adita dan Nugra tertawa lebar mendengar ‘ngeles secara cerdas’ Gwen. Nugra bertanya bagaimana kabar benih-benih yang kemarin disemai Gwen. Gadis cilik itu kembali menukas, bahwa, “Baru juga semalam, masa sudah tumbuh?” Membuat kedua orang tuanya tertawa geli.

Udara pagi kian menghangat bersamaan dengan makin tingginya mentari menjelajahi hari. Bersamaan, mereka bertiga beranjak untuk mandi dan menikmati makan pagi yang sudah disiapkan Rusni.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)